23.
Kakiku terus berjalan lurus. Kompas di tanganku mengarah lurus ke depan. Jika ini di game, aku akan memilih ke kiri atau ke kanan sejenak. Sembari melihat apakah ada tanaman langka atau tidak. Sayangnya aku tidak mempunyai pengetahuan mengenai hal itu.
Kepalaku melihat ke kiri dan kanan, menikmati pemandangan Yang ada. Tiba-tiba aku memikirkan sesuatu yang bisa di katakan gila. Aku melepas tas kecil dari pinggang.
"Koni, bisakah kau memegang ini sebentar?" tanyaku sambil menyerahkan tas kecil ke arah koni yang berada di bahuku.
Koni menggigit tas kecil itu dan aku menaruh Koni ke bawah. Sejenak koni melihatku dengan tatapan bingung, tetapi aku hanya tersenyum untuk membalasnya. Kedua tangan aku regangkan ke atas dan ke samping, memutarkan tubuh ke kiri dan kanan, lalu meregangkan kedua kaki bergantian. Aku mengambil ancang-ancang berlari dengan sebelah kaki yang ada di belakang.
Dengan mengaktifkan avra jingga, aku mencoba berlatih menggunakan avra jingga ini. Dengan sekali dorongan, lari tidak dengan kecepatan maksimal. Kakiku melewati akar besar yang keluar dari tanah dengan cara melompati akar tersebut. Aku cukup terkejut karena merasakan tubuhku ini menjadi lebih ringan. Dengan begini aku bisa melakukan aktivitas ini dengan bahagia.
Tangan aku rentangkan ke atas dan meraih salah satu ranting pohon yang cukup besar dan menghindari tanah yang tidak rata. Aku melayangkan kakiku agar bisa melompat ke tanah yang cukup jauh dari pohon dan berhasil. Karena senang, aku semakin gila untuk meneruskannya. Baru beberapa langkah berlari, mataku tidak dapat melihat pohon yang ada di depan jadi dengan cepat aku menghentikan lariku sembari menekan tanah agar bisa berhenti sebelun ada sesuatu yang lain. Untungnya berhenti sesuai perkiraan dan mataku melihat ke bawah, jurang yang cukup dalam.
Aku melihat ke samping dan Koni baru saja sampai di sebelahku. Aku membungkuk dan mengulurkan tanganku ke dalam tas yang di gigit Koni. Tak lama aku merasakan bahwa tanganku sudah menggenggam sesuatu yang aku perlukan. Sebuah kompas keluar bersama dengan tanganku. Setelah merasa bahwa arah yang aku tuju masih benar, aku meletakkan kembali kompas ke tas kecil itu. Aku kembali melirik jurang yang ada di bawah dan pohon-pohon yang tumbuh di pijakan yang lebih rendah, karena di depan tidak ada dataran tinggi kecuali gunung yang jauh di sana, maka jalan satu-satunya adalah turun.
"Koni, kau harus hati-hati ya," kataku melihat ke arah Koni yang bingung. Tetapi karena takut Koni terluka aku mengambil Koni dan meletakkan di bahuku beserta tas yang kembali aku kancingkan di pinggang. "Pegangan ya," kataku dengan senyuman.
"Kon!" seru Koni yag terdengar ceria. Aduh imutnya.
Aku memfokuskan avra jingga di kakiku dan mulai meluncur ke bahwa dengan posisi tubuh menyamping, kaki kiri di depan sedangkan kaki kanan di belakang dan sebelah tanganku memegang Koni di bahu. Mungkin karena bantuan avra ini, kakiku sama sekali tidak sakit. Melihat adanya tumpukan semak-semak yang tidak tahu ada apa di dalamnya, aku melompat dan memfokuskan avra di tanganku yang aku gunakan, meraih sebuah dahan lalu melompat ke pijakan yang dapat terlihat dengan jelas. Aku menoleh ke belakang, melihat jalur yang tidak pernah aku gunakan sebelumnya.
Koni menggosokkan salah satu ekornya ke pipiku dan aku mengusap kepala Koni. "Seru juga. Avra ini juga sangat membantu," kataku ceria.
"Avra?!" Detik berikutnya aku mendengar sesuatu yang terjatuh. Aku berbalik dan menemukan seorang anak kecil dengan rambut merah gelap dan matanya merah menyala menatapku kaget. "Kakak bisa menggunakan avra?" tanya anak kecil itu.
"Yaaah .... " Aku menoleh ke Koni yang juga melihatku. Sebenarnya bukan bisa, tetapi di kasi.
"Ayo ikut-ikut," katanya sambil menarik sebelah tanganku dengan sebelah tangan yang memegang keranjang yang sepertinya tadi terjatuh.
Dalam kebingungan, aku tetap mengikutinya karena tatapan polos tanpa dosa itu melihatku berbinar-binar. Tak lama aku bisa melihat sebuah rumah kayu yang tidak terlalu kecil dan tidak bisa dikatakan besar. Di depan rumah itu terdapat lahan perkebunan dan ditumbuhkan beberapa jenis tumbuhan yang sepertinya untuk dikonsumsi.
"Nenek! Nenek!" seru anak itu langsung membuka pintu dengan kencang dengan sebelah tangan yang masih menggandengku.
"Sudah aku katakan jangan memanggilku nenek! Huh? Siapa yang kamu pungut itu?" tanya wanita yang keluar dari sisi gelap rumah itu. Dia mengatakan seakan-akan aku adalah hewan liar tanpa tempat tinggal. Tunggu, benar juga.
"Dia yang ada di buku dongeng itu!" seru anak kecil itu menunjuk rak buku dengan sebelah tangan yang bebas.
"Apa? Itu hanyalah dongeng yang tidak nyata. Mereka hanya di buat agar untuk memberi harapan kepada anak-anak," kata wanita itu acuh.
"Dan harapan itu nyata!" seru anak kecil itu kesal dengan kedua pipi yang di kembungkan. Imutnya.
"Tunggu. Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku setelah mengagumi keimutan anak di depanku.
"Cornel tidak cerita?" tanya wanita itu bingung, aku balas dengan gelengan kepala.
"Oh iya, lupa," kata anak yang bernama Cornel itu menepuk dahinya dan berkspresi kaget.
"Kenapa kamu mau aja sih dipungut anak tidak di kenal?" tanya wanita itu melihat kesal ke arahku.
"Imut sih," kataku pelan sembari melirik ke arah lain.
"Kenyataan itu menyakitkan," kata wanita itu yang ternyata juga setuju. Tiba-tiba perutku berbunyi yang membuatku malu seketika. Seharusnya makananku sudah cukup, masa karena tidak makan nasi?! "Jangan-jangan kau memang liar," tebak wanita itu.
"Jika liar untuk anda adalah tidak punya tempat tinggal, maka jawabannya benar," kataku tertawa pelan karena malu.
Wanita itu mendengus dan berbalik menuju sebuah ruangan, lalu menghilang di sana. Tanganku yang masih menggandeng si kecil di tarik pelan. Aku melihat ke bawah dan Cornel sedang menatapku dengan senyuman.
"Tenang saja, nenek baik kok," katanya dengan senyuman semakin lebar.
"Sudah aku bilang jangan panggil nenek!" seru wanita tadi dari salah satu ruangan. Aku dan Cornel saling bertatapan lalu tertawa pelan.
Selang beberapa menit akhirnya tersaji makanan di sebuah meja yang cukup besar. Uap dan harum yang menyeruak keluar membuat Koni akhirnya muncul dari balik pakaian. Dengan izin pembuat, Koni di biarkan menikmati makanan yang sama. Untung Koni omnivora.
Setelah selesai makan, Cornel dan Koni bermain di halaman yang sangat luas ini. Aku duduk salah satu kursi yang mengarah ke halaman, tempat Cornel dan Koni bermain. Wanita itu menyodorkanku sebuah gelas dengan uap yang mengepul di atasnya.
"Terima kasih," kataku sambil menerima gelas itu lalu meniupnya sekaligus mencoba menebak apa yang ada di dalam gelas dengan mencium baunya. Di dalam pikiranku mengatakan bahwa ini teh dengan madu. Jadi aku langsung menikmatinya dan sensasi teh yang masuk ke dalam tubuhku itu menyenangkan.
"Tidakkah kau harus hati-hati? Bagaimana kalau aku menaruh racun di sana?" tanya wanita itu dengan suara mengejek, sebelumnya aku bisa mendengar bunyi kursi di sebelahku.
"Kalau begitu seharusnya lakukan saja dari tadi, saat menikmati makan. Mungkin memberikan piring spesial padaku," tebakku asal tanpa menoleh ke arahnya.
"Bagaimana kalau aku memberikan racun pasif piringmu lalu minuman itulah yang sebagai pengaktifnya?"
Aku terdiam. "Itu menarik! Apakah ada yang seperti itu?" tanyaku antusias yang kini melihat ke arahnya.
"Entahlah, aku belum pernah menemukan hal seperti itu. Ngomong-ngomong kita belum memperkenalkan diri ya? Namaku adalah Anastasya, panggil saja Ana," katanya dengan senyuman ke arahku.
Aku menatapnya sedikit kaget.
"Kenapa?" tanya Ana yang raut wajahnya berubah.
"Oh tidak apa-apa. Hanya saja aku baru menemukan nama orang yang ribet seperti itu ... dalam beberapa minggu terakhir," kataku yang berusaha senormal mungkin. "Oh, panggil aja aku Lan," kataku sambil tersenyum.
"Nama yang aneh."
"Makasih loh," kataku datar.
"Sama-sama," kata Ana dengan senyuman sinis. "Kau mengatakan bahwa kau tidak ada tempat tinggal bukan?" tanya Ana.
"Iya benar," kataku sebelum kembali menikmati teh di tanganku yang masih hangat.
"Kalau begitu mulai besok kau harus bekerja jika ingin mendapatkan makanan."
Aku mengkerutkan dahiku dan menatap Ana yang beranjak menjauh dari tempat duduk. "Tsundere? Sarkastik tsundere?"
.
.
.
.
.
.
[note: ]
[= Tsundere (ツンデレ) adalah salah satu bentuk proses pengembangan karakter Jepang yang menggambarkan perubahan sikap seseorang yang awalnya dingin dan bahkan kasar terhadap orang lain sebelum perlahan-lahan menunjukkan sisi hangat kepadanya. (Kalau di pikiranku sih kayak salting pas lagi malu, ngomongnya nggak peduli tapi pedulinya setengah hidup)]
[= Sarkastik merupakan ungkapan sindiran yang tajam terhadap sesuatu.]
Hampir tidak ada [N/A]. Tetapi akan selalu saya usahakan untuk melanjutkan cerita ini sampai tamat. Walau kayaknya arti "tamat" di setiap cerita yang aku pikirkan hampir sama semua :")
Thanks for coming~
-(03/03/2020)-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top