The Calm Before The Storm

Kediaman Vinch von Dille, Hamburg. Tahun 2019.

Bagi sebagian orang, menjadi bagian dari keluarga von Dille adalah suatu keberutungan. Siapa yang tidak akan iri bila dari lahir saja sudah bermandikan uang. Semua hal mungkin bila uang sudah berbicara. Salah satunya adalah liburan. Ya, liburan bersama sepasukan manusia yang menyandang 'jabatan' von Dille di atas sebuah kapal pesiar mewah.

Untuk  mendapatkan sepotong informasi, Agatha Dietlinde von Dille harus melalui proses membangunkan anak macan yang beranjak dewasa. Biarlah, segalak apa pun ... Ciel tetap kakak lelaki paling manis untuk Agatha. Dia pernah membersihkan luka di lututnya dengan telaten dan hati-hati, meski mulutnya terus meledak seperti petasan di malam Tahun Baru. Ciel memang kakak terbaik sepanjang masa.

Menurut Ciel lokasi berlibur mereka merupakan arena bermain Jack Sparrow di perairan Karibia. Tidak tepat di Karibia juga, tapi agak mengarah ke timur, sekitar laut lepas Miami. Apakah kali ini mereka akan pesta cosplay menjadi bajak laut? Kakek Aefar pasti cocok menjadi Kapten Davi Jones dengan janggut tentakel gurita.

Agatha tidak tahu kapan tradisi berlibur bersama ini dimulai dan tidak berniat mencari tahu juga. Mereka tinggal menurut dan bersiap saja jika kepala keluarga sudah mengatakan tempat dan tujuannya. Bersiap di sini bukan hanya mengepak koper dan segala keperluan penting lain, tapi juga menyiapkan mental dan fisik untuk terdampar ke tempat-tempat eksotis. Bukan tidak mungkin liburan berikutnya harus terjun payung di tengah-tengah Hutan Amazon.

Untung hingga sekarang Kakek Aefar belum mencetuskan rencana untuk uji nyali ke Pulau Sentinel Utara, bagian dari gugusan Kepulauan Andaman di Teluk Benggala sana. Kenapa uji nyali? Pemerintah India saja sampai mengeluarkan larangan untuk mendekati pulau itu. Mendekat saja tidak boleh, apalagi menginjakkan kaki di sana. Jangan sekali-sekali mengganggu ketenteraman suku primitif di sana jika ingin hidup tenteram sampai tua.

Andai saja Kakek Aefar dengan segala keeksentrikannya bersikukuh untuk pergi juga, Agatha lebih suka mengalami kecelakaan dan amnesia seumur hidup, supaya nama sosok tua renta yang menolak ringkih itu terhapus dalam ingatan selamanya. Kalau ia ingin berduel dengan maut dan masuk Neraka, tidak perlu menyeret-nyeret seluruh von Dille bersamanya, bukan begitu?

Kakek Aefar, mirip Malaikat Maut—Grim Reaper
tanpa jubah compang-camping karena ia melek busana. Tampil necis sudah menjadi bagian hidupnya. Sebelum lupa, Malaikat Maut identik dengan arit besar, tapi senjata melengkung itu lebih cocok diganti dengan sepasang revolver, pisau berburu, dan shotgun.

Entah apa yang akan terjadi jika kakek pelit senyum itu membaca pikiran-pikiran penuh cinta salah satu cucu tentangnya. Paling dianggap durhaka. Anehnya sampai sekarang belum ada yang dicoret dari daftar penerima warisan jika ia bersatu dengan tanah.

Agatha tidak ingin bersinggungan atau berada di pihak yang berseberangan dengan Kakek Aefar. Sudah cukup ia mencicipi setetes trauma saat melihatnya bertengkar hebat dengan Papa Vinch, atau memaksa adik kecilnya berlatih jadi pembunuh sadis berkedok bela diri. Baiklah, untuk ini saja dirinya bisa bersimpati pada Auriga, si bungsu yang merenggut dua hal—hidup Mama Elif dan kebahagiaan Ciel. Anggap saja itu hukuman untuknya.

"Agatha, kau di dalam? Ada kiriman paket untukmu, Sayang." Sangat mudah untuk menemukan sosok berambut cokelat berombak di rumah ini. Buktinya adalah tiga kali ketukan di pintu bercak putih yang memiliki hiasan bertulisan 'Agatha' berwarna ungu.

Agatha buru-buru mengancingkan kembali seragam sekolahnya. Dua kali bunyi 'klik' dan tampaklah iris cokelat yang mengintip dari celah pintu yang dibuka selebar satu lembar roti tawar. "Dari siapa, Pa?"

"Mari kita lihat dari siapa ini." Vinch memicing, menarik mundur kepalanya untuk membaca tulisan seukuran semut pada selembar kertas yang tertempel di paket. "Ciel dan—"

"Sam Walensky?" tebak Agatha, "pasti itu yang mereka janjikan sebulan lalu." Pintu terbuka lebih lebar dan tangan mungilnya terulur untuk menerima paket seukuran buku kamus Oxford. "Terima kasih, Pa."

"Sama-sama, Sayang. Papa senang kamu punya teman selain Ciel."

Agatha berkedip cepat. Wajahnya terangkat untuk menatap lurus papanya. "Aku punya teman di sekolah, Pa." Dua alisnya saling merapat. "Aku tidak anti sosial, kok ...."

Melihat ekspresi merajuk Agatha, Vinch ingin menggaruk tengkuk, tapi justru berakhir ke belakang kepala. Kedua-duanya sama sekali tidak gatal. "Ah! Bukan, Papa tidak bilang kamu merana karena tidak punya teman. Agatha, Papa—"

Sorot tak bersahabat yang ditunjukkan Agatha lebih dari cukup bagi Vinch untuk menarik diri dan tidak menyita waktu putrinya lebih lama lagi. "Baiklah. Papa, tidak akan mengganggu lagi. Selamat mengerjakan tugas sekolahmu, Sayang."

Vinch menghela napas pasrah dan tanpa diminta menutup rapat kamar Agatha. Inilah yang terjadi bila sudah menyangkut putri kelimanya, sering salah memahami satu sama lain. Hingga sekarang Vich tidak tahu harus berbuat apa supaya bisa berbincang akrab dengan Agatha, si pendiam yang jarang tersenyum. Mungkin hanya Ciel yang bisa mengundang berbagai ekspresi darinya. "Sebelum Papa lupa, Kakek Aefar—"

"Aku sudah tahu dari Kakak, Pa!" balas Agatha dari balik pintu. Perkataanya jelas digelayuti usiran terhadap duda beranak enam itu.

"Dari Lunara?"

"Bukan. Ciel."

"Oh, baiklah. Jangan lupa makan malamnya nanti, Sayang." Vinch mengingatkan sebelum benar-benar beranjak pergi.

"Iya, Pa!"

Dibanding bersantap bersama di ruang makan, Agatha lebih suka mengurung diri dan menunggu salah satu pelayan membawakan senampan berisi menu makan malam. Namun, demi menghormati dan menjaga perasaan seorang bapak-bapak kesepian tanpa istri yang hobi memasak, mau tidak mau dirinya ikut makan bersama. Lebih baik menunjukkan diri di sana, daripada didatangi oleh Vinch sendiri seperti tadi.

Agatha tidak tahu apa yang salah dengan seorang Vinch von Dille. Terkadang sosok yang masih menyisakan ketampanan di masa lalu itu seperti ... orang lain? Jujur saja, senyum manisnya itu justru membangkitkan bulu kuduk. Entahlah, ia tidak bisa menemukan deskrispsi yang tepat untuk menggambarkan sosok pria yang merangkap peran sebagai ibu bagi kelima saudara lainnya.

Ck! Pemikiran ini lagi ... Papa Vinch adalah Papa Vinch! Mana mungkin ada hantu perempuan genit yang menempel padanya. Kalaupun ada, pasti sudah masuk radar Kakek Aefar untuk diusir dan dibuang ke Lubang Hitam di Galaksi Kuku Bima.

Tidak mau berlarut-larut dalam pemikirannya sendiri, Agatha segera membongkar paket yang dikirim langsung dari Amerika. Di dalam, ada tiga amplop putih dan permainan yang sekarang sudah memiliki judul 'LOST'. Dua amplop berisi panduan dasar cara bermain, dan satu lembar lagi berisi semacam surat garansi selama tiga bulan.

Sam Walensky—teman Ciel—sedang mengembangkan permainan berkonsep realitas, tapi maya. Dalam bahasa aslinya disebut Virtual Reality. Singkatnya, Virtual Reality—VR—merupakan simulasi lingkungan yang benar-benar ada di dunia nyata atau imajinasi si pembuat dengan bantuan komputer.

Agatha tidak terlalu ingin tahu lebih dalam mengenai sejarah dari VR sendiri. Teknologi ini sendiri merupakan terobosan baru baginya. Kapan lagi bisa masuk ke dalam dunia permainan dan menjadi pemeran utama pikirnya. Selama ini, hanya satu cara menikmati permainan yaitu dengan menjadi pengamat.

Memang benar ada tombol ini dan itu yang harus ditekan untuk menggerakkan karakter ataupun mengeluarkan gerakan-gerakan berkelahi, serta jurus-jurus keren. Bukankah sedikit membosankan karena hanya mata dan telinga saja yang bisa menikmati? Indra lain dianggurkan begitu saja. Untung saja mereka tidak melakukan unjuk rasa dan mogok melakukan tugasnya masing-masing.

🐾🐾🐾

《CHAPTER I》

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top