5. Sobekan Kertas
Apa yang lebih manis dibanding melihat senyum lo pagi ini?
———
Meski secara fisik, terlihat jelas kalau Nael sedang memerhatikan Pak Gino yang berdiri di depan kelas, menjelaskan deretan rumus trigonometri beserta jajarannya, tapi sesungguhnya pikiran Nael justru sama sekali tidak terfokus pada itu. Terlebih ketika kejadian di koridor tadi terus saja terputar berulang-ulang di kepalanya. Ketika akhirnya ia memiliki kesempatan untuk melihat wajah Naya dari jarak yang sangat dekat, yang membuat debar jantungnya tidak normal sampai detik ini.
Sejak sampai di sekolah, sekitar pukul 6 lewat, Nael sengaja tidak langsung masuk ke kelasnya dan malah memilih untuk berdiri di samping gerbang sekolah, menunggu Naya. Sejujurnya Nael tidak tahu pasti apa alasannya melakukan hal tersebut. Tapi yang jelas, Nael hanya penasaran tentang gadis bernama Naya itu. Seperti ada dorongan tersendiri yang membuat Nael selalu merasa ingin tahu lebih dalam lagi tentangnya. Sampai ketika gadis itu datang, belum sempat Nael menghampirinya, ia kalah cepat dengan seorang perempuan bersuara nyaring, yang dapat Nael pastikan mereka berdua teman dekat. Alhasil, Nael hanya bisa mengikuti mereka yang ternyata berjalan menuju mading sekolah.
Berhubung Nael juga ingin tahu di mana kelas Naya, Nael memutuskan untuk berdiri lebih dekat di depan mading. Namun sayang, Nael harus mengurungkan niatnya. Karena baru saja ia ingin mengambil langkah, tiba-tiba Naya yang berdiri di depannya malah berbalik badan dan langsung menubruknya. Ketika tubuh mungil itu menubruk tubuhnya, seketika Nael merasa jantungnya berdebar hebat. Debaran yang membuat Nael seperti pernah merasakannya sebelum ini.
Oleh karena itu ketika Naya ingin berdiri, Nael sengaja menahan kedua lengan gadis itu. Nael ingin merasakan debaran tidak asing itu lebih lama lagi. Agar ia bisa benar-benar membuat dirinya lebih meyakini lagi, kalau gadis itu memang Renaya. Dan Nael rasa, debaran itu saja sudah lebih dari cukup untuk membuktikan pada dirinya sendiri kalau dia memang Renaya Mahira.
Tapi kalau memang benar, kenapa Nata mengatakan mereka adalah orang yang berbeda? Kenapa pula nama lengkap mereka berbeda?
Sesaat Nael menunduk, memegangi kepalanya dengan mata terpejam kuat. Ia terus memaksakan dirinya untuk mencari sepotong ingatannya yang hilang itu.
Gue nggak bisa begini terus. Gue harus paksa diri gue, biar semua memori itu kembali! tekan batin Nael pada dirinya sendiri.
Akan tetapi, bukannya mengingat apa yang sangat ingin dia ingat, yang terjadi malah sakit kepala yang tiba-tiba menyerang kepalanya. Satu-dua menit, Nael masih mampu menahannya. Namun semakin lama rasa sakit itu semakin menyiksa, membuat Nael tidak kuat lagi.
"Argh!" erang Nael di suasana kelas yang sedang serius, yang berhasil menginterupsi kegiatan belajar mengajar. Membuat orang-orang di sekelilingnya menoleh ke arahnya. Termasuk Pak Gino dan teman sebangkunya. Nata.
"El, lo kenapa?" tanya Nata.
Nael mencengkram kepalanya lebih kuat. "Kepala gue sakit banget, Nat," keluhnya.
"Ayo, gue anter ke UKS." Nata berseru panik, dan langsung menggiring bahu Nael.
🌺
Tidak jauh berbeda dengan Nael, kejadian di koridor itu pun tiada henti membayang-bayangi isi kepala Naya. Sampai-sampai Naya tidak bisa fokus untuk mengikuti pelajaran saat ini. Mata cokelat terang itu, tatapan itu, semuanya masih terekam jelas dalam ingatan Naya. Bahkan cengkraman tangan Kakak Kelasnya yang bernama Damar Naelandra itu seakan masih terasa nyata di kedua tangannya. Naya mengernyit sendiri, ketika ia menyadari ada keanehan yang terjadi pada dirinya.
Sesaat sebelah tangannya bergerak perlahan menyentuh dadanya. Naya melotot ketika mendapati jantungnya ternyata malah berdetak semakin cepat.
"Nay, lo kenapa sih? Daritadi megangin dada mulu?"
"Gue deg-degan, Ser," balas Naya yang masih menahan dadanya.
"Deg-degan kenapa? Gara-gara Bu Rani nyuruh lo ngisi soal yang di papan?"
Naya menggeleng. "Bukan."
"Gara-gara nanti mau ada ulangan?"
Naya menggeleng lagi. "Bukan juga."
"Terus gara-gara apa?"
"Gara-gara kejadian tadi pagi di koridor," Naya berucap pelan, malu.
"Oh, yang lo nubruk kakak kelas itu?"
Kali ini Naya mengangguk.
"Kenapa? Lo takut diomelin sama dia?"
Naya mendesah. "Bukan, ih!"
"Ya, terus lo deg-degan karena apaaa???" tanya Sera dengan nada panjang di ujung kalimat karena saking gemasnya berbicara pada Naya.
Naya diam sejenak. "Karena tatapan mata cokelatnya... mungkin?"
🌺
"Gimana? Udah enakan? Atau masih sakit?" tanya Nata beberapa menit setelah Nael meminum obat pereda sakit kepala yang diberikan suster UKS.
Nael mengangguk samar.
"Kepala lo kenapa, sih? Ini bukan pertama kalinya lo kayak begini."
"Nggak tau, tiba-tiba aja sakit."
Seketika Nata mengingat sesuatu. Nata memang pernah mendapati Nael mengeluh kesakitan di kepala persis seperti sekarang ini, ketika pertama kali ia yang belum mengetahui apa yang telah terjadi pada Nael, bertanya tentang kelanjutan hubungan Nael dengan Naya.
"Jangan bilang lo maksain diri lo buat inget tentang Naya lagi?" tanyanya menyelidik.
Nael mengangguk samar, lagi.
"Demi diri lo sendiri, menurut gue lebih baik lo emang nggak usah inget-inget lagi tentang Naya. Toh buktinya sekarang, dengan atau tanpa adanya dia di sisi lo, lo baik-baik aja. Justru lo malah akan menyakiti diri lo sendiri kalau berusaha buat inget dia."
"Gue ngelakuin itu semua karena feeling gue mengatakan cewek itu pernah menjadi bagian terpenting dalam hidup gue, Nat. Gue nggak bisa lupain dia gitu aja. Seenggaknya gue harus tau kenapa dia nggak ada di saat gue terbangun dari koma. Kenapa dia nggak menemui gue lagi sampai saat ini. Gue harus tau itu, Nat!"
"Iya, gue paham."
"Kalau lo paham, kenapa lo ngelarang gue?"
"Asal lo tahu, El. Selain temen kecil, lo itu udah gue anggap kayak abang gue sendiri. Jadi tanpa lo bilang pun gue ngerti gimana perasaan lo sekarang. Tapi masalahnya―"
"Apa masalahnya?!" sentak Nael memotong, lantaran keburu dirundung emosi.
Nata menarik napas sejenak. Berusaha untuk tidak meladeni emosi Nael. Setelah itu baru bertanya, "Masalahnya mau sampai kapan lo menyiksa diri terus menerus?"
"Sampai ingatan gue kembali utuh."
"Kalau nggak akan pernah bisa?"
"Gue nggak akan berhenti usaha."
"Terserahlah!" akhir Nata, lalu pergi meninggalkan Nael dengan pikirannya sendiri di dalam UKS. Ia tidak ingin ambil pusing lagi. Yang terpenting ia telah melakukan tugasnya. Ia telah mengatakan apa yang semestinya dikatakan.
Sebetulnya umur Nael memang satu tahun lebih tua dari Nata. Namun berhubung Nael sempat mengalami koma panjang, hal itu mengharuskan Nael untuk mengulang kelas sebelas. Walaupun ia sudah pindah sekolah. Akan tetapi, meski begitu tetap saja Nata tidak pernah menyebutnya dengan embel-embel Abang atau Kakak. Mungkin itu juga menjadi karma untuk Nata, ketika Naya melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada Nael.
🌺
Daripada bertanya-tanya siapa gue, lebih baik jawab pertanyaan ini; apa yang lebih manis dibanding melihat senyum lo pagi ini?
Naya mengernyit heran selepas membaca sobekan kertas kecil itu. Ini sudah kali ketiga ia tidak sengaja menemukan tulisan semacam ini di laci mejanya. Apa mungkin ditujukan untuknya? Naya membolak-balik lembar kecil itu. Tetapi tidak ada satu pun nama yang tertulis di sana. Baik nama penulisnya maupun nama ditujukan untuk siapa kertas itu. Ah, entahlah. Mungkin orang iseng. Naya tidak ingin ambil pusing. Seperti biasa Naya hanya menaruhnya ke dalam tas.
Ketika Naya masih berkutat dengan batinnya sendiri, bu Aini selaku wali kelas X IPA Dua, berjalan menuju kelas dengan begitu elegan diiringi ketukan sepatunya. Khusus pagi itu, Bu Aini tidak sendiri. Ada seseorang yang mendampinginya.
"Selamat pagi,"
"Pagi, Bu."
"Hari ini kita kedatangan siswi baru." Sesaat Bu Aini beralih pada seorang perempuan berambut panjang, yang untuk pertama kalinya mengenakan seragam SMA Bangsa. "Nak, silakan perkenalkan dirimu."
"Hai, nama gue Hellen, gue pindahan dari SMA Tunas."
Naya yang semula bersikap tak acuh, tiba-tiba mengangkat kepala saat mendengar nama yang tidak asing di telinganya itu.
"Hellen!" serunya tidak percaya.
Menangkap suara seseorang yang familiar di telinganya, Hellen segera mengedarkan pandangannya. Saat mendapati sosok Naya yang duduk di kursi baris ke empat dari depan, Hellen langsung tersenyum dengan melambaikan tangannya ke arah Naya.
"Kamu boleh duduk di tempat yang kosong, ya."
Hanya butuh beberapa detik, Hellen sudah menemukan bangku kosong. Dan kebetulan sekali, tempat duduk Naya tepat berada persis di depan bangku itu.
"Baik, berhubung Pak Anton hari ini agak telat, jadi Ibu harap kalian bisa tenang sambil menunggu."
Setelah meyakinkan Bu Aini benar-benar sudah jauh dari area kelas, Naya segera memutar bahunya ke belakang, menghadap Hellen yang baru saja duduk. "Lo kenapa nggak bilang mau pindah ke sekolah gue?!"
"Sengaja," balas Hellen santai.
"Maksudnya?"
"Iya, gue sengaja nggak bilang kalau gue mau pindah ke sini. Nggak bilang kalau gue sengaja milih kelas dan jurusan yang sama kayak lo."
"Jahat lo, ish!" Naya mencebik.
🌺
"Lo bawa makan apa?" Naya bertanya seraya duduk dan menaruh mangkuk baksonya di atas meja.
Sera membuka kotak makannya. "Biasa. Salad sayur. Nyokap gue belum sempet beli buah tadi pagi."
"Mau gue pesenin makanan lagi nggak? Takutnya lo nggak kenyang."
"Eh, jangan, Nay!" Buru-buru Sera menahan Naya yang hendak bangkit. "Pola makan gue emang begini. Gue diet."
"Serius?" tanya Naya.
"Dua rius! Target gue minggu ini tuh harus turun minimal tiga kilo."
"Misi-misi," seruak Hellen yang kerepotan membawa nampan dengan dua porsi nasi goreng, sepiring siomai, dan segelas es teh manis di atasnya.
Naya dan Sera segera menggeser sedikit makanan masing-masing. Memberi celah untuk makanan-makanan yang Hellen bawa.
"Ini semua bakal lo makan?" tanya Naya terbengong-bengong melihat meja mereka yang 80% hanya dipenuhi oleh makanan Hellen.
"Yaiyalah, masa gue buang. Jadi, dari pagi tuh gue belum makan nasi. Sarapan cuma roti selai doang. Makanya sekarang gue pesen dua porsi. Buat ngerapel yang tadi pagi."
Bagi Hellen, nasi adalah segalanya. Makanan wajib. Jadi, mau makan siang, malam, ataupun sarapan, kurang afdol rasanya kalau tidak makan nasi.
Selain Naya, ada juga Sera yang ekspresinya lebih-lebih dari Naya. Mulutnya ternganga, tidak percaya melihat ada perempuan yang memiliki porsi makan sebanyak itu. "Lo nggak takut gemuk makan sebanyak itu?"
Hellen menggeleng. "Dari SMP berat badan gue stabil terus. Malah nggak bisa naik kayaknya."
Detik itu juga Sera merasa sangat iri pada Hellen yang bentuk tubuhnya tetap ramping, berat badannya tetap stabil, walau porsi makannya begitu banyak. Sedangkan dia sendiri, bila porsi makannya dilebihkan sedikit saja, berat badannya langsung naik. Dan jika satu kilo saja berat badannya naik, Sera bisa langsung stress yang berlebih. Itulah sebabnya dia sangat amat menjaga pola makannya.
🌺
Di tengah ramainya suasana kantin saat jam istirahat, sepasang mata Nael tidak berhenti memerhatikan seorang gadis yang sedang berbagi tawa dengan dua temannya yang lain itu, dari tempat duduknya yang cukup jauh dari meja gadis itu sambil mengaduk-ngaduk cappucino di hadapannya. Tidak ada sedikitpun terbesit dalam benak Nael untuk mengalihkan pandangannya. Ada banyak hal yang Nael ingin tahu tentang gadis itu.
"Cewek yang namanya Naya itu, dia tetangga lo, kan?" tanya Nael setelah sekian menit berlalu.
Nata mengangguk. "Iya, kenapa?"
"Nggak apa-apa. Balik sekolah nanti gue main ke rumah lo dulu, ya?"
Dalam beberapa saat Nata sempat bingung, lantas bertanya, "Ngapain?"
===
To be continue...
a/n: jangan lupa vote dan komen yaa. ikuti terus ceritanya, karena setelah tamat, akan aku langsung hapus sebagian ehehehe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top