6. Tidak Asing
Dalam hidup, segala sesuatu memiliki masanya. Termasuk orang-orang yang datang dalam hidup kita. Mereka memiliki masanya masing-masing untuk pergi meninggalkan kita suatu saat nanti.
---
Di balik pagar yang terbuka, Nael duduk di teras rumah Nata. Matanya terus lurus melihat sebuah rumah yang bersebrangan dengan rumah Nata. Yang Nael dapat pastikan, itu adalah rumah Naya, adik kelasnya. Tapi kenapa rumah itu nampak sepi? Bukannya jam pulang sekolah sudah berlalu sekitar dua jam yang lalu? Jarak rumah dan sekolah yang tidak begitu jauh meski ditempuh menggunakan bus kota, seharusnya tidak memakan waktu banyak.
Ah, entah kenapa akhir-akhir ini Nael selalu merasa penasaran, dan ingin tahu segalanya tentang gadis itu. Sial!
"Nih," Nata menyodorkan buku. "Kalau tau lo ke sini cuma buat minjem catetan si Arya doang mah, gue bisa bawain besok."
Pikiran Nael membuyar, sesaat ia berdecak seraya menoleh pada Nata yang baru saja menaruh bokongnya tepat di kursi rotan yang satunya lagi. "Gue udah jauh-jauh ke sini, lo baru ngomong."
"Ya, lagian siapa suruh baru bilang pas udah sampe?"
"Yaudahlah, gue langsung cabut aja." Nael beranjak dari posisi duduknya.
"Serius lo mau langsung cabut?" Nata bertanya seraya ikut berdiri.
"Hm."
Nael menunggangi jok motor ninjanya yang masih terparkir. Memakai pelindung kepala, lalu menyalahkan mesin. Setelah itu Nael berlalu, menyisakan Nata yang terbingung-bingung melihatnya. Karena menurut Nata ini cukup aneh. Pertama, tidak biasanya Nael meminjam catatan pelajaran orang lain. Nata tahu betul kalau Nael itu tipe orang yang sama persis dengan dirinya. Paling malas kalau untuk mencatat pelajaran. Terutama dan yang paling utama adalah pelajaran matematika. Jadi, cukup sulit bagi Nata untuk percaya, kalau baru saja sahabat kecilnya itu mampir ke rumah, hanya untuk sekedar meminjam buku catatan Arya, yang awalnya ia pinjam untuk bahan contekan saat ulangan harian dua hari lalu, namun tidak sengaja terbawa olehnya saat pulang.
🍓
Tepat di depan portal pembatas area perumahan rumah Nata, Nael memberhentikan mesin motornya. Membuka kembali helmnya. Satu-dua menit berlalu. Namun yang ditunggu belum terlihat juga batang hidungnya. Sementara cuaca Nael lihat semakin mendung.
"Nunggu siapa, Dek?" tegur seorang Bapak berseragam sekuriti.
Yang membuat Nael menoleh, seraya menyahut, "Temen, Pak."
"Monggo, di pos saya saja. Sepertinya mau hujan,"
"Nggak, Pak. Terima kasih." Sejenak, Nael hanya memindahkan posisi parkirnya rada lebih minggir, agar kalaupun nanti hujan, setidaknya masih ada lebihan atap pos yang dapat memayunginya.
Benar saja, tak lama setelah Nael menepikan motornya agar lebih mendekat dengan pos keamanan perumahan tersebut, rintik demi rintik hujan turun. Nael yang semula tidak mengenakan balutan tebal apapun di tubuhnya, segera mengeluarkan sebuah jaket berwarna abu-abu yang memang selalu berada di dalam tasnya. Ia kenakan juga tudungnya untuk menutupi kepalanya. Sekitar lebih dari satu jam berlalu. Nael masih bertahan, meskipun sebenarnya ia mulai merasa kedinginan. Hujan yang kian menderas, menyebabkan jaket Nael pun jadi sedikit basah lantaran terkena tampiasnya.
"Sini masuk, Dek. Dingin. Motornya taruh aja di situ nggak apa-apa."
Belum sempat Nael menerima tawaran Pak Sekuriti barusan, tidak sengaja matanya menangkap seseorang yang sedang berlarian sambil terus berusaha melindungi diri dari hujan di bawah ranselnya yang ia letakan di puncak kepalanya sendiri. Ya, seseorang itulah yang sejak tadi Nael tunggu-tunggu kedatangannya. Yang membuat Nael buru-buru memakai kembali pelindung kepalanya, dan langsung menjalankan kembali motornya menghampiri gadis itu.
"Mau gue anter?"
Melihat sebuah motor yang tahu-tahu saja melaju lambat menyamakan langkah kakinya, dengan mengajukan pertanyaan seakan sangat mengenal dirinya, tentu saja membuat Naya seketika merasa terganggu.
"Lo siapa?!" tanyanya galak.
Sesaat Nael menaikkan kaca helm-nya. "Gue Nael, temennya Nata."
Sebetulnya, tanpa Nael menyebutkan nama pun, ketika kaca helm yang terbuka itu menampakkan sepasang mata cokelat terangnya, Naya sudah mampu mengenali.
"Gimana, mau gue anter nggak?"
Naya berpikir sejenak. Biasanya, kalau mendapat tawaran-tawaran semacam ini, Naya pasti selalu menolak. Akan tetapi kalau dipikir-pikir lagi, jarak rumahnya yang masih lumayan jauh jika ditempuh dengan jalan kaki apalagi hujan-hujan begini, membuat Naya jadi bingung sendiri.
Melihat Naya agak menggigil, Nael tiba-tiba melepaskan jaketnya. "Lain kali bawa jaket tiap hari. Udah tau sekarang lagi musim hujan." Nael mengoceh, yang kemudian tangannya langsung menarik tangan Naya agar berdiri lebih dekat. "Nih, pake jaket gue," katanya sembari menyangkutkan jaketnya di kedua pundak mungil Naya. "Ayok, naik."
Seketika Nael dibuat bingung, saat gadis itu malah diam, tertegun menatapinya dengan ekspresi yang tak mampu terbaca olehnya. Sedangkan hujan lagi deras-derasnya.
"Kenapa diem?"
"Eh?" Mendadak Naya seperti orang linglung. Saat menyadari dirinya sudah kuyup, cepat-cepat Naya menaiki jok belakang motor Nael.
Setelahnya mereka berlalu menerjang derasnya hujan sore itu.
🍓
"Gimana bajunya, Kak?" tanya Naya sesaat setelah mendapati Nael sudah mengganti seragam basahnya dengan kaus berlengan panjang, keluar dari kamar Kevin.
Nael hanya memberi anggukan sebagai jawaban, namun Naya tetap merasa lega. Untung saja baju-baju Kevin masih ada. Jadi Naya bisa meminjamkannya pada Nael sekarang. Karena, sangat tidak mungkin jika dia membiarkan kakak kelasnya itu memakai baju basah, lantaran telah mengantarnya pulang. Bukan hanya baju, bahkan barang-barangnya yang lain pun juga masih ada. Masih tertata rapi di kamar Kevin.
"Kakak mau aku bikinin cokelat panas atau teh hangat?"
"Teh aja."
"Oke, Kakak duduk di sini dulu aja," ucap Naya mempersilakan Nael untuk menunggunya di sofa ruang tamu. Tak lebih dari lima menit, Naya sudah kembali lagi dengan secangkir teh hangat di tanganya. "Ini, Kak."
"Thanks." Nael menyeruput sedikit. "Rumah lo sepi banget?"
"Iya. Soalnya kalau jam segini Ayah masih jaga kedai."
"Nyokap lo?"
🍓
Plak
Kepulangan Nael malam itu tiba-tiba saja disambut oleh tamparan keras yang berasal dari telapak tangan mamanya sendiri, Nita.
"Ngomong apa kamu sama Farah?! Puas kamu sudah membuat Farah membenci Mama?!"
"El nggak ngerti apa maksud Mama."
"Kamu pasti mengatakan sesuatu tentang keburukan Mama pada adikmu kan?! Karena tidak mungkin Farah semakin membenci Mama seperti ini, kalau kamu tidak menghasutnya."
Nael sempat bergeming, tidak menyahut apapun. Bagaimana bisa mamanya menyalahkan dirinya lagi, di saat ia tidak melakukan apa-apa. Bahkan mamanya juga menyalahkannya atas apa yang tidak dia ketahui sama sekali.
"Harusnya Mama tuh mikir. Intropeksi diri. Kenapa Farah sampai kayak begini. Harusnya Mama sadar, untuk seusia Mama itu udah nggak pantes buat cari pria lain. Farah nggak suka liat Mama bawa Om itu ke rumah, Bukan cuma Farah, El juga nggak suka. Apa jangan-jangan karena kelakuan mama ini, Papa jadi pergi ninggalin kita?"
"Bukan Papa yang meninggalkan kita, tapi Mama yang memutuskan untuk meninggalkan papamu. Karena itu semua Mama lakukan demi kamu." Setelah itu Nita pergi menyisakan Nael yang masih belum bergerak di pijakannya.
"Mama bilang El yang menyebabkan Mama meninggalkan Papa. Sekarang Mama juga bilang El yang menyebabkan Farah membenci Mama. El nggak bilang apa-apa tentang Mama ke Farah. El juga sama sekali nggak pernah menghasut Farah untuk membenci Mama. Bahkan El nggak tahu kenapa El bisa menjadi alasan Mama untuk pergi meninggalkan Papa. Apa memang cuma El yang patut disalahkan atas apa yang telah terjadi sama kita?" ucap Nael tanpa emosi lagi, lantaran ia sudah terlalu lelah menyikapi mamanya.
"Bukan seperti itu maksud Mama, Nak. Mama minta maaf, tapi Mama sama sekali nggak bermaksud untuk menyalahkan kamu."
Nita menggeleng, tidak membenarkan. Matanya yang mulai memerah, menatap penuh maaf lurus ke arah putra sulungnya. Namun sayangnya, Nael sudah tidak peduli lagi.
"Udah, Ma. El capek, Ma. El mau tidur."
🍓
"Lain kali bawa jaket tiap hari. Udah tau sekarang lagi musim hujan." Nael mengoceh, yang kemudian tangannya langsung menarik tangan Naya agar berdiri lebih dekat. "Nih, pake jaket gue," katanya sembari menyangkutkan jaketnya di kedua pundak mungil Naya. "Ayok, naik."
Seketika Nael dibuat bingung, saat gadis itu malah diam, tertegun menatapinya dengan ekspresi yang tak mampu terbaca olehnya. Sedangkan hujan lagi deras-derasnya.
Sejujurnya saat itu alasan Naya tertegun memerhatika Nael adalah perlakuan Nael padanya yang entah bagaimana bisa seketika mengingatkan dirinya akan sosok abangnya, Kevin.
Jauh sebelum itu, Naya pernah mendapat perlakuan yang sama persis seperti apa yang Nael lakukan padanya dari Kevin. Bahkan Naya juga pernah mendengar kalimat yang sangat mirip dengan yang Nael katakan tadi, Kevin lontarkan padanya.
Sudah sejak dua sampai tiga jam yang lalu, bel pulang berdering. Jadi tidak heran kalau suasana SMP Cendana nampak telah sepi, hanya menyisakan beberapa orang di area koridor lantai satu. Sebagian sedang menunggu hujan reda, sebagiannya lagi sedang menunggu jemputan. Termasuk Naya, yang menjadi salah satu di antara sebagian dari mereka yang sedang menunggu jemputan.
Derasnya hujan saat itu membuat suhu udara menjadi lebih dingin dari biasanya. Tidak henti Naya menggesekkan kedua telapak tangannya, untuk sekedar menghangatkan wajahnya. Sampai beberapa saat berselang, sebuah motor yang dikendarai Kevin yang masih mengenakan seragam putih abu-abunya, menepi tepat di depannya.
"Bang Kevin lama banget, sih, jemputnya! Aku kan kedinginan, tau!" omel Naya pada Kevin yang baru saja tiba karena sebal kelamaan menunggu.
"Lagian lo kenapa nggak pake jaket?" Kevin menyentak balik, seraya membuka sleting jaket yang dikenakannya.
"Nggak bawa."
"Kan gue sering ingetin lo buat bawa jaket tiap hari! Udah tau sekarang lagi musim hujan! Rasain! Kedinginan kan?" oceh Kevin, lalu menyodorkan jaketnya pada Naya. "Pake, nih! Ntar sakit gue juga kan yang direpotin."
"Lupa, ih." Naya mengambilnya, tapi tak lama bertanya lagi, "Nanti Bang Kevin pake apa? Abang kan nggak bawa jaket lagi? Nggak bawa mantel juga."
Gemas akan adiknya yang terlalu banyak bertanya, tiba-tiba Kevin menarik lengan Naya agar berdiri lebih dekat dengannya. "Gue mah gampang," tuturnya setelah membalut kedua bahu mungil Naya dengan jaketnya. "Udah cepetan naik. Ntar keburu makin deras, nih."
Di tengah keheningan yang menyelimuti suasana kamarnya, Naya hanya berdiam diri. Terduduk di sisi ranjang, memandangi sebuah figura yang memajang sebuah potret dirinya yang sedang terseyum dalam rangkulan abangnya Kevin.
Dalam hitungan cepat, air mata Naya mengembang di pelupuk matanya. Tetes demi tetes berjatuhan tepat di atas kaca yang membalut foto dalam figura di tangannya. Di saat yang bersamaan, Naya merasa ada kesesakan pada setiap tarikan napasnya. Seperti ada sesuatu seperti menghimpit dadanya. Sejujurnya, Naya sangat rindu mendapat perlakuan seperti itu. Naya rindu akan keberadaan sosok abangnya yang telah hilang sejak satu tahun lalu.
"Lo nangis lagi?"
Suara itu seketika membuat Naya menegakkan kepalanya. Tidak tahu datangnya dari mana dan sejak kapan, tiba-tiba Naya mendapati Nata sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Naya bangkit dan langsung memeluk Nata sembari menangis.
"Gue kangen Bang Kevin, Nat," lirih Naya di tengah isakannya.
"Iya gue tahu," Nata membalas pelan. Tanpa Naya bilang pun, Nata sudah dapat menebak hal tersebut. Ini bukan pertama kalinya Nata mendapati Naya sedang menangisi foto Kevin, teman akrabnya di Jakarta yang juga teman satu band-nya.
"Bang Kevin bilang dia sayang sama gue, karena gue adik satu-satunya dia. Tapi kenapa Bang Kevin tega tinggalin gue, Nat?" Naya melirih lagi.
"Kevin tinggalin lo bukan karena keinginan dia. Ini semua terjadi karena emang udah masanya."
"Gue kangen Bang Kevin, Nat... Gue kangen Bang Kevin..." ucap Naya yang terus berulang-ulang tanpa lelah, diselingi dengan isakan yang kian mendalam.
🍓
Tepat ketika bel istirahat berdering, Nael yang diikuti oleh Nata, bergegas. Tidak seperti anak lainnya yang memilih kantin sebagai tujuan utama, mereka berdua malah berbelok ke arah tangga naik.
"Gue kayak kenal sama, tuh, baju," ujar Nata sambil terus menilik detil kaus hitam berlengan panjang yang tak lama, tanpa sadar Nata mengeluarkannya dari paper bag yang Nael bawa.
Belum sempat Nata melebarkan baju tersebut, Nael langsung merampasnya. "Bukan baju gue."
"Tapi seinget gue, gue pernah ngeliat seseorang pake baju itu sebelumnya."
"Ini baju abangnya Naya. Gue minjem."
"Naya?" Tiba-tiba dahi Nata berkerut. "Lo udah inget tentang dia?"
===
To be continue...
a/n: akan aku usahakan up tiap hari. tapi jangan lupa vote dan komentar yaa^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top