32. Reuni
Lan POV
Aku bangun dari tidurku, mengedip-ngedipkan mataku sebelum akhirnya bangkit dari posisi tidur. Pemandangan kamar yang pertama kali aku tempati membawa perasaan nostalgia melingkupiku. Sesuatu yang berbulu dan berat berada di pahaku, saat melihat ternyata itu kepala Koni dengan mata yang melihat ke arahku.
"Selamat pagi," kataku sambil mengelus kepalanya gemas.
Aku memilih untuk beranjak dan Koni menyingkirkan kepalanya, mengikutiku dari belakang. Sebelah tanganku membuka pintu kamar dan menampakkan suasana yang aku rindukan, dengan tambahan Zale yang sedang membantu kakek.
"Kamu tidak perlu membantu," kata kakek.
"Tidak, biarkan aku membantu sebagai ucapan terima kasih karena sudah menerimaku di sini," kata Zale yang membantu menyusun alat makan di meja.
"Semua orang di terima di sini. Apalagi sudah membantu kami dan menemani cucuku itu," kata kakek dengan senyuman lebar.
"Apa aku pernah mengatakan bahwa aku menyayangi kakek?" tanyaku mendekati mereka berdua.
"Haha, kamu tidak perlu mengatakannya kakek ini sudah tahu. Selamat pagi Lan, apa tidurmu nyenyak?" tanya kakek dengan senyuman dan ekspresi lembut yang aku rindukan.
"Selamat pagi kek, tentu saja nyenyak karena aku merindukan kamar itu," kataku sambil merangkul kakek. "Selamat pagi juga untukmu Zale."
"Selamat pagi Lan."
"Terima kasih sudah mau bantu. Harusnya sebagai wanita aku yang bantu-bantu mengenai hal ini," kataku merasa bersalah.
"Jangan begitu, kemarin sesudah perjalanan panjang yang terburu-buru kamu langsung bertarung dan dilanjut dengan menyembuhkan yang lain. Saat aku sendiri bahkan sudah beristirahat kamu masih fokus menyembuhkan, seharusnya aku yang malu," terang Zale dengan tawa kecil.
"Sudah-sudah, ayo kita makan sarapannya sebelum dingin," potong kakek yang mendorongku mendekati meja makan.
Kalau di ingat-ingat lagi Zale sama sekali tidak salah. Di perjalanan seharusnya Koni yang paling capek, bahkan membawa aku dan Zale bersamaan bahkan perjalanan tidak bisa dibilang dekat. Lalu aku langsung bertarung karena memang ada musuh yang langsung menyerang. Karena merasa aku hanya perlu duduk, aku sekalian mengobati beberapa elf yang entah kapan sudah membentuk barisan. Lalu saat sadar hari sudah malam aja dan lampu diletakkan di sekitarku.
"Lan, setelah ini apa yang akan kamu lakukan?" tanya kakek.
Aku terdiam, berpikir. "Latihan?" Perkataanku ini sukses membuat kedua lelaki ini melihat ke arahku dengan cepat.
"Kakek memang tahu kamu ini anak yang antusias tetapi ambil waktu istirahatmu hari ini. Pergilah keliling bersama Zale, mereka pasti akan senang melihatmu," kata kakek yang mengabaikan ekspresi terkejut Zale di depannya.
"Hm, ide bagus." Sekalian aku mau bertemu dengan Valna.
"Rose pasti sangat merindukanmu. Kemarin Rose yang mengatur barisan para elf yang hampir membuat kegaduhan dan Eras yang diam-diam memberi penerangan," jelas kakek.
"Oh iya, Eras nggak kelihatan. Bukannya dia biasanya suka ke sini tanpa tanda-tanda?" tanyaku sebelum kembali memasukan sesendok makanan.
Kakek tersenyum seperti menyembukan sesuatu di baliknya. "Kamu akan tahu jika bertemu langsung."
"Ok?"
....
"Kakek, kami berangkat dulu," kataku yang sudah siap dan Koni yang berada di mulut pintu terlebih dahulu.
"Baik hati-hati," kata kakek dari dalam sebelum aku menutup pintu.
Aku melihat Zale dan Koni yang menikmati pemandangan kota sederhana elf dari depan rumah kakek. "Indah bukan?" tanyaku di belakang mereka.
Zale mengangguk. "Ternyata keindahan kota elf bukanlah kebohongan semata," kata Zale dengan senyuman.
"Memangnya apa yang dijelaskan mengenai kota elf?" tanyaku penasaran.
"Kota indah yang asri."
"Wow, penjelasannya luar biasa ya." Luar biasa pendeknya. "Tapi kalau dibandingkan dengan kerajaan vampir di sini lebih asri karena bersatu dengan hutan sih. Jalan sekarang?" tanyaku yang dibalas anggukan Zale.
"Kon!" seru Koni semangat. Entah apa yang koni pikirkan dengan menahan ukuran yang sama seperti kemarin.
"Selamat pagi Lan," sapa Gilbert saat aku baru beberapa langkah berjalan.
"Selamat pagi Gillbert." Eh tunggu, pas itu aku manggil istrinya dengan sebutan "Bu" kan?
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Gilbert yang menarikku kembali ke dunia nyata. "Kemarin kamu sudah sangat bekerja keras. Terima kasih," kata Gilbert yang sedikit menunduk.
"Eh, jangan menunduk. Kalian yang pertama kali menerimaku, anggap saja ini sebagai balas budi ke kalian yang secara cuma-cuma menerimaku," kataku sambil memegang sebelah lengan Gilbert agar tidak menunduk lebih dalam.
"Baiklah," kata Gilbert dengan senyuman dan sudah tidak lagi menunduk. "Kalau begitu aku akan menemui ketua di rumahnya. Ngomong-ngomong selamat datang untukmu, Zale?"
Zale mengangguk. "Terima kasih."
"Tidak lupa untuk penyelamat satu ini yang sudah ikut melindungi yang lainnya. Kami berhutang nyawa," kata Gilbert yang melihat ke arah Koni. Walau berterima kasih kata "berhutang nyawa" kedengerannya berat banget ya.
"Kon!"
Gilbert tersenyum melihat balasan Koni lalu melihat ke arah aku dan Zale. "Selamat bersenang-senang, aku yakin semuanya senang melihat kalian," kata Gilbert lalu berjalan menjauh.
Aku mengajak Zale kembali berjalan dengan gerakan kepala. Saat berjalan melewati rumah-rumah, banyak yang menyapa dan berterima kasih kepadaku dan Zale. Bahkan ada yang mengucapkan terima kasih terlalu banyak, bukannya ikut memberhentikan Zale malah memaksaku untuk menerima semua itu. Sedangkan Koni mendapatkan banyak sentuhan.
"LAAAN!!" Aku menoleh dan terlihat Rose yang berlari ke arahku dan langsung memelukku. Aku membalas pelukannya yang hanya sebentar itu. "Apa ada yang sakit? Terluka?" tanya Rose yang melihat ke sekelilingku.
"Tidak ada Rose, aku baik-baik saja," katakku dengan tawa kecil.
"Kemarin kamu bekerja terlalu keras! Melihatmu saja bikin gelisah. Bukannya berhenti saat sadar waktu, malah di lanjutkan," gerutu Rose yang hanya bisa aku balas tawa ragu. "Oh iya, kamu Zale ya? Terima kasih sudah mau menemani Lan," kata Rose dengan senyuman lebar.
"Tidak masalah, bisa diterima di sini adalah sebuah kehormatan," kata Zale yang menunduk ala prajurit.
"Wah, memang dasar prajurit balesnya aja sampe kayak gitu. Walau jawabannya kurang sinkron sama pertanyaannya sih," cibirku.
"Oh iya Eras! loh? Mana dia?" Rose melihat ke belakangnya, kiri, dan kanan.
"Ada Eras?"
"Tadi kita tidak sengaja bertemu trus ngobrol sedikit. Padahal aku mau godain dia," kata Rose yang terlihat kecewa.
"Godain soal apa?" tanyaku bingung.
"Soal yang baru datang."
"Zale?"
Zale langsung menatapku penuh tanda tanya.
"Bukan! Duh. Tidak akan seru kalau tidak ada orang yang bisa di goda," kata Rose kesal. Maksudnya apaan ya? "Oh iya, siapa nama pahlawan kecil satu ini?" tanya Rose yang mengelus Koni ceria.
Kalau kamu tau yang sebenarnya pasti akan ralat perkataan itu. "Namanya Koni, Dia yang memberi tumpangan untukku dan Zale sampai ke sini."
"Benarkah? Kamu sudah bekerja keras ya, Koni. Terima kasih," kata Rose yang mengusap kedua sisi wajah Koni.
Aku tertawa pelan. Tidak sengaja aku melihat sesuatu yang menarik perhatianku. "Itu Eras." Tidak susah mencari pemilik rambut putih diantara warna lainnya. "Aku susul dia dulu ya."
"Baiklah, nanti ikut ketemu bu Joana ya," kata Rose sebelum aku benar-benar berbalik.
"Sip!"
Aku harus mengejarnya sebelum menghilang begitu saja. Enak saja dia malah menghindar. Tiba-tiba Eras berbelok yang mengarah keluar lingkungan kota Elf, gampangnya pinggiran kota Elf. Kenapa dia? Lagi ngambek?
Tidak lama, Eras berhenti duduk di salah satu batang kayu dan memunggungiku. Entah kenapa aku kesal dan meminta Koni, yang dari tadi mengikutiku, untuk mendekati Eras. Koni menatapku (mungkin karena) bingung, sebelum akhirnya berjalan mendekati Eras.
"Woah!!" Aku bisa melihat Eras yang sampai terjatuh dari balik tubuh Koni.
Tawaku tidak bisa tertahan sampai aku berada di samping Koni.
"Lan! Ini kerjaanmu?!" tanya Eras yang masih nyaman duduk di tanah.
"Aku hanya meminta Koni besar menyapamu aja kok. Dia tak akan mengigit kalau tidak aku suruh," kataku sambil mengelus Koni yang menggeliat manja.
"Kemarin dia mengigit."
"Oh iya. Oke pas kemarin pengecualian," kataku mengingat bahwa Koni mengigit orang demi melindungiku. Walau orang di depanku juga termasuk.
"Apa kamu tidak apa-apa?" tanya Eras beridiri dan membersihkan tanah di celananya.
"Staminaku pulih setelah tidur dengan pulas bagai kebo. Seharusnya aku yang tanya, itu bantalanmu apa nggak apa?" tanyaku sambil melihat bagian bokong Eras.
"Salah siapa coba?" tanya Eras kesal.
"Eras." Yang dipanggil melihatku bingung. "Habisnya tadi kata Rose kalian habis ngobrol, tapi ngilang pas Rose teriakin namaku. Hayo jelasin!" kataku gantian kesal.
"Itu .... "
"Memangnya kupingmu bermasalah sampai teriakan Rose yang menggelegar itu nggak kedengeran?" tanyaku bingung.
"Kupingku tidak bermasalah," kata Eras dengan mada kesal dan mengalihkan wajahnya.
"Kalau gitu pikiranmu yang masalah. Kenapa? Mau menghindariku?" tanyaku kembali kesal. Eras hanya terdiam. "Sia-sia aku kangen sama Eras kalau akhirnya dihindari juga," kataku pasrah lalu berbalik.
"Tunggu!" Eras menahan tanganku. "Tadi, kamu kangen, denganku?" tanya Eras terbata-bata.
"Iya, kangen jailin." Eras melepaskan tangannya dan menghela nafas kasar.
"Aku kira ... " Eras mengusap rambutnya kasar.
"Kira apa? Aku beneran kok. Habisnya kalau soal reaksi habis di jailin, Eras paling imut!" kataku ceria dengan senyuman lebar.
Tiba-tiba muka Eras merah seperti tomat.
"Tuhkan!" Eras memalingkan wajahnya dan menutupi dengan tangan. "Jangan di tutupi gitu dong, ayo liat ke sini."
"Jangan liat! Menjauh!" kata Eras yang mendorongku dengan sebelah tangannya dan hampir menutupi seluruh wajahku.
Aku melepaskan tangan Eras dan menggandengnya. "Eras, tanganmu tambah lebar ya? Makin kaku juga," kataku sambil melepaskan gandengan tetapi tetap memegang sebelah tangan Eras.
"Begitukah? Itu memang tandanya aku sudah bekerja keras," kata Eras bangga.
"Oh iya? Kalau gitu lawan aku yuk besok," ajaku.
"Apa?! Tidak mungkin aku melawan wanita!"
"Hoh, jadi kamu menagnggapku wanita?" Detik kemudian wajah Eras memerah. Reaksi imut apa itu? "Yah itu pun kalau di perbolehkan sama kakek atau pun Zale."
"Kenapa harus dia?"
"Karena dia guru yang ngajarin aku pedang. Walau pun Zale nggak beri izin pun aku bakalan latihan diam-diam," kataku dengan senyuman jail.
"Sifatmu sama sekali tidak berubah ya," kata Eras dengan tawa pelan.
"Bagus kan?" tanyaku dengan senyuman lebar.
.
.
.
.
.
Chap ini berakhir dengan Lan dan Eras yang masih berpegangan tangan.
-(10/03/2021)-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top