Losing You [Revisi]

Aohitsugi Samatoki x Reader

Ini adalah hasil revisi. Ada yang aku tambahkan di bagian cerita. Selamat membaca!

Warning: Mature content for vulgar.

.

.

.

Rembulan menampakan diri, menjadikan diri sebagai pusat penerangan cakrawala gelap. Ramai, menjadi kata yang paling umum untuk mewakili kondisi sebuah klub malam yang terletak pada kota Yokohama. Orang-orang menari-nari di bawah terang cahaya warna-warni, beberapa tampak dengan santai memamerkan kemesraan mereka. Gelas per gelas alkohol terus dibuat oleh bartender, sesekali melihat gadis-gadis berpakaian minim sebagai penyegar mata.

Berbeda dengan [Name], gadis itu bersandar pada dinding dan memperhatikan sekitar. Setelan dress hitam di atas lutut itu memperlihatkan lekuk tubuh dengan jelas. Sesekali lelaki mendekat ke arahnya dan bertegur sapa, mencari kesempatan untuk mengenalnya atau bahkan mengajaknya ke atas ranjang. Tak ada satu pun yang dihiraukan oleh [Name], tatapan dingin hanya tertuju pada depan, memperhatikan orang-orang melakukan aktivitas mereka. Sesekali merasa jijik mendapati beberapa pasangan bercumbu.

"Halo, Nona, sedang sendiri?" sapa salah seorang pria, bersandar pada dinding samping [Name]. Pria itu melirik ke arahnya, menyodorkan secangkir cocktail pada sang gadis. 

Tentu, tidak ada respon dari [Name]. Tak lama, dia merasakan ada genangan air yang perlahan turun dari kepala dan berhasil membuat tubuhnya basah. Pria yang berada di sampingnya tampak tertawa lebar, "Maaf, maaf, tanganku kepeleset! Kau tidak apa-apa, Nona? Mau kuantarkan ke kamar?"

[Name] tak berkutik, membiarkan tubuhnya basah. Dingin perlahan menusuk kulitnya, netra mata masih juga tak ingin melirik sedikitpun ke arah pria yang berada di sampingnya. Tangan yang menggenggam segelas cocktail mendekatkan gelas ke bibir dan menyesapnya pelan. Tindakannya kembali memancing kejengkelan pria tersebut.

Dengan kasar, pria itu menyudutkan [Name] ke sudut dinding, memberi tatapan tajam dan penuh nafsu. "Kau membuatku marah, Nona. Sampai kapan kau akan terus mengabaikanku?" tanya pria itu, jemari bergerak menarik lembut helaian gadis itu. Kekehan berat berhasil lolos dari mulutnya. 

"Bisakah anda minggir? Bau mulutmu menyengat, tidak sikat gigi selama setahun?" ucapan keluar dari bibir kecil milik [Name] yang tertutup gelas cocktail. Tatapan datar dan dingin itu masih tak luput dari ekspresi wajah, tiada rasa takut sedikit pun yang dirasakan olehnya. Menangani pria yang gegabah di hadapan sebenarnya adalah hal yang mudah. Tak perlu perlawanan yang lebih cukup mengeluarkan satu benda, pria itu pasti akan tunduk padanya.

"Apa katamu?" tanyanya sedikit meninggikan suara. Tangannya bergerak menepis tangan [Name] yang menggenggam gelas cocktail dengan kasar hingga membuat gelas itu jatuh dan pecah. Suara pecahan gelas tak berhasil memancing perhatian orang karena tertutup akan suara musik yang kencang dan tidak santai itu. Orang-orang masih sibuk beraktivitas.

Gadis itu melirik singkat ke arah pecahan gelas sebelum akhirnya tertuju pada pria tersebut, jemari perlahan bergerak menarik kerah guna memperdikit jarak antara wajah mereka. "Sepertinya anda benar-benar ingin dipuaskan olehku, Tuan?" tanya [Name]. Tangan satu lagi perlahan bergerak dan mengelus lembut kulit pria itu.

"Benar. Puaskan aku. Apa perlu pindah ruangan, Dear?" Seringai lebar terulas di bibir, tak sabar ingin 'mencicip' gadis di hadapannya ini. Dia sedikit mendekatkan wajah guna untuk memperdikit jarak antara bibir.

"Tidak perlu. Sepertinya aku bisa memuaskanmu di sini." Jemari bergerak dengan halus, hingga tanpa di sadari, dia mengeluarkan pistol dari samping pahanya. Mengarahkan ujung pistol ke selangkangan pria itu, memberi sentuhan kecil di sana. 

"Kau sepertinya tampak agresif, Sayang," kekehnya saat merasakan sentuhan kecil pada selangkangannya. Tanpa dia ketahui yang bersentuhan dengan bagian bawahnya adalah ujung pistol yang digenggam oleh [Name].

Sekilas, bibir [Name] membentuk kurva. "Ya, agresif, sangat," ujarnya. Belum sempat pria itu mengecup bibir [Name], suara tembakan pistol terdengar. Jeritan pria itu melengking, sukses memancing beberapa perhatian orang-orang, tetapi suara musik masih menimpa suara pria itu. Darah segar menyembur dan sukses menodai bagian kaki [Name]. Gadis itu melepaskan genggaman pada kerah, membiarkan tubuh pria itu jatuh ke belakang dan menjerit-jerit akibat rasa sakit pada selangkangannya.

"Tidak! Sakit! Argh, masa depanku! Dasar wanita jalang!" Jeritan terdengar semakin kuat, tetapi dia tetap tidak mendapati belas kasihan dari orang lain. Orang-orang yang memandang kembali melakukan aktivitas mereka tanpa ada niat membantu.

"Terus menjerit sampai matahari terbit dari barat, Tuan. Tidak ada yang akan menolongmu. Ah, apa selangkanganmu begitu sakit? Sepertinya tidak begitu sakit, apa perlu kutambahkan satu peluru lagi?"

"Dasar wanita jalang! Kau harus bertanggung jawab atas apa yang kau laku---"

Belum selesai pria itu berbicara, satu peluru berhasil menembus jantungnya. Tak ada lagi suara jeritan maupun ocehan. Jantung pria itu perlahan berhenti berdetak.

[Name] masih memberi tatapan netralnya, tak peduli jika ada yang menangkap basahnya sekarang juga. Tetapi dia yakin, tidak akan ada yang berani menyentuhnya. Ini hanya sebuah peringatan kecil karena sudah mengganggu ketenangan. "Ini bayaran karena sudah membuat tubuhku basah," ucap [Name], menoleh ke samping dan sudah mendapati seorang pria dengan mahkota hitam, Iruma Jyuto.

"Simpan terima kasihmu saat aku butuhkan nanti, [Name]," ucap Jyuto, mengulas senyuman tipis. Dia masukan kembali pistol yang berada di genggamannya ke dalam saku. Melirik singkat kembali pada tubuh yang sudah tak bernyawa. Ketika pandangannya tertuju pada [Name], dia menyadari tubuh gadis itu basah karena siraman cocktail dari pria yang tergeletak tak bernyawa itu.

[Name] membalikkan badannya, beranjak dari posisi tanpa menghiraukan ucapan Jyuto. Sorotan cuek diberikan gadis itu, "Aku tidak berniat berterima kasih padamu, Jyuto. Mau kau bereskan mayat itu atau tidak, terserahmu."

"Kau benar-benar membuat ulah yang besar, [Name]."

* * * * *

Iris merah menunjukkan sorotan tajam, membuat siapapun yang ditatap akan merinding. Aohitsugi Samatoki, pria itu tengah menatap [Name] yang sudah mengenakan pakaian kasual. Gadis itu tidak menunjukkan ekspresi lebih selain wajah yang datar dan cuek. Dapat dirasakan bahwa Samatoki tampak ingin marah, tetapi bukanlah seorang Samatoki jika dia melukai seorang wanita. Terutama wanita seperti [Name], yang sudah menjabat sebagai kekasihnya.

"Kau disiram cocktail?" tanya Samatoki dengan siratan ketegasan di sana.

"Ya."

Hanya jawaban singkat yang dilontarkan oleh gadis itu. Sungguh gadis yang berhati dingin. [Name] menyilangkan kakinya, menopang dagu dengan telapak tangan dan siku yang bertopang pada pangkuan. Menunggu kapan pria bermahkota putih itu akan siap berbicara. Saat ini dia tidak peduli apapun, yang diinginkan sekarang hanya istirahat.

"Kemarilah!" perintah Samatoki. Iris merah masih menunjukkan sorotan tajam, dapat dilihat jelas, bahwa pria itu benar-benar tidak suka sesuatu miliknya disentuh oleh orang lain. Terutama pria yang ingin mencumbui gadis itu.

Tanpa perlu waktu yang lama, [Name] hanya menurut. Berjalan mendekat ke arah Samatoki, tanpa perintah apa pun lagi, dia duduk di pangkuan Samatoki, menghadap ke samping sehingga pandangannya tak bertemu dengan pria itu.

Samatoki mendekatkan bibir menghirup aroma yang ada pada gadis tersebut. Setelah merasa cukup menghirup, Samatoki mulai membuka mulutnya, melumat pelan leher dan mengigit kecil. Meninggalkan karya bercak merah di sana. Gadis yang berada di pangkuan sekali lagi tak berkutik, tidak ada perlawanan.

Deru napas Samatoki menyentuh kulit, memberi gadis itu sensasi geli. Perlahan dapat dia rasakan Samatoki perlahan sudah menuju pipi. Jemari pria itu bergerak mengapit rahang [Name], membuatnya menatap ke arah sang pria. Tanpa butuh waktu lama, Samatoki mempertemukan bibir mereka. Lidah pria itu menyapu lembut bibir [Name], meminta akses untuk masuk, kemudian mengajak lidah sang kekasih untuk berperang. Saliva mereka membentang saat mereka melepas ciuman panas mereka.

[Name] menatap ke arah iris merah Samatoki, napas tampak tak begitu beraturan, berusaha untuk mencari oksigen yang banyak untuk menetralkan jumlah karbon dioksida yang mendominasi dalam tubuh. "Samatoki," panggil [Name].

"Hm?"

"Apa kau mencintaiku?" Pertanyaan itu sukses membuat Samatoki terdiam sejenak. Wajah terasa perlahan memanas, membuatnya mengalihkan pandangannya.

"Kenapa bertanya? Jangan bertanya yang tidak-tidak!" kata Samatoki, sedikit meninggikan suaranya.

Kau tidak mencintaiku.

[Name] tidak berkutik, lengannya perlahan bergerak dan memeluk leher Samatoki. Pelukan yang begitu lembut dan penuh akan kasih sayang. Meskipun sudah melakukan berkali-kali, kegiatan ini tetap sudah menjadi kegiatan favorit mereka. 

"Kau pernah bilang penampilanmu brengsek tetapi tidak pernah melukai perempuan, 'kan?" Pertanyaan kedua kembali ditanya oleh sang kekasih, membuat Samatoki mengernyit sejenak.

"Itu benar, [Name]. Aku tidak pernah melukaimu, 'kan?" Samatoki menaikan sebelah alisnya, kedua tangan bergerak menggenggam bahu [Name] dan mendorongnya sedikit menjauh. Memandangi wajah datar gadis itu. "Terjadi sesuatu, [Name]? Orang mana yang melukaimu? Aku akan menghajarnya!"

Kau bohong. Kau selalu melukaiku.

[Name] menggeleng pelan. "Lanjutkanlah, aku masih merasa jijik dengan aroma ruangan klub malam."

Samatoki menunjukkan seringai khasnya. Mendekatkan bibir ke telinganya dan berbisik pelan, "Aku akan menggantikannya dengan aromaku, sekalian memuaskanmu, bersiaplah, [Name]." Dengan mudah, Samatoki kembali melakukan aktivitasnya. Mulai dari bibir hingga ke seluruh tubuh [Name]. Desahan mengisi ruangan, hanya menjadi dunia mereka berdua.

Tanpa kau sadari, kau melukai hatiku setiap harinya, Samatoki.

* * * * *

Iris [Eye colour] gadis itu tertuju pada test pack yang memberi hasil dua garis merah. Dua garis merah yang menandakan bahwa orang tersebut positif hamil alias mengandung satu nyawa dalam rahimnya. Memang, [Name] sudah merasakan mual akhir-akhir ini. Awalnya dia kira, hanya tidak enak badan. Siapa sangka, ternyata dia mengandung satu nyawa lagi. Tak perlu bertanya-tanya, sudah tahu jelas bahwa ayahnya siapa.

Samatoki.

[Name] menaruh atensi pada cermin di hadapannya. Cermin menunjukkan refleksi dirinya yang berwajah datar. Jemari perlahan bergerak ke perut dan mengelusnya lembut. "Aku ... hamil," gumamnya. Pandangan perlahan menuju ke bawah.

Anakmu. Anak kita, Samatoki ...

Bibir kecilnya mengulas senyuman lembut. Senyuman yang jarang dia tujukan pada orang lain. Jemari tak henti-hentinya mengelus perut, berharap kasih sayangnya mampu tersampaikan pada janinnya. "Mama akan melindungimu," gumamnya lagi.

... di rahimku.

Ketukan pintu terdengar, membuat [Name] menghentikan aktivitasnya. Menoleh, senyumannya perlahan sirna. Wajah datar kembali mendominasi wajahnya.

"[Name], kenapa lama sekali? Boker ya?"

Gadis itu tahu jelas siapa pemilik suara itu. Kekasihnya yang begitu dia cintai. Sampai dia rela memberikan tubuh dan raga padanya. Tak peduli apa kata orang. Tak peduli jika ada yang berkata cintanya tak sehat lagi. Tetapi hanya satu yang ingin dia lakukan sekarang. Melayani pria itu hingga ajal menjemput.

* * * * *

Pria temperamental dengan mahkota putih itu kembali menggebrak meja. Pandangannya tertuju pada [Name] yang berdiri di hadapannya. Amarah Samatoki tak lagi tertahan. Iris merah yang menunjukkan amarahnya. Gigi beradu, mencoba tidak memaki wanita di depannya.

"Kalau bukan aku, siapa ayahnya, [Name]?" tanya Samatoki, meninggikan suaranya.

Tiada respon yang didapati oleh gadis berbadan dua tersebut. Terlihat jelas, perutnya sudah mulai terlihat. Ekspresi datar terpampang jelas di wajahnya. Tidak ingin memberi sebuah kepastian pada sang kekasih.

Jika aku bilang ini anakmu, apa kau akan mengakuinya? Apa kau akan mencintaiku, Samatoki?

"Kau akan terus diam, huh?"

"Bukan anakmu." Hanya dengan dua kata yang dilontarkan oleh [Name] membuat seorang Samatoki merasa terpukul hebat. Mata merah itu membulat, pupil mata sedikit bergemetar. Bagaimana dia bisa memercayai semua kepahitan ini?

Selama ini, dia selalu menaruh percayaan pada gadis itu. Yakin, gadis itu tidak akan berpaling padanya. Tetapi apa yang dia dapati sekarang? Kekasihnya itu bercumbu dengan pria lain yang menghamilinya? Kenyataan konyol macam apa ini?

Samatoki perlahan terduduk di sofa. Melepas kekehan hambar. "Kau mempermainkanku, [Name]? Di saat aku memberi spermaku hanya untukmu, kau memberikan sel telurmu untuk dikejar oleh sperma lain, huh?"

Sel telurku hanya untukmu, Samatoki.

[Name] membalikkan badannya, hendak meninggalkan Samatoki. Langkah kakinya hingga ke ambang pintu, air mata menetes perlahan dari sudut matanya. Dia sadar, dia tak mampu mengatakan fakta pada kekasihnya itu. Takut, pria itu akan merasa terikat karena tanggung jawab telah menghamilinya.

"Jika aku mengatakan bahwa yang dirahim ini adalah anakmu, apa kau akan terima, Samatoki?" Hanya kalimat itu dia lontarkan pada Samatoki, sebelum akhirnya meninggalkan pria itu yang tertegun mendengar ucapannya.

Tidak. Pria itu tidak akan membiarkan gadis itu melangkah keluar dari ruangan ini. Dengan langkah yang begitu besar, dia menarik [Name] ke dalam pelukannya. Pelukan yang begitu erat, tidak ingin dilepaskan lagi olehnya. Dia tahu, dia akan gila jika gadis itu meninggalkannya sekarang juga.

"Katakan padaku, [Name]! Yang di rahimmu adalah anakku! Anak kita, [Name]!"

Jemari [Name] perlahan bergerak, mengusap pipi Samatoki dengan lembut. Dapat dia rasakan, cinta Samatoki yang telah menghampirinya. Cintanya ... tidak bertepuk sebelah tangan.

"Anak kita ..., Samatoki." Mata gadis itu memejam pelan, menikmati pelukan yang diberikan oleh sang kekasih. Dia sadar, cinta mereka selama ini tidaklah bertepuk sebelah tangan.

* * * * *

Terik mentari memasuki jendela, menjadi sumber cahaya. Samatoki sedikit menggeliat saat merasakan kesilauan mentari menusuk mata. Perlahan meraba-raba kasur di sampingnya. Namun, apa yang dia raba tidak ada sosok yang dicari. Refleks, dia membuka matanya. Tidak ada. Tidak ada [Name] yang berada di sampingnya.

Dia sudah bangun? batin Samatoki.

Samatoki menggeliat sebentar sebelum mengubah posisi menjadi duduk, telapak tangan menutup mulut dan menguap lebar. Dia beranjak dari kasur, tanpa memikirkan busananya terlebih dahulu. Langkah kaki menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum menuju ruang dapur.

Tak butuh waktu lama bagi Samatoki untuk membersihkan diri. Setelah selesai, dia memakai celana hitam panjang, memilih untuk telanjang dada. Dia sendiri sedikit bingung, kenapa masih tidak ada suara yang memanggilnya untuk sarapan. Biasanya, kekasihnya akan memanggilnya untuk sarapan, tetapi hari ini berbeda. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh wilayah hingga ada secarik kertas yang terlipat rapi menarik perhatiannya. Jemari bergerak dan meraih kertas tersebut dan mulai membacanya. Tulisan yang begitu rapi dan indah, dia kenal jelas siapa pemilik tulisan itu, kekasihnya, [Full Name].

Carik kertas ini, tertuju pada Aohitsugi Samatoki.

Aku mencintaimu, Samatoki. Kemarin, sekarang dan selamanya. Sampai jumpa.

Mata Samatoki membelalak kaget, dunianya seolah-olah berhenti, jantung berdetak kencang, gelisah menyelimuti hatinya. Tanpa berpikir panjang lagi, dia langsung keluar dari kamar, mencari ke seluruh kamar sembari memanggil-manggil nama sang kekasih.

"[Name]!"

Langkah kaki tergesa-gesa, mencari keberadaan sang kekasih. Tidak dia dapati gadis itu di mana saja. Bahkan barang-barang milik gadis itu satu pun tidak ditemukan. Ketika langkah kaki hendak keluar dari rumah, tubuhnya di tahan oleh Rio, salah satu anggota darinya.

"Lepaskan aku, Rio! [Name] menghilang!"

Rio menunjukkan ekspresinya netral, kemudian perlahan menunjukkan ekspresi bersalahnya, "Dia tidak akan pernah kembali lagi, Samatoki."

"Tidak! Tidak mungkin dia meninggalkan aku, Rio! Katakan kalau kau sedang bercanda!" seru Samatoki dan memberontak kasar. Akal sehatnya terasa semakin hilang, dia tidak bisa kehilangan gadis itu. Kekasih yang sangat dia cintai. Andai waktu bisa kembali, dia akan menjawab ulang pertanyaan itu. Andai waktu berputar kembali, dia akan menggenggam tangan kecil itu dan tidak melepaskan kembali. Andai dia tahu jelas apa yang dipikirkan gadis itu, dia tidak akan membiarkan gadis itu lepas darinya begitu mudah.

Kembalilah, [Name]. Aku membutuhkanmu.

"Dia tidak akan kembali, Samatoki." Suara Jyuto menggema di pendengaran Samatoki. Ucapan itu terus terulangi hingga mulai menkikis akal budi milik pria mahkota putih itu.

"Kenapa kalian tidak menahannya?! Kenapa?" seruan Samatoki terdengar. Membuat kedua pria lainnya terbungkam sejenak.

"Kau benar-benar sudah kehilangan akalmu, Samatoki. Apa kau memimpikannya lagi? Dia sudah meninggal satu minggu yang lalu. Bangunlah!" gertak Jyuto. Ucapan itu sukses membuat Samatoki terdiam. Dia tercengang, air mata perlahan menetes dari sudut mata. Bibir membentuk kurva, melepas kekehan hambar sebelum berakhir melepas tawa lebar. Akal sehatnya ... benar-benar sudah terkikis habis.

Aku kehilangan ... orang yang kucintai dan anakku.

* * * * *

Author's note:

Pertama, ini adalah fict pertama fandom Hypmicku. Ini juga pertama kalinya saya mengetik sedikit lebih vulgar. Mohon maaf atas kekakuan yang ada. Jujur, aku tidak pintar akan hal ini.

Kedua, plot ini berubah tiga kali seiring berjalannya waktu. Banting stirku sungguh hqq. FYI, Samatoki adalah hasbu rank 1 di hypmic, kedua itu jyuto, ketiga itu dice, keempat itu Rio dan seterusnya.

Sebenarnya tadi juga dapat ilham bikin Jyuto, doain produktif ya):

Terakhir, mohon maaf jika gaje ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top