11. Tanpa Alasan

Kalau aku suka sama kamu dengan alasan, suatu saat nanti alasan itu juga bisa menjadi alasanku untuk meninggalkan kamu. Lain halnya kalau aku suka kamu tanpa alasan. Aku nggak punya apa-apa yang bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan kamu sampai kapanpun.

• • •

Tepat di tengah celah parkir yang kosong pagi itu, Nael memberhentikan mesin motornya. Membuka helmnya, lalu sejenak merapikan tatanan rambutnya sembari bercermin pada kaca spion motornya sendiri. Selepas memasang standar, juga menggantungkan helmnya pada salah satu ujung stang motornya, barulah Nael turun.

"Gimana ponsel lo?" tanya Nata yang tahu-tahu merangkulnya dari belakang.

Nael menoleh. Memberi sorot mata heran pada temannya sendiri. "Dari mana turunnya lo?"

"Gue parkir motor di depan motor lo, man! Masa nggak sadar?"

"Nggak," jawabnya, sebelum menjawab pertanyaan pertama Nata. "Ponsel gue nggak bisa dibetulin."

"Semalem si Naya bengong terus, kepikiran itu."

"Kepikiran gimana?"

"Kak Nael!"

Pekikan seseorang seketika mampu menginterupsi Nael dan Nata. Nael menoleh. Hanya menoleh. Tidak ada sahutan apapun yang keluar dari mulutnya.

"Ngapain tuh bocah?" gumam Nata saat tahu bahwa pekikan itu ternyata berasal dari Naya yang berlarian dari arah gerbang sekolah, mengejar mereka, atau lebih tepatnya hanya Nael, yang baru saja keluar dari area parkiran.

Lantas hal itu membuat Nael maupun Nata berhenti mengambil langkah. Langkah Naya yang terus berderap lebih cepat akhirnya berhasil menyusul dua kakak kelasnya itu.

"Kak Nael ponselnya gimana? Biaya perbaikannya berapa, Kak?" Gadis berkacamata itu bertanya di sela-sela napasnya yang terengah-engah setelah berlari tadi.

"Lo lari-lari cuma buat nanya itu?" sambar Nata.

Naya mengangguk sembari mengatur napasnya. "Kak, kalau biayanya mahal, maaf banget Kak aku nggak bisa ga―Aw!"

Tiba-tiba Naya merasakan ada sesuatu yang menghantam kakinya sehingga ia mendadak oleng, dan hampir terjatuh. Baru hampir. Karena sebelum benar-benar terjatuh, Nael yang kebetulan berdiri paling dekat dengan Naya, kedua tangannya refleks menahan tubuh Naya dengan cekatan.

"Eh, maaf" ucap Naya seraya hendak berdiri sempurna. "maaf ba... nget, Kak." Fokus Naya benar-benar membuyar ketika secara tak sengaja matanya beradu dalam jarak dekat dengan mata Nael untuk yang kedua kalinya. Sampai-sampai tanpa sadar ia bergumam, "Mata yang indah."

"Mata yang indah. Aku suka menatapnya."

Tidak tahu dari mana asalnya, seketika ada suara lain yang mengucapkan hal serupa dengan yang Naya ucapkan, mendengung jelas hanya di telinga Nael. Membuat kepalanya tiba-tiba terasa sakit.

"Argh!" Nael mengerang sambil memegangi kepalanya.

"El, lo kenapa?" tanya Nata, panik.

"Kepala gue sakit lagi, Nat," keluh Nael. "Sakit banget."

"Kita ke UKS yuk, Kak!"

Nael menggeleng, tidak mau. Tapi melalui raut wajahnya, nampak jelas kalau cowok itu sedang bersusah payah menahan kesakitan yang dirasakannya.

"Mata yang indah. Aku suka menatapnya."

Nael membuka matanya perlahan. Namun ia merasa asing ketika menyadari dirinya sedang berada di tempat yang tidak ia kenali. Ia juga melihat dirinya sendiri dari kejauhan, yang sedang berdiri berhadapan dan saling bersitatap dengan seorang gadis yang tidak pernah tertangkap jelas oleh penglihatannya.

"Kalau mataku nggak indah, jadi kamu nggak bakal suka sama aku?"

Gadis itu menggedikkan kedua bahunya. "Mungkin," ucapnya sambil melempar senyum meledek.

"Hm," Nael nampak berdeham, kecewa. "Padahal aku nggak punya alasan kenapa aku bisa suka sama kamu."

"Kenapa nggak punya alasan?" tanya gadis itu. "Bukannya segala sesuatu membutuhkan alasan, ya?"

Nael menggeleng pelan. "Karena kalau aku suka sama kamu dengan alasan, suatu saat nanti alasan itu juga bisa menjadi alasanku untuk meninggalkan kamu. Lain halnya kalau aku suka kamu tanpa alasan, aku nggak punya apa-apa yang bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan kamu sampai kapanpun."

🌺

Nael memicingkan matanya pelan-pelan. Sampai saat semuanya terlihat jelas, Nael merasa heran ketika ia mendapati dirinya terbaring di sebuah ranjang besi. Dilihatnya area sekitarnya yang bernuansa serba putih.

Tak lama saat Nael melihat di sisi sebelah kiri ranjangnya, ia mendapati Nata yang sedang duduk membelakangi dirinya, seperti tengah memikirkan sesuatu. Nael tidak ingin tahu, entah apa yang Nata pikirkan sampai-sampai teman kecilnya itu tidak menyadari bahwa dirinya telah sadar sekarang. Tapi Nael merasa perlu tahu kenapa ia bisa berada di UKS seperti ini sekarang.

"Kenapa gue bisa ada di sini, Nat?" tanyanya.

"Eh?" Nael seketika menoleh seraya memutar posisi duduknya. "Lo pingsan tadi," katanya dengan raut wajah nampak rada terkejut lantaran tidak tahu sejak kapan Nael terbangun. jelasnya kemudian.

"Lo sendirian?" Tanpa pakai basa-basi lagi Nael langsung bertanya, "Naya mana?"

"Lo kenapa nyariin dia?" balas Nata dengan balik bertanya.

"Nggak kenapa-napa."

Karena merasa kepalanya masih sedikit pusing, Nael kembali meluruskan kepalanya, menatap langit-langi UKS dalam posisi terbaring.

"El," panggil Nata yang membuat Nael menoleh. "kayaknya gue saranin lo jangan deket-deket Naya lagi, deh."

🌺

Naya berdiri di depan kelas. Sambil sesekali melihat ke jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, mata Naya juga sibuk berkeliling seakan sedang mencari seseorang.

"Lo ngapain, sih, Nay? Nggak pegel apa daritadi diri?"

Naya menggeleng gusar. "Gue lagi nunggu Hellen. Itu anak ke mana, sih? Udah jam segini masih belum dateng juga."

"Tumben." heran Sera. "Nggak biasa-biasanya lo nunggu Hellen?"

"Masalahnya dia tuh udah jan―" Secepat mungkin Naya menahan mulutnya, membuat Sera menatapnya curiga.

"Jan?" Sera mengernyit. "Janji? Janji apa? Kok gue nggak dikasih tau?" cecarnya.

"Janji..." Naya menggantungkan kalimatnya sembari memutar otak, mencari alasan. Karena tidak mungkin ia memberitahu yang sebenarnya. Tentang secret admirer itu. "Janji mau kasih pinjem catetan PKn!" tembaknya kemudian.

"Oooh,"

Naya mengelus dada, bersyukur Sera tidak curiga apa-apa.

"Kenapa nggak lo telepon atau chat aja? Tanya hari ini dia masuk apa nggak."

Sejenak Naya berpikir. Benar juga apa kata Sera. Tanpa banyak bicara Naya membuka ruang obrolannya dengan Hellen.

Naya Vaneyla: hari ini lo masuk ga?

Karena telah menemukan jalan keluar, kini Naya merasa tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. "Ser, ke kantin, yuk, sarapan?" ajaknya.

"Sarapan?"

Naya mengangguk. "Gue tuh sebenernya laper ini. Cuma tadi sempet ilang gara-gara nyari si Hellen."

"Gue temenin lo aja, deh. Lo tau sendiri kan, makanan di kantin nggak ada yang mendukung gue diet."

🌺

Selama Event Anak Bangsa sedang berlangsung, suasana kantin sudah tidak bisa dipungkiri lagi keramaiannya. Meskipun waktu masih menunjukkan sekitar pukul 9 pagi. Sebagian anak-anak yang tidak turut serta dalam event lebih memilih untuk menghabiskan waktu di kantin ketimbang di dalam kelas. Jadi tidak heran kalau nyaris semua meja sudah terisi. Untung saja Naya dan Sera masih sempat mendapat satu meja kosong yang tersisa untuk mereka.

"Ser, gue pesen makanan dulu. Lo jaga meja, ya, biar nggak ditempatin orang,"

Setelah Sera mengiyakan, Naya segera menjalankan tabiatnya. Pagi-pagi seperti ini, stand bubur memang lebih banyak digandrungi ketimbang stand makanan lainnya. Alhasil, mau tidak mau Naya harus mengantre jika tetap ingin membelinya.

Sambil menunggu giliran, Naya memilih untuk mengisi waktu dengan mengecek ponselnya. Dan ternyata, ada tiga chat masuk dari Hellen.

Dilana Hellen: Gak Nay. Gue izin mau ke luar kota bareng nyokap.

Dilana Hellen: Tadi nyokap gue juga udah telp TU sekolah.

Dilana Hellen: Kenapa?

Baru saja Naya hendak mengetik balasan untuk Hellen, tahu-tahu Mas Tejo, tukang bubur, bertanya sambil menyiapkan mangkuk. "Adik, pesan berapa porsi?"

"Satu aja, Mas. Nggak pakai kacang, ya."

"Pedas, toh?"

"Iya, Mas." Naya mengangguk.

Setelah itu Naya kembali fokus pada chat Hellen.

Naya Vaneyla: Yah, padahal gue udah gasabar banget mau minta lo buat tunjukin cowok yang lo liat kemarin itu.

Dilana Hellen: Lusa gue udah di jkt kok. Lusa aja ya.

Dilana Hellen: Yang jelas gue inget banget dia anak basket. Soalnya waktu itu dia pake seragam basket Nay.

"Ini, Dik, pesanannya."

Mendapati semangkuk bubur dengan porsi lengkap pesanannya telah jadi, Naya segera mengantungi ponselnya sebelum membawanya.

🌺

"Ada yang sendirian, nih!" Tiba-tiba Gilang memekik nyaring pada Yoga. Sampai Sera yang merasa tersindir menoleh ke arahnya. "Goy, temenin, tuh."

"Siap, Lang. Tugas gue kan emang mesti selalu ada untuk bidadari gue yang satu ini. Iya, nggak?" tanyanya pada Sera sembari mengambil posisi nyaman di kursi kosong satu meja dengan Sera. "Gue temenin, ya? Kalau sendirian ntar ada yang ngegebet, kan berabe urusannya."

"Apaan, sih, lo berdua! Dateng-dateng bikin rusuh aja!" Sera mengomel, kesal juga melihat kelakuan dua anak itu yang tak kunjung berubah. "Awas jangan duduk di situ. Itu tempat Naya!" usir Naya yang kali ini ditujukan pada Yoga yang main seenak jidat duduk di kursi sebelahnya.

"Santai dong, Cinta," rayu Yoga yang sungguh menjijikan bagi Sera yang mendengarnya. "Lagian Nayanya juga nggak apa-apa, kali."

"Tau lo, Ser. Galak amat sama bucin sendiri. Si Naya juga nggak ada." Menyusul Yoga, Gilang juga ikut duduk di kursi yang lain.

"Najis amat gue punya bucin kayak dia! Amit-amit!" Sera menggeleng cepat. Menyingkirkan jauh-jauh bayangan aneh di kepalanya.

"Eh, ati-ati aja lo." Seketika Yoga bicara pada Sera dengan nada horor.

"Ati-ati kenapa?" tanya Sera, penasaran. Mimik wajahnya nampak begitu serius.

"Nih, dengerin gue, kita mesti ati-ati. Jangan terlalu benci sama orang. Karena biasanya, kalau yang gue liat di film-film itu, yang benci ntarannya bakal jadi... jadi apa, Lang?" Dengan sengajanya Yoga meminta Gilang melanjutkan kalimatnya.

"Jadi cinta-lah!" seru Gilang dengan sangat optimis.

"Aihh, mantul banget temen gue yang satu ini!" Dengan bangganya Yoga merangkul bahu Gilang.

"Eh, mau sampai Miley Cyrus pake hijab pun, gue nggak akan pernah suka sama lo! Camkan baik-baik," sumpah Sera dengan penuh penekanan. "Sana lo pergi! Duh, tempat Naya banyak kumannya deh didudukin sama lo."

"Alhamdulillah kalau Mbak Miley akhirnya berhijrah pake hijab. Gue mah cuma bisa mendoakan yang terbaik aja. Iya, kan, Lang?" ucap Yoga yang malah salah tangkap. "Tapi, apa hubungan lo sama Mbak Miley, Ser?"

Plak

Dengan sangat enteng Gilang menoyor kepala Yoga. "Heh, laron! Lo kapan pinternya, anjir?! Bodo, ah, gue cabut."

"Lang, mau ke mana lo? Tungguin! Gue beluman kelar nih godain cinta gue." Sesaat Yoga menyempatkan untuk melempar senyum penuh percaya diri pada Sera. Tapi melihat Gilang melangkah semakin jauh, akhirnya ia bangkit. "Lang, tungguin!"

"Bodo! Capek juga lama-lama punya temen otaknya cetek," sahut Gilang cukup kencang.

Tak lama Naya dengan mangkuk bubur di tangannya kembali.

"Lo lama banget, sih?! Nggak tau apa gue kepusingan tadi ditinggal sendiri sama lo," omel Sera menyambut kedatangan Naya.

Namun Naya hanya meresponnya tertawa.

===

To be continue...

a/n: ayo spam komen dan vote.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top