67. Peluk

Haloooo. Karena TAMAT makin dekat, ayo komen yang banyak wkwkwk.

Btw, yang di Karyakarsa udah tamat + 8 extra part (kurang 2), lanjutannya tungguin dulu ya, masih kurang dikiiittt, mau kubuat panjang soalnya. M

Happy reading❤️

🧚🏻🧚🏻

"If there's anything you need, don't hesitate to call me or any other nurse. We're here to help you."

Zia mengangguk pelan. Merasa lega karena sudah mendapat pelukan dari seorang nurse yang membantunya. Dia berterima kasih walau nggak mendapatkannya dari Edward karena nggak tau bagaimana cara meminta sebuah peluk pada lelaki itu. Rasanya sedikit nggak tau diri. Lagi pula Edward nggak mendekat sedikit pun sejak dia bangun tidur tadi.

Entah, mungkin Edward nggak mau ganggu Zia. Atau bisa jadi keberadaan lelaki itu hanya bentuk tanggung jawab karena Zia adalah adik dari teman dekatnya. Zia menggeleng, berusaha menetralkan pikiran-pikiran yang terlalu jauh. Apa pun alasan Edward menjaga jarak dan nggak beralih dari sofa di ujung sana, Zia harusnya nggak perlu ambil pusing.

Memangnya mereka ini apa? Nggak perlu Zia berharap banyak. Edward udah sangat bertanggung jawab sejak menemukannya pingsan. Itu pun Zia nggak inget dan nggak tau menahu alasan kenapa Edward tepat ada di sana.

Karena emang mereka belum bercakap banyak. Terakhir cuma semalem waktu Zia tanya apa Edward akan pulang? Jawaban itu masih menggantung, tapi Zia tau intinya Edward akan pergi kalau keluarga Zia datang.

Pandangan Zia mengikuti nurse yang berjalan ke pintu. Di sudut sana, Edward juga berdiri untuk mengantar wanita itu sembari berbicara beberapa hal. Zia cuma dengar kalau Edward berterima kasih.

Semua kembali seperti semalam. Diam, canggung, dan ... hening.

Zia mendapati Edward menatapnya sekilas sebelum duduk lagi di sofa. Kali ini membuka laptop. Yang nggak disangka, suara Edward terdengar kemudian.

"Saya cek kerjaan sebentar."

Beberapa jam baru mendengar suara Edward, Zia merasa haru. Walau mereka seperti terpisah jarak tapi hatinya tetap tenang menyadari bahwa Edward ada di sekitarnya. Perasaannya masihlah sama. Debarannya masih sekuat dulu saat pertama dia sadar ada cinta yang disimpan rapat untuk Edward.

Zia nggak mau lagi menyangkal bahwa usahanya satu setengah tahun terlalu dipaksakan. Bohong kalau dia lupa, naif kalau dia merasa mampu merelakan. Padahal di saat satu detik aja bayangan Edward muncul, Zia selalu memaksa menguburnya dalam-dalam.

Sekarang waktu dia sadar, yang terkubur itu seakan muncul ke permukaan dengan tak terkendali, membuatnya goyah. Ditambah kenyataan yang terpapar dari Ogi kemarin. Zia merasa ... kacau.

"Saya mau cek kerjaan sebentar."

Zia menahan debaran dadanya yang terasa menyesakkan. Ditatapnya Edward tepat di kedua mata yang membalasnya dengan datar, tanpa ekspresi. Mereka berpandangan beberapa saat. Dia baru sadar tadi belum jawab. Mungkin Edward kira Zia nggak dengar makanya diulangi. Kali ini Zia mengangguk pelan, menandakan kalau suara Edward sampai di telinganya.

Edward memutus pandangan lebih dulu, lalu memakai AirPods di telinga kanan. Cuma satu aja. Zia sadar diri kalau itu artinya Edward nggak mau diganggu. Edward pernah bilang nggak bisa bagi konsentrasi antara pekerjaan dan hal lain karena akan terdistraksi.

Tapi Zia mulai bisa menerima kebiasaan Edward yang itu, sedari hubungan mereka mulai terbuka. Lagi-lagi Zia didera haru dan sesak, mengingat bagaimana kisahnya harus berakhir kurang mengenakkan di saat keduanya sedang berusaha ke arah hubungan yang lebih baik.

Saat ini, Zia hanya bisa menatap lelaki itu dari jarak yang cukup jauh. Baginya itu adalah jarak terjauh meski secara nyata hanya beberapa meter darinya. Bahkan lebih terasa renggangnya dibanding saat mereka benar-benar terpisah.

Berusaha mengendalikan perasaannya yang menggebu, Zia hanya bisa memejam sebelum merebahkan diri di tempat tidur. Sedikit mengernyit saat sadar rasa pusing masih tersisa. Tapi efek demam semalam sudah lebih baik. Nggak lagi menggigil meski kulit tubuhnya masih terasa hangat.

Pelan-pelan tangan Zia merayap untuk mencari ponsel di sisi tempat tidur—yang ternyata sudah terisi daya penuh padahal seingatnya semalam lowbat. Mungkin Edward membantunya.

Pandangan Zia terfokus pada layar ponsel yang menampilkan puluhan panggilan nggak terjawab. Dia nggak nyangka keluarganya akan memborbardir sebanyak ini padahal semalam Edward sempat ngabarin.

Satu panggilan masuk detik itu juga membuat Zia menghela napas pelan. Mamanya pasti khawatir banget karena ini pertama kalinya dia pingsan saking pusingnya.

"Mama ...," gumam Zia. Dia terbatuk saat menyadari tenggorokannya terasa kering.

"Zia, udah mendingan, Nak? Masih panas nggak? Menggigil? Gimana keadaan kamu?"

Zia membasahi bibirnya yang terasa sakit karena kering. Mungkin bibirnya pecah-pecah, perih. Selalu kayak gini tiap nggak enak badan. Rasanya menyiksa. "Iya, Ma. Udah ... mendingan."

"Tapi suara kamu masih kayak gitu. Mana Edward? Biar Mama tanya dia aja. Kamu ini suka pura-pura sehat. Jangan sembunyiin hal penting tentang kesehatanmu, Zi. Mama mau telepon Edward dulu ...."

"M-Ma ...," cegah Zia. Dia mengerang saat mendengar panggilan ditutup sepihak. Kepalanya terasa dipukul sesuatu membuatnya pening mendadak, akibat gerak refleksnya yang hampir duduk tadi saat mencegah mamanya. Dia harus chat biar Laras nggak hubungi Edward dulu. Laki-laki itu lagi fokus banget kerja. Jangan sampai ....

Terlambat. Zia mendapati pesannya ke sang mama baru saja terkirim bersamaan dengan suara getar ponsel di meja. Meski jaraknya nggak terlalu dekat tapi dia jelas mendengarnya.

Zia mengarahkan ujung matanya menatap Edward yang terfokus ke layar laptop. Tatapan yang begitu serius, lalu ... harus terdistraksi dengan suara ponsel yang nggak mau diam.

Awalnya Edward terlihat tidak peduli dan hampir mematikan ponsel. Tapi entah ini hanya perasaan Zia atau benar-benar begitu, mata Edward sempat melirik tak minat ke arah layar ponsel. Lalu detik selanjutnya seperti terkejut, gerak tidak peduli Edward seketika lenyap. Seolah bertentangan dengan tangan lelaki itu yang sigap menarik ponsel ke telinga.

Zia hanya bisa pasrah. Dia memejamkan mata karena takut reaksi Edward tidak sesuai harapannya. Apa ... dia menganggu? Karena mamanya menelepon alasannya ya Zia. Jadi ....

"Iya, Tante?"

Berbeda dengan reaksi Zia yang cemas, suara itu justru terdengar pelan, sayup-sayup, menerobos pendengaran Zia. Dia masih bertahan dengan pejaman mata. Gelap yang menyelimuti disertai suara Edward yang begitu halus seakan menamparnya keras-keras. Bahwa selama ini Zia sempat melewatkan lelaki yang berkorban banyak untuknya, karena kecewa dengan secuil kisah masa lalu Edward.

Tapi sebenarnya, inti dari rasa kecewa Zia terletak di sikap Edward yang menutup-nutupi kenyataan. Zia kecewa karena dirinya merelakan keinginan terbesar untuk belajar fashion design, hanya karena takut hubungan mereka renggang. Padahal jika mereka membicarakannya baik-baik, semua nggak akan seperti ini. Zia nggak perlu kabur. Kalaupun harus pergi, Zia akan pergi dengan kerelaan. Tapi semua sudah terlewat. Sekali lagi, Zia menyiakan lelaki yang—ternyata, baru dia tahu—telah banyak mengorbankan diri hanya demi Zia.

Zia pernah dengar April bilang, alasan kenapa Zia belum move on nggak lain karena belum menemukan yang setara dengan Edward. Setara dalam mencintai, memperlakukan, secara fisik dan kepribadian. Edward—mungkin—nggak berniat menyakiti. Karena sungguh, selama hubungan mereka terjalin, Zia yakin kesalahan Edward hampir mendekati tidak ada.

"Iya, Tan. Sekarang udah lebih baik. Aku ada rekaman percakapan sama dokter. Nanti aku kirim .... Iya, sama-sama, Tante."

Zia merasa debaran dadanya makin nggak menentu setelah mendengar percakapan Edward dan sang mama. Sudut matanya nggak lagi memperhatikan Edward. Dia justru bertolak ke arah kanan di mana ada air mineral di sana. Dia butuh membasahi tenggorokannya yang terasa kering.

Terlalu tergesa gerakan Zia, sampai nggak sadar kalau tangannya sedikit gemetar. Bukannya berhasil meraih apa yang jadi tujuannya, dia justru membuat botol itu jatuh dan menimbulkan suara berantakan yang makin membuat kepala Zia rasanya mau pecah.

Astaga, berapa kali Zia membuat kekacauan hari ini? Dia udah mengganggu konsentrasi Edward yang fokus pada pekerjaan. Membuat lelaki itu kini berjalan dengan langkah lebar ke arahnya.

Zia berniat bangkit untuk berusaha turun mengambil botol, tapi Edward sampai lebih dulu dan mengambilnya. Sosok tinggi itu menjulang di hadapan Zia dan membuatnya mengenang. Rasa rindunya bertumpuk-tumpuk, menggelegak, sampai sakit rasanya. Tapi Zia berusaha baik-baik saja. Karena Edward juga tidak menunjukkan sesuatu yang sama seperti Zia.

"Minum?" Suara rendah Edward terdengar datar, begitu juga raut wajahnya yang sama sekali berbeda dengan terakhir Zia kenal.

Edward adalah orang yang cukup ekspresif. Lengkungan di bibir hampir nggak pernah terlewat saat mereka bersama. Tapi kini Zia merasakan berbeda. Ternyata sudah sejauh itu perpisahan mereka mengubah Edward.

"Makasih." Giliran Zia yang bersuara setelah Edward memberikan apa yang dia butuh. Zia berusaha duduk dan tidak akan melupakan sentuhan ringan Edward di bahunya. Lembut dan singkat, tapi Zia sungguh terharu. Bahkan beberapa tegukan air tetap belum mampu membuat hatinya lebih baik.

Zia mengalihkan pandangan dari lelaki itu, yang terus menatapnya intens. Nggak bisa. Zia sudah merasakan genangan di pelupuk mata. Tubuhnya yang masih sakit dan ngilu makin memperburuk keadaan. Dia butuh memeluk Edward, tapi rasa-rasanya terlalu lancang.

"Makan dulu."

Kerjapan mata Zia jadi bukti kalau dia berusaha sangat keras untuk menelan tangisnya. Dia mengusap sudut mata yang berair, dengan punggung tangan yang terasa panas. Zia menoleh ke Edward lalu mengangguk.

Saat Zia mengira Edward akan mengambil meja portable dan menyuguhkan makanan, ternyata tidak. Edward justru menarik kursi untuk duduk, lalu menyendok makanan.

"A-aku ... bisa makan sendiri," tolak Zia pelan. Dia nggak mau ganggu waktu Edward. Zia yakin Edward masih memikirkan pekerjaan, terlihat dari ekspresi lelaki itu yang terkadang diam seolah sibuk mendengar sesuatu dari AirPods.

"I know," gumam Edward. "But let me."

Sendok sudah sampai di hadapan Zia dan nggak mungkin ditolak. Meski dengan perasaan campur aduk, Zia akhirnya membuka mulut. Dia menghindari menatap Edward karena takut itu akan mengacaukan hatinya.

"Kak Ed ... udah sarapan?" Zia nggak mau jadi pihak yang hanya diam. Edward sudah begitu baik padanya.

"Belum. Nanti."

Zia mengangguk. Dia menelan suapan kedua meski sambil menahan gemetar. Kalau saja dia nggak menggenggamkan tangan seerat-eratnya di balik selimut, udah pasti lengannya terulur dengan nggak tau diri untuk mendekap Edward.

"Aku ... ditinggal?" Zia masih enggan memutus percakapan mereka. Ini bentuk kedekatan selain peluk. Dan Zia butuh itu untuk membuat suasana hatinya lebih baik.

"Nggak. Saya pesan delivery."

"Kerjaannya udah, Kak?"

Helaan napas Edward terdengar lelah. Mata yang sedari kemarin menatap Zia dengan intens dan sorot datar, kini memancar sayu. Pelan sekali jemari Edward membelai pipi Zia. Hanya sekilas sembari menyuapkan makanan. Semoga saja ... Zia nggak menyadari itu.

Keinginan untuk mendekap gadis yang sangat dia rindukan ini sudah sampai di tahap menyesakkan. Sakit rasanya, melihat Zia begitu dekat tapi seperti tak teraih hanya karena takut Zia semakin enggan melihat wajahnya.

Nanti, setelah keluarga Zia datang, Edward akan menentukan sikap akhir. Sekarang biarlah seperti ini. Dia nggak mau merusak suasana hati Zia dan berujung diusir, padahal Zia masih butuh ditemani.

"Aku ... ganggu waktunya ya?" tanya Zia pelan sekali. Raut lelah Edward bisa jadi imbas karena menjaganya padahal harus ada kerjaan yang diselesaikan.

Edward tidak menjawab hal itu. Masih ditahan apa yang tidak seharusnya diungkapkan meski dia ingin. "Habiskan makannya dulu."

Jawaban itu adalah sebuah closure. Dan Zia kecewa.

***

Tubuh Zia terasa kaku. Keningnya berkerut saat kesusahan membuka mata dan menggerakkan tubuh. Sayup-sayup didengarnya suara percakapan di sekitar. Sepertinya Zia tertidur cukup lama.

Dengan segala usaha, Zia berusaha membuka mata. Hal pertama yang dilihatnya adalah atap. Dia ingat ini atap rumah sakit. Sudah berapa lama dia tertidur? Dia hanya ingat hanya berbaring di ruang rawat karena tubuhnya masih lemas. Terkadang ke kamar mandi jika ingin, lalu tidur. Hanya itu kegiatannya sejak kemarin.

Apa? Kemarin?

Seketika Zia menoleh ke sayup suara yang sempat didengar. Dia mengernyit mendapati dua orang sedang duduk di sofa.

"Ma ...," panggil Zia dengan suaranya yang serak.

Hanya satu panggilan, papa dan mama Zia sempat kaget sebelum ekspresinya berubah penuh kelegaan. Keduanya mendekat ke tempat tidur Zia.

"Udah enakan badannya, Zi?" tanya Laras sembari membantu Zia yang seperti ingin bangkit duduk.

"Mama ... kapan sampainya?" Zia melirik jam di dinding. Pikirannya kosong seketika. I-ini ... udah malam lagi?

"Jam 9 tadi. Waktu Mama telepon kamu itu lagi transit di Kuala Lumpur, Zi. Untung aja Ogi dapat tiket." Laras memberikan air putih dan membantu putrinya untuk minum.

"Panas kamu udah turun." Giliran papa Zia yang memberi perhatian. "Kata Edward dia bicara sama dokter dan keadaan kamu udah membaik. Besok kamu kemungkinan dibolehin pulang. Tapi sekarang apa masih pusing, Nak? Masih lemes?"

Zia tersadar kemudian. Edward. Edward. Apakah lelaki itu udah pulang? Edward selalu bilang mau pulang kalau keluarganya datang. Di mana Edward sekarang? Ya Tuhan. Zia nggak sanggup untuk memulai percakapan dari awal lagi, jika mereka harus mengulang terpisah jarak sebelum ada pembicaraan yang pasti.

Iya, Zia memang masih berharap. Seharian bersama Edward membuat tekadnya kuat. Meski mereka bahkan nggak saling sapa setelah insiden sarapan—karena Edward juga terfokus ke pekerjaan dan beberapa meeting, sebenarnya Zia sudah menyiapkan diri untuk membuka obrolan lagi.

Tapi melihat keengganan Edward, sepertinya harapan itu harus pupus. Zia sangat ingin, tapi nggak mau memaksakan. Jika Edward berusaha cepat pergi, Zia nggak mungkin melarang. Dulu Zia-lah yang mengusir jauh-jauh dan mengatai Edward banci.

Sangat banyak tutur kata Zia yang menyakiti Edward. Harusnya Zia nggak berharap hati Edward masih miliknya.

Memangnya apa yang ditakutkan? Zia pernah susah move on sebelum ini. Jadi mengulang hal yang sama bukanlah sesuatu sulit meski harus mengorbankan waktu untuk menyibukkan diri demi melupakan Edward.

Tapi kali ini ... Zia akan menikmati tiap prosesnya. Dia nggak mau berpura-pura berhasil lupa jika hanya terpaksa. Zia akan merasakan denyut sakit saat teringat Edward, pelan-pelan, terus menerus sampai hatinya lupa dengan sendirinya.

Meski itu ... pasti sangat sulit.

"Udah mendingan, Pa." Zia menjawab meski cukup lama.

"Abang kamu baru ke hotel. Kasian kalau Key dan anak mereka sendirian. Besok pagi ke sini lagi." Laras membelai lembut kepala anaknya.

"Iya, Ma." Zia mengangguk. Dia merentangkan tangan meminta dipeluk mamanya. Setiap sakit, nggak pernah dia melewatkan pelukan Laras. Rasanya ini melegakan saat mendapatkannya. "Badan aku sakit semua, Ma."

Laras merenggangkan pelukan dengan tatapan khawatir. "Mama panggilin dokter."

Zia segera menggeleng. "Bukan. Kayaknya ... aku kebanyakan tidur. Tanganku rasanya kaku banget." Dia menggerak-gerakkan jemarinya yang terasa kaku.

"Perlu udara segar ya? Ayo Mama temani jalan-jalan di luar."

Zia menggeleng. "Mama baru sampe. Istirahat aja."

Tapi Laras menolak. Tetap ingin mengabulkan keinginan anaknya untuk sekadar jalan di luar ruang rawat. Zia hanya pasrah. Dia mengalungkan lengan ke leher papanya saat dibantu turun. Zia meringis saat kakinya menyentuh lantai. Dingin.

"Ayo. Sama Papa juga," ajak Hendra.

Zia mengangguk. Langkah pertamanya sedikit susah. Lemas banget kakinya, rasanya pengin digendong aja. Tapi nggak mungkin meminta itu dari orang tuanya.

Baru beberapa langkah, ketiganya harus berhenti karena melihat pintu terbuka. Dan yang berdiri di sana membuat jantung Zia mendadak memompa dengan cepat. Detakannya terasa berlebihan hanya karena melihat seseorang.

Itu ... Edward. Entah bagaimana bisa masih ada di sini. Zia nggak mampu mencerna apa pun.

"Ke mana, Om, Tante?" Edward mendekat dengan langkah pelan.

"Zia butuh udara luar katanya, Ed. Kebanyakan tidur. Bosen dia."

Zia menunduk agar tatapnya yang mengabur nggak disadari Edward.

"Om sama Tante istirahat aja, pasti capek baru sampai. Biar aku yang bawa Zia jalan-jalan."

Zia mengangkat pandangan. Terkejut dengan cetusan Edward yang di luar perkiraan. Dia hampir menatap Laras untuk mengisyaratkan penolakan. Tidak, jika Edward hanya ingin membawanya jalan-jalan tanpa ada niat membicarakan apa yang ingin Zia bicarakan, lebih baik nggak sama sekali. Zia nggak sanggup.

Tetapi semua nggak sesuai apa yang Zia inginkan. Karena sepertinya orang tua Zia kemungkinan setuju dengan ide Edward. Zia nggak mau menyalahkan orang tuanya yang batal membawa Zia jalan-jalan, karena dia juga lihat keadaan Laras dan Hendra yang kelelahan.

"Nggak lama, Om," kata Edward meminta izin.

"Iya, silakan aja, Ed. Om izinin."

Zia mengangkat pandangan dan bertautan dengan kedua bola mata pekat yang balik menatapnya. Hanya dengan melihat Edward ada di hadapan, Zia sudah sangat ingin menangis. Bolehkah dia meminta satu kali lagi kesempatan untuk memperbaiki semua hal bersama-sama dengan Edward? Apa lelaki itu masih sudi?

Mungkin ini saatnya. Mau gimana pun keterdiaman Edward, Zia janji dia akan memulai lebih dulu. Zia mau bilang kalau dia masih mencintai Edward seperti dulu.

Entah bagaimana respons Edward, Zia tetap akan berjuang. Dia sudah pernah confess dan berujung memalukan, tapi untuk saat ini, langkah itu lebih baik ketimbang dia kehilangan kesempatan.

Zia nggak mau melewatkan Edward lagi. Sudah dua hati dia singgahi setelah bersama Edward, tapi tidak ada satu pun yang membuatnya merasa teramat dihargai, diperlakukan sebaik Edward memperlakukannya.

Mungkin orang-orang akan bilang bahwa nanti ada saatnya Zia menemukan yang lebih baik dari Edward. Tapi ... apa ada jaminan? Zia sudah menemukan sekarang dan sebelum ini, kenapa harus menunggu nanti yang entah kapan?

Zia akan berhenti mencari. Jika mereka berhasil bersama lagi.

"Ayo."

Zia menerima uluran tangan Edward. Dia lemas, tapi entah kenapa gerakannya teramat cepat seolah takut tawaran Edward untuk menggenggamnya hanya bertahan sebentar. Dia bahkan diam saat Edward merengkuh pinggangnya setelah melewati pintu. Setapak demi setapak langkah yang mereka pijak makin membumbungkan perasaan Zia yang tumpah ruah.

Kedekatan mereka ini, lembut cara Edward meremas pelan pinggangnya saat disadari tubuh Zia sedikit lemas, gumaman Edward yang selalu memastikan pijakan Zia benar saat ada tangga dan jalan menurun—semua membuat Zia nggak bisa mengontrol perasaannya sendiri.

Pelan sekali Zia berusaha mengangkat lengan, menelusup ke balik punggung Edward untuk balas memeluk lelaki itu di pinggang. Dia membutuhkan tumpuan, dan hanya dengan cara itu Zia rasa mampu melawan semua resah yang menyerbunya.

Lorong telah berhasil mereka lalui sampai basement. Edward tidak menunggu lama untuk membantu Zia duduk terlebih dulu sebelum dirinya masuk ke balik kemudi. Segera diraihnya jaket di jok belakang untuk Zia. Dia takut Zia kedinginan.

Zia tidak mampu merespons apa pun. Dia terlalu kebingungan bagaimana menahan perasaannya yang membuncah melihat Edward melakukan semua untuknya dengan penuh persiapan. Perhatian Edward mampu meruntuhkan ego Zia. Dia tidak mau apa pun selain Edward sekarang.

Jadi saat lelaki itu memakaikan jaket, memasukkan lengannya ke sana, lalu mengancingkan sampai leher, Zia nggak lepas menatap Edward. Untuk menunjukkan bahwa dia menghargai setiap apa yang lelaki itu lakukan.

Tapi saat sentuhan lembut di kepala Zia rasakan, dan bagaimana jemari Edward menyisir rambut Zia yang mungkin sangat berantakan, dia nggak sanggup lagi. Bibirnya gemetar menahan tangis.

Edward mengartikan berbeda. Mata Zia berkaca-kaca dengan bibir gemetar. Wajah itu teramat pucat meski nggak separah kemarin. Perlahan tangan Edward meraih jemari Zia, mengusap punggung tangan itu untuk menularkan kehangatan. Tatapnya menyorot penuh kasih sayang. Tubuhnya condong untuk lebih dekat dengan Zia.

"Dingin?" tanya Edward dengan suara halus. Satu tangannya yang bebas kembali membelai puncak kepala Zia. Sekalian memastikan suhu tubuh gadis itu nggak kembali naik. "Iya? Dingin?" ulangnya untuk memastikan.

Zia mengangguk dan satu air matanya menetes dengan isakan ringan. "M-mau ... peluk."

Suara Zia yang melemah di akhir, ekspresi gadis itu yang menyorot sedih, juga tangan di genggamannya yang gemetar telah mampu memukul dada Edward. Peluk. Zia mau dipeluk? Lagi, setelah satu setengah tahun berlalu?

Dengan kesadaran penuh, Edward mengurai genggaman. Sebagai gantinya, kedua lengannya terangkat untuk melingkari tubuh Zia. Membawa gadis itu dalam kehangatan dekap dadanya.

Suhu tubuh Zia terasa hangat dan Edward makin mengeratkan rengkuhan. Kepala Zia yang terbenam dengan isakan, membuat hati Edward teriris. Pandangannya mulai berembun. Edward tidak tahan untuk tidak terharu saat Zia balas memeluknya, melemahkan tubuh dalam sandaran dadanya, seolah menyamankan diri.

"K-kak ... aku ... minta maaf."

Di dalam pelukan itu, Zia merasakan dirinya hancur berkeping-keping, namun juga merasa diangkat dari kegelisahan, dari kehilangan. Air matanya mengalir deras dan di situlah, di dalam pelukan Edward, Zia menemukan cinta dan kenyamanan yang telah begitu lama ia cari. Tidak ditemukannya selain pada lelaki ini.

Suara Zia yang terbata mampu membuat Edward tercekat. Dia membenamkan bibir di lekuk leher Zia, menahan buncahan perasaan yang luar biasa. Mereka tidak tahu arah hubungan setelah ini akan ke mana. Tapi yang pasti detik itu juga keduanya tau, baik Edward maupun Zia masih sama-sama saling mencintai. Pelukan yang makin mengerat menandakan sebuah kepastian bahwa perasaan yang sama kuatnya masih ada di antara mereka.

Dalam peluk itu, Edward merasa utuh. Kekosongan jiwanya satu setengah tahun ini seakan kembali terisi. Edward seperti pulang ke rumah. Terbebas dari segala rasa putus asa dalam mempertahankan Zia selama ini.

Edward menemukan dirinya yang sebenarnya, hanya karena Zia berhasil dia rengkuh kembali. Ketakutannya bahwa bahagia adalah kesedihan yang tertunda—seolah lenyap. Edward itu seorang optimistis. Dan dia mendapatkan dirinya terbebas dari belenggu rasa takut, yang membentuknya jadi manusia tanpa perasaan sebelum ini.

Getaran emosi Edward tak terkendali. Matanya yang berkaca-kaca kini basah, menetes dan mengalir di pipinya. Edward bergumam, lirih, sakit. "I love you, Zi. I still do, and always will."

🧚🏻🧚🏻

Nggak semudah itu, Zi, batin Ed🙂‍↔️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top