Fragile
Kaydan menjalani rutinitas seperti biasa pagi ini. Dari basement, ia memasuki lift dan menekan angka lima. Lift yang membawanya naik berhenti di lantai satu.
Sekelebat angin berembus. Angin yang menebarkan wangi yang sangat familiar bagi Kaydan. Ia mendongak, menemukan belahan jiwanya, Karuna. Pagi ini kekasihnya memakai blazer berwarna peach dan rok selutut berwarna senada dengan blouse putih gading. Cantik. Sangat cantik.
Kaydan menemukan mata Runa yang sedang menatapnya lewat pantulan pintu lift. Kontak mata yang terjadi di antara mereka seakan membuat dunianya berhenti berputar.
Pintu lift yang terbuka di lantai empat membuyarkan kontak mata antara dirinya dan Runa. Sebelum melangkah ke luar, Runa berbalik dan mengucapkan kata 'bye' tanpa suara padanya.
Demi Raven, juga demi mamamu.
Ibu mohon, jangan lakukan kesalahan yang sama seperti ayahmu.
Kaydan menggelengkan kepalanya. Suara-suara itu bagai hantu yang terus mengikutinya. Sambil berjalan menuju ruang kerjanya, ia menulis pesan untuk Runa. Setelah menekan tombol ' send', dalam hitungan detik berikutnya Runa sudah membalas pesannya.
Setelah berpikir lama, Kaydan memutuskan yang terbaik menurutnya untuk Runa. Karena, menyakiti gadis itu adalah hal terakhir yang akan sanggup ia lakukan. Sebelum ia sendiri yang akhirnya akan mati perlahan-lahan.
~~~~~~~~~~
"Li, Kaydan aneh deh?" ujar Runa yang baru datang sambil memperlihatkan ponselnya yang berisi pesan dari Kaydan.
"Napa sih? Baru dateng udah misah-misuh?" tanya Lili yang datang lebih awal dari biasanya.
"Kita tuh barusan naik lift bareng. Cuma berdua! Tapi dia diem aja."
"Diem aja tapi pakai bahasa tubuh," gurau Lili yang langsung mendapat pelototan dari Runa. "Eh, semalem katanya kamu mau cerita. Cerita apaan?"
Runa menghela napas berat. Ia tidak langsung menjawab. Pandangannya tertuju pada ponselnya, ponsel yang dihadiahkan Kaydan padanya. "Li. Aku ngerasa Kaydan sekarang berubah," ucapnya lirih.
"Berubah. Maksudmu?"
"Sudah beberapa hari ini, Kaydan jadi pendiam banget, kayak lagi banyak pikiran. Tapi tiap aku tanya, jawabnya pasti nggak apa-apa. Terus kemarin malam, aku denger dia telponan sama Mia."
"Ya wajarlah kalau Pak Kaydan banyak pikiran. Dia 'kan harus mimpin dua hotel Discovery. Terus maksudmu Mia mantannya itu?"
Runa mengangguk dan mendesah panjang. Mia sudah kembali. Perempuan itu begitu cantik, dan pernah menjadi bagian hidup Kaydan lebih lama dari dirinya. Mereka punya kenangan yang lebih banyak. Jika Kaydan akan memilih, tanpa berpikir dua kali lelaki itu pasti akan meninggalkannya.
Tiba-tiba dada Runa terasa sesak. Sesak karena takut jika apa yang ia pikirkan akan menjadi kenyataan.
"Kamu cinta sama Pak Kaydan 'kan, Na? Percaya aja sama dia deh," ucap Lili membesarkan hati sahabatnya.
~~~~~~~~~~
Kaydan menatap ke luar jendela, pada pepohonan di taman yang menghijau di bawah sana. Dari lantai lima ruang kerjanya, ia bisa melihat bangku kayu tempat biasa dirinya dan Runa duduk sejenak setelah pulang kerja jika cuaca sedang bersahabat.
"Sebetulnya, apa yang sedang menggerogoti otakmu itu?" tanya Dipta heran melihat Kaydan yang hanya terdiam.
"Tidak. Aku hanya merasa...." Kaydan menghentikan ucapannya dan terlihat bingung.
Dipta mengerutkan kening. Sudah setengah jam lelaki itu menahan rasa ingin tahunya sejak Kaydan menyuruhnya datang. "Kau membuang waktuku, Dan!"
Kaydan membalikkan tubuhnya ke arah Dipta, menatap adik iparnya itu tajam. "Okay. Akan aku ceritakan dari awal."
Kaydan menarik napas panjang. Ia pun mulai menceritakan semuanya, diawali cerita dari masa lalu ayahnya, Mia yang datang kembali, dan terakhir... pertemuannya dengan orangtua Runa.
"Wow! Ini kejutan besar," ujar Dipta begitu Kaydan selesai bercerita. "Aku butuh minum."
Kaydan membuka lemari es dan mengambil dua kaleng minuman bersoda, lantas melemparkan salah satunya pada Dipta. Dengan tangkas, Dipta menangkap kaleng minuman tersebut.
"Kenapa kamu begitu khawatir? Aku rasa, Raven akan menjadi orang yang paling bahagia mengetahui hal ini." Dipta meneguk minuman yang baru saja dibukanya.
Kaydan yang kini sudah duduk di kursinya menegakkan tubuh. "Tapi... gimana sama Mama?" ia meletakkan kaleng minumannya di atas meja dan memutar-mutar kursinya.
"Aku tau kamu bisa memilih jalan yang terbaik."
"Tentu."
~~~~~~~~~~
Langit yang mendung tidak mampu menggoyahkannya. Ia tetap duduk di bangku kayu dimana dirinya biasa menunggu Kaydan. Beberapa helai rambut hitamnya melambai-lambai karena tiupan angin yang semakin kencang.
Ia bersenandung lirih, memperhatikan burung-burung yang mulai hinggap di pepohonan untuk mencari perlindungan.
"Sori! Sudah lama nunggu?"
Ia tersenyum. Bukan hanya sekali ini saja dirinya harus menunggu. Mungkin lelaki yang sekarang sudah duduk di sebelahnya yang memang datang terlambat, atau malah dirinya yang datang lebih awal. Baginya tak ada masalah, karena ia mencintai kekasihnya itu.
"Karuna. Aku mau ngomong serius."
"Hemm...." ia menatap kedua mata Kaydan, hitam kelam tapi menenangkan saat melihatnya.
"Aku pikir... hubungan kita sampai di sini saja."
Ia tersenyum lebar, "Kamu lagi becanda 'kan? Ini nggak serius 'kan?"
" I'm serious. Actually... I'm happy with you. But, I fall in love with someone else. I'm really sorry."
Melihat keseriusan wajah kekasihnya, senyumnya memudar dan ia merasa takut. Tubuhnya seolah-olah ditenggelamkan ke dalam lautan es.
"Kamu baik. Kamu berhak mendapatkan lelaki yang lebih baik dariku."
"Dan. Ulang sekali lagi kalau kamu lagi becanda?" ucapnya memelas.
"Maaf...."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Kaydan segera beranjak meninggalkannya.
"Kaydan, tunggu!" teriaknya sambil terisak. Namun Kaydan tetap berlalu tanpa menoleh lagi.
Playlist
Sting | Fragile
[011216]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top