21. Halusinasi

Menahan nangis nggak akan bikin lo terlihat kuat. Sebaliknya, menangis juga nggak akan bikin lo terlihat lemah.

• • •

"Bukan." Tiba-tiba Fina menggeleng, matanya masih menyorot Nael tegas. "Namamu bukan itu," ucapnya lagi.

Suasana mendadak senyap dan asing. Baik Naya maupun Nael, tidak ada satu pun dari mereka yang mengerti maksud ucapan Fina. Nael melempar tatap pada Naya penuh tanya. Namun Naya hanya bisa mengangkat kedua bahunya. Sedangkan Fina menatapnya semakin lamat. Seperti sedang mempertegas wajah Nael.

Sampai tiba-tiba wanita berkursi roda itu memanggilnya, "Kevin?"

Mendengar itu, Naya terkejut dibuatnya. "Bukan, Bun. Ini Kak Nael, teman Naya. Dia bukan Bang Kevin."

"Kevin. Kamu Kevin. Namamu Kevin!" Fina berujar kukuh. Tangannya bergerak memaksa Nael untuk mendekat dengannya. Hingga Nael akhirnya mengambil posisi setengah berjongkok. "Kevin, kenapa kamu baru mengunjungi Bunda? Bunda rindu sekali sama kamu, Sayang." Kedua tangan Fina mengusap wajah Nael. Kemudian memeluknya erat. Selayaknya ia sedang menumpahkan kerinduannya pada Kevin yang telah meninggal lebih dari satu tahun yang lalu.

"Bun, dia bukan―" Baru saja Naya ingin menahan Fina, Nael segera lebih dulu menahannya. Lalu cowok itu memberi isyarat gelengan kecil padanya. "Tapi, Kak―"

Mulut Nael bergerak seolah berkata, "Nggak apa-apa."

"Kevin, kenapa kamu baru mengunjungi Bunda sekarang?" Sambil menangis, Fina terus mengusap kepala dan punggung Nael. Sesaat Fina melepaskan pelukannya. "Kamu sudah makan, Nak?"

"Sudah, Tante. Makasih."

"Tante? Sejak kapan kamu panggil Bunda jadi Tante?"

"Eh, maksud saya Bunda."

"Nah, begitu dong." Fina tersenyum, tangannya terus mengusap puncak kepala Nael.

"Bunda habisin dulu, ya, makanannya," seruak Naya sambil menyodorkan sesuap nasi yang langsung ditolak oleh Fina.

"Bunda nggak mau makan kalau disuapinnya nggak sama Kevin."

Naya menghela napasnya yang tertahan. "Tapi, Bunda―"

"Sini, biar Kevin yang suapin. Bunda pasti saking rindunya kan sama Kevin, jadi maunya disuapin sama Kevin?"

Naya menoleh saat Nael mengambil alih piring yang dipegangnya.

"Asik! Jagoan Bunda yang satu ini emang paling mengerti apa inginnya Bunda."

Tanpa segaris pun ekspresi terlihat di wajahnya, Naya memerhatikan Nael yang besikap seolah-olah dia adalah Kevin.

"Kamu tahu nggak, Ayah sama Adik kamu itu sempet ngotot banget sama Bunda, bilang kamu udah meninggal. Jelas-jelas kamu lagi kuliah di Bali. Cuma karena itu, mereka pindahkan Bunda untuk tinggal di sini. Aneh banget kan mereka?"

Sesaat Nael bergeming. Sempat bingung ingin menjawab apa.

"Oiya, kamu gimana kuliahnya? Lancar, kan?"

"Hm, lancar Bun," jawabnya seraya menyuapkan nasi ke dalam mulut Fina.

"Alhamdulillah kalau begitu," tutur Fina di sela-sela kunyahannya. Setelah menelan, wanita paruh baya itu berkata lagi, "Cepat lulus, ya. Biar bisa tinggal lagi di Jakarta."

"Hm," Nael mengangguk seraya mengulum senyum di bibir.

Di posisinya, menyaksikan itu semua Naya hanya bisa tertegun dengan rasa sesak yang menjelimat dalam benaknya. Naya merasa ironi akan hidupnya sendiri. Bagaimana bisa bundanya menjadi seperti ini sekarang?

Alih-alih tidak kuat melihat apa yang ada di depan matanya itu lebih lama lagi, Naya memutuskan untuk segera keluar.

🌺

Di sebuah bangku taman belakang rumah sakit, Naya duduk dengan tatapan tanpa isi. Sangat menyakitkan ketika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa bundanya sampai saat ini masih belum bisa menerima kepergian abangnya yang sudah berlalu cukup lama itu. Karena dengan fakta seperti itu, Naya tidak bisa lagi meyakinkan dirinya akan kesembuhan jiwa sang Bunda.

Gadis itu susah payah menahan sesak yang terus menimpa dadanya. Tidak, dia tidak boleh menangis. Dia tidak boleh meneteskan air matanya. Bundanya pasti sembuh!

Jangan sedih. Lo kuat, Nay! Dalam hati, Naya berucap pada dirinya sendiri. "Semua pasti akan baik-baik aja!" tegasnya lagi, namun kini terucap dengan suara yang terdengar getir. Meskipun nyatanya, di balik kacamata tebalnya, mata gadis itu sudah memerah dengan air yang membendung cepat di ujungnya. Bibirnya yang gemetar, susah payah menahan agar tidak menciptakan isak.

"Menahan nangis nggak akan bikin lo terlihat kuat. Sebaliknya, menangis juga nggak akan bikin lo terlihat lemah." Tanpa berkata lebih, Nael menarik bahu Naya ke dalam pelukannya. "Jadi kalau mau nangis, nangis aja," tutur Nael pelan, yang sukses membuat Naya kian tidak mampu lagi menahan diri untuk tidak menangis.

Tak lama sebuah isakan terdengar bersamaan dengan guncangan kecil bahu Naya. Gadis itu menangis sejadi-jadinya. Kedua tangannya meremas baju Nael cukup kuat, seakan ada emosi ikut terluapkan di waktu yang sama. Entahlah, Naya tidak tahu lagi apa yang lebih menyakitkan dalam hidupnya, ketimbang mengetahui kenyataan bahwa harapan-harapan yang selama ini susah payah dibangun olehnya tidak lebih dari sekedar sesuatu yang semu, dan tidak akan pernah bisa terwujudkan. Sehingga Naya juga tidak tahu lagi apa yang bisa ia lakukan sekarang selain menangis.

🌺

Sekitar pukul sepuluh malam, setelah memastikan Fina telah terlelap, Naya dan Nael bersiap untuk pulang. Karena besok pun mereka harus bangun pagi untuk berangkat ke sekolah. Nael yang sudah menunggangi motornya dengan mesin menyala, mengangsurkan sebuah helm pada Naya sebelum gadis itu naik di belakangnya.

Naya mengambilnya, lalu memasukkan kepalanya. Demi tidak terulangnya kejadian tadi siang, Naya sengaja tidak mengaitkan tali helmnya. Namun saat ingin naik, tahu-tahu Nael menahan salah satu lengannya.

"Kenapa, Kak?"

Tanpa menjawab apa-apa, Nael langsung mengaitkan tali helm yang dipakai Naya. Membuat Naya tersentak karenanya.

"Kakak!"

"Kenapa?" sahut Nael, santai.

"Kok, dikaitin sih! Nanti susah lagi dibukanya, kan!"

"Kalau nggak dikaitin, nanti kelepas. Kepala lo juga yang bahaya. Bukan kepala gue," Nael menjelaskan tanpa merasa bersalah. Karena menurutnya memang tidak ada yang salah dengan apa yang ia lakukan. "Udah cepetan naik. Ntar keburu larut."

Dengan bibir mengerucut kesal, Naya tidak bisa menyanggah apa-apa lagi.

🌺

Setibanya di depan rumah Naya, Nael menepikan motornya seraya memberhentikan lajunya.

Ketika Naya baru turun dari motor, tanpa ikut turun―Nael langsung menarik gadis itu untuk mendekat. "Sini, gue bukain helmnya." Nael tahu, gadis itu pasti akan kesulitan kalau membukanya sendiri.

Saking fokusnya Nael membuka kaitan di bawah dagu Naya, Nael sampai tidak menyadari akan jarak wajahnya dengan wajah gadis itu yang semakin dekat. Saat kaitannya sudah terlepas, pandangan Nael bergeser sedikit. Saat itu pula Nael baru menyadarinya. Detik demi detik terlewat, namun baik Nael maupun Naya, keduanya malah mematung dengan saling mengunci tatap satu sama lain. Keduanya sama-sama merasakan debaran cepat yang seirama.

Seperti ada sihir yang terselip, Naya merasa dirinya telah benar-benar terhipnotis akan mata cokelat terang itu. Bahkan untuk berkedip pun rasanya sulit bagi gadis itu. Hingga saat Nael memalingkan matanya lebih dulu, barulah mata Naya mampu mengedipkan matanya.

"Udah kebuka," ujar Nael, seperti mencoba menyadarkan Naya.

"Eh, iya." Dengan terburu, Naya membebaskan kepalanya dari pelindung kepala itu. "Makasih banyak ya, Kak."

"Buat?" tanya Nael. Namun sedetik kemudian ia langsung mengerti. "Oh, buat bukain helm lo tadi?"

"Bukan, Kak. Bukan itu."

Sembari menggantungkan helmnya di bagian depan motornya, Nael bertanya lagi, "Terus makasih buat apa?"

"Makasih, karena waktu di rumah sakit Kak Nael udah bikin Bunda senang." Dua ujung bibir Naya terangkat membentuk lengkungan senyum. Namun tak lama senyum itu pudar. "Tapi aku juga minta maaf banget udah buat Kakak repot karena kelakuan Bunda," ucap Naya lagi seraya menundukkan kepalanya.

Sungguh Naya merasa tidak enak dengan Nael. Naya tidak menyangka kalau kejadiannya akan seperti tadi. Bisa-bisanya Fina menganggap Nael adalah Kevin, putra sulungnya, di saat yang seharusnya Naya pikir bundanya itu sudah bisa mengikhlaskan kepergian abangnya sekarang.

Tangan Nael terangkat menyentuh pangkal hidung Naya, membenarkan posisi kacamata gadis itu. "Jangan nunduk. Ntar kacamata lo jatoh," katanya berusaha mencairkan suasana.

"Ih, Kakak! Aku lagi ngomong serius, tau!"

Nael tertawa. "Iya, iya. Santai aja, lagi," balasnya. "Lo masuk sana. Gue liatin."

"Kak Nael emangnya nggak pulang?"

"Pulanglah. Tapi ntar, setelah gue mastiin lo masuk ke dalem rumah dengan selamat."

"Ish! Basi banget, sih, Kak!" Bukannya senang, Naya justru berdecih kesal mendengarnya. Naya memang satu dari segelintir orang yang sangat tidak menyukai gombalan-gombalan apapun, dari siapapun, termasuk Nael.

Sebaliknya, Nael pun sama. Dimarahi bukannya diam, malah terkekeh geli. "Basi mulu. Makanya angetin biar nggak basi," sungutnya asal saja.

"Bodo ah. Aku mau masuk."

Dengan entakan pada langkah pertamanya, Naya berbalik dan langsung berjalan masuk ke dalam rumahnya. Setelah itu barulah Nael memakai kembali helm-nya, lalu berlalu beriringan dengan deru mesin motor berjalan.

🌺

Dengan sebuah kertas dalam genggamannya, pagi itu Nata berjalan melewati koridor yang masih terlihat lengang. Bukan, bukan karena sekolah sedang diliburkan. Melainkan karena memang Nata-nya saja yang datang terlalu pagi. Mungkin boleh jadi, Nata merupakan murid yang pertama datang hari itu.

Ketika tiba di lantai tiga, di depan pintu kelas X IPA Dua yang masih tertutup rapat―menandakan belum ada yang datang, Nata nampak tertegun meskipun tangan kanannya sudah terjulur memegang daun pintu. Seolah sedang mempertimbangkan lagi tujuan awalnya.

Sesaat kepala Nata menunduk. Melihat kembali sebuah kertas yang dipegang sebelah tangannya yang lain.

Maaf, gue masih menyukai lo. Meskipun gue tau hati lo bukan untuk gue.

Seketika seperti ada sesuatu yang berkecamuk dalam pikiran Nata, yang membuatnya meragukan kembali niatannya untuk menaruh kertas tersebut di laci meja Naya. Nata tidak tahu, pantaskah dia melakukan hal ini, ketika sudah jelas-jelas ia tahu, bahwa Naya sudah menjadi milik orang lain?

===

To be continue...

a/n: minggu ini aku rajin up. karena minggu depan aku bakal bener2 hiatus:(
jgn lupa vomment ttg part ini yaa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top