18. Hamlet

"Kalian sadar apa yang sudah kalian lakukan?!" Suara hardikan keras, diikuti ekspresi galak yang luar biasa itu keluar dari Mrs. Harper, sang pengawas ruang detensi yang jauh-jauh datang ke kota untuk menjemput kelima anak yang dihukum.

Ia datang bersama Mr. Smith dengan bus kuning sekolah yang juga mengantarkan mereka sebulan yang lalu. Sayangnya, yang datang ke sana bukan hanya Mr. Smith dan Mrs. Harper. Satu mobil lain mengikuti mereka. Mobil sedan hitam mewah milik Kepala Sekolah Akademi Diora, Professor Ethan Grayson. Bersamanya, Profesor Lily, pengajar yang memiliki kemampuan restorasi, turut datang untuk memperbaiki panggung dengan kekuatannya. Dalam beberapa menit saja, panggung yang rusak sudah berhasil diperbaiki berkat kemampuan sihir Profesor Lily. Meski begitu, kemarahan terhadap lima anak bermasalah itu tetap tidak terbendung.

Noel dan keempat temannya kedapatan merusak panggung saat tengah malam. Rupanya jurus karate Kayla tidak sekuat sebelumnya. Mungkin karena ia sudah kehilangan kekuatan sehingga kemampuan pukulannya pun melemah. Begitu terbangun dari pingsan, satpam tersebut langsung mengecek CCTV dan mendapati lima anak berkumpul di depan panggung yang sudah hancur. Sontak ia pun menghubungi pihak berwajib dan masalah pun melebar hingga melibatkan kepala sekolah mereka yang datang untuk meminta maaf.

"Apa kalian tidak mendengarkanku? Benar-benar memalukan. Bagaimana bisa kalian mengacaukan semuanya di hari terakhir hukuman kalian? Aku sampai kehilangan kata-kata. Jangan harap kalian bisa lolos setelah ini," gertak Mrs. Harper dengan amarah yang membara.

Noel dan keempat temannya hanya tertunduk muram. Sekeras apa pun mereka berusaha menjelaskan, tidak ada satu pun yang percaya. Padahal Noel sudah mencoba berbicara pada Mrs. Harper, tetapi perempuan paruh baya itu sama sekali tidak memberinya jeda untuk menjelaskan.

"Jangan terlalu keras pada mereka, Mrs. Harper. Melalui rekaman CCTV semalam, rangka besi itu ambruk dengan sendirinya. Bukan karena kesalahan mereka. Syukurlah tidak ada yang terluka." Profesor Grayson, sang kepala sekolah, datang menghampiri mereka.

"Tapi ngomong-ngomong kenapa kalian menyelinap ke panggung malam-malam. Jangan bilang kalian punya rencana diam-diam untuk tampil di acara pembukaan Gedung Opera?" tanya Profesor Grayson beralih pada anak-anak.

"Bukan begitu, Profesor. Kami sedang mencari Phantom. Gedung ini dihuni oleh sesosok Phantom jahat yang mencelakai banyak orang. Beberapa pekerja sebelumnya terluka dan mengalami kecelakaan gara-gara phantom tersebut. Bahkan Oscar pun menjadi korban. Karena itu kami khawatir kalau Phantom itu akan kembali berulah saat pertunjukan," terang Noel panjang lebar.

"Dan rangka besi yang jatuh semalam! Itu juga perbuatan Phantom. Oscar melihatnya sendiri, benar kan?" sergah Seth sembari menoleh ke arah Oscar.

Oscar hanya mengangguk pelan. "Benar. Saya memang melihatnya," gumamnya pendek.

"Jangan mempercayai mereka, Profesor. Anak-anak nakal ini memang pintar sekali mencari alasan," sahut Mrs. Harper keras.

Profesor Grayson tampak menarik napas panjang. Ia mempertimbangkan kata-kata muridnya dengan seksama. Meski sekarang kekuatan mereka sudah kembali, tetapi semalam mereka hanyalah anak biasa yang bisa terluka karena kecelakaan di panggung. Tentu hal itu bukanlah sesuatu yang mereka lakukan dengan sengaja. Karenanya, sang Kepala Sekolah pun akhirnya memutuskan untuk mengulur waktu.

"Baiklah. Kalau begitu, ayo kita tonton saja acaranya sampai selesai. Toh kita sudah terlanjur berada di sini. Pihak penyelenggara juga sudah mempersilakan kita untuk ikut meramaikan acara ini. Mereka bahkan menyiapkan kursi VIP untuk kita," ucar Profesor Grayson sembari mengangkat berlembar-lembar tiket opera di tangannya.

Wajah muram kelima anak itu pun berubah cerah. Rasanya melegakan ketika akhirnya ada orang dewasa yang mau mempercayai mereka. Selain itu, dengan adanya dua Profesor kuat dari Akaedemi, ditambah Mr. Smith dan Mrs. Harper bersama mereka, Phantom itu pasti bisa diatasi dengan lebih mudah. Kemampuan anak-anak juga sudah kembali. Mereka bisa menangkap Phantom tersebut dengan mudah sekarang.

Tak lama kemudian, setelah panggung selesai diperbaiki dengan sempurna oleh Profesor Lily, pertunjukan pun segera dimulai. Noel serta rombongannya duduk di area balkon lantai dua, lokasi paling strategis untuk menonton pertunjukan. Tempat khusus bagi para tamu VIP. Tidak mengherankan memang, karena sang kepala sekolah sendiri yang hadir di tempat itu.

Tidak ada kejadian aneh selama menit-menit awal acara dimulai. Pertunjukan paduan suara, bahkan orkestra musik dengan piano berlangsung dengan baik. Ribuan penonton duduk dengan khidman memenuhi aula tersebut. Sepertinya hampir seluruh penduduk kota datang ke sana untuk menonton pertunjukan yang sudah vakum selama dua puluh tahun lamanya. Tentu saja acara tersebut menyedot banyak perhatian, terlebih dengan beragam mitos dan urband legend yang menyertai.

Mata Noel terus awas memperhatikan seluruh area pementasan. Phantom itu bisa muncul sewaktu-waktu. Bahkan Noel yakin bahwa makhluk tersebut kini pasti sudah bersiap untuk melancarkan aksinya. Namun, sejauh ini belum ada tanda-tanda kemunculan sang Phantom.

Hingga akhirnya, pertunjukan drama musical pun dimulai. Para pemain itu memainkan lakon Hamlet. Kisah karya Shakespeare tentang Raja Denmark yang meninggal karena pengkhianatan istrinya dengan saudaranya sendiri. Arwah sang raja tersebut lantas menghantui istana kerajaan dan bersumpah untuk membalas dendam.

"Dari semua naskah kenapa mereka memilih yang begitu tragis untuk acara semacam ini," celetuk Kayla yang duduk di sebelah Noel.

Noel mendengkus pelan. "Kau suka sekali bersikap sarkastik, Kayla Davis," sahut pemuda itu.

"Memang benar, kan. Mereka seolah-olah sengaja mementaskan drama ini untuk memanggil arwah pendendam. Aku curiga kedatangan phantom ini juga akan dipicu oleh kisah Hamlet," lanjut Kayla.

Mendadak gadis itu terdiam. Ia pun menatap Noel dengan ekspresi shock. Noel balas menatapnya dengan mata terbelalak. Kalimat yang barusan diucapkan oleh Kayla itu memicu kesimpulan yang langsung dipahami oleh mereka berdua.

"Drama itu. Semua tokohnya mati dalam drama Hamlet," tukas Kayla ngeri.

Belum sampai Noel membalas ucapan Kayla, mendadak suara teriakan keras terdengar dari panggung.

"Mati! Dia mati! Itu pedang sungguhan!" teriak salah satu tokoh pria yang sedang memerankan adegan duel di panggung. Di hadapannya, seorang pria lain jatuh terkulai dengan sebilah pedang menancap di dadanya. Darah menyembur dari tubuhnya hingga menggenangi lantai.

Sontak Noel dan rekan-rekannya pun berdiri untuk bisa melihat lebih jelas. Suara pengunjung yang saling berbisik mengomentari ucapan pemeran drama tadi memenuhi aula. Mereka yakin bahwa kalimat itu pasti bukan bagian dari naskah, tetapi tidak ada satu pun yang cukup paham maksudnya.

Beberapa detik kemudian, seluruh aula tersebut mendadak dilingkupi oleh kegelapan. Suara gemuruh terdengar dari langit-langit, disusul oleh rambatan aliran listrik yang membuat beberapa sisi plafon berjatuhan. Para penonton mulai berteriak panik dan berusaha keluar dari sana. Akan tetapi ruangan itu terkunci dari luar dan tidak ada satu pun yang bisa dibuka.

Pada puncaknya, panggung tempat pemetasan diadakan menyala terang benderang. Sang pemeran Hamlet, seorang pria berambut pirang dengan kostum bangsawan eropa kuno, berdiri di hadapan khalayak sembari membawa pedang berlumur darah. Wajahnya menampilkan ekspresi mengerikan dengan kedua mata hitam pekat, sama sekali tidak menyisakan bagian putih. Ia berkata dengan suara parau yang mengerikan.

"Aku akan membunuh semuanya."

Detik berikutnya, suara teriakan panik para penonton pecah membahana memenuhi aula. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top