Meteor

Tepat dua bulan lalu, Ciel pulang ke kediaman mereka bersama Sam Walensky, pria berkebangsaan Amerika. Kedekatan Sam dengan Ciel dan kesamaan hobi, memudahkan Agatha untuk menerima kehadiran lelaki itu dalam lingkup relasinya yang sempit. Dalam satu kesempatan, Sam menunjukkan konsep dari permainan yang belum diberi nama kepadanya. Permainan yang digadang-gadang akan memberi pengalaman dan sensasi berbeda dari jenis permainan lain.

"Agatha! Bayangkan kau menjadi tokoh utama dalam permainan!" seru Sam kala itu, berusaha menularkan antusiasnya.

Mata Agatha terus terpaku pada layar besar yang menampilkan video dengan grafik yang mulus dan beresolusi tajam. "Setiap game memang begitu, kan?" Memang benar apa yang ditonton kualitasnya lebih bagus, tapi dirinya belum ingin menggigit sepotong antusias yang ditawarkan Sam.

"Salah! Yang aku rancang ini lebih advance ... kelima panca indramu akan beker! Selama ini hanya mata dan telinga saja, bukan? Nah, yang ini kau bisa mencium aroma apa saja—termasuk bau badan Ciel."

"Jangan mengada-ada," bantah Ciel. Kesal juga kenapa Sam memberi contoh absurd seperti itu.

Pipi Agatha menggembung, tidak suka ada yang mengatai Ciel. "Iya! Jangan mengada-ada, Kak Ciel tidak bau! Orang tampan tidak punya bau badan!"

"Oh, Dear ... semua orang punya aroma badan. Mau bermain fakta denganku?" Sam bersedekap, pura-pura menantang.

"Ya! Di komik yang aku baca semua orang cantik dan tampan bahkan tidak ke toilet!"

"Benarkah ...?" Sam membelalak, pura-pura terkejut. Diliriknya Ciel yang tersenyum miring dan mengangkat bahu, seolah ingin mengatakan 'jangan berdebat lagi dengan adikku, kau pasti tetap kalah telak'.

Ciel paham dengan sang adik yang mungkin akan menantang dunia demi membela dirinya. Namun, terkadang afeksi berlebihan Agatha juga membangkitkan perasaan tidak nyaman. Mungkin ada kekhawatiran bila afeksi tersebut berkembang menjadi perasaan cinta. Membayangkan dicintai oleh saudara kandung sendiri justru mendatangkan beban tersendiri baginya.

Memang tidak salah dalam mencintai, tapi bagaimana bila Agatha memandangnya sebagai pasangan potensial? Ngeri.

"Kak, pukul dia! Berani-beraninya dia bilang Kak Ciel bau!"

Sam justru tergelak melihat amukan Agatha, tapi tidak bagi Ciel yang pikirannya tengah mengawang-awang.

"Kak Ciel!" Nada mirip jeritan meminta atensi disertai geraman kecil, meluncur dari bibir mungil gadis yang dua tahun lagi menginjak 17 tahun. Waktu berlalu begitu cepat dan sampailah Agatha pada titik tidak bisa ditimang-timang seperti dulu sambil dinyanyikan lagu pengantar tidur.

"Diamlah, Agatha! Sam hanya bercanda, tidak perlu ditanggapi berlebihan seperti itu!" Sewaktu menoleh, sebulir cairan bening sudah mengalir tanpa hambatan dari sudut mata Agatha, memaksa Ciel berdeham dan menurunkan intonasi suaranya. "Agatha ... maaf. Aku tidak bermaksud—"

"Maaf, Kak ...." Agatha menunduk sambil meremas ujung kaos ungu bergambar penguin pemberian Ciel.

"Apa itu? Berani menunjukkan kelemahan diri lagi?"

"Ti-tidak!" Agatha buru-buru menghapus jejak air mata di pipi, padahal matanya masih berkaca-kaca. "Kata siapa aku lemah!" ujarnya penuh penegasan.

"Bagus. Itu baru adikku. Sini—" Ciel berlutut dengan satu kaki dan mengulurkan tangan. Dalam beberapa detik, adik remajanya menghambur masuk dalam dekapan. "Maaf. Tidak bermaksud membentakmu tadi, tapi aku tidak suka dengan sikap kekanakanmu itu. Jangan diulangi," nasihatnya sambil menepuk-nepuk pelan bahu Agatha.

"Iya, Kak ...."

"Sudah, sudah. Keluarlah, aku dan Sam perlu membahas hal penting."

Agatha mengangguk dan berjalan ke arah pintu, memberikan privasi yang diminta sang kakak. Ciel sudah bertekad untuk memagari perasaan Agatha supaya tidak berkembang liar seperti semak belukar yang berpotensi menghancurkan hubungan keluarga mereka, bagaimanapun caranya.

Hubungan darah yang tidak boleh dilangkahi atas nama cinta—cinta yang salah tempat.

🐾🐾🐾

Jam masih menunjukkan pukul lima sore. Masih ada waktu bagi Agatha untuk berleha-leha sebelum bersiap untuk menghadiri acara ulang tahun teman sekolahnya. Sebenarnya lima tugas dari sekolah sudah mengantri untuk digarap, tapi ia terlalu malas untuk itu. Sekali-kali menunda, tidak mengapa, bukan?

Jadilah sekarang ia duduk menghadap layar besar yang biasa digunakan untuk bermain hingga lupa diri. Keengganan masih bergelayut untuk membiarkan piringan pipih di tangannya ditelan konsol berwarna ungu muda.

"Jadi ini yang mereka kerjakan di sana?" Genre yang ditawarkan, bukanlah jenis yang biasa ia mainkan. "Aku tidak tertarik dengan perang bintang atau berkelana dengan frisbee untuk ditangkap anjing alien."

Pada pembungkusnya disebutkan bahwa LOST adalah permainan bertema fantasi dengan bumbu fiksi ilmiah. Judulnya sendiri, Legend of Stygian Talisman, menurut Agatha lebih menjurus ke fantasi. Namun, gambar sampul berlatar gelap dengan satu bola kecil yang mengambang di angkasa, memberi kesan fiksi ilmiah lebih mendominasi.

"Mereka plin-plan. Tapi, ini pasti ide cemerlang Kak Ciel." Lesung pipi jelas tercetak akibat senyum di wajah Agatha. "Coba kalau Kak Alden bisa diajak main."

Apakah bola kecil itu Bulan? Bukan. Bulan mengorbit Bumi, tidak menggantung beratus-ratus kaki di dalam atmosfer bumi.

"Planet dalam planet? Liar sekali ide mereka." Agatha membiarkan si piringan pipih hilang ditelan konsolnya. Tidak lama sambutan bertulis 'Loading...' di bawah ikon Fennec Fox berlari-lari di atas treadmill muncul pada layar. "Pffft! Pasti inspirasinya dari Luna."

Perangkat VR yang dijanjikan Sam telah tiba seminggu lalu dan sekarang sudah merangkul kepalanya. Deretan tulisan berwarna putih dengan latar dua planet terus bermunculan. Namun, Agatha terus mengibaskan tangan karena enggan membaca cerita pengantarnya.

Layar kembali gelap beberapa detik.

Setelah layar hitam, Agatha terbangun dalam ruangan yang sungguh asing. Tiga menit awal dihabiskannya untuk memeriksa sekeliling. Suasana di dalam ruangan yang terbilang sempit ini jelas memiliki aksen dan motif bertema futuristik, mirip dengan permainan simulasi yang memungkinkan pemainnya untuk berkelana ke masa depan dengan mesin waktu.

Cahaya terang berkilas dari jendela kaca berlapis yang desainnya mirip dengan jendela di kabin pesawat terbang, mengantar kakinya untuk mengintip ke luar. Kepungan awan semakin menguatkan dugaan di mana ia berada sekarang—di dalam pesawat yang sedang mengangkasa.

Tidak salah juga pemikirannya. Agatha memang di udara, tapi tidak berpijak di dalam pesawat terbang raksasa, melainkan sebuah planet buatan yang 'berlayar' mengarungi langit lepas. Benar, ia masih berada di Bumi, bukan di luar planet apalagi luar galaksi.

"Master! Pegangan!" Suara melengking dan imut-imut yang entah berasal dari mana, memberi peringatan dini.

"Siapa?" Agatha menoleh hingga berputar, tapi tidak menemukan sosok yang baru bicara tadi.

"Lihat jam tangan dan cepat berpegangan!"

Sesuatu berwarna perak yang melingkari pergelangan tangan kiri Agatha berkedip-kedip ungu. "Ternyata ini," ucapnya sambil mengembuskan napas lega dan menepuk gambar 3D berbentuk Fennec Fox di dalam jam tangan. Pengalaman bermain VR terakhir bersama Serena von Dille, sempat mempermainkan ritme jantungnya menjadi tidak beraturan.

Suara wanita dewasa dari pengeras suara memberitahu ada objek yang bergerak cepat ke Arkonium dan menyuruh para penumpang mempersiapkan diri untuk benturan berpotensi Tsunami.

Arkonium?

Tsu-Tsunami?" Agatha panik sekaligus heran. "Bagaimana mungkin di udara ada Tsunami?"

Pertanyaan Agatha belum terjawab karena cahaya putih dari arah matahari, menghalangi mata untuk melihat dengan jelas objek terbakar yang melesat cepat ke arahnya.

🐾🐾🐾

Ciel von Dille 😍

Sam Walensky 😒

《CHAPTER 1.1》

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top