8. Siapa Pengirimnya?

Apa jangan-jangan orang itu yang mengiriminya surat-surat di laci mejanya belakangan ini?

---

Awalnya gue nggak pernah percaya adanya keajaiban di dunia ini. Tapi ternyata gue salah. Masih ada satu hal yang jauh lebih indah dari sekedar keajaiban tersisa di sini. Yaitu lo.

Sambil duduk dengan kedua siku yang bertopang di atas meja belajarnya, Naya memerhatikan lamat-lamat ketiga sobekan kertas yang berada di kedua tangannya. Membaca kalimat-kalimat yang tertulis di sana secara berulang. Kemudian matanya bergeser sedikit pada sobekan lainnya, dan lainnya lagi.

Mencintai lo adalah hal yang paling mudah bagi gue. Tapi menyatakannya ke lo adalah hal yang paling sulit bagi gue, untuk gue lakuin.

Memendam perasaan gue ke lo memang menyakiti diri gue sendiri. Tapi itu jauh lebih baik, ketimbang nantinya lo malah menjauh dari gue, setelah tahu siapa gue.

Tiga sobekan kertas itu Naya temukan terkumpul di laci mejanya, setelah dalam tiga minggu terakhir―secara berturut-turut―Naya sengaja tidak mengeceknya seperti biasa. Naya melakukan itu karena ia tidak ingin dirinya memedulikan sobekan-sobekan kertas itu yang hanya menjadikannya tambah banyak pikiran. Meskipun pada akhirnya ia gagal juga, dan terpancing untuk mengecek laci mejanya. Dan ternyata dugaannya tidak meleset. Kini ia benar-benar tidak bisa berhenti memikirkan siapa pengirimnya. Terlebih setelah membaca semua isi tulisannya. Naya hanya yakin, pengirimnya pasti masih sama dengan yang mengiriminya sobekan kertas yang sebelum-sebelumnya. Meskipun Naya tidak tahu, siapa lebih tepatnya orang itu. Apakah dia mengenalnya atau tidak.

Seketika Naya mendesahkan napasnya, setelah akhirnya merasa lelah terus memutar otaknya hanya demi memikirkan seseorang yang telah benar-benar berhasil membuatnya hampir mati penasaran lantaran surat-surat yang dikirimkan padanya baru belakangan ini.

Tok tok tok

"Nay, makan malam dulu, Nak." Suara berat milik Mario seketika mampu menginterupsi Naya.

Selepas menaruh tiga sobekan kertas itu ke dalam laci meja belajarnya, Naya beranjak dari posisi duduknya, sambil menyahut, "Iya, Yah."

Saat membuka pintu kamarya, Naya sudah mendapati ayahnya yang masih mengenakan celemek, berdiri di depannya dengan senyuman, yang bisa Naya tebak, ada kelelahan yang tersembunyi di baliknya. Sehingga Naya tidak tega untuk menolak ajakannya, meskipun sebetulnya ia tidak lapar.

"Ayah masak apa makan malam kali ini?" tanya Naya dengan semangat, seolah dirinya memang benar-benar lapar.

"Ayah masak yang enak-enak dong! Biar kamu nambah nafsu makannya."

Keduanya beriringan berjalan menuju meja makan. Dan ternyata Mario memang sudah memasak cukup banyak masakan untuk ukuran dua orang.

Meski keluarga mereka hanya tersisa mereka berdua saja yang masih tinggal di rumah, Mereka selalu berusaha untuk tidak membuat suasana rumah menjadi sepi. Mario seperti itu karena ia tidak ingin putrinya merasa kesepian akan keluarga mereka yang tidak utuh. Pun sebaliknya. Naya tetap tertawa menyembunyikan segalanya, agar ayahnya tidak terlarut dalam kesedihan. Intinya, ayah dan anak itu sedang sama-sama berusaha untuk saling menguatkan satu sama lain. Walaupun kenyataannya, takdir baik seakan tidak memihak pada mereka.

🌺

"Lo deket banget ya sama dia?" tanya Nael sesaat setelah meneguk mineral botolnya.

Sembari membasuh keringatnya dengan handuk kecil yang menggantung di lehernya, Nata balik bertanya, "Dia siapa?"

"Naya."

"Sebetulnya, gue deket sama dia cuma karena abangnya dia sahabat gue. Kevin. Dia itu manja banget sama Kevin. Jadi tiap kali gue ke rumahnya buat urusan sama Kevin, Kevin pasti lagi sama dia. Dan sebelum pergi, Kevin juga nitipin dia ke gue. Jadi mau nggak mau gue mesti deket sama dia. Ya, walaupun kita ribut mulu."

"Tapi lo tau apa yang terjadi sama nyokapnya?"

Mengingat Naya yang langsung terdiam dan mengalihkan pembicaraan ketika ditanya soal ibunya oleh Nael waktu lalu, membuat Nael ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Meskipun Nael tahu, mungkin itu hal yang bersifat privasi, tapi, lagi-lagi Nael tidak bisa menahan rasa penasarannya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menanyakannya pada Nata.

"Semenjak setahun yang lalu, jiwa Tante Fina terganggu. Tante Fina sama sekali nggak bisa menerima kenyataan atas meninggalnya Kevin. Terus akhirnya, Om Mario putuskan buat mengirim Tante Fina ke RSJ demi memulihkan kejiwaannya juga." Setelah menutur panjang, beberapa saat Nata baru menyadarkan sesuatu. "Ngomong-ngomong, kenapa lo tiba-tiba nanya soal Tante Fina?"

"Nggak apa-apa."

Agar tidak memperpanjang obrolan, Nael beranjak berdiri. Namun Nata buru-buru menahannya, lantaran masih ada banyak yang ingin ia pertanyakan pada Nael tentang apa yang membuatnya mendadak jadi kepoan seperti ini.

"Lo mau ke mana?"

"Ganti baju. Gerah,"

Rekaman suara Nata tadi sore yang terus saja terputar berulang-ulang di kepala Nael sungguh membuat Nael tidak berhenti dibayang-bayangi oleh sosok Naya. Nael tidak tahu, kenapa segala yang Nata ceritakan tentang Naya dan keluarganya, bukannya memuaskan rasa penasaran Nael, tapi justru malah membuatnya menjadi-jadi. Membuatnya ingin mengetahui lebih dalam dan lebih dalam lagi tentang kehidupan Naya. Bahkan, paska munculnya bayang-bayang seorang gadis yang tengah diayun olehnya di sebuah taman, mulai muncul dalam benak Nael keinginan untuk memasuki kehidupan Naya. Keinginan untuk lebih dekat dengan gadis itu. Jauh lebih dekat dibanding kedekatan gadis itu dengan Nata.

"Mas El belum tidur?" tanya Farah yang kebangun dari tidurnya, yang membuat Nael menoleh, dan kemudian mengubah posisi rebahnya menjadi menyamping menghadap Farah.

Salah satu tangan Nael terangkat untuk mengusap puncak kepala Farah. "Kamu tidur aja lagi. Mas El tidurnya belakangan," katanya sambil tersenyum tipis karena gemas melihat mulut mungil Farah menguap membentuk O kecil.

"Dingin, Mas. Di luar hujan, ya?"

Walaupun sudah memakai selimut, kalau hujan kamar Nael memang selalu terasa jauh lebih dingin ketimbang biasanya.

"Mau Mas El matiin AC-nya?"

Farah menggeleng pelan dengan kondisi mata yang sudah segaris. "Aku nggak bisa tidur kalau nggak pakai AC."

"Yauda, kalau gitu sini tidurnya Mas El peluk, biar nggak dingin."

Nael membentangkan kedua tangannya, sampai setelah tubuh kecil Farah berguling sedikit, Nael langsung dan mengulurkan selimut tebalnya agar lebih naik lagi sampai menutupi bahu Farah. Semenjak kejadian waktu lalu, Farah tidak pernah mau lagi tidur ditemani oleh mamanya. Gadis cilik yang usianya sekitar lima tahun itu kini hanya ingin tidur jika ditemani oleh abangnya.

🌺

Sekitar pukul sembilan pagi, suasana tribun lapangan indor SMA Bangsa telah diramaikan oleh suara sorak-sorai yang saling bersahutan. Para masing-masing pendukung menyuarakan yel-yel yang sepertinya sudah mereka siapkan sejak jauh-jauh hari. Untuk menumbuhkan semangat para siswa, para panitia memang sengaja menjadikan pertandingan basket antar kelas sebagai pembuka acara kali ini. Itulah alasannya kenapa anak-anak basket dan cheers tidak ada saat yang lainnya dibariskan di lapangan sebelum pulang sekolah kemarin lusa.

Di saat orang-orang pada berkumpul memenuhi sekeliling lapangan indor, Naya, Hellen, dan Sera justru berada di dalam kelas. Naya sibuk dengan novelnya, Hellen sibuk dengan cemilan dan ponselnya, sedangkan Sera? Oh, Sera sibuk merengek meminta ditemani menonton turnamen basket yang tak lama lagi akan segera berlangsung.

"Nay, nonton basket, yuk." Entah sudah berapa kali Sera merengekkan hal yang sama, namun tidak sekalipun digubris oleh Naya. "Bete tau di kelas doang. Enak nonton basket. Anak basket kelas sebelas ganteng-ganteng, tau!"

"Ser, lo nggak tau ya? Naya tuh pusing kalau di tempat-tempat berisik. Dia nggak begitu suka kebisingan. Sedangkan kalau nonton pertandingan gitu tuh pasti suporter-nya pada berisik banget."

"Diem lo. Udah mending makan aja. Kasih makan tuh cacing-cacing di perut lo," sinis Sera, yang malah membuat Hellen tertawa.

"Nay, Nayaaa," panggil Sera dengan nada panjang.

"Kalian bertiga, bisa bantu saya?" Suara elegan Bu Maria seketika membuat mereka bertiga menengok ke arah pintu.

"Bisa, Bu," jawab Naya mewakilkan, seraya beranjak dari kursinya. Yang kemudian dengan sangat amat terpaksa, mau tidak mau Sera dan Hellen juga harus menyusulnya.

🌺

Anak-anak cheers keluar dengan membawa pom-pom masing-masing di kedua tangannya. Mereka mulai berdiri sesuai formasi ketika latihan. Selama tim cheers sedang tampil, di dalam anak-anak basket yang akan tanding bersiap-siap sambil menunggu waktu mereka keluar. Karena meski hanya turnamen antar kelas, tetap saja mereka menginginkan kemenangan untuk kelas mereka.

"Nat,"

Merasa namanya terpanggil, Nata yang sedang berjongkok mengencangkan tali sepatunya, menoleh. Beberapa meter, matanya menangkap sosok Rendy―yang merupakan kapten basket dalam tim kelasnya―berjalan mendekat. "Kenapa, Ren?" tanyanya seraya berdiri selepas tali sepatunya terikat.

"Nael mana? Bentar lagi mulai, nih."

Sesaat Nata mengedarkan pandangannya. Mencari. "Lho? Bukannya tadi ada?" Nata menanya balik. Karena seingatnya tadi Nael sedang mengobrol dengan Pak William.

"Mana ada?"

"Bentar, gue cari."

"Cari, gece. Gue tunggu sepuluh menit," titah Rendy dengan sedikit berteriak pada Nata yang sudah mengambil langkah cukup jauh.

🌺

"Kan gue bilang apa, mending kita nonton basket ketauan. Daripada bawa-bawa buku kayak begini." Sejenak Sera membenarkan posisi tumpukan buku yang berada di tangannya. "Mana berat banget lagi." Di sepanjang perjalanan Sera tidak henti-hentinya menggerutu pada Naya maupun Hellen.

Tadi itu di ruang guru, Bu Maria meminta bantuan pada mereka bertiga untuk membawa dua tumpuk makalah karya anak-anak kelas 12 yang dijilid membentuk buku, yang akhirnya dua tumpuk itu dibagi-bagi menjadi tiga. Naya dan Hellen tentunya membawa lebih banyak ketimbang Sera. Karena Sera tidak ingin membawa banyak-banyak. Takut berkeringat, katanya, kalau membawa beban berat-berat. Sera memang tipikal perempuan yang paling tidak suka berkeringat. Bahkan kalau jam olahraga pun, Sera tidak perna bersungguh-sungguh mengikutinya.

"Coba kalau tadi kita nonton basket. Nggak bakal mungkin tuh Bu Maria minta bantuan kita buat bawa-bawa beginian. Malahan belum tentu juga Bu Maria ngeliat keberadaan kita di tengah tribun yang rame orang," gerutunya lagi. "Ah, elo sih Nay."

"Ini anak ngebet banget mau nonton basket anjir!" Kali ini justru Hellen yang lama-lama kesal mendengar ocehan Sera.

"Halah, lo kalau Naya mau nonton juga lo pasti ikut nonton, kan!" Sera menandas tidak mau kalah.

"Lo kalau mau nonton basket, nonton aja sana sendiri," ucap Naya akhirnya.

Bibir Sera mencebik. "Nggak asik tau kalau nonton sendirian."

🌺

Nael keluar dari toilet, dan hendak langsung masuk kembali ke ruang basket di mana anak-anak yang lain pasti sudah menunggunya. Namun baru juga ia mengambil beberapa langkah, tiba-tiba kakinya berhenti bergerak dengan sendirinya. Ketika tidak sengaja ia menyadari bahwa salah satu di antara tiga orang yang barusan melewatinya itu adalah Naya. Cowok itu benar-benar diam sejenak memerhatikan Naya dari pijakannya. Entah kenapa seperti ada yang berkecamuk dalam diri Nael, tiap kali ia melihat gadis itu.

"El, ngapain lo di situ?" Sesaat Nael menolehkan kepala. Didapatinya Nata yang entah sudah sujak kapan berdiri di sebelahnya. "Ditungguin anak-anak juga," sambung Nata yang kemudian segera menggiring bahu Nael untuk ikut dengannya.

Nata tidak tahu, padahal Nael masih ingin memerhatika gadis itu. Nael masih ingin melihat gadis itu lebih lama lagi. Atau setidaknya Nael ingin menunggunya sampai gadis itu berbelok dan tidak dapat dijangkau lagi oleh penglihatannya.

Di sisi lain, Hellen yang menjadi satu-satunya orang yang menyadari hal tersebut seketika berbisik di telinga Naya tanpa menghentikan langkahnya, "Ada yang ngeliatin lo tuh dari tadi. Kayaknya dia suka deh sama lo."

Naya menengok ke belakang sekilas, namun sudah tidak ada siapa-siapa di sana. "Mana? Nggak ada."

"Tadi. Sekarang udah diajak pergi sama temennya."

Naya terdiam, tidak menyahut apa-apa lagi. Seketika ia berpikir, 'Apa jangan-jangan orang itu yang mengiriminya surat-surat di laci mejanya belakangan ini?'

===

To be continue...

a/n: jangan lupa tanggal 9 Nov nanti ikut PO Blue Eyes yaa.

aku menyarankan banget kalian ikut PO. karena ending di novel lebih jelas. konfliknya ditambah, jadi lebih seru. ada quote di tiap awal bab. dan masih banyak lagi alasan2 knp kalian wajib ikut PO. dan yang lebih kece, kalau beruntung kalian bisa dapet hoodie Bieber lho! asalkan jangan lupa, nanti langsung kirim bukti pembayarannya ke aku😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top