4. Debaran dan Perasaan

Tidak pernah sekalipun ada debaran yang menipu perasaan.

———

"Mas El!"

Kedatangan Nael tiba-tiba disambut dengan pekikan dari Farah. Seorang bocah cilik berambut panjang, dengan poni yang menghiasi wajah tembamnya dengan rapi, yang langsung berlari keluar menghampirinya, kemudian memeluknya sambil menangis.

"Kamu kenapa?"

"Aku nggak mau punya Papa baru, Mas. Aku takut sama Om yang di dalam," keluh Farah di sela-sela tangisannya.

Farah memang tidak pernah suka tiap kali mamanya mengajak calon suami barunya untuk mampir ke rumah. Farah selalu merasa takut. Kalau ada Nael, gadis kecil itu pasti langsung memeluk Nael. Tetapi kalau kebetulan sedang tidak ada Nael, Farah biasanya bersembunyi. Seperti tadi, selama Nael belum pulang sekolah, Farah bersembunyi di kolong meja makan. Makanya ketika ia mendengar suara mesin motor Nael yang sudah sangat dikenalinya itu, Farah langsung berlari menghampirinya.

Nael mengusap kepala adiknya yang usianya baru menginjak 7 tahun itu. "Kamu jangan nangis lagi, ya. Nanti biar Mas El yang bilang ke Mama. Kalau kamu nggak suka sama Om itu. Oke?"

Sesaat Farah merenggangkan pelukannya. Nael mengambil posisi berjongkok agar tingginya bisa sejajar dengan adik perempuannya itu.

"Percaya kan sama Mas El?" tanya Nael sembari mengusap air mata Farah di pipi tembamnya.

Tak lama Farah mengangguk. Lalu masuk bersama dengan terus memegangi tangan kakaknya.

"Kamu baru pulang, Nak?"

Nael hanya menoleh sekilas, kemudian lanjut berjalan bersama Farah menuju kamarnya. Tanpa ada minat untuk menjawab.

🌺

"Assalamualaikum, Yah," ucap Naya seraya mencium punggung tangan Mario, ayahnya.

"Waalaikumsalam. Sore sekali kamu pulang hari ini?"

"Iya, Yah, tadi ada kerja bakti dulu sepulang sekolah," sahut Naya.

Melihat putrinya hendak mengambil celemek, Mario segera menahannya. "Udah, hari ini kamu Ayah liburkan dulu. Lebih baik kamu makan, habis itu istirahat. Kamu pasti capek kan?"

"Nggak Ayah. Naya nggak capek. Naya juga belum laper. Naya mau bantu Ayah dulu, kedai ayah lagi rame, nih. Ntar Ayah kecapean kalau nggak Naya bantuin." Naya tetap mengambil celemek itu.

Seperti biasa, sudah sejak SMP, setiap pulang sekolah Naya pasti selalu membantu ayahnya untuk melayani pelanggan-pelanggan yang makan di kedai milik ayahnya sampai pukul tujuh hingga delapan malam. Kalau esoknya sedang tidak ada tugas, malah Naya akan membantu sampai tutup. Kedai itu tidak terlalu mewah. Hanya cukup menampung sekitar lima puluh orang. Menu makanannya pun biasa. Intinya bukan kedai berbintang. Tetapi Naya suka sekali melayani para pelanggan di kedai ayahnya itu. Terkadang karena itu, Naya juga suka mendapat teman baru.

"Nak, tolong kasih ini ke meja delapan." Mario menyodorkan sebuah nampan yang di atasnya terdapat seporsi nasi goreng dan es jeruk.

"Iya, Yah. Tapi aku anter pesanan ke meja nomor lima dulu, ya."

"Udah, ini biar Ayah yang anter. Kamu anter yang meja delapan aja."

Tiba-tiba Naya mengernyit bingung. Lantaran tidak biasanya ayahnya membeda-bedakan pesanan seperti ini. "Emang kenapa, Yah?"

"Kamu liat dulu siapa yang duduk di sana."

"Siapa?" Sesaat Naya menolehkan kepalanya. "Hellen!!!"

"Naya!!!"

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, berkat membantu ayahnya melayani para pelanggan di sini, terkadang Naya mendapat teman baru. Hellen salah satu contohnya. Sebelumnya Naya dan Hellen tidak saling mengenal seperti ini. Namun karena seringnya Hellen makan di kedai Mario, membuat mereka jadi semakin dekat seperti sekarang.

Dengan semangat Naya mengambil nampan yang terdapat pesanan Hellen.

"Lo ke mana aja? Kenapa sekarang jarang makan di sini?"

"Iya, soalnya si Mbak gue sekarang-sekarang mulai suka masak. Jadi gue makan masakan dia terus. Tapi lo tenang aja, mulai sekarang gue bakal rajin main deh ke sini. Tapi nggak makan, ehehehe," Hellen melempar cengiran pada Naya.

"Terserah, deh, lo mau main atau makan, yang jelas jangan ngilang lama-lama. Kedai ini sepi tanpa kedatangan lo, tau. Ayah gue juga sering nanyain lo."

"Bilang aja gue ngangenin. Tapi emang gue ngangenin, sih," ujar Hellen dengan rasa percaya diri yang terlalu maksimal. "Oiya, btw kabar bunda lo gimana?"

🌺

Nael mendesah berat. Lantaran kesal, tiap kali ia memejamkan matanya, mencoba untuk mengingat gadis yang memiliki Renaya Mahira itu, tetapi yang muncul selalu saja Naya adik kelasnya yang aneh itu. Kalau seperti ini terus, bagaimana caranya ia tidak bisa yakin kalau mereka adalah orang yang sama?

Cklek

Ketika Nael sedang sibuk berkutat dengan pikirannya, tiba-tiba suara pintu terbuka membuatnya kontan menoleh.

"Farah, tidur yuk!"

"Nggak mau!" Tiba-tiba gadis cilik yang semula sedang asyik bermain dengan barbie-barbienya itu berlari ke belakang Nael. "Farah mau tidur sama Bang El aja."

"Kok gitu? Biasanya kan kamu tidurnya sama Mama?"

"Mama jahat!" teriaknya. "Bang El, Farah mau sama Bang El, boleh kan?" Dengan suara memelas Farah memohon sembari menggerak-gerakkan salah satu tangan Nael.

"Jangan gitu dong, Nak. Ayo, Farah kan penurut."

Baru saja kedua tangan Nita terulur ingin mengangkat tubuh Farah, tahu-tahu Nael menghalanginya.

"Kalau Farah nggak mau ya nggak usah dipaksa!" sentak Nael. Membuat Nita mendadak terbengong-bengong.

"Kamu kenapa, El?"

"Harusnya Mama tuh mikir. Intropeksi diri. Kenapa Farah sampai kayak begini. Harusnya Mama sadar, untuk seusia Mama itu udah nggak pantes buat cari pria lain. Farah nggak suka liat Mama bawa Om itu ke rumah, Bukan cuma Farah, El juga nggak suka. Apa jangan-jangan karena kelakuan mama ini, Papa jadi pergi ninggalin kita?"

🌺

Naya dan Hellen mengambil posisi berdiri dengan kedua lututnya di hadapan seseorang yang terduduk di kursi roda dengan tatapan tanpa isi. Kosong.

"Bun, ini Hellen. Bunda masih inget Hellen, kan?" tanya Naya.

"Hai, Tante." Hellen melambaikan tangannya pada perempuan itu.

Meski tidak mendapat tanggapan apapun, Hellen tetap tersenyum ramah pada Fina.

"Permisi," Seseorang berseragam suster tiba-tiba menginterupsi obrolan mereka. Di tangannya membawa makan malam untuk Fina. "Maaf mengganggu, Bu Fina belum makan malam. Boleh saya suapi dulu?"

"Biar saya aja yang suapi Bunda saya boleh, Sus?"

"Boleh, silakan." Suster itu memberikan makan malam Fina beserta nampannya pada Naya. "Saya permisi kembali, ya."

"Iya, terima kasih ya Sus." Sesaat Naya beralih pada bundanya yang nampak seperti tubuh tanpa jiwa itu. "Bunda makan dulu, ya. Naya suapi."

Seketika kedua mata Fina membelok menatap Naya. "Kevin mana, Nay? Bunda kangen abangmu. Suruh abangmu ke sini," pintanya dengan memegangi kedua bahu putrinya.

Dengan sangat sabar Naya menjawab, "Iya, Bunda. Bang Kevin nanti ke sini, ya. Sekarang Bunda makan dulu."

Naya sudah menyodorkan sesendok nasi. Namun tiba-tiba Fina menjauhkan mulutnya. "Nggak mau. Bunda maunya disuapi Kevin," tolaknya, persis seperti anak seusia lima tahun yang hanya ingin disuapi oleh ibunya saja.

"Hari ini biar Naya yang suapi Bunda, ya. Soalnya Bunda harus makan. Kalau Bunda nggak mau makan, nanti Naya nggak mau ajak Bang Kevin ke sini." Naya berpura-pura mengancam, meski nada suaranya tetap terdengar lembut.

"Bawa Kevin ke sini, janji?"

Naya hanya mengangguk tanpa sanggup berkata apa-apa lagi. Setelah itu, barulah Fina mau membuka mulutnya, menarima suapan Naya.

"Suster nyokap lo ganti?" tanya Hellen, lantaran seingatnya, terakhir kali ia mengunjungi Fina, suster yang menjaga sudah rada tua.

"Iya. Suster Aini udah pensiun. Tadi itu penggantinya, Suster Diana," jelas Naya pada Hellen, seraya memasukkan sesuap nasi ke dalam mulut bundanya.

Hellen memanggut samar.  "Oiya, gue boleh tanya nggak?"

"Tanya aja," Naya menyahut sembari menyiapkan suapan selanjutnya untuk Fina. "Tanya apa?"

"Apa yang bikin Bunda lo sampai dirawat di sini? Jujur ya, gue kaget sekaligus heran pas tahu kalau nyokap lo masuk sini." Melihat Naya terdiam, buru-buru Hellen meralat. "Eh, tapi kalau lo nggak mau cerita juga nggak masalah kok. Gue tau itu privasi lo."

Sambil tersenyum Naya menggeleng. "Nyokap gue masuk sini karena dia masih belum bisa menerima kepergian abang gue."

"Abang lo pergi ke mana emang? Jauh?" tanya Hellen, benar-benar tidak mengerti.

"Pergi ke sisi Tuhan," sahut Naya, tenang, seraya kembali menyuapkan nasi ke mulut bundanya.

"Eh, maaf banget, Nay. Gue nggak bermaksud―"

"Santai aja kali. Gue udah ikhlas, kok. Meski belum sepenuhnya," jawab Naya. "Awalnya bokap gue juga ragu untuk masukin nyokap ke sini. Tapi, we're have no any choice. Akhirnya satu minggu paska meninggalnya Bang Kevin, nyokap gue bener-bener dirawat di sini."

Hellen mengusap bahu Naya. "Lo yang sabar, ya. Gue yakin lo pasti bisa menghadapi ini semua. Nyokap lo pasti sembuh."

Skizofrenia paranoid. Itulah nama penyakit gangguan mental yang menyerang kejiwaan Fina, semenjak kepergian Kevin, putra pertamanya. Orang dengan penyakit tersebut cenderung mendengar suara-suara di dalam pikiran mereka dan melihat sesuatu yang tidak nyata. Suka berhalusinasi.

Tidak hanya itu, orang yang memiliki skizofrenia paranoid juga sering menunjukkan perilaku kacau yang menyebabkan diri mereka tidak dapat mengendalikan perilakunya. Akibatnya, pengidap skizofrenia paranoid sering berperilaku tidak pantas, sulit mengendalikan emosi, hasrat, serta keinginannya. Yang jelas, butuh waktu lama untuk masa penyembuhannya.

🌺

Pagi itu, Naya berjalan memasuki gerbang, menuju mading sekolah yang sudah dipenuhi banyak siswa dengan seragam berkerah kaku, alias baru! Semuanya kelas sepuluh. Tidak ada yang tidak. Saling berebut untuk mencapai posisi paling depan. Alhasil Naya hanya bisa berdiri di paling belakang, menunggu. Karena suka tidak suka ia harus mengantri dulu kalau ingin melihat paling depan. Dan yang paling menyebalkan, ada beberapa orang yang setelah melihat namanya, bukannya langsung minggir malah sempat-sempatnya mengobrol dulu di depan mading.

"Naya!" Pekikan seseorang yang memanggil namanya seketika membuat Naya kontan menolehkan kepala. Dilihatnya Sera dari kejauhan yang tengah berlari mengarah padanya. "Ke kelas bareng, yuk."

"Eh? Tapi gue belum tau kelas gue di mana."

"Kita sekelas. Gue udah cek kemarin sebelum balik."

"Lo IPA juga?"

Sera mengangguk semangat

"Yaudah, ayuk!" Kemudian Naya langsung menarik tangan Sera.

Bruk!

Dua orang yang saling bertubrukan tanpa sengaja, di tengah koridor seketika berhasil memancing perhatian banyak orang. Naya yang tidak tahu kalau ada seseorang yang berdiri di belakangnya, saat berbalik tubuhnya menubruk orang itu dengan kasarnya. Sampai-sampai ia mendapati tubuhnya kini menimpa tepat di atas dada seorang kakak kelas yang hanya ia kenali wajahnya saja. Tapi tidak dengan namanya. Sesaat Naya melihat ke arah bordiran nama yang terjahit di dada kiri cowok itu. Damar Naelandra.

Naya yang ingin terburu-buru justru malah membuat Nael sesak napas lantaran dadanya tertekan oleh tangannya. "Maaf, Kak― Aduh!"

Pada posisi masih telentang, dengan refleks kedua tangan Nael menahan kedua tangan Naya. Sehingga pergerakan gadis itu terkunci dan sama sekali tidak bisa bangkit dari posisinya.

Sepasang kornea mata berwarna cokelat milik Nael beberapa saat sempat membekukan sepasang bola mata Naya. Membuatnya tidak bisa barang satu detik pun untuk mengalihkan matanya sama sekali. Bahkan untuk berkedip pun rasanya sulit sekali. Pun dengan detakan jantungnya yang mendadak menjadi berkali-kali lipat lebih cepat, tidak terkendali. Padahal seingatnya, ia tidak memiliki riwayat penyakit jantung dalam silsilah keluarganya.

Terhitung sekitar lebih dari satu menit tidak ada satu pun dari mereka berdua yang bangkit. Keduanya saling diam melempar tatap. Sampai tak lama, ketika Sera menjulurkan tangannya untuk membantu Naya berdiri, Nael baru sadar bahwa dirinya dan gadis yang menimpa tubuhnya itu sedang menjadi pusat perhatian seantero sekolah di pagi hari.

"Maaf, Kak," ucap Naya sekali lagi.

Setelah berdiri, Nael segera berlalu menjauh dari tempat yang semakin meramai itu. Berusaha semaksimal untuk terlihat biasa saja di hadapan gadis itu, meski kenyataannya yang Nael rasakan benar-benar jauh dari kata biasa. Dadanya berdebar sangat cepat tidak terkendali.

===

To be continue...

mau liat mata cokelat terang Nael?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top