1. Sebuah Masalah & Alasan
"Jangan bilang kalau kamu belok, ya, Fel?!"
Kedua mata lelaki yang disebut 'Fel' tadi, seketika membola. Ia jelas kaget dengan pertanyaan yang sang mama lontarkan, secara tidak langsung menuduh jika dia adalah penyuka sesama jenis. Lelaki itu berdecak, "Astaga, Ma, enggak." Ia memijat pangkal hidungnya yang terasa berdenyut. "Mama jangan aneh-aneh, deh."
Fina—sang mama, melipat kedua tangan di depan dada, sembari memperhatikan putranya dengan tatapan serius. "Mama bukannya aneh-aneh," ujarnya. "Mama ngomong gini, bukan tanpa sebab lho. Coba Mama tanya sama kamu sekarang. Kapan terakhir kali kamu pacaran?"
Lelaki itu—Rafelo Diazka—tampak menghela napas panjang, kemudian menjawab, "Waktu SMA, Ma. Udah deh. Rafel males ditanya-tanya begini terus, Ma."
Mamanya memutar bola mata tak senang dengan apa yang putranya katakan. "Ya sudah kalau begitu. Pertanyaannya Mama ganti. Kapan kamu mau menikah?"
"Ma ...."
"Mama nggak suka diprotes!" tegas wanita itu. "Umur kamu udah 27 tahun, Rafel. Mama nggak mau orang-orang mikir kalau kamu itu punya kelainan seksual. Mama malu sama teman-teman arisan Mama, kolega-kolega Papa kamu dan keluarga. Coba pikirin Mama sama Papamu dong, Nak."
Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya Rafel menghela napas panjang. "Ma," ucapnya. "Bukannya Rafel nggak mau mikirin Mama sama Papa. Rafel hanya ingin butuh waktu lebih lama lagi, Ma. Rafel pengin bikin LovasMart jauh lebih berkembang lagi. Rafel juga belum siap untuk menikah, Ma. Tolonglah, jangan tanya-tanya 'kapan' lagi, Ma."
Fina mengembuskan napas panjang, kemudian menatap sang putra dengan wajah serius. Kedua tangannya terlipat di depan dada, "Sekarang begini deh." Wanita itu berusaha merangkai kalimat, agar sang putra yang secara usia sudah semakin dewasa itu mengerti dengan apa yang ia maksudkan.
"Selalu ada wanita hebat, di belakang laki-laki sukses. Dulu Papamu masih belum seperti sekarang, tapi setelah menikah sama Mama, Papamu jadi sukses, kaya raya dan tentunya banyak uang. Nanti kamu juga kalau sudah menikah pasti bakal seperti itu. Yakin deh, omongan Mama ini seratus persen terjamin kebenarannya."
Rafel menahan diri untuk tidak menghujat ibu yang telah melahirkannya ke dunia itu. Akan tetapi, rasanya ia pusing juga kalau terus-menerus diteror sang ibu agar segera menikah. Lantas dengan santainya Rafel berujar, "Memangnya Mama mau punya menantu matre?"
Sang ibu sempat terdiam sesaat. Omong-omong, Rafel juga sadar betul jika sedari tadi—di balik ceramahan panjang ibunya—terselip pujian kepada diri sendiri. Iya, benar. Ibunya Rafel itu senang sekali memuji diri sendiri, terlebih ketika sedang memberikan ceramah panjang kepada Rafel. Alasannya tetap sama, agar Rafel mengerti. Akan tetapi, sayangnya Rafel sudah kadung capek dan rasanya sulit sekali menerima segala omelan sang ibu. Ayolah, dia sudah dewasa sekarang. Apakah semua pilihannya harus atas persetujuan orang tuanya?
Rafel kembali melanjutkan, sebelum sang mama kembali berceloteh. "Zaman sekarang, susah cari perempuan yang mau diajak berjuang sama-sama, Ma. Minimal Rafel sukses dulu, deh, baru berani cari perempuan buat diajak berkomitmen. Rafel juga nggak mau kali Ma, bikin anak orang yang sudah dibesarkan baik-baik sama orang tuanya, malah dibuat melarat kalau hidup sama Rafel. Memangnya Mama mau, begitu?"
Fina berdecak sebal atas alasan yang putranya berikan. Matanya bergulir tak suka dan wajahnya terlihat begitu julid di mata Rafel sekarang. "Ada aja alasannya, kamu!" Wanita itu menatap Rafel dengan tampang garang. "Pokoknya Mama nggak mau tau. Kurang dari seminggu, kalau kamu nggak juga bawa minimal pacar ke rumah, Mama jodohkan kamu dengan Celine!"
Sial! Rafel mengumpat dalam benak, ketika nama iblis itu disebutkan. "Ma!" Rafel berteriak protes. "Demi Tuhan, Rafel nggak bakal pernah mau nikah sama perempuan gila itu!"
"Terserah," ujar Fina santai. "Pilihannya cuma itu. Kalau kamu gagal membawa pacarmu ke rumah, risikonya kamu harus menikah sama Celine. Atau ...."
Rafel menunggu apa yang akan dikatakan sang ibu dengan harap-harap cemas. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang begitu saja. Khawatir jika ibunya malah memberikan pilihan yang jauh lebih sulit. Seperti misalnya ... menikahkan dia dengan janda yang tinggal di samping rumah, begitu? Bisa berabe.
Fina kemudian melanjutkan kata-katanya dengan wajah yang terlihat seperti ibu tiri. "Mama bakal minta sama Papamu, untuk membuat LovasMart hancur. Mau?"
"Ma, Papa bukan pahlawan super yang bisa bikin hancur gedung—"
"Kamu bisa nggak sih, diam aja? Mama minta kamu bawa calon istri ke rumah. Bukan protes terus!" Rafel terdiam seketika. Kata-katanya tergantung di udara, sambil berusaha meneguk saliva susah payah. "Ingat, waktunya satu Minggu. Awas aja kamu enggak nurut kata-kata Mama. Mama pecat jadi anak, mau?!"
Sebenarnya, Rafel bukan lagi anak SD yang takut akan ancaman 'pecat jadi anak' seperti itu. Akan tetapi, mengenai ancaman sang ibu yang tadi, perihal 'menghancurkan LovasMart', Rafel yakin jika hal itu tak mungkin hanya sekadar ancaman belaka. Terlebih lagi, sang ibu langsung meninggalkan Rafel begitu saja tanpa pamit pulang atau basa-basi minta diantarkan sampai ke rumah. Benar-benar keluar begitu saja dengan bunyi ketukan alas kaki dan lantai yang begitu khas.
Rafel menghela napas panjang, sembari mendudukkan bokongnya di atas kursi putar di balik meja, tempatnya biasa bekerja. Memijat pangkal hidung yang terasa berdenyut. Kepalanya telanjur pusing akibat perkataan beserta ancaman dari sang ibu. Ia memejamkan mata, sambil mengingat-ingat sudah sejauh mana ia melangkah saat ini. Namun, hal itu malah membuat dia merasa semakin pusing.
Lelaki itu mulanya berniat meninggalkan ruang kerja yang berada di dalam minimarket miliknya. Akan tetapi, ketika pintu ruangannya diketuk dari luar, Rafel segera mengurungkan niat. "Masuk," titahnya setelah suara ketukan itu berhenti.
Dahi Rafel mengernyit samar, saat salah seorang karyawan minimarketnya datang menemuinya di ruangan khusus di mana ia bekerja, bahkan ... ya, bisa dibilang hampir sepanjang harinya menghabiskan waktu di dalam sana.
"Siang, Pak," sapa karyawannya itu dengan ramah. Rafel mengangguk sebagai jawaban.
"Duduk," titahnya yang langsung dilakukan oleh karyawannya itu. "Ada perlu apa, Fatira?"
Fatira diam sebentar, memperhatikan sang atasan yang ia kenal sebagai sosok yang tidak suka basa-basi sama sekali. Jadi, sebisa mungkin Fatira harus mengatakannya dengan jelas, tanpa harus membuang waktu terlalu lama. "Jadi begini, Pak." Fatira berdeham sekali, sembari meremas kedua tangannya satu sama lain karena gugup. "Saya ... ingin berhenti bekerja, Pak."
Mendengar apa yang Fatira katakan, membuat dahi Rafel seketika berkerut karenanya. "Lho, kenapa?" tanya lelaki itu. Matanya sesekali menatap ke arah layar komputer yang menyala di hadapan, lalu kembali memperhatikan Fatira dengan serius. "Tidak betah, ya?"
Skak mat. Sebenarnya kalau boleh jujur, itulah yang ingin Fatira katakan. Akan tetapi, ia tidak memiliki keberanian untuk berbicara kurang ajar seperti itu. Bisa-bisa, ia tidak mendapat uang pesangon, deh. "Bukan gitu, Pak, bukan." Fatira berusaha meyakinkan atasannya itu, agar tidak salah paham dan membuat ia berada di posisi yang kurang menguntungkan.
"Lalu?" Dari nada bicaranya, Fatira dapat menyimpulkan jika sang atasan mulai terganggu dengan dirinya yang terlalu bertele-tele. Padahal, ia sudah mewanti-wanti dirinya sendiri agar tidak seperti ini tadi, tetapi sayangnya telanjur gagal duluan ketika berhadapan dengan atasannya itu.
"S-saya diminta orang tua buat kembali ke kampung, Pak," jawab Fatira kemudian.
"Kamu bisa ambil cuti," ujar Rafel dengan nada santai. Matanya kali ini fokus menatap layar di hadapan, sementara telinganya masih mendengarkan sang lawan bicara. "Sayang lho, kalau kamu mau berhenti bekerja."
"T-tapi Pak ...." Fatira sedikit gugup. Takut rencana resign-nya hari ini gagal, seperti yang terjadi kepada rekan-rekan seperjuangan—yang juga bekerja di LovasMart. "Orang tua saya bilang, mereka mau menjodohkan saya dengan anak juragan kampung sebelah, Pak."
Kedua alis Rafel kemudian naik ke atas. Ia menatap Fatira sejenak, kemudian mengangguk-angguk. "Ya sudah kalau begitu," ujarnya. "Jangan lupa undang saya ya, nanti."
Fatira sontak membulatkan matanya tak percaya. Padahal, ia hanya mengarang cerita saja soal perjodohan itu. Lagi pula, siapa sih yang mau dijodoh-jodohkan seperti itu di zaman semodern ini? Ia hanya membuat alasan begitu, sebab ia mulai tidak betah bekerja di LovasMart dan kebetulan sudah menemukan pekerjaan baru yang letaknya tak jauh dari indekosnya.Akan tetapi, ya sudahlah. Sudah terlanjur basah, Fatira tidak mau mengelak lagi. Daripada rencananya untuk resign jadi batal, bukan?
"J-jadi gimana, Pak?" tanya Fatira. "Saya boleh resign dari LovasMart, 'kan?"
Terdengar helaan napas pendek dari Rafel, membuat Fatira meneguk salivanya takut-takut. "Ya, tentu saja. Toh itu sudah jadi pilihan kamu," ujar Rafel kemudian. "Kamu boleh pulang hari ini. Untuk uang pesangon, nanti siang saya transfer."
Fatira jelas tersenyum senang mendengar apa yang sang atasan katakan. Sepengetahuannya, Pak Rafel bukan termasuk orang yang pelit untuk urusan gaji, sih. Hanya kelakuannya saja yang kadang menyebalkan. Iya, menyebalkan. Bos mana lagi yang rasanya sama seperti karyawan kalau bukan Pak Rafel ini? Membuat para karyawan LovasMart terkadang malas jika sang atasan selalu ikut bergabung untuk melayani pelanggan atau sekadar merapikan barang-barang yang dijual. Risih saja rasanya, karena merasa diawasi secara tidak langsung.
"Baik, Pak. Terima kasih." Fatira berdiri, kemudian membungkukkan badannya seperti orang-orang dari negeri tetangga. Efek terlalu banyak menonton drama dari Negeri Ginseng, membuatnya jadi terbawa-bawa budaya sana. "Saya permisi dulu, Pak. Semoga LovasMart semakin berjaya dan banyak cabangnya."
Rafel mengangguk-angguk, membiarkan Fatira berjalan menuju pintu, sebelum akhirnya terpikirkan sesuatu. "Fatira."
Gadis yang baru saja akan melangkah keluar itu, kembali membalik tubuh. "Iya, Pak?" tanyanya. Ia sudah agak ketar-ketir, takut kebohongannya soal 'berhenti bekerja karena dijodohkan' itu terbongkar.
"Tolong carikan karyawan baru yang bisa menggantikanmu bekerja, ya. Kalau bisa, hari ini atau besok sudah ada orangnya."
Sudah. Seperti itu saja, tetapi berhasil membuat Fatira sedikit jengkel karenanya. Astaga, ini orang nggak mau rugi banget, ya ampun! gerutu gadis itu dalam benak, sebelum akhirnya tersenyum tak nyaman. "Baik, Pak. Saya permisi."
Sementara itu, sepeninggal Fatira, Rafel yang awalnya menatap layar komputernya sembari mengerjakan sesuatu—tentunya berhubungan dengan kelangsungan hidup minimarket yang ia kelola, tiba-tiba berpikir acak, Fatira kok mau-mau saja, ya, dijodohkan seperti itu?
Iya, Rafel bingung sekarang. Apakah semua perempuan akan begitu? Terima-terima saja ketika dijodohkan, eh? Apakah mereka tidak punya niat untuk menolak?
LOVASHIP
040421
#ANFIGHT8
btw, HAPPY BIRTHDAY, Panjang :')
#PanjangDay!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top