66. Please?

Tadi sempet update tapi notif gak masuk jadi ditarik lagi. Semoga ini masuk notifnya yaa🥹

🧚🏻🧚🏻

Sampai detik ini Ogi masih diam melamun. Pikirannya terbang ke mana-mana meski gerak tubuhnya sedang menimang sang anak dalam gendongan. Dia buntu. Ikut merasakan kebimbangan yang baru didengar dari lirih suara Edward di detik terakhir telepon mereka tersambung.

Ya Tuhan, kenapa semua jadi serumit ini? Ogi pikir Zia udah bahagia bersama Adrian. Meski tau bahwa di antara Edward maupun Zia akan sakit jika salah satunya termiliki, tapi bagi Ogi itu lebih baik ketimbang dua-duanya terpuruk.

Satu setengah tahun Ogi udah nggak mempermasalahkan Zia dengan siapa atau Edward dengan siapa. Adiknya bahagia menemukan lelaki baru, dan Edward pasti akan sembuh seiring berjalannya waktu. Tapi kepulangan Zia justru membuat Ogi dilanda kebingungan luar biasa. Apalagi saat Edward membisikkan permintaan maaf karena lelaki itu memutus persahabatan secara sepihak dengan hilang kabar, lalu meminta maaf karena katanya susah sekali merelakan Zia.

Nyatanya, Ogi lihat dengan mata kepala sendiri bahwa Zia maupun Edward masih sama-sama terpuruk. Dua-duanya belum selesai dengan luka masa lalu. Entah harus disembuhkan sendiri, atau justru akan lekas terobati jika mereka kembali bersama-sama lagi.

"Bang, mau sekalian aku bikinin jus nggak?"

Suara yang terdengar dari arah dapur membuat Ogi menoleh. Dia berjalan dari ruang tengah dan memindahkan sang anak ke pangkuan Key untuk disusui terlebih dulu. Ogi menyusul ke pembatas ruangan setelah panggilan Zia terdengar tadi. Dilihatnya Zia sibuk memilih buah di kulkas.

"Aku jus tomat aja deh," gumam Zia setelah beberapa saat. "Mau bikin buat Kak Key juga. Pengen jus stroberi katanya. Abang mau apa?"

Ogi masih berusaha meredakan hatinya yang galau gara-gara teleponan sama Edward tadi. Gini banget sahabatan dari lama. Saking taunya setiap perjalanan Edward yang jatuh bangun, sampai-sampai sedihnya Edward aja nular. Dia ikut patah hati rasanya.

"Bang Ogi?"

"Samain kayak Key aja," gumam Ogi pada akhirnya.

Zia mengangguk. Dia bersenandung lirih sembari menyiapkan peralatan. Dia ambil juicer dan mulai mencuci buah-buah. "Papa sama Mama belum balik ya, Bang?"

"Belum, Zi," jawab Ogi. Dia hanya lihat punggung adiknya. Tapi kalau nggak salah lihat tadi, Zia emang masih sembap banget. "Mungkin bentar lagi."

"Keren sih, Bang, pabrik yang baru. Makin banyak aja yang taken kontrak kerja sama," puji Zia. "Gedungnya kekinian banget, lagi. Dilihatnya jadi lebih menonjol, futuristik, menjanjikan."

"Iya. Papa juga sadar sejak ada pembaruan struktur bangunan yang sebelumnya kuno, jadi banyak yang ngelirik abis diubah."

"Arsiteknya siapa sih, Bang? Kece banget."

"Edward."

Ogi sangat sadar keterdiaman mereka yang tiba-tiba. Yang tadinya Zia mencuci buah-buahan di air mengalir dari keran, kini benar-benar membeku. Bahkan aliran air terdengar keras tanpa jeda karena dibiarkan dalam beberapa menit saat Zia masih membeku.

"Kamar kamu udah kembali kayak dulu, Zi," mulai Ogi dengan kalimat pembuka. Pelan dia mendekat ke adiknya. "Udah nggak ada barang-barang dari Edward kalo emang itu alasan kamu nggak betah di rumah. Edward juga nggak pernah nyari tau tentang kamu lagi lewat Abang. Dia udah sadar diri sejak kamu ngatain dia banci. Bahkan kalau kamu mau tau ... Abang sama dia juga nggak ketemu selama satu setengah tahun. Baru ketemu lagi kemarin di resepsi Abang."

Seperti tersadar, Zia segera bergerak mencuci buah-buahan sampai selesai. Tangannya sedikit gemetar saat memutar keran agar aliran air berhenti.

"Jadi, alasan apa yang bikin kamu pengin cepet balik ke Melbourne? Pertemuan kalian kemarin juga nggak saling sapa kan? Abang lihat sendiri kamu menghindari acara. Edward juga langsung pulang sorenya. Apa yang bikin kamu nggak nyaman sekarang padahal udah nggak ada Edward di sini, Zi?"

"Abang nggak tau rasanya benci sama orang sampai-sampai aku nggak mau keinget lagi."

"Benci?" Ogi mengernyit. Dia menjaga jarak sekitar dua langkah di belakang Zia. Sadar kalau adiknya itu sudah tidak fokus memasukkan buah-buahan ke juicer. "Setelah dua kali kamu jatuh cinta ke laki-laki lain dan pacaran sama mereka, kamu masih benci ke masa lalu kamu?"

Zia gemetar sampai nggak sengaja beberapa buah yang seharusnya masuk ke juicer, justru terjatuh ke lantai. Pertanyaan Ogi adalah pertanyaan yang sama sepanjang malam tadi. Dipikir Zia sendiri nggak bingung dengan perasaannya? Padahal hatinya juga menanyakan hal yang sama.

"Apa kamu sebenernya nggak jatuh cinta sama Rendra atau Adrian?"

"Abang nggak usah bilang kayak gitu seolah-olah aku cuma permainin mereka—"

"Nggak. Abang nggak bilang gitu."

"Aku nggak mungkin mau jalin hubungan kalo nggak suka sama orangnya. Aku beneran suka sama Rendra. Adrian apalagi." Suara Zia sudah mulai meninggi. Rupanya emosinya sedikit tersulut. Tapi dia masih berusaha menahan, juga nggak membalikkan tubuhnya menghadap Ogi. "Asal Abang tau, aku nggak pernah keinget temen Abang itu waktu sama Adrian. Aku happy. Dia perhatiin aku banget. Nggak telat semenit pun dia nanyain apa yang aku butuhin. Adrian is the best partner I've ever had. Jangan karena Abang lihat hubunganku selalu singkat, terus Abang simpulin gitu aja kalo aku nggak cinta sama dia."

"But you don't love him as much as you loved Edward."

Zia mengangguki dalam diam, dengan kekehan miris. Dipojokkan begini membuat perasaannya berantakan. Apa maksud Ogi dengan bilang kayak gitu? Seolah-olah Zia adalah pemain, yang mempermainkan hati laki-laki dengan menjadikan pelarian selama hati Zia masih penuh luka.

Padahal harusnya Ogi yang paling mengerti bahwa Zia selalu berusaha hidup normal lagi tanpa tangisan di malam hari. Memulai hubungan dengan laki-laki lain pun nggak semudah itu. Zia perlu melewati banyak keraguan di hatinya apakah lelaki itu bisa membuatnya bahagia, apa dia bisa mengontrol agar bayangan Edward nggak muncul saat sedang bersama laki-laki lain. Dan sangat banyak ketakutan.

Pada akhirnya Zia berhasil, meski sangat kuat usahanya mencoba mengubur bayangan Edward tiap hampir muncul ke permukaan. Dia paksa kuat-kuat dengan dalih bahwa pasangannya yang sekarang jauh lebih baik dari Edward. Setidaknya Rendra dan Adrian tidak pernah punya masa lalu yang seproblematik Edward. Dan keduanya tidak ada yang melarang Zia mau melakukan apa, mereka tau apa hobi dan bakat Zia. Bukan mengekang dan membatasi.

"Itu yang bikin aku nyesel seumur hidup. Ngapain aku pernah hampir ngabisin cinta buat laki-laki kayak dia. Dan nyisain dikit buat orang baru. Kalau aku nggak pernah jadi orang bodoh, mungkin aku masih sama Adrian. He's totally boyfriend material. Harusnya aku lebih sabar dikit aja sama kesalahannya karena tau nggak ada hubungan yang mulus. Harusnya aku bisa maafin Adrian karena dia cuma hobi nge-game tanpa tau waktu. Bukan hobi nidurin cewek!"

Ogi kaget mendengar penuturan Zia yang penuh penekanan. Langkahnya mendekat sampai berada di samping adiknya dan mendaratkan telapak tangan di bahu Zia. Gumamannya terdengar lirih. "Bisa kamu ulangi sekali lagi yang terakhir tadi?"

Zia tau mulutnya keterlaluan. Dalam hati dia menyangkal apa yang diucapkan bibirnya. Tidak. Zia juga tau Edward tidak seperti itu. Tapi ... bagaimana cara untuk melampiaskan kebimbangan ini, selain dengan cara menolak keras-keras kenyataan bahwa ternyata dia masih merasakan perasaan yang sama pada Edward?

"Kamu bilang 'hobi'? Kamu tau apa artinya kan?" Suara Ogi masih sedikit terbata, tak percaya.

"Apa lagi selain kata itu?" Ini sudah terjadi. Zia hanya bisa meneruskan apa yang telah terucap. Meski pandangannya mulai mengabur akibat tangisnya yang ditahan sekuat tenaga. Mengatakan ini sama saja menyayat hatinya sendiri. Tapi entahlah, dia kalut saat menyadari bahwa kehidupannya yang tenang satu setengah tahun ini ternyata palsu. Kebahagiaan satu setengah tahun yang dilaluinya hanya semu. Dia kecewa kenapa harus merasakan seperti ini lagi. Bukan sakit, tapi ... rindu. Sampai-sampai dadanya terasa sesak saking kuatnya.

"Abang tau kamu sakit hati tapi nggak gini caranya."

"Terus gimana?" tanya Zia balik. Dia bersikukuh dengan pendirian, memberanikan menatap Ogi meski bibirnya tergigit gemetar. "Dia egois. Dia cuma mikirin dirinya sendiri. Abang nggak tau gimana dia nyembunyiin banyak hal dari aku cuma karena takut ketauan kalau dia pernah tidur sama pacar-pacarnya. Dia sengaja nggak bilang buat nahan aku biar nggak pergi. Padahal dia tau prinsipku gimana!"

Semakin Zia melontarkan keresahan, bukannya benci dan sakit, dia justru terbayang bagaimana perlakuan Edward padanya semasa mereka bersama. Yang baik-baik. Iya, bodoh kan?

Harusnya Zia sesak akan rasa sakit, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Dia menolak semua pengutaraan bibirnya akan sosok Edward yang buruk. Karena pada kenyataan, hatinya telah benar-benar luruh, mewajarkan, memaklumi, mengerti, dan memahami dengan penuh; bahwa masa lalu Edward hanyalah sepenggal kisah yang salah. Dan semua orang pernah salah.

Past is past. Hati Zia telah ringan semalam, sebab dia menerima kenyataan bahwa dia telah sembuh dari sakit, meski itu artinya ... belum sembuh dari rasa kehilangan. Dan satu-satunya cara untuk menyembuhkan rasa kehilangan adalah membuat Edward kembali.

Zia ingin Edward kembali.

Sayangnya Edward terlihat nggak peduli. Jadi Zia menangisi keterlambatannya menyadari kebaikan Edward. Harusnya dia sadar kalau pemakluman itu sudah muncul sejak tangisnya reda di enam bulan awal dia di Melbourne. Tapi Zia terus denial bahwa sakit yang hilang adalah bentuk lupa akan Edward. Padahal bukan. Justru itu adalah bentuk penerimaan.

"Kamu berhak ngerasa sakit waktu denger masa lalunya, Zi." Suara Ogi mulai ditekan. Emosinya sedikit tersulut saat melihat keteguhan Zia dalam menjelekkan sosok laki-laki yang dia kenal baik. "Tapi keterlaluan kalo kamu nuduh dia sejauh ini. Kita semua tau dia hancur di masa lalu. Dia salah. Tapi apa kamu nggak pernah lihat sisi baiknya sampai sebenci ini sama Edward?"

"Apa? Sisi baik apa?!" Lagi-lagi Zia menyalahi hati nuraninya sendiri. Dia mengusap wajah dengan gusar. "Dia berengsek, Bang! Nggak ada baiknya. Mau seberapa banyak pun kalo dia pernah nidurin cewek dengan sengaja dan nyembunyiin itu dari aku karena nggak mau aku pergi, itu udah jahat banget! Lebih dari berengsek!"

"Oke kamu anggap Edward berengsek. Terus Abang kamu ini apa, hah?!" Suara Ogi sudah meninggi, sama tinggi seperti yang Zia lakukan. Matanya tersorot tajam ke arah adiknya yang kini sudah meneteskan air mata. "Kamu kira gampang hentiin sex kalo udah pernah? Kamu nggak tau Abang gagal dengan itu? Sekalipun Abang sama Key komitmen buat nggak lagi-lagi, tapi selalu gagal. Abang yang gagal. Tapi apa kamu nggak lihat usaha Edward selama ini, Zi? Empat tahun dia perbaiki diri, apalagi waktu ketemu kamu lagi. Dia bisa handle dirinya sendiri. Abang selalu bilang kalau dia itu hebat dengan segala usahanya. Tapi kamu malah bilang sebaliknya. Kamu boleh sakit hati, tapi jangan tutup mata sama semua usaha dia buat nunjukin bahwa dia bisa sempurna buat kamu."

"Usaha yang mana, Bang?! Nyusulin ke Singapura? Kasih surprise? Kasih barang-barang branded? Semua orang kalo punya uang juga bisa! Bang Ogi dijanjiin apa sama dia sampe belain dia banget kayak gini? Dari dulu aku tau Abang selalu di pihak dia."

"Sekarang nyalahin Abang? Iya?" Ogi sudah tidak bisa menahan napasnya yang memburu. Dia nggak pernah dengar Zia semudah ini sepelekan tentang orang. Tapi kenapa sama Edward, Zia sebegini bencinya? Bahkan usaha besar Edward nggak pernah dilihat sama sekali. "Kamu tau Abang nggak pernah ikut campur urusan percintaan kamu. Bahkan waktu kamu sama Rendra, sama Adrian, sama siapa pun di sana juga nggak pernah Abang larang. Tapi ini ... kamu keterlaluan jelekin Edward, Zi."

"Kenyataannya." Zia mengusap air mata dengan kasar. Makin jauh, dia makin sakit. Mulutnya berkata begitu tapi hatinya masih tetap ada Edward. Debarannya, semuanya, masih sama tiap kali mengingat sosok lelaki itu. Dia bilang bahwa Adrian adalah pacar terbaiknya, itu hanya omong kosong. Sampai kapan pun tetap Edward yang menempati takhta tertinggi. Bahkan sampai detik ini. "Dia nggak ada baik-baiknya," desis Zia di tengah usaha menahan tangis.

"Kamu taunya dia flight ke Singapura tanpa halangan. Padahal dia punya trauma sama penerbangan."

"Karena kecelakaannya Gwen?" Zia mendengus. Lagi, dia menyadari tak ada rasa sakit saat menyebut nama Gwen—yang dulu bisa membuatnya sangat enggan mengucapkan. Tapi sekarang dia sanggup mengingat Gwen tanpa ada kecemburuan.

"Kamu kenapa selalu sepelekan apa yang jadi kelemahan Edward, Zi? Apa kamu nggak tau separah apa traumanya dia? Dia pingsan waktu antar kamu ke bandara!" Ogi sangat sadar Zia tersentak. Tatapan itu terpaku beberapa saat seolah berusaha mencerna apa yang Ogi ucapkan. Sudah kepalang jauh, Ogi lanjutkan. Agar adiknya lebih bisa menghargai tanpa merendahkan hanya karena Edward adalah mantan. "Di rumah ini, Edward bangun dari pingsan dan nungguin kabar kamu sampai hampir gila. Dia khawatirin kamu banget tapi kamu milih nggak ngabarin dia. Dia tanya terus ke Abang apa penerbangan kamu aman. Apa kamu udah sampai? Apa ada media yang berusaha nutupin kabar kecelakaan pesawat? Kekhawatiran dia sama penerbangan bisa separah itu."

Zia melengos. Dia masih berusaha abai pada kenyataan. Kalimatnya melontar sebagai penyangkalan. "Abang boong kan? Kalau separah itu, kenapa dia bisa nyusul ke—"

"Itu poin yang harus kamu tau, Zi!" Ogi menumpukan dua tangan di pinggang. Gerak kakinya gelisah dan dia menghadap atas beberapa saat untuk menetralkan napas. "Nggak ada yang nyangka dia sampe di sana dengan baik-baik aja. Keluarganya pun nggak nyangka."

Penyangkalan Zia mulai memudar. Tergantikan dengan degup yang begitu menyakitkan saking cepatnya. Zia ingat pelukan Edward malam itu sangat berbeda. Wajah pucat pasi Edward dengan air mata yang mengalir juga baru dia tau artinya apa.

"Dan kamu juga harus tau begitu Edward sampai di sini lagi, dia rawat inap!"

Zia tersedak tangisnya sendiri. Isaknya mulai terdengar lirih dan nggak sanggup dia tahan. Dia juga ingat saat Edward menjemput di bandara, tubuh lelaki itu terasa hangat, cenderung panas. Edward hanya menjawab kalau itu mungkin perasaan Zia aja. Padahal ... kondisi Edward mungkin belum fit.

"Dia ketakutan kalo penerbangan itu bikin dia balik lagi susah nelan makanan kayak dulu. Dan waktu dia sadar itu nggak beneran kejadian, senengnya nggak main-main. Abang baru pertama kali liat Edward sebahagia itu setelah masa jatuhnya dulu. Sambil dia bilang ke Abang kalo dia cinta banget sama kamu." Ogi tertawa sumbang setelah menyelesaikan kalimatnya. Dia sadari Zia udah cukup terguncang dengan kenyataan yang baru dipaparkan. "Jangan kira dia baik-baik aja sekarang, Zi. Abang udah kehilangan Edward yang Abang kenal. Dia nggak pernah mau senyum. Bicaranya sepatah dua patah kata aja yang dia rasa penting. Dia lakuin apa aja biar 24 jam sehari nggak diam karena itu bisa bikin dia nangis. Kamu yang bilang kalo dia nangis itu banci. Edward nggak mau dilihat jadi banci, padahal apa salahnya laki-laki sedih?"

"Bang, aku—"

"Yang bikin Abang sedih ... waktu Abang denger dari Albert kalau Edward pernah drop karena nggak mau tidur. Nggak bisa tidur. Dia terus-terusan kerja, olahraga, apa pun asalkan nggak diam. Sebulan awal dia dipaksa harus minum obat tidur biar badannya fit. Setelahnya dia bisa beraktivitas seperti biasa. Tapi ... Abang beneran kehilangan Edward yang dulu."

Tidak ada suara di dapur. Isak Zia bahkan terhenti, sama seperti helaan napas Ogi yang hanya samar terdengar.

"Tapi kalau kamu masih anggap semua usaha Edward kurang, nggak apa-apa. Asalkan jangan jelekin dia sejauh itu ya, Zi. Karena nggak semua orang sempurna. Bukan ranah kita menghakimi masa lalu seseorang. Kalau masa lalunya nggak sesuai sama prinsip kamu, cukup tinggalin aja tapi jangan benci sebegininya. Kita nggak tau segimana sakit Edward perbaiki apa yang bagi dia udah rusak. Penyesalannya juga nggak main-main, Zi. Dia udah berusaha sangat banyak. Abang juga tau adiknya Abang hebat bisa pegang prinsip dengan kuat. Kalian berdua sama-sama sedih, pasti nggak mudah. Tapi Abang tau seseorang akan dihargai di rumah yang tepat. Mungkin ... kalian berdua bukan rumahnya satu sama lain."

***

"Apa? Lo di Melbourne?!" pekik Ogi yang sedang menuruni tangga. "Siapa kemarin yang bilang 'Gue nggak bisa.'! Hah? Coba siapa?"

"Share loc."

"Zia belum flight ke situ."

"Apa?!"

"Makanya confirm dulu apa-apa, Saaattt. Main flight aja. Waktu itu kan gue bilang 'mungkin'. Mungkin besok Zia balik ke Melbourne. Ya nggak mesti lah!"

"Sat."

Ogi menjauhkan ponsel karena sambungan telepon dimatikan sepihak. Tapi dia tersenyum mendengar Edward mengumpat meskipun cuma satu suku kata yang sangat pendek. Masih bisa marah juga itu orang.

Sebenarnya Ogi sempat menerka pasti Edward ada niat nyusul. Tapi nggak nyangka langsung terbang keesokan hari setelah Ogi bilang. Gercep juga Edward, mungkin ngiranya kemarin Zia terbang terus hari ini sampai Melbourne. Takut kehilangan kesempatan, kali. Walaupun ... ya, sama aja. Karena Zia emang belum berangkat ke Melbourne. Ogi nggak berniat ngasih tau Edward kapan Zia ke sana. Biarlah, dia hanya melaksanakan janjinya di awal aja. Sisanya, biarkan takdir yang mempertemukan.

Kalau Zia sampai di Melbourne tapi Edward udah balik ke Indo artinya belum jodoh buat ketemu. Ogi sepenuhnya menyerahkan ke mereka berdua meskipun tau bahwa dua-duanya masih saling mencintai. Butuh duduk bicara aja.

"Bang Ogi! Papa udah turun belum?"

Terlihat dari arah kamar, Zia tergesa menuruni anak tangga.

"Itu," tunjuk Ogi ke papanya yang baru nongol dari dapur.

"Udah siap, Zi? Ayo, langsung aja," ajak Hendra, mendekat ke Zia untuk menarik koper kecil yang anaknya bawa.

"Oke, Pa. Aku pamit bentar sama orang rumah."

"Papa ke mobil dulu ya."

Zia mengacungkan jempol. Dia langsung berlari ke arah mamanya yang juga baru keluar dari dapur. "Maaaa, aku belajar dulu di Negeri Kanguru. Doain aku dapat ilmu banyak-banyak."

"Iya, Nak. Mama selalu doakan. Maaf kami baru bisa nyusul lusa."

Zia mengangguk setelah mengecup pipi mamanya. Nggak ada yang salah mau nyusul lusa. Soalnya Zia aja yang keduluan pulang, padahal harusnya emang bareng keluarga. Sekarang alasannya bukan karena ada kursus. Tapi ada lomba yang harus dia ikuti, dan dia butuh pendampingan di kursus. Jadi Zia nggak mau menyiakan waktu.

"Kak, aku berangkat dulu." Zia udah berpindah ke Key dan nggak ketinggalan mengecup bayi lima bulan yang kerjaannya tidur terus.

"Hati-hati, Zi."

Zia tersenyum. Sekarang dia berpindah untuk saling ke abangnya.

"Maafin Abang kemarin," bisik Ogi dengan tulus. Sejak kejadian di dapur itu, keduanya belum bicara banyak. Cuma sekilas aja waktu makan malam.

"Iya, aku juga minta maaf ya, Bang." Zia berujar sama tulusnya. "Nggak seharusnya aku ngomong keterlaluan."

"Abang selalu berharap kamu bahagia sama siapa pun itu pilihan kamu." Ogi memberi usapan di pipi adiknya. Bengkak lagi itu mata. Zia kayaknya habis nangis parah juga semalam. "Kalau masih sayang sama Adrian, go for it. Kayaknya kamu taruh harapan besar ke dia," kekehnya.

Zia hanya tersenyum tipis. "Belum dulu. Aku belum mau pacaran dulu sampe bener-bener lupa." Dia merenung, ini kejujurannya setelah satu setengah tahun. Bahwa ternyata ... dia belum lupa sama Edward. "Sama Adrian emang bikin aku fokus ke dia terus, tapi sekali dia lakuin kesalahan, yang kebayang malah perlakuan si mantan," kekehnya berusaha bercanda. "Kan nggak lucu. Kasian juga Adrian kalo lama-lama. Gengsi dia juga tinggi banget. Nggak ada yang mau ngalah."

"Katanya kamu yang mau ngalah." Ogi menjawil hidung adiknya, mengingatkan kalau kemarin sempet bilang Zia mau sabar dikit aja sama kelakuan Adrian, sekarang malah bilang nggak mau ngalah.

"Tapi lama-lama capek sih, Bang. Males. Entar aja lah masalah itu." Zia mengibaskan tangan dengan nggak peduli.

"Iya bener. Kamu fokus pendidikan dulu. Kata kamu kalo udah dapet banyak ilmu mau jadi desainer yang terintegrasi sama pabrik Papa."

"Iya, Bang. Doain aku ya!" Tiba-tiba aja Zia semangat.

"Inget, turun dari pesawat langsung ke penginapan. Jangan ngelayap ke mana dulu. Kamu ini rawan pusing abis flight. Harus langsung istirahat. Dengerin Abang ya, jangan ngeyel!"

Zia memeluk Ogi sembari tertawa. Terharu dengan perhatian Ogi yang seperti ini dari dulu. Orang tuanya memang nggak begitu banyak waktu untuk menemani Zia karena sibuk dengan pekerjaan. Zia memaklumi itu dan tetap bersyukur karena punya kakak sebaik Ogi. Apalagi sekarang sama sepupunya, tambah lagi dia sangat bersyukur.

Zia melambaikan tangan ke keluarganya untuk berpamitan terakhir kali. Dia berbalik dan melangkah sangat pelan. Air matanya menetes tanpa sadar, meski senyumnya masih tersungging. Dia hanya ... bingung. Sampai kapan hidupnya seperti ini? Dia datang, lalu lari lagi sejauh mungkin. Begitu seterusnya.

Zia yakin sepanjang perjalanan udara, dia habiskan untuk menangisi kenyataan-kenyataan yang baru terkuak, bersandingan dengan fakta bahwa Edward sama sekali nggak mencarinya—jika memang masih peduli.

***

Layar laptop masih menyala sejak beberapa jam yang lalu, menampilkan sebuah konsep proyek apartemen yang baru dikirimkan oleh senior architect. Edward masih mempelajari dengan fokus yang terus terarah ke sana.

Tapi tiba-tiba fokus Edward terpecah saat terdengar suara gaduh di salah satu ujung kafe. Matanya menangkap seseorang yang baru saja dari bar, meminta maaf karena tidak sengaja menjatuhkan botol soda yang dibeli, sebelum duduk di salah satu kursi tak jauh dari Edward.

Edward harus mengernyit dan memastikan beberapa kali bahwa orang itu adalah alasan kenapa saat ini detak jantungnya kian lama kian cepat.

Saat topi yang sedari tadi membuat perempuan itu nggak terlalu kelihatan di mata Edward, sekarang terpampang jelas. Rambut yang dicat caramel brown dengan pendek sebahu, membuat Edward yakin seratus persen bahwa itu ... Zia.

Ya Tuhan .....

Edward membeku untuk beberapa waktu. Harusnya dia nggak seterang ini menatap Zia tanpa teralih, tapi ... demi apa pun matanya nggak bisa berpaling. Dia sudah membeli tiket penerbangan untuk pulang dini hari nanti, jadi mendapati Zia ada di sini sangat mengejutkan hatinya. Dia hampir pupus harapan, tapi Zia membuatnya nggak mau menyerah.

Kapan Zia sampai? Atau ... baru saja? Mengingat ada koper di samping gadis itu. Mungkin memang baru tiba. Kenapa bisa sekebetulan ini? Edward selalu berdoa semoga ini tanda baik.

Beberapa menit meredakan gugup dan keringat yang mulai membasahi pelipis, Edward meyakinkan diri bahwa pertemuan mereka bukan tanpa alasan. Jadi dia ingin mendekati Zia, terserah jika pun dibilang penguntit.

Namun saat Edward hampir mendekat, diurungkan niat karena Zia terlihat mengeluarkan tablet dan membuat sketsa. Edward termenung. Tidak, tidak sekarang. Dia nggak mau mengganggu kesenangan Zia. Gadis itu pasti ingin terfokus dalam hobi yang disukai. Yang terpenting sekarang Edward tau bahwa Zia kembali. Itu cukup.

Jadi Edward tetap diam di tempat tanpa mengganggu. Dia menyelesaikan pengecekan konsep di layar laptop, sembari memperhatikan gerak-gerik Zia yang ... entah ini perasaannya saja atau memang demikian, tapi gadis itu terlihat kehilangan keseimbangan.

Beberapa kali Zia meringis seolah menahan sakit, lalu menekan bagian pelipis. Kepalanya hampir terantuk ke kanan. Itu terjadi beberapa kali dan membuat Edward sangat khawatir. Apa Zia sakit? Atau ... kenapa? Ya Tuhan.

Sigap Edward beberes peralatan kerjanya yang sudah dia pakai sejak pagi tadi begitu sampai di Melbourne. Langkahnya hampir terpijak saat dia menyadari Zia juga memasukkan tablet dan pen ke dalam tas. Seperti bersiap mau pulang.

Edward menekan dadanya yang terasa sesak. Kebimbangan itu terus mencengkeram, takut dikira penguntit, tapi hanya dengan cara itu bisa tau ke mana Zia pergi, tinggal; karena yakin satu-satunya tempat untuk dituju pasti tempat tinggal Zia.

Pelan Edward ikut beranjak dan menjaga jarak aman. Berkali-kali kakinya hampir berlari saat sadar tubuh Zia semboyongan. Dia lebih mendekat lagi untuk antisipasi. Dia khawatir Zia terjatuh di trotoar yang sangat keras.

Namun makin lama, Edward menyadari bahwa langkah Zia mulai tak tentu arah. Kini bukan lagi selangkah dua langkah jaraknya, Edward sudah benar-benar berada di belakang Zia. Tidak peduli andai pun Zia menyadari dia ada di sana. Yang terpenting sekarang adalah ....

"ZIA!"

***

"Is there anything I can do to help?"

"At this time, the best thing to do is to give Ralina time and space to rest. We'll do our best to care for her. We'll continue to monitor Ralina's condition and keep you informed of any developments."

"Thank you, Doctor."

Dua laki-laki itu—Edward dan seorang dokter—melangkah ke arah pintu. Edward menutup pintu setelah dokter keluar ruang rawat. Lelaki itu berbalik.

Bertepatan dengannya, Zia melengos ke arah kiri, menghindari menatap Edward. Tangannya mencengkeram selimut dengan keras, menahan buncahan rasa haru yang meluap-luap. Zia harap ini bukan mimpi. Seingatnya tadi dia turun dari pesawat, naik taksi, lalu masuk ke dalam kafe tempatnya biasa menghabiskan waktu.

Lalu Zia merasa kepalanya pusing sehingga beberes dengan cepat. Dia berniat jalan kaki ke tempatnya tinggal karena jaraknya sangat dekat. Tapi di tengah jalan, pandangannya berkunang-kunang, dan Zia nggak ingat apa pun lagi.

Kalaupun ini hanya mimpi, Zia berharap bertahan dalam waktu yang lama. Karena dia ingin melihat sosok Edward yang tiba-tiba ada di depan matanya, bisa dia lihat dengan jelas, dan semua terasa sangat nyata.

Cengkeraman jemari Zia pada selimut makin mengetat saat sadar Edward berada di samping kanannya. Dirasakannya selimut sedikit ditarik oleh lelaki itu, mungkin berniat dinaikkan sampai leher. Jadi Zia sekuat tenaga melerai jemari yang sudah terasa kaku dan dingin.

Benar, meski Zia nggak menolehkan kepala ke arah Edward tapi dia merasakan selimut itu naik sampai leher. Seperti tersengat kesadaran yang tiba-tiba, saat Zia tau Edward akan pergi, tangannya yang tadi kaku segera meraih jemari Edward.

Tatapan Zia bertemu dengan lelaki itu. Tapi hanya sebentar karena Edward justru memindahkan tatapan ke arah tangannya yang ditahan Zia.

"K—" Zia hampir tersedak, saking kuatnya menahan tangis akibat hatinya yang bimbang, juga sekujur badannya yang terasa sakit. Dia terasa hampir menggigil, panas dingin.

Zia menatap jemarinya yang kecil, tanpa daya, pucat pasi, sedang menggenggam beberapa jari Edward yang bisa teraih. Tidak seluruhnya. Dia rindu sentuhan ringan seperti ini. Zia sangat rindu tangan kokoh Edward yang selalu membawanya dalam kenyamanan genggaman. Dia merasa terlindungi dan aman.

"Kak Ed." Akhirnya Zia berhasil memanggil, meski terdengar memalukan karena suaranya begitu serak. Dia belum cukup berani menatap Edward, hanya pada bagaimana jemari mereka yang dipaksa tergenggam. "Belum ... mau pulang kan?"

"Tunggu keluarga kamu datang, baru saya pulang."

Zia memejamkan mata. Suara Edward memang terdengar berbeda. Apa benar yang dikatakan Ogi? Edward telah banyak berubah. Caranya berbicara, caranya merespons, semua hal terasa sangat kaku.

Dan ... saya. Semakin memperjelas Zia bahwa mereka ... bukan siapa-siapa.

"Keluargaku mau ke sini ... lusa." Zia berusaha bicara lagi. Sedikit memperlama interaksi mereka, juga sentuhan ringan di antaranya. "Nggak perlu dikabarin dulu."

"Saya akan tetap ngabarin. Mereka yang lebih berhak atas kamu. Bukan saya."

Sudah, hanya itu. Zia merasakan kehilangan saat pelan-pelan Edward melepas tautan jemari mereka, dan meletakkan telapak tangan Zia di atas tempat tidur.

Zia memejam karena nggak sanggup melihat Edward menjauh meski hanya duduk di sofa beberapa meter darinya lalu membuka ponsel. Dia meringis kecil, merasakan denyutan di kepala, juga nyeri di sekujur tubuh. Hati dan fisiknya terasa remuk bersamaan, Zia ingin didekap tapi sepertinya nggak tau malu jika memintanya pada Edward.

Edward udah nggak peduli, dan sepertinya benar Zia harus berjuang kembali seperti awal-awal melarikan diri.

*

Edward
Gi, don't freak out, ok?
Adek lo masuk rumah sakit. Demam
[1.27 AM]

Ogi
Ok, ok. Gw otw cari tiket go show.
Tolong lo stay Ed
[1.38 AM]

Edward
Gi
[1.38 AM]

Edward
Ogi
[1.40 AM]

Edward
Is it okay if I hug her?
[1.40 AM]

Edward
Please?
[2.42 AM]

🧚🏻🧚🏻

Sejam gaktu😳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top