25. Yang Disembunyikan
Ada kalanya setiap manusia merasa lelah akan segala hal yang mereka hadapi.
• • •
Baru saja Nael membuka pintu, seketika saja langkahnya terhenti secara otomatis. Cowok itu mendadak bergeming, sehingga Naya yang melihatnya menjadi bingung, tidak mengerti.
"Aku hanya ingin melihat anak-anakku. Aku rindu mereka. Aku ingin tahu bagaimana keadaan Damar paska koma selama setahun itu. Apanya yang salah?!" sentak seorang pria berperawakan gagah, yang berdiri saling menatap nanar dengan seseorang yang merupakan mantan istrinya sendiri. "Kamu egois, Nita!"
Saat masuk, sebuah sentakan namun bukan ditujukan untuknya menggema menyambut kedatangan Nael.
"Bisa-bisanya kamu bilang aku egois!" Nita berdecih jijik akan apa yang baru saja mantan suaminya katakan. "Dengar Herdi, setelah apa yang kamu lakukan, masih berani kamu bilang rindu pada Nael?"
"Melakukan apa?" tanya Nael seraya ingin tahu, seraya mengambil langkah pasti. Karena ia dengar jelas kalau namanya baru saja disebutkan.
Suara Nael seketika mampu menginterupsi pertengkaran yang terjadi di antara mama papanya. Di detik yang sama, mereka berdua mengarahkan bola mata mereka mengikuti ke mana Nael melangkah.
"Damar?" tutur Herdi.
Bahu Nael berputar menghadap sempurna ke arah papanya. Meskipun itu adalah nama depannya, entah mengapa semakin ke sini, nama itu semakin terasa asing bagi Nael di telinganya.
Tangan Herdi refleks memegang bahu Nael. Matanya yang memerah dalam hitungan detik, memberi tatapan yang seakan tidak percaya atas apa yang ia lihat saat ini. Hingga tatkala setetes airmata terjun di pipinya. Haru rindu tersirat jelas di wajah Herdi yang sudah tidak lagi muda. Setelah sekian lama terpisah, akhirnya ia bisa melihat lagi wajah putranya.
Di samping perasaan senang Herdi, ada rasa bersalah yang sudah sejak lama menghantui dirinya ketika ia melihat kembali wajah Nael.
"Maafkan Papa, Nak." Tiba-tiba pria itu merengkuh tubuh Nael. Menangis, seakan sedang memohon maaf atas sebuah penyesalan yang sangat mendalam. "Maafkan Papa," lirihnya, mengulangi.
"Kenapa Papa meminta maaf? Ada apa ini? Sebenarnya apa yang terjadi di antara kalian selama El koma?" Ada begitu banyak pertanyaan yang melintas di kepala Nael. Namun tiga pertanyaan itulah yang selalu menyiksanya.
"Lepaskan anakku! Kamu pasti akan menyakitinya lagi!" Tangan Nita berusaha sekuat mungkin memisahkan Herdi dan Nael. Mau seribu kali pun pria itu meminta maaf, semua kata maaf itu tidak akan bisa mengembalikan keadaan.
"Apa-apaan kamu, Nita! Bagaimanapun juga Damar tetaplah anakku!"
"Kamu tidak ingat? Nael hampir kehilangan nyawanya karenamu!!!"
"Semua itu sudah takdir. Kita tidak bisa menyalahkan siapapun."
"Takdir kamu bilang?! Kalau saja waktu itu kamu tidak mengizinkan Nael mengendarai mobilmu, anak itu tidak akan mengalami kecelakaan! Paham?!" bentak Nita, murka. "Tuhan masih baik hanya memberi dia koma selama setahun. Coba kamu bayangkan, kalau sampai dia tidak bisa diselamatkan waktu itu?! Mau bicara apa kamu?! Mau membantah apalagi?! Sudah jelas semuanya terjadi karena kelalaianmu!"
Paska kejadian yang menimpa Nael, Nita akui, ia memang tidak henti-hentinya menyalahkan Herdi atas kejadian tersebut. Dan karena itu pula, Nita tidak lagi memperbolehkan Herdi untuk bertemu dengan anak-anaknya. Baik itu Nael maupun Farah. Bahkan Nita juga langsung mengajukan surat perceraian, di saat Nael masih dalam keadaan koma. Nita sunguh sudah muak dengan Herdi yang menurutnya seringkali bersikap terlalu tak acuh pada anak-anak.
"Kelalaianku? Lalu, bagaimana denganmu yang selama ini tidak becus menjadi ibu rumah tangga? Aku tahu, kamu memanfaatkan Nael agar bisa segera bercerai denganku, dan mendapat hak asuh sepenuhnya. Setelah itu kamu bisa menikah lagi dengan pria itu. Begitu?"
"Beraninya kamu menuduhku seperti itu!"
"Sudahlah, Nita. Aku sudah tahu akal bulusmu."
Plak
Tidak segan-segan Nita mendaratkan sebuah tamparan keras di pipi Herdi.
Suasana hening. Saat samar-samar Nael menangkap isakan seseorang menangis, saat itu juga Nael baru menyadari keberadaan Farah di tengah-tengah pertengkaran yang terjadi. Gadis kecil yang masih mengenakan seragam sekolahnya itu menangis sesenggukan di atas sofa, dengan kepala tertelungkup ke dalam lipatan kedua tangannya yang ia letakkan di atas lututnya yang tertekuk. Takut akan orangtuanya sendiri. Tidak tahu mana yang harus ia bela. Baik mama ataupun papanya, mereka berdua nampak mengerikan bagi Farah.
"Farah." Dengan langkah cepat, Nael segera menghampiri adiknya. "Mama sama Papa udah keterlaluan. Apa kalian pikir, dengan cara bertengkar seperti ini dapat memberikan yang terbaik untuk Farah?!"
Di sisi lain, Naya yang tidak tahu urusan sama sekali hanya bisa menyaksikan apa yang terjadi di depannya dengan mulut membungkam dalam diam, dan membeku di pijakannya.
🌺
Pertengkaran baru berhenti, ketika Herdi akhirnya memutuskan untuk pergi, mengalah. Cukup lama Nael dibantu dengan Naya mendiamkan tangisan Farah yang nampak ketakutan melihat saling bentak yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri. Namun syukurlah, sekarang gadis cilik itu sudah tertidur pulas setelah terlalu lelah menangis.
Suasana kamar Nael yang senyap, membuat detik jam dinding berdetak cukup nyaring di telinga. Nael duduk di sisi ranjangnya sambil memijat keningnya yang terasa sakit akibat banyaknya hal yang harus ia pikirkan.
"Gue nggak tau harus gimana, Nay," keluh Nael dengan suara pelan. "Gue lelah."
Jujur saja, Nael lelah. Sangat lelah akan apa yang terjadi selama ini di keluarganya. Nael lelah menghadapi semuanya. Kalau boleh menyerah, Nael ingin sekali mengatakan pada Tuhan, kalau ia menyerah dan tidak sanggup lagi. Nael tidak lagi sanggup melihat Farah selalu menjadi korbannya. Menjadi yang paling tersakiti dalam masalah ini, di saat usia yang tak seharusnya. Nael sungguh tidak peduli akan dirinya sendiri. Tetapi ia sangat amat peduli akan adiknya. Ia tidak ingin suatu saat semua ini akan berdampak buruk pada adiknya jika tidak bisa ia hentikan.
"Gue nggak sanggup. Semua ini terlalu berat bagi gue, Nay."
"Kak Nael pasti kuat, kok. Aku yakin itu." Untuk pertama kalinya, Naya meraih tangan Nael. Menggenggamnya erat. Berharap ini bisa menguatkan Nael.
🌺
Di tengah tidur pulasnya, tiba-tiba gadis kecil yang tidur di sebelah Nael membuka matanya, ketika ia tiba-tiba merasa tenggorokannya begitu kering. Karena tidak berani untuk turun ke bawah walau hanya sekedar mengambil segelas air di dapur, gadis cilik bernama lengkap Farah Alnaira itu akhirnya memutuskan untuk membangunkan abangnya, Nael.
"Mas El," desis Farah sambil mengguncang-guncangkan tubuh abangnya. Mungkin karena saking keringnya tenggorokan bocah kecil itu, suara yang ia keluarkan pun jadi terdengar serak. "Mas Nael," Ia berdesis lagi.
Alih-alih Nael tidak bangun juga, seperti biasa Farah menggunakan cara jitunya yang paling ampuh membangunkan siapapun dalam waktu singkat. Yakni, memainkan bulu mata orang itu. Bulu mata Nael yang begitu lentik dan panjang, menghiasi sekeliling matanya, membuat Farah menjadi semakin mudah memainkannya.
Semula mata Nael hanya berkedut-kedut. Namun, merasa ada yang menarik-narik bulu matanya, lantas membuat Nael mau tidak mau jadi membuka matanya. Meski sesungguhnya ia sudah begitu ngantuk.
"Ada apa?" Nael yang sudah paham dengan kebiasaan adiknya ketika membangunkan orang lain, langsung bertanya pada intinya. "Kamu mau apa?"
"Aku haus, Mas," tutur Farah sembari memegangi lehernya.
"Tunggu bentar. Mas ambilin." Dalam keadaan setengah sadar, Nael menyibakkan selimutnya. Bergegas ke bawah untuk mengambilkan yang adiknya minta.
🌺
Tangan Nael perlahan bergerak membuka pintu lemari es, lalu mengambil sebuah botol beling berukuran besar yang berisikan air, yang kemudian air itu ia tuangkan ke dalam gelas yang dipegang oleh sebelah tangannya yang lain hingga penuh. Setelah itu ia kembali berjalan ke kamarnya.
Namun, baru Nael melangkah sampai tangga, saat tidak sengaja pandangannya yang masih setengah terbuka, menangkap sosok mamanya yang tengah bertelepon di ruang tamu dengan posisi membelakanginya, seketika membuat Nael membuka matanya lebih lebar.
"Kamu ingat pesan Tante, pokoknya Tante minta tolong sama kamu, jangan memberitahu Nael yang sebenarnya."
Langkah Nael benar-benar berhenti ketika ia mendengar jelas mamanya menyebut-nyebut namanya pada entah siapa yang tersambung di seberang sana.
"Apapun yang terjadi, jangan sampai Nael tahu apa yang terjadi di masalalunya. Karena Tante tidak mau Nael mengingat semuanya. Tante tidak ingin terjadi apa-apa dengannya.... Baik. Oiya, Tante juga minta tolong sama kamu, Nat, tolong awasi Nael. Kalau ada apa-apa dengannya, kepalanya sakit lagi atau pingsan, langsung segera kabari Tante, ya.... Iya, Nat. Terimakasih ya Nata, kamu sudah mau membantu Tante."
"Nata?" Saat mamanya selesai bertelepon, Nael cukup keras. Rasa kantuknya saat itu juga meluruh, berganti penuh amarah, emosi, dan penuh tanya. Niatnya untuk naik ke kamar ia urungkan lebih dahulu. "Apa maksud dari ucapan Mama ke Nata di telepon tadi?"
Nita yang baru menyadari keberadaan putra sulungnya langsung berbalik dengan wajah yang tersirat nyata adanya kepanikan. "El?" tuturnya spontan. "Sejak kapan kamu di sana, Nak? Kenapa kamu belum tidur?"
===
To be continue...
a/n: tadinya sampai minggu depan mau bener2 vakum, tapi aku gak tega sama temen2:'D
jangan lupa vote dan komen yaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top