Lebih dari sekedar suka.
• • •
"Kenapa tadi Kakak bisa tiba-tiba ada di sana?"
Nael berdecak. "Siapa suruh nggak baca chat dari gue."
Buru-buru Naya meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Dilihatnya banyak notif masuk. Ada chat dari Nael juga di antaranya.
Di parkiran SMA Bangsa yang sudah mulai menyepi, Nael duduk di atas motornya sembari memainkan kunci. Sesaat Nael mengeluarkan ponselnya. Membuka ruang obrolannya dengan Naya.
Dnaelandra: Lo di mana? Gw tunggu di parkiran.
Setelah menyentuh send, Nael mengantungi kembali benda canggih itu. Sekitar lima belas menit berlalu. Nael mengeluarkan lagi ponselnya.
Dnaelandra: Masih lama? Gw bakal tetep nunggu lo.
"Ada apa, sih, di lapangan? Gue lewat, kayaknya heboh gitu."
Selagi memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya, Nael diam-diam mendengarkan obrolan dua perempuan yang berjalan beriringan, memasuki area parkir. Menghampiri sebuah motor matic.
"Oh, itu. Ada cewek, nembus. Tapi dia nggak sadar. Tetep aja gitu jalan kayak biasa."
"Seriusan?"
"Iya. Malu banget, kan? Mana lagi tumbenan ini sekolah jam sigini masih rame. Jadinya ditontonin banyak orang tuh dia."
"Kasian, deh. Siapa sih? Jadi kepo gue."
Perempuan yang memakai jaket levis itu menggedikkan bahu. "Nggak kenal gue. Liat aja baru sekarang."
"Orangnya kayak gimana?"
"Cupu gitu. Pake kacamata. Rambutnya panjang dikuncir ke balakang."
"Yang suka pulang bareng Kak Nael, bukan?"
"Eh, iya. Gue pernah liat dia dibonceng Kak Nael."
"Beneran dia?"
"Iya. Kelas 10."
"Dia cantik anjir pas dateng ke malam puncak kemarin."
Brakk!
Alih-alih ingin menyadarkan dua orang yang sedang bersahut-sahutan itu akan keberadaannya, Nael sengaja menjatuhkan sebuah helm yang ada di dekatnya. Lalu saat mereka menoleh, Nael juga sengaja memberi tatapan menusuk pada keduanya.
Seraya mengambil helm yang dijatuhkannya barusan, Nael mengetus, "Kalau mau gosipin orang, jangan di depan pacarnya."
Untung mereka perempuan, kalau tidak, sudah habis dibikin babak belur oleh Nael. Setelah itu Nael bergegas mengabaikan mereka, berlari ke sumber keramaian. Tanpa ragu mendekati seseorang yang sedang menjadi pusat perhatian.
"Makasih banyak, ya, Kak." Di antara banyak kalimat yang berkecamuk di kepalanya, hanya kalimat itu yang lolos dari kerongkongan Naya.
"Ehm," Nael berdeham. "Lo besok masuk, kan?"
Untuk pertanyaan Nael kali ini, Naya menggeleng lesu. "Nggak tau. Aku malu, Kak. Mau ditaruh mana muka aku kalau aku besok ke sekolah."
"Ya ditaruh situlah. Di mana lagi? Kalau hati lo, baru boleh di taruh di hati gue."
Lagi-lagi Naya berdecih dengan lirikan kesal akan apa yang barusan keluar dari mulut Nael. "Ba―"
"Basi banget tau, Kak," potong Nael seraya menyunggingkan senyum. Seolah hatam betul apa yang ingin Naya katakan selanjutnya. Membuat Naya tidak jadi melanjutkan ucapannya. "Lo pasti mau ngomong itu, kan?" tebaknya kemudian.
"Iya. Omongan Kakak emang basi." Gadis itu mengetus. Membuat Nael malah semakin tertawa geli.
"Kalau gitu besok gue beli formalin deh. Biar omongan gue awet. Nggak basi," canda cowok itu.
🌺
"Nataaa," Di depan rumah tetangganya dengan pagar terbuka, Naya berteriak kencang sekali dengan kepala menenggak ke atas. Memerhatikan sebuah jendela kamar. "NATA NATA NATA NATA," Sambil melompat-lompat, tanpa haus gadis itu terus meneriaki nama Nata dengan menyatukan kedua telapak tangannya yang melengkung membentuk toa, melingkari sekitaran mulutnya, agar suaranya terdengar lebih keras.
Tak lama dari itu jendela kamar Nata terbuka. Memunculkan setengah badan cowok itu dari dalamnya. "Ngapain, sih, lo? Teriak-teriak nggak jelas di depan rumah orang. Emang cuma lo doang yang punya kuping?"
"Bukain pintunyaaaaa," pekik Naya lagi dengan nada panjang di ujung kalimatnya.
Meski merasa terganggu, Nata tetap menuruti. Tidak sampai tiga menit berselang, pintu di hadapan Naya terbuka. Menampakkan sosok Nata di dalamnya.
"Ngapain?"
Bukannya menjelaskan, Naya malah langsung menyelonong masuk, melalui celah antara tubuh Nata dan sisi pintu lainnya.
Nata sebagai tuan rumah hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. "Seneng banget kayaknya. Ada apaan, sih? Abis menang undian?" tebak Nata sekenanya seraya kembali menutup pintu rumahnya.
"Nggak," Naya menandas diiringin gelengan kecil. Namun ekspresinya masih sama, tetap ceria.
"Terus?"
"Nat, lo pernah suka sama orang nggak?"
Alih-alih Naya berbisik, Nata justru tergugu kaku. Namun semampu mungkin Nata tetap mempertahankan sikap biasanya. "Kepo banget lo! Emangnya kenapa?"
"Nggak apa-apa, sih. Tapi, Nat, lo tau kan kalau gue sebenernya jadian sama Kak Nael bukan karena gue ada perasaan sama dia?"
Nata mengangguk. "Terus?"
"Awalnya gue nggak menaruh perasaan sama sekali ke dia. Tapi karena Kak Nael tiba-tiba minta gue jadi pacarnya sebagai ganti rugi kerusakan ponselnya, dan gue nggak mau ada hutang sama dia, jadi gue menerima karena terpaksa."
"Terus sekarang, gimana perasaan lo ke dia?" Nata diam sejenak. Seakan menyiapkan diri akan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin dia dengar, namun sangat ingin dia pastikan langsung dari mulut Naya.
"Sekarang..." Seketika Naya menurunkan pandangannya. "Lebih dari sekedar suka, gue udah benar-benar jatuh cinta, Nat, sama Kak Nael," gumamnya pelan, namun mampu terdengar cukup jelas di telinga Nata.
Sedangkan di pihak lain, Nata tidak mampu lagi berkata-kata. Di samping karena rasa sesaknya yang mendadak terasa seolah sedang menikam dadanya, ada sebuah tanda tanya besar yang justru memunculkan rasa takut bercampur cemas yang hebat dalam diri Nata.
Bagaimana jika Naya mengetahui tujuan Nael mendekatinya selama ini? Yang semata-mata hanya berawal karena ingin mencaritahu latar belakangnya. Bagaimana jika Nael sudah mengetahui yang sebenarnya?
🌺
"Lo yakin, kan, mau masuk sekolah hari ini?" tanya Nael pada Naya yang entah sudah berapa menit membuang waktunya hanya untuk berdiri, tertegun dengan kepala menunduk.
Yang ditanya tidak menjawab. Keringat dingin mengucur deras membasahi dahinya. Jelas, keringat itu muncul bukan karena Naya kepanasan, melainkan karena ia panik, takut, cemas, bergejolak menjadi satu dalam dirinya. Sungguh, Naya belum menyiapkan diri sepenuhnya untuk ke sekolah paska kejadian kemarin.
Perlahan Naya mengangkat kepalanya. Karena melihat Nael masih menuntut jawaban melalui ekspresinya, Naya menggeleng pelan. Melalui sorot mata di balik kacamatanya, Nael mampu membaca maksudnya, dan mengerti. Walau gadis itu tak sekata pun memberi alasan.
"It's okay." Salah satu tangan Nael menarik tubuh Naya agar lebih mendekat. Lalu memakaikan sebuah helm di kepala gadis itu. "Ayo, naik aja. Gue tau gimana caranya ngatasin ini."
Dengan gerakan ragu-ragu, akhirnya Naya naik juga ke belakang jok motor Nael. "Kita mau ke mana, Kak?"
"Bolos sehari nggak akan bikin bego. Jadi lo tenang aja," tutur Nael, enteng.
🌺
Semenjak hubungan pertemanannya dengan Nael sedang tidak baik, atau mungkin bisa dibilang semenjak meyakini bahwa Nata menyembunyikan sesuatu tentang Naya darinya, besoknya Nael memutuskan untuk bertukar tempat duduk dengan temannya yang lain, demi menghindari Nata. Nael pindah duduk di kursi belakang, sedangkan Nata tetap di tempatnya.
Bel sudah berdering sejak beberapa menit yang lalu. Namun saat Nata melihat ke tempat duduk Nael, kursi itu masih kosong. Yang artinya, si pemilik tempat masih belum datang. Meski dalam hatinya terus bertanya-tanya, tetapi Nata berusaha mengabaikannya, untuk tidak peduli.
Akan tetapi hal itu gagal Nata terapkan, sampai ketika bel pulang berdering, ia tidak melihat Naya di sekolah sama sekali. Pun di jam istirahat tadi. Tidak biasanya. Karena seluas-luasnya SMA Bangsa, Nata pasti melihat gadis itu barang sekali-dua kali tiap harinya. Rasa penasarannya terlalu besar kalau sudah berkaitan dengan Naya, untuk diabaikan. Setelah berpikir cukup panjang, Nata akhirnya putuskan untuk memastikannya ke kelas Naya.
Belum sampai di sana, Nata melihat Sera dan Hellen, baru saja keluar dari kelas.
"Eh, bentar-bentar," halau Nata, membuat Hellen dan Sera menghentikan langkah mereka dengan kompak. "Lo liat Naya?" tanyanya langsung to the point.
"Hari ini Naya nggak masuk, Kak."
"Kenapa?"
Seketika Hellen dan Sera saling melempar tatap. Kemudian keduanya sama-sama menggedikkan bahu. Membuat Nata bingung. Mereka berdua ini memang benar-benar tidak tahu, atau tidak mau memberitahu?
"Yakin, kalian nggak tau?" tanya Nata dengan sebelah alis terangkat.
"Dia nggak ada chat kita, sih," kali ini Sera yang menyahut. "Sakit mungkin. Kemarin juga dia dari pagi pucet."
"Gitu, ya?"
Hellen dan Sera mengangguk. "Kami duluan, ya, Kak," timpal Sera.
"Hm, thanks, ya."
Setelahnya, dua perempuan dengan karakter yang sangat bertolak belakang itu kembali melanjutkan langkah mereka yang tertunda, juga melanjutkan obrolan mereka yang sempat terpotong karena pertanyaan Nata. Menyisakan Nata yang masih bergeming di pijakannya.
"Sakit?" Tak lama cowok itu bergumam sendiri.
Kalau dipikir-pikir, menurut Nata tidak mungkin kalau alasan Naya tidak masuk sekolah hari ini karena sakit. Pasalnya, terakhir kali ia bertemu semalam, gadis yang merupakan adik dari teman dekatnya itu nampak sehat-sehat saja. Malah sempat membuat kegaduhan dengan berteriak di depan rumahnya malam-malam. Jadi, tidak masuk akal kalau hari ini gadis itu sakit.
Tapi, kalau tidak sakit, tidak masuk sekolah juga, itu artinya Naya membolos? Pikir Nata bertanya. Apa mungkin gadis itu membolos bersama Nael?
Setelah membuat kehebohan di lapangan kemarin, hari ini dengan kompaknya mereka berdua tidak masuk sekolah. Nata tidak tahu, sejak kapan gadis itu berani membolos. Karena sejak awal mengenalnya, Nata tahu betul Naya orangnya seperti apa. Kalau urusan sekolah, gadis itu akan tetap memaksakan masuk walau telat sekalipun saking tidak inginnya ia ketinggalan pelajaran.
===
To be continue...
a/n: gimana sama part ini? jangan lupa vote dan komen yaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top