15
"Na Todoroki, kuharap Kau tidak tersinggung. Kenapa, setiap Aku memanggilmu dengan Nama Todoroki, kau selalu memunculkan aura negatif dan berteriak didalam pikiranmu soal,
.
.
.
.
.
.
Kau tidak ingin dipanggil dengan Nama itu?"
Todoroki terdiam sejenak, kakinya pun juga ikut berhenti melangkah. Tenang. Mereka sudah dipinggir jalan, tidak masih ditengah. Stasiun sudah sangat dekat sekarang.
[Name] yang masih dilanda keheranan pun terpaksa ikut berhenti. Pertanyaannya tidak dijawab, lebih tepatnya, mungkin belum.
Todoroki tak lagi menatap [Name]. Dirinya sekarang malah terfokus pada tanah yang diinjaknya. [Name] yang sadar dengan keanehan sikap Todoroki, pun dengan peka berkata,
"Jika tak mau menjawab, kau tak perlu memaksakan."
Ucap [Name] lalu kembali berjalan ke arah stasiun yang sudah berjarak 50 meter dari tempat mereka berdua berhenti.
"[Name]."
[Name] reflek menoleh cepat. Matanya dengan cepat menatap wajah tampan yang sedang malu-malu. Masih setengah menunduk dengan lirikkan ke arah kanannya.
"C-cukup itu saja kan?" Ucap pelan Todoroki,namun masih dapat terdengar oleh pendengaran tajam [Name].
Tangan lelaki itu masing-masing dimasukkan kekantong celananya.
Kepala Todoroki mulai mendongak, ikut melempar tatapan tajam tanpa halangan.
Kedua iris beradu kompetitif. Si gadis tak lama kemudian bersuara,
"Ya, Shoto." Jawabnya santai tak disertai beban. Kembali berbalik dan berjalan ke tempat tujuannya sebelumnya.
Shoto pun dengan sigap menyetarakan kembali langkahnya dengan [Name]. Gadis misterius yang selalu terlihat tanpa beban dan santai, namun kenapa? Shoto merasakan kehampaan disegala sudut dari gadis ini?
Sama seperti dirinya.
*********
"Seharusnya kau tak perlu mengantarku, Shoto." Tangan mungil [Name] bergerak membuka pagar rumahnya. Setelah perjalanan 20 menit menuju rumah, [Name] sampai ketujuan dengan selamat disertai Shoto.
Hari benar-benar sudah menggelap, lampu-lampu dipinggir jalanan pun sudah dari 15 menit yang lalu menggantikan tugas si Matahari. Jam menunjukkan pukul 7.15 pm.
"Aku akan merasa sangat hina jika meninggalkan seseorang yang sedang lemah seperti kau. Apalagi kau perempuan." Shoto berujar datar.
"Padahal, dengan teleport pun aku bisa pulang," bibir [Name] sedikit mengerucut. Baru saja Shoto ingin membantah perkataan [Name], tapi ternyata kalimat itu tidak sepenuhnya selesai "Tapi peraturan di sekolah tidak memperbolehkannya." Ucap [Name] sendiri.
"Ya." Tanggap Shoto singkat.
"Kalau begitu, sampai jumpa besok, Shoto.Terima kasih sudah mengantarku." [Name] mengunci pagar yang tingginya hanya sepinggang itu.
"Hm." Dengan cepat Shoto putar haluan dan berjalan pelan pulang ke rumahnya.
[Name] dengan senyuman tipis menatap kepergian Shoto yang menghilang dibelokan jalan. Menghela napas, gadis ini berbalik, berniat masuk kedalam rumah.
"Lambat." Geraman keras sejenak menghentikan langkah [Name] namun sekejap saja gadis itu memilih mengabaikan.
Katsuki dengan wajah sangar dan berapi-api menatap [Name] yang melewati dirinya dengan santai. Tak terima diabaikan, pria bertampang preman itu menarik kencang tangan si gadis dan memojokkannya ke dinding.
"Hoi hoi hoi!"
[Name] bertanya-tanya, kemana sikap dinginnya tadi sore?
"Kau lambat, melakukan apa kau dengan si setengah-setengah sialan itu hingga pulang jam segini hah?!" Katsuki menangkup kedua pipi kenyal [Name] dengan satu tangannya, menahan kepala si gadis agar tidak menoleh kemanapun selain kewajahnya.
"Bukannya kau seharusnya tidak peduli? Katsuki?" Tanya [Name] dengan bibir yang terkerucut paksa. Suaranya masih sama, datar seperti tak ada emosi apapun disana.
"Hah! Kau benar! Aku takkan peduli jika ini tidak menyangkut makan malamku sialan!" Teriak Katsuki sesekali disertai kekehan remeh.
[Name] terdiam, dibuat tak bisa berkata-kata lagi. Dia tau betul, pasti Ibu Katsuki, Mitsuki-san lah yang melarang Katsuki makan sebelum kedatangannya. Ekspresi gadis ini melemah, Ia sadar memang sedang bersalah.
"Hei! Apa yang kau lakukan Katsuki! Dari tadi kan Ibu sudah menyuruh makan lebih dulu, kenapa kau menyalahkan [Name]?!" Mitsuki-san datang dari dapur membawa sebuah argumen dengan tegasnya. Jelas, tak ada kebohongan diwajah wanita berstatus Ibu Rumah Tangga itu.
"Mak lampir?!!!" Teriakan Katsuki yang sekarang seakan-akan memprotes sesuatu. [Name] menyadari hal itu. Tapi segala kesadarannya segera terlupakan saat Katsuki kembali menatapnya tajam.
Pipi Katsuki, merah? Apa karena tes tadi sore? Atau hal lain?
"Cepat ganti bajumu [Name]. Lalu makan, kalau tidak nanti Anak ini terus-terusan berteriak tak jelas." Mitsuki-san mendekati Katsuki lalu memukul keras kepala anaknya itu. Teriakan demi teriakan kembali bersahutan setelahnya.
Kuncian kabedon dari Katsuki sudah terlepas, [Name] mengangguk kepada Mitsuki-san dan dengan cepat berlari kecil menuju kamarnya diatas.
Gadis itu keliru,
Dia malah mengira Katsuki terpaksa menunggu hanya karena perintah mutlak Mitsuki-san.
Tapi ternyata tidak, menunggu Dirinya hingga pulang itu nyatanya memang adalah keinginan dari Katsuki sendiri.
Ingin makan malam bersama.
[Name] merasakan sesak dan senang disaat yang bersamaan.
Sesak karena dulu Katsuki memang pernah bilang Dia hanya mengganggap [Name] adik perempuannya dan tak lebih.
Dan gadis itu senang karena kepedulian Katsuki masih bisa juga muncul secara tiba-tiba.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
B
A
K
U
G
O
K
A
T
S
U
K
I
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To be continued.
Scarlet~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top