BAB 5
Pintu apartemen tertutup, bersin sekali lagi menyerang. Bergegas dia menuju dapur. Menaruh obat alergi yang dibelikan Jasmine tadi, di sebelah makanannya. Barulah menuju kamar. Fathir butuh mandi serta membersihkan diri. Lalu, bersantai untuk makan malam, minum obat, dan terakhir beristirahat.
Kurang lebih satu jam, Fathir akhirnya keluar kamar. Kemeja kerjanya berganti dengan kaos putih tipis. Celana pendek selutut berwarna hitam. Rambutnya masih setengah kering. Perut yang berbunyi karena kelaparan, membuatnya memilih makan saja daripada mengurusi rambut. Tangannya dengan cekatan meraih piring, makanan bungkusnya, obat, serta air mineral. Semua dia bawa sekaligus untuk dipindahkan ke meja kopi. Dia lebih suka makan malam di ruang tamu. Televisi bisa dia nyalakan agar suasana apartemen ini tidak terlalu sunyi.
Saking laparnya, Fathir makan dengan lahap. Sesekali matanya melirik berita malam. Berhenti sejenak apabila ada berita menarik, kalau tidak ada baru lanjut makan. Tidak sampai sepuluh menit, satu porsi nasi rendang tandas.
Diambilnya gelas air dan obat alergi. Untuk sesaat, Fathir termenung menatap obat alergi di tangannya. Hatinya menghangat, jika mengingat kejadian sepanjang sore. Mendapatkan obat ini tidaklah mudah. Berkali-kali mereka harus berhenti di apotek yang berbeda, akhirnya obat ini ditemukan. Fathir juga tidak ikut repot, karena Jasmine terlalu kasian melihat dirinya yang terlalu sibuk bersin. Dia mengambil alih peran. Berkali-kali harus turun mobil, berkali-kali kembali dengan raut kecewa. Terlihat lelah, tapi tidak menyerah dan terus mencari obat ini. Sikap Jasmine yang seperti ini berhasil menyentuh hatinya.
Istrinya.
Deringan ponsel menarik Fathir kembali ke dunia nyata. Tangannya segera meraih ponsel di meja. Nama ibu muncul di layar, membuatnya terburu mengangkat panggilan. "Bu...."
"Gimana kabarnya, Fathir?" tanya Ibu. Bayangan ibunya di dapur, memasak dengan menggenakan celemek kesayangannya, muncul di kepala. Fathir merindukan sosok ibunya.
Dia akan menjawab keadaannya baik, sayangnya bersin merusak rencana. Fathir terpaksa jujur. Ibu menelepon di saat yang tidak tepat karena dia bersin-bersin.
"Kamu sakit, Nak?"
Fathir meringis. "Ndak, Ibu. Ini tadi kena hujan, terus bersin-bersin. Sudah beli obat kok," jawabnya sembari menatap obat yang Jasmine berikan. Perhatian sederhana itu berhasil membuatnya bahagia.
"Ya sudah. Istirahat kalau sudah minum obat." Fathir mengiyakan perintah ibunya.
Sambungan telepon hening sesaat. Bahasan sepertinya telah habis. Namun, saat ibunya kembali bersuara, berniat menutup telepon, buru-buru Fathir menahannya. Dia masih rindu mengobrol dengan ibunya. Sekaligus, ingin menanyakan sesuatu. Segala hal yang terjadi padanya beberapa hari terakhir, dia menginginkan pendapat dan juga nasihat.
"Kenapa, Fathir?"
"Romeo." Fathir menyebut nama sahabatnya. Nyatanya, dia belum siap benar-benar jujur pada ibunya mengenai Jasmine dan pertemuan mereka. "Tadi Romeo telepon, cerita. Aku nggak tau mau bilang apa ke dia, mungkin Ibu ada saran."
"Romeo?" Ibu kembali bertanya.
"Ya ... Romeo pernah ditinggal pacarnya gitu aja, tanpa kejelasan. Dia udah berbuat apa aja buat lupain ceweknya, tapi nggak berhasil. Sampai pada akhirnya, mereka nggak sengaja ketemu dan ... terpaksa kerja sama. Padahal, Romeo udah mati-matian pergi jauh biar nggak ketemu pacarnya itu."
"Romeo masih cinta sama ceweknya?"
Fathir seketika tertegun mendengar pertanyaan Ibu. Dia tidak tahu. Hatinya meragu. Empat tahun sudah berlalu, definisi cinta seperti terasa kabur. Sebagian hatinya ingin segera mengakhiri apa yang Jasmine mulai, tapi dominan dari perasaannya menolak untuk memulai pembahasan. Mengulur-ulur waktu. Takut perpisahan yang ditahannya ini benar-benar nyata. Namun, Ibu butuh jawaban, maka Fathir akan menjawab seperti apa yang dia rasakan. "Mungkin ... Romeo nggak tahu pasti, Bu. Dia bilang, sejak mereka kembali ketemu, dia kepikiran ceweknya terus. Melihat ceweknya yang berubah sikap, Romeo jadi merasa ada yang salah. Pertanyaan-pertanyaan kenapa ceweknya pergi jadi muncul di kepala, apalagi perubahan sikap si cewek ke Romeo. Pokoknya Romeo jadi merasa bersalah sekalipun nggak tahu itu apa. Cuma, dia nggak berani tanya alasannya kepergian si cewek yang tiba-tiba."
"Kenapa nggak berani tanya ke si cewek?"
"Karena...." Fathir menghela napas. Mencari jawaban yang termudah dari kerumitan perasaannya. "Romeo nggak mau ketika bahasan lalu itu mencuat, dia harus lepasin si cewek. Romeo kayaknya mau tetap bersama."
"Fathir, Fathir." Nada suaranya terdengar prihatin. "Ibu sih yakin, Romeo masih suka sama ceweknya. Seratus persen yakin."
Mata Fathir melebar mendengar pendapat sang ibu. Tapi, perkataan ibunya selanjutnya semakin membuatnya termenung. "Seseorang pernah bilang ke Ibu kayak gini, kalau kamu melepaskan orang yang dicintai dan dia tetap pergi maka dia bukan milikmu, tapi kalau kamu melepaskan orang yang kamu cintai dan dia kembali maka dia milikmu selamanya. Fathir, Ibu rasa, pertemuan mereka itu kebaikan Tuhan. Mereka kembali dipertemukan untuk memperbaiki apa yang telah rusak sebelumnya, bersama-sama. Lagi pula, Tuhan Maha membolak-balikan perasaan seseorang."
"Begitu...."
"Satu lagi, Romeo tetap harus tanya alasan si cewek pergi. Jangan selalu menyalahkan seseorang yang pergi, bisa aja dia pergi karena kesalahan besar yang tidak bisa lagi ditolerir. Fathir, penasaran itu nyiksa, lho."
Fathir hanya menganggukan kepala, mencerna baik-baik kata-kata sang Ibu. Penuturan ibunya juga yang membuatnya kembali berharap. Keinginannya berubah, bukan hanya sekadar menghilangkan kecanggungan, tapi juga ingin mengembalikan hubungan mereka dulu serta mempertahankannya. Tapi, pantaskah dia? Fathir dilema.
***
Pagi yang tidak biasa, Jasmine datang bersama sebungkus soto ayam. Saat akan masuk gedung kantornya, soto ayam di depan kantor buka. Banyak pembeli yang mengantre di sana. Membuatnya malah teringat pada Fathir yang bersin-bersin kemarin. Kakinya berbelok dengan sendirinya memasuki warung tersebut. Mulutnya bersuara, memesan sebungkus kuah kuning itu. Paket lengkap dan tentu saja tanpa daun bawang.
Baru memasuki lift, Jasmine langsung menyadari kebodohannya. Sikapnya ini berlebihan. Dia juga tidak tahu Fathir sudah sarapan atau belum sebelum berangkat kerja. Tapi, dia jarang sarapan. Buru-buru dia menggeleng. Nasi sudah jadi soto, jadi dia memutuskan untuk tetap memberikan makanan ini.
Matanya melirik ruangan Fathir melalui kaca kecil di pintu. Bosnya itu belum ada di ruangan. Bergegas dia menuju pantri. Tugas utamanya setiap pagi adalah menyeduhkan kopi. Kemudian, tugas tambahan akibat kebodohannya adalah menghidangkan semangkuk soto beserta nasinya. Jika Jasmine belum sarapan, mungkin soto ini akan dia lahap daripada terlihat seperti sekretaris terlalu perhatian. Sayangnya, Luna dan sang suami mengajak sarapan bersama. Makanan gratis tidak mungkin dia tolak.
Sekitar sepuluh menitan, Jasmine kembali melangkah menuju ruangan Fathir. Tangannya membawa nampan berisi secangkir kopi hitam, semangkok kuah soto, satu piring nasi, serta segelas air. Sedikit kesusahan dia membuka pintu kantor, ternyata bosnya itu sudah datangan. Pria itu tengah duduk di kursi kebesarannya sambil memainkan ponsel.
"Pagi, Pak," sapa Jasmine. Sopan dan selalu memasang ekspresi tidak bersahabat.
Kening Fathir mengernyit. "Apa itu, Jas?"
Jasmine diam saja. Dengan cekatan isi nampan itu berpindah ke atas meja kerja yang masih kosong. Barulah dia kembali bersuara, "Kopi, air mineral, dan ... soto."
"Oke...." Fathir masih tampak kebingungan sambil memperhatikan Jasmine.
Mendapati Fathir baik-baik saja, seketika Jasmine menyesal. Harusnya soto itu dia berikan pada orang lain saja, bukan Fathir. Penyesalan itu akhirnya dia telan bulat-bulat.
Jasmine berdeham. "Mungkin Bapak belum sarapan, jadi saya belikan ini. Kuah hangat sangat cocok untuk Bapak yang kemarin bersin-bersin."
Fathir tidak menjawab. Tatapannya malah tertuju lurus pada Jasmine. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk senyuman lebar. "Thanks, Jas."
"Ya...." Jasmine mengangguk kaku.
Buru-buru Jasmine keluar ruangan. Hanya saja, saat menoleh melihat reaksi Fathir, mendadak dia panik. Senyum pria itu terpasang semakin lebar sambil menatap makanan di meja. Bahkan, sorot matanya tampak bahagia. Satu hal baru saja dia sadari, ini kesalahan fatal. Perhatian yang tak sengaja diberikan seperti memberi harapan, seperti gencatan senjata.
***
Unit kamar apartemennya gelap gulita saat pria itu pulang kerja. Sunyi langsung menyergap begitu pintu tertutup. Baginya, ini hanya sekadar pulang ke tempat persinggahan lain, bukan benar-benar pulang ke rumah.
Dapur terlihat kosong, hanya berisikan peralatan masak yang bersih mengilap. Selama di sini, Fathir tidak pernah memasak. Jika perutnya meronta di tengah malam, maka dia memilih untuk membeli melalui ojek online atau tidur. Memasak bukan keahliannya. Dia pernah memasak, sayang rasanya selalu hambar dan malah berujung di tempat sampah. Lagi pula membeli makanan jauh lebih cepat.
Fathir melanjutkan tujuannya menuju kulkas. Mengambil sekaleng bir di sana. Daripada lapar, dia jauh lebih haus saat ini. Malam rasanya malas memasukkan makanan berat ke perut.
Saat Fathir kembali menuju ruang tamu, perhatiannya tertuju pada laptopnya yang terbuka di meja kopi. Dia ingat, kemarin malam menghabiskan waktu untuk bekerja di sini dan lupa menutupnya. Perlahan Fathir duduk di karpet. Menyalakan laptopnya. Wallpaper gambar standart tanpa ikon menu apa pun langsung menyambutnya. Tiba-tiba dia tergelitik membuka fail di sana. Sebuah folder yang sengaja disembunyikan selama bertahun-tahun. Tidak ingin dilihat lagi, tapi tidak pernah sanggup untuk menghapusnya.
Ijab kabul 13 November 2013
Membaca nama folder itu, membuat napas Fathir tertahan. Apalagi saat folder terbuka, foto-foto lama dirinya dan sang istri langsung memenuhi layar. Fotografer yang mereka sewa dapat menangkap momen sakral dan hikmat. Pakaian adat berwarna putih yang mereka kenakan pun terlihat indah. Fathir bahkan bisa menemukan kegugupan pada wajahnya saat berjabat tangan dengan papa Jasmine.
"Cantik." Tanpa sadar pria itu bergumam pelan tatkala menemukan satu foto Jasmine yang tengah menangis haru selepas ijab kabul.
Terlalu banyak foto di sana. Banyak pula kenangan yang terputar cepat dalam ingatan pria itu.
Bukan hanya itu saja, video-video yang terputar ternyata masih mengundang tawa. Fathir ingat betapa hangat tatapan Jasmine padanya kala itu. Cara wanita itu tersenyum setiap kali menyambutnya pulang, semalam apa pun. Atau masakan lezat buatan wanita itu yang selalu membuat ketagihan.
"Apa?" jawab Fathir pelan. Pria di video terlihat sibuk dengan ponsel daripada istri cantiknya. Hal yang tiba-tiba menyentak kesadarannya. Perilakunya di video adalah hal yang buruk dan kurang ajar. Saat sedang bersama pasangan maka perhatian harus tertuju penuh padanya. Hargai dia dan jangan menduakan, sekalipun dengan ponsel ataupun pekerjaan.
"Aku jangan dianggurin." Jasmine terdengar sedih. Gambar pun terlihat gemetar, menunjukan emosi kekesalan yang wanita itu tahan.
Fathir yang ada di video langsung menghentikan aktivitasnya. Pria itu menaruh ponsel di meja. Salah satu tangannya segera menarik lengan Jasmine hingga wanita itu terduduk di pangkuannya. "Maaf ya. atasanku emang nggak tau waktu, udah tau lagi honeymoon masih aja diganggu."
Bukannya kesal, Jasmine malah terkekeh pelan. Saat inilah Fathir sadar kesalahannya. Semakin bertambahnya usia pernikahannya, semakin berkurang kepeduliannya. Padahal, satu-satunya orang yang mengerti kesibukannya hanyalah Jasmine. Tidak pernah protes ataupun mengeluh. Sayang, toleransi kesabaran wanita itu telah di ujung batas.
Ketika rekaman menangkap momen saat Fathir mencium bibir Jasmine, seketika pria itu menghentikan videonya. Napasnya tersekat. Segera dia tenggak bir, berusaha untuk mengurangi kesedihan yang mendadak muncul ke permukaan.
Pria itu berpikir lama. Tatapan kosong tertuju pada adegan dalam video lama. Tiba-tiba Fathir rindu menemukan senyum serta tawa Jasmine. Hal yang belum pernah dia dapatkan kembali.
Dalam keheningan ruangan, sebuah kesadaran seketika menyentak pria itu. Bukan hanya itu, kata-kata ibunya pun kembali terngiang di kepala. Bertemu kembali dengan Jasmine jelas bukan tanpa alasan. Dia percaya, Tuhan punya alasan khusus melakukan hal ini. Mungkin, Tuhan sedang membantu Fathir untuk menjadi pria yang lebih baik daripada pria brengsek di video ini. Serta mungkin saja kesempatan kedua, membuktikan kata-kata Ibu bahwa jika wanita itu kembali setelah dilepaskan, maka wanita itu miliknya selamanya.
***
Surabaya, 15 Agustus 2020
"Mungkin saja kesempatan kedua, membuktikan kata-kata Ibu bahwa jika wanita itu kembali setelah dilepaskan, maka wanita itu miliknya selamanya." Namun, itu kepercayaan Fathir, bagaimana dengan kepercayaan Jasmine? Fathir sendiri belum juga menemukan alasan di balik kepergiaan Jasmine selama ini.
Penasaran? Baca kisah lengkap Fathir dan Jasmine hanya di LOSE or LOVE HER AGAIN! Special Order akan berakhir tanggal 16 Agustus 2020, berarti BESOK! Hari terakhir kamu melakukan pemesanan khusus buku + TTD + souvenir lainnya. Jadi, jangan sampai ketinggalan kisahnya. Pembelian melalui shopee bookishtorage dengan perngiriman dari Bantul ya.
LOSE or LOVE HER AGAIN akan terbit tanggal 18 Agustus 2020 di seluruh toko buku kesayangan anda! Yey! Selamat membaca dan jatuh cinta.
With love,
Desy Miladiana❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top