kagami hayato ; seiring berjalan

Pojok itu terlampau sunyi untuk sebuah pesta yang digelar di bawah cahaya lampu-lampu yang menjuntai di antara tiang-tiang kayuーcukup untuk menerangi meja-meja panjang di tengah taman berhias rangkaian bebungaan, dengan segala jamuan yang terbentang di atasnya, dan gelas-gelas kaca yang diisi tidak sampai separuh minuman anggur dari botol berlabel tahun tuaーtapi kamu tidak peduli untuk pindah dari tempat yang jauh dari musik dan gelak tawa orang-orang yang berkumpul di bawah cahaya. Setidaknya, kamu punya segelas anggur yang belum setetes pun diteguk di sela jemari tangan, hanya untuk diayun-ayun dengan gerakan memutar.

Di hari-hari lain, alasanmu pergi ke tempat yang menjadi sumber keramaian hanya untuk hal pokok saja; misalnya kerja. Tapi, di sini, meski pesta makan malam adalah bagian esensial dari sebuah perjalanan bisnis, kamu enggan menyebutnya pekerjaan. Pesta adalah pesta. Acara sosialisasi. Sarana buang-buang energi dan waktu. Lagipula, tidak salah kalau acara ini bukan dinilai pekerjaan. Setidaknya, memang bukan pekerjaanmu; melainkan pria tinggi berkemeja hitam di sana--yang sibuk berbincang dengan beberapa orang di meja makan.

Kemeja hitam itu, yang kamu tidak sengaja temukan beberapa waktu lalu saat melewati etalase Calvin Klein sekali waktu itu ketika jalan-jalan ke Kanada, membalut badan tinggi nan tegapnya dengan sempurna, persis seperti bayanganmu saat memutuskan untuk membelinya. Pacarmu yang tampan sekali. Kalau bukan karena mood yang hancur lebur sejak pertama kali mendarat di bandara pagi hari ini, mungkin kamu sedang memandanginya dengan penuh kekaguman.

Seolah sadar akan tatapanmu, pria itu menoleh ke arahmu sebelum menghampirimu. Kamu pasang muka cemberut, protes karena ditinggal sendiri untuk mengobrolkan proyek bisnis besar.

"Apa yang dia katakan?" tanyamu, merujuk pada lelaki paruh baya berjas licin dengan jemari penuh cincin batu berlian menggenggam tongkat kayu.

"Kamu tampak bosan," jawabnya, menyamai nada datar yang kamu buat.

Tentu saja, kamu membalas kesal, tapi hanya disimpan dalam hati. Toh, kamu tahu ini konsekuensi dari keputusan untuk mengiyakan ajakan Kagami Hayato, CEO muda perusahaan besar itu, dalam perjalanan bisnisnya ke Prancis. Bukan salahnya kalau kamu tidak bisa jalan-jalan sambil belanja, mengelilingi katedral-katedral kuno, atau sekadar menikmati waktu di sebuah vila di tepi sungai Seine. Kamu bukan anak kecil yang datang bersama keluarga untuk liburan. Kamu bisa mengerti itu.

"Aku mau kembali ke hotel."

"Tidak usah buru-buru," ujar Hayato, menuangkan isi botol anggur ke gelasnya sendiri, lalu menyenggolkan gelasnya pada gelas di tanganmu; bersulang untuk diri sendiri. "Aku sudah memesan tiket penerbangan pertama besok pagi. Kita masih punya waktu malam ini sebelum kembali ke Jepang."

Ya, tentu saja dia sudah memesan tiket untuk pulang. Kamu bisa mengerti. Hayato orang sibuk, teramat sibuk. Dalam satu minggu, dia bisa bolak-balik keluar negeri dua sampai tiga kali, itu pun menyerahkan sebagian urusan di Jepang pada asisten perusahaan. Di saat-saat seperti ini, hal terbaik yang bisa kamu lakukan adalah mendukungnya. Maka, ditilik ulang kembali, rasa kecewa ini sedikit kurang adalah salahmu sendiri.

Pangkal lidahmu mengecap getir sisa alkohol yang baru diteguk sekali. Ataukah itu alkohol? Samar, helaan napasmu terlepas dari celah bibir, "Kamu sudah membatalkan janjimu, ya sudah."

"Masih ada lain waktu, [y/n]."

"Selalu lain waktu kalau bagiku." Nada bicaramu naik setingkat, hampir terdengar mendesis. "Kamu bahkan menyempatkan diri membeli oleh-oleh untuk adik-adikmu."

"Yorumi yang minta, kata Fuyuki. Aku tidak bisa mengabaikan permintaan orang sakit."

"Kamu tidak bisa mengabaikan permintaan mereka."

"Kamu tahu sendiri dia akan menangis rewel jika tidak dituruti, apalagi dengan kondisi demam itu." Hayato menjeda untuk mengambil satu teguk anggur, diikuti seringai kecil seolah mengingat kenangan menggelikan---bukan ekspresi Hayato yang kamu suka. "Tapi, saat mengamuk pun, dia tetap menggemaskan. Kalau kamu punya adik perempuan yang lucu, kamu hanya bisa memanjakan mereka."

"Sikapmu yang seperti inilah yang membuat mereka bergantung padamu. Ah, tidak. Apakah mereka yang bergantung padamu atau justru kamu yang bergantung pada mereka?"

Senyum Hayato melebar. Kamu tidak menyukainya.

"Predator sekalipun bisa luluh saat berhadapan dengan mangsa yang tampak lemah dan rapuh, tahu?"

Gelasmu sontak terayun kencang ke wajahnya.

Splash!

Banyak pasang mata menatap ke arah dua pasangan yang membuat ribut di ujung meja, disertai bisik-bisik yang menyerupai dengung di langit-langit, tapi matamu tajam-tajam dibidikkan pada mata kekasihmu yang, seperti biasa, kelihatan tidak terkejut. Dia hanya mengusap cipratan anggur di wajah, tapi masih mempertahankan senyum saat kembali membalas tatapanmu. Seolah sengaja bicara kurang ajar untuk memancing emosimu. Seolah sudah tahu hasil pembicaraan ini, tapi tetap membiarkannya berlalu.

"Aku tidak mengerti kenapa kamu harus bicara begitu jujur."

Hampir tiga tahun sejak kamu bertunangan, tetapi kamu tidak pernah tahu caranya menafsirkan tatapan Kagami Hayato setiap kali berhadapan dengannya seperti ini.

Ah, pandanganmu memburam sedikit karena air mata mulai berkumpul di pelupuk. Padahal, ini bukan pertengkaran yang pertama.

Kamu buang muka ke sembarang arah sebelum berpaling, menahan getaran pada suara.

"Aku kembali ke hotel."

***

Kesibukannya pada pekerjaan adalah hal nomor sekian yang mengganggu. Bagimu, selagi dia masih punya sisa waktu di akhir pekan yang bisa diluangkan sejenak untuk sekadar berduaan semalam saja, kamu sudah merasa cukup senang.

Kala pagi, ketika bangun setelah satu malam yang panjang, kamu dan Hayato duduk di atas ranjang berbalut selimut yang nyaman. Selesai merapikan pakaian yang tersisa di badan, helai rambut yang berantakan, kancing kemejanya yang lepas-lepasーjemarimu lincah membantunya. Hayato akan keluar sejenak untuk menghirup rokok di tengah udara sejuk di balkon. Kemudian dia kembali; membawa dua kaleng bir di tangan. Salah satunya merek yang kamu suka.

"Biar kubukakan. Kamu baru saja ke salon kemarin menghias kukumu, 'kan?"

Hayato selalu ingat. Hal-hal kecil yang lama-lama menjadi kebiasaan. Dia begitu familiar denganmu, hingga tanpa sadar melibatkan kamu dalam bagian dari segala perilakunya. Begitu dekat. Begitu normal.

"Ah, terima kasih. Kamu ingat. Aku memakai warna baru. Lucu, 'kan?"

"Lucu sekali."

Kamu dan dia menghabiskan pagi dengan bir dan percakapan ringan yang tidak penting. Sementara kamar tenggelam dalam nuansa putih. Desain interior minimalis yang sederhana, cenderung kesukaanmu. Rumahmu. Rumah Hayato.

Hanya waktu-waktu semacam ini yang kamu inginkan darinya. Kadang sedikit muluk, kamu ingin sedikit lebih lama ...

Semuanya akan berakhir ketika dering ponsel Hayato berbunyi. Setiap itu terjadi, kamu menutup mata dan mulai berdoa keras dalam hati. Panggilan kantor. Panggilan kantor. Ayo, jadilah telepon itu urusan perusahaan yang mendadak. Jika itu alasannya, maka kamu tidak keberatan melepas Hayato pergi.

Sebab, kamu selalu merasakan redam seluruh bagian dalam rongga dadamu oleh alasan lain yang keluar dari mulutnya.

"Fuyuki minta diantar ke lokasi darmawisata sekolahnya. Aku pergi dulu."

Jas dengan lekas telah membalut badan. Sekilas, dia beri kecupan untukmu di puncak kepala, sebelum pergi dengan buru-buru melewati pintu yang dibiarkan terbukaーtidak terlampau punya waktu untuk menoleh sejenak dan menutupnya kembali. Kamu duduk di kasur sendiri. Rumah terasa kosong setiap hari, tapi terutama pagi hari di akhir pekan. Kamu selalu kesepian.

Matamu terpejam kembali, kali ini mengingat perasaan yang sama. Persis. Ketika Hayato membalikkan punggungnya ke arahmu.

***

Semua pertengkaran selalu terjadi karena satu alasan ini. Satu alasan yang entah sampai kapan pun, anehnya, kamu tidak pernah terbiasa. Tetapi mengapa itu begitu aneh? Hayato hanya punya rasa sayang yang terlalu dalam pada adik-adiknya. Hanya ituーsatu hal yang tidak akan pernah bisa digantikan, tidak peduli seberapa lama kamu telah berjalan mendampingi di sisinya.

Kamu mungkin sudah lama memutuskan setia, sejak dia ketua kelas dan kamu wakilnya. Sejak dia ditunjuk sebagai asisten guru dan kamu menawarkan diri membantunya. Menumpuk sejumlah buku di tangan hanya karena kamu senang sekadar menyusuri koridor sekolah yang sepi di sore hari, berdua bersisian.

Hayato mungkin sudah tumbuh terbiasa, bahwa keberadaanmu di dekatnya adalah hal paling tidak asing. Maka, secara natural, dia selalu membawamu bersamanya. Mau itu ketika jam makan siang di kantin kampus, atau berkumpul di satu ruang perpustakaan untuk mengerjakan tugas masing-masing bersama. Mau itu menjadi asisten pribadi, atau manajer, Hayato hanya menginginkanmuーsebab mungkin hanya kamu yang dapat terpikirkan dari daftar orang-orang yang dia kenal. Mau itu jadi kekasih, tunangan, calon pendamping hidup. Kamu tidak pernah keberatan.

Toh, kamu memang mencintainya.

Namun, semua itu tidak akan pernah mengalahkan waktu yang begitu panjang yang ada dalam masa kecil Kagami Hayato; seorang anak laki-laki dari panti di sebuah kota terpencil. Kamu tidak pernah ada dalam hidupnya di masa itu. Yang dia punya adalah sepasang adik perempuan yang tumbuh dengannya di sana.

"Tunggu! Bagaimana dengan pertemuannya?"

Kamu berseru, melangkah cepat untuk mengimbangi ritme kaki Hayato yang seolah sedang berlomba dengan waktu, di sepanjang koridor gedung lantai enam puluh. Hayato tidak melambat, juga tidak sedikit pun menoleh.

"Demam Yorumi mendadak tinggi. Aku harus segera pulang. Bisa kamu lanjutkan pertemuannya untukku?"

Hanya butuh dering ponsel dengan nama Fuyuki terpampang di layar untuk membuat Hayato meninggalkan kursinya dalam sebuah meeting dengan klien penting. Sekilas bisa kamu tangkap ekspresinya yang mengeras dan tajam itu persis orang dingin yang marah. Tidak pernah kepada orang lain, tidak juga kepadamu. Ekspresinya selain senyum yang santun dan formal hanya ditujukan pada dua orang terpenting dalam hidupnya saja.

Fuyuki dan Yorumi. Dua orang yang dengannya tidak punya ikatan darah, tapi adalah keluarga.

"Kamu terlalu khawatir. Bukankah ada asisten rumah yang menjaganya? Lagipula, dia hanya demam ringan. Dia akan membaik setelah istirahat yang cukup."

"Dia butuh aku di sisinya."

"Dan inilah kenapa. Sudah kubilang, beginilah jika kamu terlalu memanjakan mereka."

"Bisakah kamu biarkan aku mengurus urusanku sendiri? Aku wali mereka."

Selalu, rasa sakit hati itu bersumber satu hal ini. Satu hal yang tidak akan pernah tergantikan, seberapapun lamanya waktu yang telah kamu hadapi bersama.

Langkahmu tercekat sebelum pintu kaca yang tertutup persis di depanmu. Di baliknya, punggung Hayato sudah menjauh bersama langkah pergi yang buru-buru. Tanganmu terkepal, sementara kamu hirup napas dalam-dalam.

... dan aku ini kekasihmu.

***

"Ada apa denganmu? Ada hal yang mengganggu?"

Nada bicaranya lembut. Selalu lembut. Terlepas dari segala tentang formalitas dan kesantunan, kamu tahu dia menghargaimu. Kamu tahu; setidaknya sedikit lebih penting dibanding orang lainnya dalam daftar orang-orang yang dia kenal.

Kamu tidak bergeming. Setelah menyiram segelas anggur ke wajah tunanganmu di hadapan para tamu perjamuan itu, kamu pergi cepat-cepat; mencegat sembarang taksi, tergesa di sepanjang lobi hotel, menekan kartu kunci kamar ke pemindai lift dengan kasar, hanya untuk segera ambruk di atas kasur. Air matamu tumpah.

Tidak biasanya kamu menangis. Tidak untuk hal yang kamu anggap sepele ini. Begitu kekanak-kanakan rasanya untuk merasa iri, sebab kamu orang dewasa. Kamu menempatkan kualitas dirimu jauh di atas orang-orang dalam hidup Hayato. Karena kamu setara dengannya. Kamu tidak bergantung padanya, sebab kamu berbeda dari orang lain. Kamu berbeda dari Yorumi, atau Fuyuki; kamu adalah kekasih Kagami Hayato, yang sudah lama mendampinginya di sampingnya.

"Kalau tidak segera melepas sepatumu, nanti kakimu bengkak. Kamu tidak menyukainya saat itu terjadi, bukan? Besok pagi mood-mu bakal kacau."

Hayato baru saja datang setelah lima belas menit kemudian. Dia melepas jas, menaruhnya di sandaran sofa dekat nakas. Ruangan masih remang, disinari cahaya-cahaya lampu dari pemandangan malam yang gemerlap di balik jendela kaca. Kamu lamat-lamat memperhatikan pemandangan itu dari perebahanmu. Di tepian kasur, Hayato duduk. Kedua tangannya meraih kakimu, dengan lembut melepaskan sepatu hitam model platform berhak lima setengah inci. Hadiah ulang tahun darinya.

"Kamu tidak perlu melakukan itu."

Suaramu serak. Gerakan tangan Hayato terhenti.

Kamu ingat merasa begitu senang ketika mendadak sehari sebelumnya sebuah telepon darinya datang, mengajakmu ikut ke perjalanan bisnis di Prancis, sekaligus untuk mengenalkanmu pada rekan-rekan kerjanya. Harapanmu terlanjur melambung tinggi, berpikir mungkin terlepas dari kesibukannya di ruang kerja dan hal-hal dalam garis kehidupan pribadinya, kamu masih orang pertama yang masuk dalam pertimbangan kepentingan Kagami Hayato. Mungkin salah untuk berpikir demikian. Mungkin memang salahmu.

"Kamu juga tidak perlu khawatir dengan kukuku dan membukakan kaleng bir untukku lagi. Bagimu, itu cuma kebiasaan. Kebiasaan yang dibentuk dalam waktu yang lama."

Harusnya kamu tidak datang.

Penyesalan ini bukan hanya mengenai keputusan terakhir untuk mendampinginya. Kamu sebetulnya sejak lama sudah menyadarinya. Bahwa sekian tahun terakhir, keberadaanmu tidak membuat banyak perbedaan. Baik itu untuk Hayato, maupun untukmu. Ada bersamamu atau tidak, Hayato akan selalu punya kesibukan yang diurusnya sendiri. Ada bersamanya atau tidak, kamu akan selalu kesepian.

"Kupikir, sore di sini akan sedikit berbeda."

Fin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top