Caught In The Middle

Beberapa hari sebelum menaiki Poseidon, kapal pesiar mewah yang akan membawa seluruh keluarga von Dille, Agatha melakukan video call dengan Ciel.

"Bagaimana, kau suka dengan game buatan kami?" Sam menggeser Ciel supaya wajahnya bisa masuk ke dalam layar.

"Berita buruk, aku belum terbiasa," balas Agatha jujur.

"Hahaha! Pembukaannya mengangetkan, bukan?"

Agatha memasang wajah merana. "Bukan hanya kaget, tapi serangan jantung."

"Agatha," panggil Ciel dari belakang Sam yang masih menguasai layar.

"Ya?"

"Kalau kau tidak suka dengan game itu, jangan dilanjutkan."

Agatha terdiam. Selalu saja Ciel bisa dengan jitu menebak apa yang sebenarnya ia rasakan. "Bu-bukan begitu, Kak. Aku hanya perlu menyesuaikan diri saja. Game ini pasti akan meledak di pasaran nanti!"

"Maaf, secara sadar kami menjadikanmu seperti kelinci percobaan."

"Kenapa? Kak Ciel takut kalau kisah terperangkap dalam dunia game akan terjadi di dunia nyata?"

Wajah Ciel tetap tidak berubah, sorot matanya justru semakin meredup seolah sedang menanggung seluruh penderitaan dunia di bahunya.

Suasana yang tiba-tiba canggung menjentikkan kegemasan Sam yang langsung menyambar, "Hei, Agatha! Kakakmu hanya tidak ingin kau jatuh cinta pada salah satu tokoh tampan di dalam game itu! Ups ...spoiler!"

"Memang ada yang lebih ganteng dari Kak Ciel?"

"Tentu saja ada! Kau sedang berbicara dengannya." Sam memberi petunjuk yang mengarah pada dirinya, tapi sayang ia lupa sedang berhadapan dengan Agatha yang matanya hanya dan akan selalu tertuju pada Ciel.

Ciel kembali bersuara, "Agatha, kau sudah dengar detail perjalanan kita nanti?"

"Aku tidak terlalu ingin tahu."

Sesuai dugaan, Agatha pasti tidak antusias untuk bertemu dengan keluarga besarnya sendiri. Di matanya mereka hanyalah para manusia yang kebetulan menyandang nama tambahan von Dille. Sebuah nama untuk memberitahu dunia bila mereka memiliki hubungan darah. Lalu apa? Masing-masing memiliki hidupnya sendiri. Ia tidak akan peduli pada orang yang tidak menaruh perhatian padanya.

Bumi dan segala planetnya mengorbit pada Sang Matahari, sosok yang dipanggil Kakek Aefar. Namun, bukankah tata surya terlalu luas cakupannya? Agatha merasa hanya perlu menjadi Bulan yang mengitari Bumi—Ciel.

Papa Vinch adalah Planet Jupiter. Raksasa yang terlihat, tapi tidak terjangkau. Alden, kakak pertama  di kediaman mereka adalah Merkurius, terlalu panas untuk didekati. Lunara, si planet Venus yang masih mencari cinta. Dua saudara perempuan lain, Liesl dan Auriga, hanyalah sabuk asteroid di antara planet Mars dan Jupiter.

Lalu, siapa yang menjadi planet Mars? Mungkin sepupunya, Aadam. Si kembar Aria dan Avery lebih cocok menjadi planet Uranus dan Neptunus. Yang jadi planet cantik bercincin, tentu saja Tante Nora. Ilana, mungkin dia adalah Pluto. Om Ehrlich, mengingatkan Agatha pada Black Hole.

Serena adalah Komet Halley, muncul dan memberi kesan mendalam, lalu hilang lama hingga keriput menunggunya datang kembali, mungkin sibuk mencari Gatra. Sejak pertemuan tak terduga akibat keisengan Kakek Aefar, Agatha merasa mereka berdua memiliki suatu koneksi yang sulit dijelaskan terhadap anak kedua dalam keluarga masing-masing.

"Agatha? Kenapa kau diam?"

"Aku kangen Kakak."

Ciel buru-buru mengalihkan atensi pada sesuatu dan segera berpamitan. Sam mendongak untuk mengamati ekspresi Ciel. "Kenapa? Adikmu semakin menakutkan untukmu?"

"Sam, menurutmu apa yang membuat adikku lebih dekat denganku dari orang tua kami?"

"Tolong ingat kalau aku ini anak tunggal." Sam terdiam sejenak sebelum meluncurkan apa yang muncul di benaknya. "Ini hanya teoriku saja. Kalau tidak salah kalian ada empat saudara perempuan, bukan?"

"Iya."

"Di antara saudara perempuan, siapa yang paling dekat dengan papa kalian dan siapa yang paling perhatian pada Agatha?"

"Yang pertama Auriga. Pertanyaan kedua, tidak ada."

"Aha! Kurasa karena itulah Agatha akhirnya lengket denganmu."

"Kesimpulanmu?"

"Perempuan biasanya tidak suka perhatian yang terbagi dan Agatha mendapatkan itu darimu."

"Bisa langsung ke intinya?" Ciel tidak sabar dengan kata-kata pengantar Sam.

"Bayangkan kau orang tua tunggal dengan enam anak. Kau harus membagi perhatianmu, terutama pada anak perempuan. Ingat dengan pepatah yang mengatakan kalau seorang ayah adalah cinta pertama anak perempuan, kan ...? Kurasa Agatha melihat semua saudara perempuan dalam keluargamu sebagai ancaman yang akan merebut cinta pertamanya. Jadi ... dia memindahkan target cintanya padamu."

Ciel berdecak sebal dan bangkit berdiri untuk membuat kopi. "Sudahlah. Pakai teorimu untuk perhitungan saja, jangan merambah ke ilmu lain." Penolakannya terlalu kuat untuk menerima teori dari seseorang yang mencintai ilmu eksakta dan mencoba membuat teori pasti terhadap ketidakpastian isi hati seorang manusia.

🐾🐾🐾

Hari liburan. Kapal Poseidon di Perairan Miami.

Sejak tidak bisa menemukan Ciel atau Serena untuk diajak berbincang, Agatha memilih mengurung diri di kamarnya dan bermain PSP. "Argh ...! Tidak lagi!" Agatha menatap nanar pada angka yang terus menghitung mundur di bawah tulisan 'Continue'.

Ada keinginan untuk menghancurkan layar sentuh di tangan dengan sekali tonjok. Namun, omelan Ciel supaya dirinya bersikap layaknya seorang perempuan dan masuknya Lunara, berhasil memperpanjang usia benda elektronik tersebut.

"Hai, adikku tercinta yang manis!" sapa kakak perempuan kedua Agatha sambil memasang wajah lelembutnya.

Siluman Fennec Fox masuk.

Karena Lunara, Agatha nyaris lupa untuk menekan kolom biru bertuliskan 'Yes' demi melanjutkan permainan. Kakaknya masih terus mengoceh. Seandainya ada lakban, mungkin lembaran lebar berwarna hitam itu sudah melintang di mulut sang kakak.

Kenapa ada orang yang betah bicara sendiri? Apa aku perlu memanggil eksorsis untuk mengusir lelembut ini?

"Kau tahu kenapa aku ke sini, kan?"

Ternyata karena itu. Selama bukan berurusan dengan Ciel, aku sungguh tidak peduli dengan affair-mu itu!

Awalnya Agatha memilih pura-pura tuli, tapi nasihat Ciel kembali terngiang supaya lebih menjaga sikap, terutama pada anggota keluarganya sendiri. "Tenang saja, aku tidak akan bilang siapa-siapa!"

Seandainya ada ramuan yang bisa membuat seseorang amnesia untuk beberapa kejadian, Agatha akan memborong semua ramuan tersebut, semahal apa pun itu. Masalahnya sudah pelik dan kakak perempuan pertamanya justru memberi beban pikiran baru. Jika menghilangkan sumber masalah itu legal, mungkin ponsel Lunara sudah dibunuhnya tanpa ragu.

Kalau saja Lunara lebih menyayangi dirinya sendiri, tentu tidak akan ada masalah seperti ini. Membaca beberapa pesan di grup chat itu saja sudah membuat Agatha kesal pada Lunara. Hubungan mereka memang tidak sampai ke titik saling berbagi rahasia hati bersama, tapi ia sangat yakin bila sang kakak menjadi korban fitnah.

Sekeras apa pun upaya Agatha untuk mengungkap motif dari sikap Lunara, tetap saja dirinya tidak menemukan titik terang. Sekali lagi, mengerti proses berpikir dan tindakan seseorang adalah hal paling rumit juga sulit.

Sampai kapan pun orang dewasa itu sulit dimengerti! Aku menolak dewasa bila harus berada di sepatu kakak sebodoh ini!

Ini rekor terlama Agatha untuk menguarkan aura dingin demi mengusir orang yang berada dalam jangkauan rangkulannya. Namun, apakah sensor penerimaan Lunara sedang bermasalah? Sang kakak justru meminta saran permainan.

Permainan apa yang cocok untuk amatiran sepertinya?

Dari bahasa tubuhnya, Agatha tahu bila Lunara tidak akan pergi sebelum mendapatkan apa yang ia inginkan. Selesai menimbang-nimbang, tersodorlah PSP putih berisi satu judul permainan yang belum ditamatkan secara sempurna. Tidak sempurna dalam artian dirinya belum mendapatkan hasil yang diinginkan. Jangankan Happy ending, mendapatkan akhir Good Ending saja sulitnya bukan main.

Lunara mengeja judul permainan yang tertera di layar, "LOST: Living Outside of Suffering and Trauma."

"Permainan otome." Dalam hati Agatha berharap sang kakak cukup mengikuti tren dan tahu istilah permainan yang ia sodorkan. Nama lainnya adalah visual novel. Jenis yang ditawarkan dalam permainan ini cukup luas, tapi yang paling populer dan disukai tentu saja yang berhubungan dengan romansa.

Kapan lagi memiliki pria-pria tampan dengan alur cerita mereka masing-masing. Satu pria, satu cerita. Jadi, tidak ada istilah satu perempuan diperebutkan oleh banyak pria. Memang judulnya reverse harem, tapi ini bukanlah cerita seorang perempuan yang mengawini semua stok lelaki yang tersedia.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu yang diiringi basa-basi kosong dari Lunara. Agatha tahu bila gadis muda di sampingnya hanya ingin ia tutup mulut. Sungguh, usaha pembungkaman ini sama sekali tidak perlu karena dirinya sama sekali tidak peduli dengan urusan orang lain. Tentu saja hanya Ciel yang menjadi pengecualian.

Satu hal yang membuatnya kesal adalah ancaman ancaman Lunara yang ingin membakar konsolnya. Memang benar Papa Vinch bisa membelikan satu truk Playstation 4 bila gadis berusia 22 tahun itu serius dengan ucapannya. Namun, untuk apa? Mulutnya mungil, tidak sebesar ember apalagi baskom. Jadi, apa yang perlu ditakutkan?

Ancaman itu justru membuat ego Agatha sedikit terluka. Ia memang tidak peduli, bukan berarti tidak bisa dipercaya untuk menggembok mulut. Lunara sangat gagal memahami dirinya dan sekarang merasa ditindas oleh saudara sedarah yang bahkan tidak mau belajar untuk mengenal wataknya.

Orang dewasa semuanya menyebalkan! Ciel juga termasuk, tapi ... tidak, tidak! Hanya Ciel orang dewasa yang menyenangkan.

Hanya membayangkan wajah Ciel yang tengah memarahinya saja sudah menghangatkan perasaan Agatha. Kehangatan yang menjalar hingga ke pipi. Sejenak ia tersadar dan melirik Lunara yang masih sibuk berkutat dengan mainan barunya. Entah ia mengambil rute cerita milik siapa.

Lima belas menit  kemudian, Agatha dikagetkan dengan sekelebat bayangan putih yang terpental di atas kasur. PSP kesayangan teronggok merana di dekatnya.

Sudah dipinjami malah dibuang!

"Bahkan di game pun nasibku mengenaskan!" sembur Lunara dengan nada merajuk sebelum berdiri menuju ambang pintu.

Penasaran, Agatha meraih benda nomor dua sesudah buku fantasi karangan teman dekatnya dan buku sketsa. BAD ENDING adalah hasil akhir dari perjalanan cinta virtual Lunara. Pantas saja reaksinya begitu. Di antara dua belas lelaki yang bisa dipilih, memang ada beberapa yang sulit diselesaikan dengan akhir yang baik. Salah satunya adalah tokoh bernama Claus Stampede. Akibat trauma di masa lalunya, pangeran berambut pirang emas itu memiliki beberapa kepribadian. Setiap kepribadian memiliki akhir yang berbeda-beda.

Jalur yang dipilih oleh Lunara membuatnya berakhir bersimbah darah akibat tusukan pedang dari salah satu kepribadian Claus bernama Eckhard, pribadi paling liar dan merupakan sinonim dari bencana itu sendiri.

"Mati di ujung pedang?" Untuk sejenak Agatha merasa seperti dilempar tatapan menusuk dari Lunara, tapi gelegar guntur di atas laut lepas Miami memanggil atensinya untuk mengintip ke luar jendela. "Aneh. Tadi masih cerah, kenapa sekarang di luar gelap sekali?"

"Mungkin kita akan terjebak badai."

"Ck. Aku benci bila dugaanmu berakhir benar." Agatha menekan tombol 'Pause' dan memberanikan diri bertanya, "Kenapa diam saja?"

Lunara memutar kepala. "Maksudmu?"

"Kalau kau tidak melakukannya, kenapa diam saja?"

Seperti biasa, hanya jawaban pasrah pada nasib yang keluar dari antara bibir merah muda tanpa sapuan lipstik tersebut.

Membosankan! Orang dewasa memang penuh kontradiksi! Kau tidak ingin terlihat cacat, tapi rela merusak reputasi diri sendiri? Aku tidak mengerti! Logika kalian benar-benar memusingkan!

Agatha terlalu pusing untuk mencari korelasi pernyataan dari Lunara hingga tanpa sadar sang kakak sudah meninggalkan sarangnya begitu saja. Toh, ia mendapatkan kebebasan kembali. Bebas dari orang-orang dewasa yang penuh kontradiksi.

Selepas kepergian Lunara, Agatha melirik jam tangan bernuansa ungunya. Sebentar lagi acara makan malam, waktunya memakai kostum formal yang sama saja dengan gaun malam berekor atau melambai-lambai. Hal menyebalkan yang merepotkan dan tidak praktis. Bagaimana bila saat menuruni tangga ia terpeleset atau tersangkut gaunnya sendiri? Mana ada terjungkal anggun bila sudah berhubungan dengan tangga dan anak-anaknya? Dulu memang ada Ciel yang menjadi matras untuknya, tapi sejak naik kapal Ciel sibuk dengan dunianya sendiri.

Ombak laut yang meninggi sempat mengayun-ayun kapal, membuat Agatha limbung dan harus berbaring sejenak. Namun, kapal yang mereka naiki seperti dipeluk tentakel gurita berjiwa balita yang menemukan mainan baru untuk dikocok-kocok!

Oh, tolonglah! Inilah kenapa aku benci naik kapal!

Dunia Agatha jungkir balik dan terus berputar. Desakan untuk mengeluarkan seluruh kue yang disantapnya sejam lalu semakin kuat. Mau tidak mau dirinya harus berdiri sambil berpegangan pada apa pun yang bisa dijangkau sebelum muntah berceceran di lantai kayu beralas karpet. Benda-benda yang berjatuhan atau pecah semakin sering menggetarkan gendang telinga. "Apa yang terjadi?"

Jeritan orang-orang di luar juga menambah polusi suara.

"Luna ...." Agatha sangat yakin mendengar jeritan Lunara di antara jeritan lainnya. Lupakan soal muntahan yang akan mengotori lantai. Lupakan gaya merangkaknya yang mirip bayi monyet demi mencapai pintu.

Bersamaan dengan pintu yang terbuka, cahaya putih menyilaukan melabrak mata Agatha. "Luna! Kau di mana?" panggilnya setengah berteriak. Hanya Ciel yang diberi tambahan 'Kak' di depan namanya sewaktu disapa atau dipanggil, sisanya cukup dipanggil dengan nama.

Tidak ada jawaban.

Sambil menghalau sinar yang membutakan, Agatha menyusur perlahan sambil berpegangan pada rel kayu di sepanjang koridor. Guncangan sempat mereda dan ia bisa melihat siluet Lunara di depannya. "Luna!"

Agatha mempercepat langkah dan menangkap tangan Lunara yang terpeleset akibat guncangan yang lebih besar lagi. "Luna, kau baik-baik saja?"

"A-Agatha, apa yang terjadi? Ki-kita tidak masuk dan terperangkap di Segitiga Bermuda, kan?"

Ah ... benar juga. Seluruh keluarga von Dille menghilang di Segitiga Bermuda. Berita yang menghebohkan pastinya. Agatha tidak sempat menjawab pertanyaan getir yang juga membuat hatinya ketar-ketir.

🐾🐾🐾

《CHAPTER 1.3》

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top