19. Sebuah Kotak

PLAY MULMED👆
Gimana kalau nanti malam kita kencan?

• • •

Nael membuka jas hitam yang membalut tubuhnya, yang kemudian ia gantungkan sementara di sandaran kursi belajarnya. Cowok itu duduk di pinggir ranjangnya sembari membuka dua kancing bagian atas kemejanya bersamaan dengan senyum yang bersemu di wajahnya. Tidak tahu kenapa, selama pikirannya terus memutar ulang rekaman kejadian antara dirinya dan Naya tadi, selama itu pula Nael terus saja merasakan kembali debaran itu di dadanya.

Debaran yang Nael rasa, ia pernah rasakan sebelum-sebelumnya. Namun sayang, sampai sekarang Nael tidak dapat mengingat pada siapa debaran itu ditujukan. Tapi, apa ini pertanda bahwa dugaannya yang mengatakan gadis itu adalah Renaya yang pernah menghiasi masalalunya memang benar adanya?

"Mas El, aku nggak bisa tidur."

Suara imut Farah seketika membuat Nael menoleh. Dilihatnya adik kecilnya itu yang entah sejak kapan duduk di sebelahnya.

"Kamu mau tidur sama Mama?"

Gadis kecil yang sudah mengenakan setelan baju tidur itu menggeleng dengan mata sayu.

"Terus?" tanya Nael tidak mengerti.

"Aku nggak bisa tidur kalau nggak ada Olaf."

Olaf adalah boneka karakter yang dapat kalian temukan di film animasi frozen, yang selalu setia menemani Farah sejak gadis kecil itu masih berusia empat tahun. Makanya sekarang mau sengantuk apapun gadis cilik itu, ia tidak akan bisa tidur jika tidak ada Olaf bersamanya.

"Olaf kamu di mana emang?"

"Tadi diambil sama Mama. Katanya Mama baru akan kasih kalau aku mau tidur di kamarnya. Tapi aku bilang nggak mau, aku takut."

Nael mengernyit. "Takut?"

"Iya, soalnya sekarang Mama makin jahat sama aku. Sama Mas El juga, kan?"

Bibir Nael menipis, senyum. Sebelah tangannya terangkat mengusap puncak kepala Farah. "Jahat gimana?"

"Kemarin waktu Om serem itu maksa mau meluk aku, Mama nggak nolongin aku. Mama malah marahi aku."

Nael menarik napasnya yang terasa baru saja dihujani batu dengan berton-ton beratnya. "Hm, kalau gitu, biar Mas El aja yang ambil Olaf di kamar Mama. Kamu tunggu sini, ya?"

Farah mengangguk dengan ekspresi riang, menampakkan deretan gigi mungilnya.

🌺

Tok tok tok

Nael mengetuk pintu kamar mamanya. Tetapi tidak ada sahutan apapun dari dalam.

Tok tok tok

Nael mengetuknya lagi. Dan masih sama seperti sebelumnya, tidak ada tanda-tanda kehidupan di kamar itu. Sampai akhirnya Nael mencoba memutar gagang pintu.

Cklek

Ternyata tidak dikunci. Saat Nael membukanya, tidak siapapun di sana. Pantas saja dari tadi ia ketuk tidak ada respon. Justru akan menjadi horor kalau sampai ada yang merespon, bukan?

Kaki Nael mengambil langkah masuk sembari mengedarkan pandangannya, mencari Olaf. Tidak lama pergerakan bola matanya terhenti tepat di sebuah boneka berbulu putih, yang tergeletak di atas nakas. Dengan segera Nael bergegas mengambilnya.

Brak!

Saat mengambil, tidak sengaja tangannya menjatuhkan sebuah kotak berwarna hijau tua, hingga segala yang ada di dalamnya berceceran ke mana-mana. Membuat langkah Nael tentu saja harus tertunda dulu. Nael berjongkok untuk membereskan kembali. Menaruh sejenak Olaf milik adiknya. Namun saat tanpa sengaja tatapannya jatuh pada sebuah foto dirinya, yang berhasil membuat perhatiannya langsung teralih.

Alis Nael menaut rapat bersamaan dengan tangannya yang terjulur mengambil foto tersebut. Ada yang janggal menurut Nael, ketika ia mendapati tangan seorang perempuan yang melingkar di pinggangnya. Pun dengan dirinya yang seperti sedang merangkul seseorang. Nael sungguh tidak ingat kapan foto itu diambil, dan tangan siapa itu. Karena yang ia lihat saat ini foto itu sudah tergunting setengah.

Bukan hanya satu, ketika Nael singkirkan benda-benda yang lainnya, ternyata ada beberapa foto lain dengan kondisi yang sama, hanya setengah. Sebagian ada yang terlihat seperti digunting. sebagiannya lagi ada yang seperti disobek, seperti memang sengaja hanya menyisakan potret dirinya saja.

"Kalau aku hitung sampai tiga, langsung, ya?"

"Argh," Seketika suara yang cuma muncul di kepalanya membuat Nael merasa seperti ada sesuatu yang menyerang kepalanya dengan banyak tusukan yang menyakitkan.

Dengan sangat kebingungan, Nael memutar melihat ke sekelilingnya yang sangat tidak ia kenal. Nael tidak tahu bagaimana dirinya bisa berada di tempat ini. Yang Nael tahu tiba-tiba saja ia mendapati dirinya sedang berada di rooftop sebuah gedung dengan bangunan kuat, namun tak terurus, tidak juga terpakai.

Mata Nael memicing, saat menangkap sosok dirinya sendiri, seperti sedang mengatur kamera yang berdiri setinggi dadanya.

"Timernya cuma tujuh detik. Jadi kalau aku hitung sampai tiga, langsung ya?" Setelah itu berlari mendekati seorang gadis yang menunggu di belakangnya.

Gadis itu. Nael berani memastikan gadis itu adalah gadis yang akhir-akhir ini sering muncul di kepalanya, namun tidak pernah dapat ia lihat dengan jelas detil rupanya. Meskipun gadis itu tidak pernah nampak jelas di matanya, tetapi Nael masih ingat betul bagaimana perawakannya. Bahkan rambutnya yang tergerai masih mampu Nael kenali.

Gadis berambut panjang dengan baju terusan selutut itu tidak menangkap maksud Nael. "Langsung apa?"

Karena tidak keburu jika menjawab lagi, cepat-cepat Nael meraih kedua tangan gadis itu, menuntunnya sampai melingkar erat di pinggangnya. Setelah itu barulah ia merangkulkan tangannya ke bahu gadis itu.

"Tiga, dua, satu,"

Pas dengan perkiraan hitungan Nael, kamera berdiri itu menjepret ditandai dengan blitz yang menyala dalam sedetik. Untunglah mereka masih sempat mengatur senyum dengan baik sebelumnya.

"Nael, kamu kenapa, Nak?" Nita yang baru memasuki kamarnya, langsung panik ketika melihat Nael mengerang kesakitan.

Dalam sekali mata Nael berkedip, entah kenapa bayang-bayang tadi menghilang begitu saja dari pandangannya. Ia menemukan dirinya kembali di dalam kamar, bersama mamanya yang menatapnya hampir menangis, saking paniknya.

"Argh," erang Nael dengan pelan. Sedikit-sedikit rasa sakit itu mulai menghilang.

"Sayang, jawab Mama, Nak. Kamu kenapa? Sakit kepala kamu kumat lagi?" Jujur, Nita memang sangat panik, amat panik. Atau mungkin lebih tepatnya khawatir. Orangtua mana yang tidak khawatir, tidak panik, tidak cemas melihat keadaannya seperti ini? Termasuk Nita. Terlebih lagi dia adalah seorang ibu.

Nael menggeleng dengan tatapan kosong. Pikirannya terasa masih berada di awang-awang membayangkan kembali apa yang ia lihat tadi. Kenapa ia selalu melihat dirinya begitu bahagia ketika sedang bersama gadis itu? Apakah seberharga itu gadis itu dalam dirinya? Sespesial itu gadis itu dalam hidupnya? Tetapi kalaupun iya, Nael tidak habis pikir, bisa-bisanya ia melupakan seluruh memori tentang gadis itu setelah koma?

Kenapa semua jadi membingungkan seperti ini?

"Kamu duduk dulu." Nita membantu Nael mengangkat tubuhnya, untuk duduk di sisi ranjang yang paling dekat dengan mereka. Melihat wajah Nael yang pucat, sudah jelas menandakan bahwa putranya itu tidak sedang baik-baik saja. da

"Ma, boleh El tanya sesuatu?"

"Tanya apa, sayang? Tanyakan saja,"

"Itu kotak apa, Ma? Kenapa foto El ada di kotak itu dalam keadaan sepotong? Ke mana potongan yang lainnya?" tanya Nael yang masih memegang selembar foto di tangannya. "Apa karena foto dan isi kotak itu ada kaitannya dengan Renaya Mahira, jadi sengaja Mama sembunyikan dari El?"

"Sebenarnya apa yang terjadi, Ma? El butuh kejelasan. El ingin ingatan El secara utuh. El mau tau siapa Renaya."

"El cukup!" bentak Nita, tanpa sadar. "Lupakan perempuan itu! Dia bukan siapa-siapa kamu!"

"Kenapa dia selalu muncul di kepala El?" cecar Nael dengan nada bicara tidak kalah tinggi. "Argh," Nael mengerang, ketika tiba-tiba sakit itu terasa lagi di kepalanya.

"Sudah-sudah. Mama antar kamu ke kamar. Lupakan semuanya. Lebih baik kamu istirahat."

Kalau saja ada satu orang saja yang ingin membantunya untuk mengingatkan, mungkin Nael tidak akan segila ini. Semuanya terasa sulit lantaran tidak ada satu pun orang di sekitarnya yang mau memberikan jawaban tiap kali ia mempertanyakan hal itu. Tidak mamanya, tidak juga Nata yang merupakan teman terdekatnya sekalipun, mereka semua sama saja. Selalu berlaku seakan-akan sangat tidak ingin Nael tahu apa yang ingin dia ketahui.

🌺

Kalau sedang libur sekolah, Naya memang biasa menghabiskan waktunya di kedai, untuk membantu ayahnya. Seperti sekarang ini. Gadis itu sudah stand by di kedai untuk membantu ayahnya sejak tadi pagi, di saat kedai masih baru bersiap-siap untuk buka.

"Selamat menikmati, Bu," ucap Naya ramah pada seorang ibu yang pesanannya baru ia sajikan.

Ibu itu tersenyum, seraya berucap, "Terimakasih, Dik."

"Mbak,"

Naya memutar bahunya ketika mendengar seseorang berseru dengan petikan jari. Dengan sigap gadis kacamata yang menjadi satu-satunya pelayan tak berseragam itu menghampiri meja orang tersebut.

"Iya, Mas, mau pesan apa?" tanya Naya dengan ramah.

"Saya mau pesan waktu Mbak hari ini untuk dihabiskan bersama saya, bisa?"

Tangan Naya yang baru hendak menuliskan pesanan tersebut tiba-tiba tertahan saat ia menyadari pesanan seorang cowok bertopi itu, yang jelas sangat tidak logis.

"Maksud Mas apa?!" Pertanyaan ambigu yang diajukan cowok itu tentu saja membuat Naya tersinggung karenanya. "Maaf ya Mas, di kedai ini kami hanya menyajikan makanan. Bukan jasa. Mas salah tempat!"

"Saya mau pesan makanan, tapi makannya ditemani sama Mbak, boleh?"

Naya berdecih. "Sori. Tapi saya udah punya pacar, Mas."

"Ogitu, Mbak sayang sama pacarnya?"

Agar cowok hidung belang itu jera, dengan tegas Naya menjawab, "Sayanglah, Mas. Namanya juga sama pacar."

"Cinta?"

"Ya jelas, dong!" tegasnya lagi.

"Alhamdulillah kalau gitu. Saya seneng dengernya."

Dalam hitungan detik Naya mengernyit. Gadis itu memiringkan kepalanya semakin bawah, demi ingin melihat rupa cowok itu. Namun cowok itu lebih cepat menundukkan kepalanya semakin dalam sambil menurunkan topinya. Sampai akhirnya tangan Naya perlahan terjulur pelan tapi pasti, membuka topi hitam orang itu.

"Hahahaha," Tahu-tahu cowok itu terbahak sebelum Naya sempat membuka topinya. "Katanya sayang, tapi masa nggak ngenalin?" tanyanya menggoda.

"Kak Nael!" Gadis itu langsung menyentak kesal ketika tahu kalau ternyata orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah pacarnya sendiri. Eh, tunggu! Seketika Naya bergeming. Mengingat apa saja pernyataan-pernyataan yang ia lontarkan tadi.

Mampus mati gue! Gue bilang apa tadi?! Ah, begooooo!!!! kutuknya dalam hati. Salah satu tangannya yang hanya memegang pulpen segera terangkat membekap mulutnya sendiri.

Memerhatikan gadisnya itu, Nael malah semakin tidak kuasa menahan tawanya. Nael berdiri, untuk memundurkan satu kursi yang paling dekat dengannya di meja yang sama. "Nggak usah malu. Duduk aja sini, temenin gue. Gue nggak butuh makan apa-apa. Gue cuma butuh pacar gue." Kedua tangannya menurunkan paksa kedua sisi bahu Naya, sampai gadis itu benar-benar terduduk.

Naya mengusap tengkuknya. "Kak, tadi itu aku―"

"Lo cinta sama gue? Lo sayang sama gue?"

Naya menggeleng cepat.

"Enggak?!"

"Eh, maksudnya, itu. Aduh, gimana, sih," Naya kebingungan sendiri akan kata-katanya.

"Btw, kita pacaran tapi kok nggak pernah kencan, ya?"

"Maksud Kakak?"

"Ck," Nael berdecak gemas. Ia baru ingat kalau gadisnya yang satu ini memang sungguh kelewat polos. "Gimana kalau nanti malam kita kencan?"

===

To be continue...

a/n: apa yg kamu rasakan saat membaca part ini?
jangan lupa vote dan komen yaa;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top