kanae ; dalam ruang dan waktu

Matanya, senyumnya, suaranya, semuanya masih sama. Tingginya juga tidak berubah, sebab kamu masih perlu sedikit mendongak untuk mempertemukan pandanganmu dengan miliknya. Yang membuatnya terlihat berbeda hanyalah model pakaian dan tatanan rambutnya yang baru. Juga caranya memandangmu dengan tatapan ramah yang ditujukan kepada orang asing yang baru dikenal.

Baginya, ini adalah pertama kalinya kalian bertemu.

"Namaku Kanae, salam kenal."

***

Pada impresi pertama, orang-orang akan menganggapnya menakutkan. Sebab dia sangat baik dalam segala hal, hingga tidak ada celah padanya untuk ditandingi orang lain. Itu juga pernah terjadi padamu, dulu sekali. Tapi semakin lama mengenalnya, kamu melihat sisi lain pemuda itu yang tidak semua orang tahu; bahwa dia tidak sesempurna yang terlihat.

Pada dasarnya, dia hanya seorang anak manusia. Lahir sebagai bayi yang suci nan menggemaskan, dikelilingi kasih sayang dan cinta dua orang tua yang membesarkannya. Dia juga punya masa di mana dia menangis karena jatuh ketika pertama kali belajar menaiki sepeda, juga bahagia ketika meniup lilin di atas kue ulang tahunnya. Dia belajar dan bekerja keras untuk mendapat gulungan tanda kelulusan pada hari di mana kelopak-kelopak sakura mekar dan berguguran.

Bukti-bukti itu tercetak dalam sebingkai foto di atas rak meja, bersebelahan dengan tumpukan kotak playstation seri lama yang sudah jarang digunakan.

"Apa ini sudah semuanya?"

Kamu mengerjap, seketika tersentak dari lamunan. Pemuda itu melongok dari balik pintu, membuat pandanganmu teralihkan dari bingkai-bingkai foto. Atas pertanyaannya, kamu mengangguk. Setelahnya kamu mendekati lelaki bersurai cokelat ke satu-satunya ruang kamar dalam unit apartemen yang tak sebegitu luas, tapi cukup untuk ditinggali dua orang.

Hanya satu koper dan satu kotak kardus yang kamu bawa, namun lebih dari cukup untuk mengepak apa yang dibutuhkan. Berdua, kamu dan Kanae mengeluarkan barang-barang milikmu dan menatanya. Buku-buku, sepatu, sikat gigi, perangkat gawai, dan beberapa pasang pakaian.

Mulai hari ini, kamu akan tinggal bersama pemuda itu.

Bayangan akan rencana tinggal itu sudah lama membuatmu merasa senang. Tidak hanya memutus jarak yang selama ini ada di antaramu dan Kanae, mulai sekarang kamu juga bisa mengawasi pola hidup pemuda itu yang nyaris kacau balau. Sebagai seorang streamer lepas, Kanae selalu sibuk di depan layar monitor tanpa ingat waktu. Kalau diingat-ingat lagi, itu juga salah satu alasan kenapa kamu memutuskan untuk menjadi kekasihnya; untuk menjaganya.

Ah, andai aku lakukan ini sejak dulu ... kedua matamu menerawang jauh.

"Ada apa?" Sebuah sentuhan di bahu membuatmu menoleh, mendapati perhatian Kanae sepenuhnya terarah padamu. "Ada yang tertinggal?"

Dengan senyum tipis, kamu menggeleng. "Tidak ada, kok."

"Benar? Kamu tiba-tiba diam, aku pikir kamu melupakan sesuatu."

"Aku ..." ucapmu, diikuti jeda menyusun serangkai kata-kata dalam benak, "... memang melupakan sesuatu. Aku belum makan siang."

Kalau pembuat alasan paling handal sedunia punya gelar, mungkin kamu sudah menyandang nomor satu. Alasan itu terdengar normal, bahkan cukup untuk mengundang senyum di bibir Kanae yang sekarang hampir melepas tawa.

"Aa~ah, kamu selalu cerewet kepadaku agar tidak melewatkan makan. Lihat siapa yang perlu diingatkan sekarang."

Mendengar caranya tertawa dan nada sindiran pada kalimatnya yang familier, kamu tersenyum. Banyak hal yang tidak lagi sama, tapi pemuda yang tengah berada di depanmu itu adalah pemuda yang kamu kenal, dan karenanya, kamu menghela napas lega.

"Boleh aku pakai dapurmu?"

"Kamu bicara seolah tidak pernah mengobrak-abrik dapurku sebelumnya."

Kamu tertawa mendengar jawaban itu. Ucapannya benar. Ini bukan pertama kalinya, malahan mungkin sudah beberapa kali kamu menginap dan menjadikan rumah Kanae sebagai tujuan pulang. Meskipun sebenenarnya, lebih dari yang Kanae tahu, kamu sudah kehilangan hitung yang entah keberapa kali.

Lagipula, kamu sudah mengenalnya sejak sangat lama.

"Kamu juga belum makan siang kan? Aku buatkan omurice, ya."

"Omurice?"

"Kamu suka, 'kan?"

"Aku tidak ingat pernah memberitahumu."

Kamu hanya tersenyum sambil melihat wajah heran Kanae.

"Tentu saja aku tahu."

Tentu saja kamu tahu. Sebab kamu sudah mengenalnya sejak lama, lama sekali, jauh sebelum Kanae menyadarinya.

***

"Kenapa ke sini?"

Kamu menoleh pada pemuda yang sedang berpangku tangan, duduk di undakan yang tersusun dari bata. Undakan itu membuka jalan menaiki bukit, yang apabila ditelusuri, maka akan sampai pada sebuah bangunan megah bergaya klasik dengan ornamen kaca. Bangunan itu selalu sepi, tapi kamu tidak pernah lupa berkunjung di akhir pekan.

"Tentu saja untuk berdoa, 'kan?" Kamu ikut duduk di sisi Kanae, di sebelah semak bertabur bunga kecil-kecil. Dari ketinggian bukit itu, bentang pemandangan pinggiran kota terlihat, dengan pucuk atap-atap rumah dibasuh sinar keemasan matahari terbit. "Dulu aku pernah tinggal bersama keluarga yang religius, mungkin karena itu akhirnya jadi kebiasaan."

Kanae sontak menoleh. "Aku baru tahu."

"Iya, aku baru menceritakannya. Itu sudah lama sekali. Kalau aku tidak datang ke sini setiap Minggu, mungkin aku akan lupa."

"Itu bagus bagimu," ucap pemuda itu, melempar pandang ke arah lain. Kedua manik abunya menerawang jauh. "Aku tidak bisa ingat apa yang terjadi di masa lalu. Orang-orang selalu bilang betapa pelupanya aku."

Kamu tertawa kecil. "Tapi, Kanae memang sangat pelupa, ya."

"Mungkin aku akan ingat kalau punya kebiasaan berdoa sepertimu."

Obrolan itu, seperti biasa, mengalir sebagai obrolan serius setengah bercanda. Tapi, kata-kata Kanae barusan membuatmu sadar kamu tidak pernah melihatnya berdoa, kecuali di kuil pada perayaan tahun baru.

"Kanae, kamu beragama Buddha?" tanyamu, seketika disambut tatapan heran Kanae sampai sebelah alisnya terangkat. "Ah ... bukan?"

Pemuda itu menatapmu lamat-lamat sebelum pandangannya jatuh menekuri tanah. Sejenak sebelum bicara, sebuah helaan napas lepas dari celah bibirnya.

"Aku tidak percaya Tuhan."

Cahaya matahari sudah mencapai tempatmu dan Kanae duduk bersisian, membentuk bayangan dua pasang insan kian memanjang ke Barat. Kamu melirik, memperhatikan bagaimana cahaya pagi menerpa sisi wajah pemuda itu. Helai-helai rambutnya sedikit menghalangi, tapi kamu bisa melihat ekspresi kosong sedikit sendu itu-yang jarang dia tunjukkan.

"Bagaimana mengatakannya, ya? Daripada kepada Tuhan, aku lebih percaya diriku sendiri," sambungnya.

Jawaban itu bukan yang kamu duga, tapi juga bukan jawaban yang mengejutkanmu. Malahan, mendengarnya membuat ingatan serasa terbang ke masa lalu, ke waktu di mana kamu pernah mendengar hal yang sama. Apa ini namanya? Nostalgia?

"Pemikiranmu masih sama saja, ya," ujarmu, menorehkan senyum hangat. "Padahal kamu seorang pastor."

Seringan hawa sejuk pagi itu, Kanae mendenguskan napas geli. "Mana mungkin aku seorang pastor, dari mana kamu dapat skenario begitu?"

"Aah, padahal kita bertemu di sini."

"Di sini?"

"Iya. Gereja ini." Kamu mengangguk sementara Kanae kembali memusatkan perhatiannya padamu, sungguh-sungguh mendengarkan. "Lalu kamu memberkatiku."

"Memangnya ada pastor yang tidak percaya Tuhan?"

"Ada. Makanya kemudian dia dihukum mati."

"Eh. Dramatis sekali."

"Iya, 'kan?"

Tak lama kemudian, setelah menghela napas tipis, kamu beranjak dari duduk. "Saatnya pulang, yuk."

"Kenapa akhirnya selalu tragis seperti itu?" tanya Kanae yang terpaut dua langkah di belakang, sembari mengikutimu menuruni anak tangga. "Terakhir kali, kamu juga cerita tentang ksatria yang mati dilalap api kerajaannya yang terbakar."

Bagi Kanae, cerita-cerita semacam ini tak ubahnya naskah panjang sebuah dongeng karangan kekasihnya.

Di puncak bangunan gereja, lonceng berdentang, menggema di udara hingga ke langit, menerbangkan sekumpulan burung yang bertengger di atap. Langkahmu terhenti, sementara kamu berbalik dan menoleh pada Kanae dengan senyuman masih setia terukir di wajah.

"Manusia itu memang ditakdirkan untuk mati, 'kan?"

***

Malam ini akan jadi malam yang panjang, pikirmu sambil membenahi posisi badan di atas kasur yang kesekian kali, pelan-pelan, berusaha tidak mengganggu pemuda yang juga berbaring di sampingmu.

Tidak seperti malam-malam sebelumnya, kali itu, bagimanapun posisi berbaring dan selama apapun menutup mata, kamu tetap terjaga. Padahal kasurnya terasa nyaman, dan kamu berada dalam kamar yang setiap sudutnya familier. Tapi hening dan gelapnya langit-langit terasa mengganggu. Bahkan detik jam di sudut ruangan terasa merasuki pikiran dan bergema dalam kepala.

Kamu tidak bisa tidur.

Kepalamu menoleh ke sisi, di mana seorang pemuda berbaring terlentang, dengan posisi kedua tangan di atas selimut. Kedua matanya menutup dan ekspresi wajahnya terlihat sangat damai. Melihatnya mengingatkanmu pada orang meninggal dalam peti mati.

"Kanakana, kamu tidur?"

"Tidak."

"Bicara, yuk?"

Kamu memposisikan badanmu menghadap ke sisiーkepada Kanae, begitu pemuda itu membuka kedua matanya dan menoleh.

Ini jelas bukan pertama kalinya kamu mendadak membuka obrolan pada waktu tengah malam. Kanae nyaris tidak pernah sungguhan tertidur. Pemuda itu sedikit kacau dalam menjalani hidupnya. Jika kamu tidak tinggal bersamanya, mungkin sekarang dia masih duduk di hadapan layar monitor, memainkan permainan first person shooter hingga pagi menjelang. Sebagai gantinya, kamu dan Kanae saling berhadap-hadapan di atas kasur, berbincang dengan volume suara terkecil, nyaris seperti berbisik.

"Aku kepikiran tentang ini beberapa kali ... kamu suka mati dengan cara apa?"

Pertanyaan itu agaknya tidak disangka, sebab Kanae seketika mengerjap heran. Tapi wajah kekasihnya itu menunjukkan bahwa dia sungguhan bertanya. Kanae tahu, gadis di depannya itu suka kisah-kisah tragis yang berkaitan dengan kematian, tapi baru kali ini dia ditanya mengenai pendapatnya sendiri, bukan sebagai tokoh dalam ceritanya.

"Aku tidak akan mati. Kamu 'kan melarangku."

Benar, pikirmu, menjeda sebelum mengoreksi pertanyaanmu, "Maksudku, kalau kamu bisa memilih bagaimana kamu akan mati, kamu mau yang bagaimana?"

"Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan itu? Kamu menakutkanku, tahu."

Nada bicara Kanae yang sedikit merajuk mebuatmu terdiam sejenak.

"Maaf, aku penasaran."

Dalam kata maaf itu, sama sekali tidak terdengar penyesalan, dan kedua mata [e/c] masih menatap lekat-lekat pada lawan bicara. Kanae tahu itu artinya kamu masih butuh jawabanmu.

"Bunuh diri," jawab pemuda itu akhirnya, mengalah pada tatapan polos yang penuh rasa ingin tahu. Begitu sorot tatapan itu berganti keterkejutan mendengar jawabannya, dia buru-buru menambahkan, "Soalnya, mati kecelakaan atau dibunuh itu mengerikan, bukan? Daripada begitu, lebih baik aku membunuh diriku sendiri."

"Maksudmu, kamu mau bilang, 'tidak ada yang bisa membunuhku selain diriku sendiri'? Benar-benar seperti Kanae."

"Tepat sekali."

Melihatmu terseyum menahan tawa, pemuda itu mau tak mau ikut tersenyum.

Hanya dengan obrolan kecil itu, selimut yang membalut tubuhmu dan bantal yang membenamkan sebagian wajahmu terasa sangat nyaman. Malam menjadi sedikit lebih bisa dilalui sementara kamu menutup kedua mata.

***

Bagimu yang telah menyaksikannya berkali-kali, kematian bukan lagi hal yang sulit diterima akal. Berita kematian tidak lagi mengejutkan, mungkin karena sedari awal kamu telah menduga saatnya akan datang. Namun, meskipun begitu, rasa kehilangannya tetap sama menyakitkannya.

Semua ini adalah hukuman, entah atas dosa apa yang telah kamu perbuat.

"Ingat untuk berhati-hati," katamu, sembari kedua tangan membenahi tatanan rambut cokelat pemuda di hadapanmu. Dalam posisinya yang menunduk sedikit membungkukーmembiarkanmu meraih puncak kepalanya dengan mudahーkamu bisa mendengar dengusannya.

"Kamu berlebihan. Umurku 23, aku bisa menjaga diriku sendiri, kamu tahu."

Kanae mengangkat wajahnya dan pandanganmu dengan sepasang manik abunya bertemu. Dilihat dari dekat, wajah itu selalu sama; begitu rupawan. Memperhatikannya seperti ini seolah memancing sepotong kenangan lama, yang entah kenapa membuat rongga dadamu seakan dihimpit dan napasmu tercekat. Kamu memutuskan untuk menghindari tatapannya dengan melirik ke arah lain.

"Yah, kita tidak pernah tahu. Lagipula kalau kamu mati, aku yang kerepotan."

Padahal kamu berbicara serius, tapi tawa Kanae berderai. Pemuda itu meletakkan telapak tangannya di dahimu dan menyentaknya pelan. "Bodoh."

Selanjutnya, kamu memperhatikan punggungnya mendekati pintu di ujung lorong. Tampaknya dari belakang masih sama seperti terakhir kali kamu ingat. Tingginya tidak berubah. Tatanan rambut cokelatnya terikat rapi, jatuh di bahu. Dia mengenakan pakaian santai bercorak abu gelap yang akhir-akhir ini menjadi kesukaannya.

Ini bukan pertama kalinya kamu melepas pemuda itu pergi keluar, tapi kamu selalu berharap tidak akan pernah lupa bagaimana dia menoleh ke belakang dengan senyum lembutnya, berkata, "Aku berangkat."

Dan setelah pintu tertutup, apartemen itu lengang. Menyisakan seorang gadis berdiri mematung di tengah ruangan sambil menatap udara kosong.

Tidak ada banyak urusan yang tersisa begitu hari menjelang siang. Kamu hanya berkali-kali mendekati jendela, memeriksa langit. Warnanya masih biru cerah, tidak ada pertanda buruk.

Ini hampir tahun keduaratus ...

Jika diberi pilihan, mungkin kamu juga akan memilih untuk mati, sekalipun nantinya harus menjalani kehidupan kedua. Katanya, terlahir kembali adalah kutukan; sebuah hukuman atas dosa seseorang di masa lampau. Tapi, jika bisa melupakan masa lalu itu, bukankah itu adalah kesempatan untuk mengulang hidup dari nol?

Mungkin, itulah kenapa hidupmu adalah mimpi buruk. Sebab sampai sekarang, kamu masih mengingat banyak hal.

Menghela napas, kamu menjatuhkan diri ke atas sofa dan menyalakan televisi; benda yang keberadaannya hanya untuk melengkapi furnitur ruang tengah-nyaris tidak pernah dinyalakan. Layarnya menampakkan pembawa acara yang membawakan berita terkini.

"... Akasaka, Minato-ku, kecelakaan terjadi di mana sebuah truk diduga hilang kendali ..."

Ah, padahal kamu berencana memberinya kejutan.

"... korban yaitu seorang pemuda yang berdiri di dekat halte ..."

Katanya, terlahir kembali adalah kutukan. Tapi sesungguhnya, siapa yang dikutuk?

***

Dunia ini adalah tempat yang aneh. Bertahun-tahun kamu menjalani hari-hari yang sama dengan cara hidup yang sama. Layaknya pengembara yang kehilangan rumah, kamu melangkah tanpa arah, mencari-cari tujuan dan berusaha mempertahankannya. Untuk seseorang yang sudah hidup cukup lama, kamu sudah banyak menyaksikan kejadian dan perubahan seiring berjalannya waktu, orang-orang datang dan pergi. Namun kamu masih sama; penuh penyesalan akan kenangan di masa lalu.

Sebenarnya, kamu juga lupa akan banyak hal, tapi kamu berusaha keras mengingat yang penting bagimu. Sebab, tidak ada lagi yang akan mengingatnya selain dirimu. Kalau begitu, maka kenangan itu akan hilang.

Kamu tidak tahu kapan semua ini akan usai, pun tidak punya tujuan lain selain mengikuti arahan takdir. Yang kamu tahu, suatu saat kamu akan bertemu dengannya lagi.

Jadi, kamu terus melangkah. Di sebuah jalan besar yang ramai akan lalu lalang manusia. Menyusuri setiap gang seperti mencari setiap kemungkinan yang ada. Bertemu dan bergaul dengan orang lain hingga kesempatan itu kian terbuka lebar.

Dalam ruang dan waktu yang berlangsung, manusia saling terhubung. Kita berjalan di atas jalur yang bersinggungan, saling tumpang tindih satu sama lain.

Jika waktu yang tepat tiba, jalur lintasanmu akan membawamu bertemu dengannya kembali.

Mungkin di tengah persimpangan jalan, atau di suatu sudut pusat pertokoan.

Kamu akan menemukannya di sana, dengan tatanan rambut yang baru dan gaya pakaian berbeda. Tapi matanya, senyumnya, suaranya, semuanya masih sama. Tingginya juga tidak banyak berubah mengingat bagaimana kamu harus sedikit mendongak untuk mempertemukan pandanganmu dengannya.

Kalian akan saling membungkuk satu sama lain layaknya sepasang orang asing.

Dia akan tersenyum ramah dan berkata, "Namaku Kanae, salam kenal."

[Fin.]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top