64. Benar-Benar Mati

Bisa-bisanya cepet bgt tembus komen😔

Apa karena aku terlalu memaksa? Awokwok🤣

Makasi yaaa, happy reading :)

🧚🏻🧚🏻

"Kok baliknya cepet? Batal dinner lagi?"

Zia meletakkan tas ke kursi dengan sebal. Dia segera meneguk minuman yang ada di meja. Dua temannya bahkan hafal kalau dinner Zia-Adrian sering gagal, makanya tanya pake kata 'lagi'.

"Biasa, sibuk nge-game sampai lupa waktu." Zia masih merahasiakan tentang putus. Nanti ajalah. Lagi badmood. "Zoey belum dateng?" tanyanya saat menyadari hanya ada dua teman di meja kafe.

April dan Rora terbang dari Sidney. Biasanya sih April doang yang ke Melbourne. Tapi karena dua orang itu cukup dekat di kampus, jadilah mereka satu geng perkumpulan kalo lagi musim dekat-dekat hari libur. Rencananya mau balik ke Indonesia bertiga, minggu depan.

"Tadi gue hubungin sih lagi di jalan, Zi." Rora yang menjawab.

Zia mengangguk.

"Zi, lo bener baik-baik aja sama Adrian?" tanya April yang ada di hadapan Zia.

Pertanyaan yang jelas membuat Zia dan Rora menatap ke April dengan kernyitan di dahi. Tiba-tiba si April tanya hal gitu jelas dua-duanya bingung. Padahal dari muka Zia juga keliatan biasa aja. Nggak sedih, nggak marah. Santai.

"Ya, gue baik-baik aja, Pril." Zia tersenyum tipis sembari mengedikkan bahu. Ditariknya gelas untuk kembali menyeruput minuman. Dia butuh membasahi kerongkongan.

"Hubungan lo sama dia mungkin baik-baik aja. Hati lo gimana?" tembak April langsung. Sudah beberapa kali memang Zia putus nyambung. Dia kira kalo ini putus pasti nyambung lagi. Tapi kasihan lihat Zia diabaikan kayak gini. April yang jadi saksi bagaimana dulu Zia diperlakukan dengan sangat istimewa sama Edward, masa sekarang diabaikan kayak nggak penting? Dia ikut sakit hati.

April bukannya mendukung Zia-Edward sejak tau seberapa lama Zia bisa mengeringkan air mata setelah berpisah. Berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Cuma, ya, siapa sih yang nggak tau gimana perlakuan Edward ke Zia dulu? Minimal cari yang setara lah, bukan malah downgrade kayak sekarang.

April jadi ingat ulang tahun Zia ke-19, jangan ditanya gimana effort Edward. Sampai nyusulin ke Singapura di tengah padat kerjaan. Belum lagi kejutan-kejutan yang tak ternilai. Emang sih orang kaya. Tapi dua pacar Zia setelah Edward juga konglomerat semua. Jadi hampir nggak ada beda. Kecuali faktor umur.

Tapi di ulang tahun Zia ke-20 waktu masih sama Rendra, laki-laki itu cuma modal ngucapin. Itu pun pagi, bukan tengah malam. Terus ngirim setangkai mawar pake delivery pula. April tau Zia cukup kecewa tapi gimana lagi, namanya juga cinta. Zia orangnya sungkan kalau nuntut banyak. Rendra itu anak rumahan banget jadi kesehariannya cuma di apartemen. Hampir nggak tau gimana cara nge-treat pacar dengan baik dan benar.

"Pril, I'm okay, I'm fine, gwenchana, teng, neng—aduh!" Ucapan Zia nggak selesai karena lengannya ditabok April.

"Gue lagi serius, juga. Malah ngelawak!" April melotot. Ini anak kayaknya beneran baik-baik aja. Semoga.

"Lagian lo khawatiran banget sih, Pril," decak Zia.

"Wajar lah, Zi, khawatir dia. Lo dapet cowok spek bocil semua perasaan." Rora menanggapi dengan bercanda.

Zia ikut terkekeh. "Ternyata semua cowok sama aja ya. Manis pas pendekatan doang."

"Nggak tuh," tolak April. "Ada yang awalnya bikin lo nangis-nangis overthinking tiap hari, tapi lama-lama saling ngerti dan bisa perbaikin. Makin lama hubungan malah makin happy. Nggak kebalikannya."

Lagi-lagi Zia dan Rora mengernyit. Masih bingung siapa yang April maksud. Kayaknya Rora paham duluan makanya langsung nepuk tangan April keras-keras. Dan setelah tau respons itu, Zia juga jadi paham yang April bicarakan.

"Ehm, kalian jadi nemenin gue ke kedubes sebelum balik Indo kan?" Zia berinisiatif mencairkan suasana lagi.

"Jadi dong." Rora yang menjawab duluan. "Iya kan, Pril?"

"Yoi." April mengacungkan jempol ke arah Zia. "Bangga banget gue, Zi, temenan sama lo dari dulu. Nggak abis-abis achieve ini, achieve itu. Lo bahkan ngalahin mahasiswa yang basic-nya fashion design dari kampus ternama sebelah waktu final! Gila sih."

"Mendadak jadi selebgram dia, Pril. Melejit followers-nya, apalagi para jantan." Rora terkikik. "Nyokap gue sampe ngirimin link berita, mastiin itu Zia yang gue kenal di Melbourne atau bukan?"

"Tapi keren nyokap lo masih antisipasi takut kena hoax." April tertawa. "Jadi, Zi, lo beneran dapet full beasiswa pendidikan sama akomodasi tempat tinggal?"

"Plus beasiswa program honours, correct me if I'm wrong?" Rora menambahkan.

Zia meringis. "Dari emailnya sih gitu. Nggak tau nantinya gimana." Dia emang ditawarin itu, tapi fix nggaknya kan nanti kalo udah berkunjung ke kedubes. Dia harus bersyukur pemerintahan di mana dia berasal cukup menghargai prestasi anak bangsa di dunia internasional. Sampai ditawari beasiswa juga dari pemerintah.

"Abis itu bisa lah lanjut Master," kekeh April. "Jadi mau Italia atau Perancis?"

"Milan atau Paris?" sambung Rora.

"Ck, udah dibilang belum ada rencana. Ini aja baru tahun pertama. Masih jauh. Liat nanti."

"Hey guys, sorry I'm late."

Seseorang datang tergopoh-gopoh. Teman kuliah yang paling deket sama Zia di kelas. Ini yang ditunggu dari tadi. Zia menggeser tempat duduk agar Zoey mendudukkan diri di sampingnya. Kulit putih perempuan berdarah Inggris itu langsung memerah sambil kipas-kipas wajah begitu duduk. Sebenarnya musim panas di malam hari udah cukup sejuk. Tapi mungkin Zoey emang terlalu banyak menghabiskan tenaga dari tadi makanya keringetan.

"Any gossip for us today?" Seperti biasa. Rora amat sangat antusias menagih cerita si bule yang kerap bagi kisah rumah tangga hasil dijodohkan dengan konglomerat. Kayak di film sama novel-novel.

Zia awalnya juga nggak nyangka masih ada yang begitu di Britania Raya. Tapi waktu denger cerita Zoey, dia langsung percaya.

"It's better for us to get divorced."

"What?!" Tiga-tiganya berteriak hal yang sama. Berusaha memfokuskan pendengaran bahwa Zoey bilang akan cerai. Bisa-bisanya, baru juga dua bulan.

"But, Zoey. He's rich. He's handsome. He's kind," tambah April.

"This isn't about that. There's something more important."

"What's more important?" tanya Zia. Lagian apa yang lebih penting dari suami kaya raya, tampan, dan baik hati?

"I've never experienced orgasms in bed with my husband." Zoey mengatakannya dengan santai seolah tidak tahu kalau satu orang Asia di samping dan dua di depannya langsung melongo dengan muka auto merah "Dengan beberapa mantan, aku sering mendapatkannya. Tapi dengan suamiku sendiri, justru tidak pernah sama sekali," lanjut Zoey masih dalam bahasa Inggris.

"Ya, itu memang penting sih." Rora meringis karena topik ini jadi sedikit ... ehm, malu. Tapi nggak memalukan. Ya malu aja.

"Mungkin dia tidak benar-benar mencintaiku," gumam Zoey dengan sedih. Disesapnya minuman yang sudah dipesan lebih dulu sama April dan Rora. Segelas cocktail, as requested. "Dia selalu terburu-buru ingin selesai. Sudah dua bulan aku tidak mendapatkan The Big O padahal bercinta setiap hari."

"Apa dia pemula, Zoey?" tanya April yang masih sanggup menanggapi. Kalau Zia lebih memilih menggigit straw.

"Ya, kelihatannya begitu. Aku lebih suka yang berpengalaman. Intimacy is an important part of a marriage, and I can't go on without it."

Semuanya sontak terdiam.

"Wait." Zoey mengedarkan pandangan kepada tiga temannya. "Have you all never experienced The Big O?"

"Eh," refleks Zia memekik. Padahal bukan cuma dia yang ditanya, tapi cuma dia yang kagetnya luar biasa.

"Hei, Ralina." Zoey memutar tubuh menghadap teman sekelasnya. Menyebut nama tengah Zia di lidah orang-orang berbahasa Inggris seperti dirinya lebih mudah ketimbang nama depan. "Bagaimana pengalamanmu?"

Zia tergagap. Dia melirik ke Rora yang juga penasaran, sedangkan April nunduk sambil mainan straw dalam gelas. Oh, atau April jangan-jangan udah tau dari yang dulu itu? Sialan, malu banget kalau sampai iya.

"I guess, she's never felt 'the big O,' Zoey. Kamu tau dua pacarnya di sini masih bocah. 'Anak polos'." Rora mengira-ngira dengan menjawab itu. Soalnya Zia kelihatan bingung.

"Maybe." Dan Zoey langsung percaya, mengingat budaya mereka memang berbeda. Seorang berumur 20 tahun dan masih virgin itu biasa di Asia.

"Jadi, apa kamu yakin dengan keputusanmu, Zoey?" Zia bertanya setelah meredakan detak jantungnya yang menggebu. Dia berusaha mengalihkan fokus pembicaraan agar semua terpusat lagi ke Zoey.

"Not sure." Bahu Zoey mulai meluruh.

"Apa kalian perlu coba konseling hubungan suami istri?" April memberi ide, teringat mata kuliah di course yang diambilnya di Sidney. Usul itu didukung Zia dan Rora yang segera mengangguk memberi persetujuan. Tapi Zoey tetap terlihat lemas.

"Kami sudah pernah mengomunikasikan itu berkali-kali. Dia bukan gagal, tapi memang malas mencoba." Diam beberapa saat, Zoey kembali meneliti satu per satu wajah teman-temannya. "I'd like to offer some advice to you all."

Ketiganya terfokus pada betapa seriusnya perempuan yang duduk di samping Zia.

"I'm sure that a man's virginity is important. But sometimes, for me, an experienced man isn't a bad choice either."

Deg. Jantung Zia mau copot rasanya.

***

Semua orang di ruang meeting menata dokumen dan laptop di meja setelah menyelesaikan agenda. Edward menutup pertemuan hari ini dengan satu kalimat singkat. "Terima kasih," ucapnya. Terdengar amat sangat formal dan tanpa emosi.

"Sama-sama, Pak Edward."

"Sama-sama, Pak."

"Terima kasih kembali, Pak."

Edward keluar ruangan. Meninggalkan karyawan yang mengembuskan napas dengan rasa iba dan saling melempar pandang satu sama lain. Sudah satu setengah tahun, namun mereka belum terbiasa dengan perubahan Edward yang drastis.

Seorang atasan yang dulu sangat hangat dengan senyum yang selalu dilengkungkan, sekarang bukan lagi. Raut wajah Edward yang menebar keramahan saat ini seolah terkunci dalam satu pola datar tak terdeskripsikan. Tanpa emosi, tanpa semangat, tanpa bisa ditebak apa yang berisik di dalam kepalanya sampai-sampai jadi seperti ini.

Setiap kali pekerjaan selesai, yang dulu diiringi kata-kata apresiasi panjang semacam, "Terima kasih waktu dan dedikasinya untuk perusahaan ini. Kita harus selalu on track dan fokus ke tujuan awal. Perusahaan ini tidak ada apa-apanya selain karena kalian. Sekali lagi, terima kasih banyak." sekarang hanya dengan satu kalimat dingin: "Terima kasih."

Pujian yang dulu menjadi sumber motivasi, kini terasa seolah-olah telah dilucuti kehangatannya. Bahkan saat Edward memberikan arahan, instruksinya disederhanakan menjadi kata-kata singkat. Tetap mudah dipahami dan tepat sasaran, namun kesan ramahnya hilang sama sekali. Seakan dia hanya berkata-kata demi formalitas.

Memang, tidak ada yang berubah dari cara Edward memimpin. Siapa yang bisa menolak fakta bahwa kepemimpinan Edward mampu mengantarkan perusahaan itu jadi jauh lebih baik beberapa tahun terakhir? Namun semua orang terasa kehilangan sosok Edward. Raut hangatnya lenyap, senyum yang terbit tiap berpapasan dengan karyawan tidak ada lagi, dan pandangan mata yang kian berbinar sekarang redup.

Edward menjadi sosok yang hampir tak terkenali bagi orang-orang di sekitar. Semua merasakan perubahan itu. Setiap pagi di koridor kantor, saat dia melintas, orang-orang merasa ada sesuatu yang hilang. Sosok yang dulu selalu memancarkan kebahagiaan dan semangat kini seperti terkubur di balik kelamnya cara lelaki itu menatap.

Tidak ada yang berani menyapa lebih dulu, apalagi mengganggu ketenangan lelaki itu. Edward selalu terlihat fokus—kelewat fokus—sampai nggak menyadari banyak hal yang dia lewati. Terkunci dengan dunianya sendiri hanya karena menatap segenggam ponsel—meneliti pekerjaan secara nonstop.

Karyawan-karyawan merasa seperti ada tembok yang tak terlihat antara mereka. Lagi pula, jika mereka menyapa, Edward hanya membalas dengan anggukan singkat. Bibir itu terkatup rapat tanpa gerakan, wajahnya datar tanpa sentuhan senyum sama sekali.

Hal itu membuat karyawan merasa sangat canggung, dan memilih tidak berbasa-basi dengan kata apa pun. Mereka takut satu pertanyaan saja bisa membuat fokus Edward terpecah.

Langkah Edward melintasi beberapa kubikel dan meja-meja karyawan, sebelum menuju ke ruangannya sendiri. Karyawan yang dilewatinya masih tidak percaya bahwa itu adalah Edward. Sebelum ini tidak jarang atasan mereka menyambangi dan ikut sebuah obrolan hanya untuk melunturkan kekakuan di antara mereka. Edward seringkali bertanya sepele tentang "Apa makan siang kalian tadi cukup? Mau tambahan lauk selain yang ada di pantry?" atau "Kalau ada yang kesulitan di kerjaan, langsung bilang aja ke saya.". Namun sekarang tidak lagi.

Edward membuka pintu dan seketika memejamkan mata karena cukup terkejut. Keluarganya ada di sana, menatapnya dengan senyum cerah.

"Ed, udah selesai meeting-nya?" Valencia yang lebih dulu mendekat ke Edward.

"Udah."

Tetap saja seperti itu. Mereka tau Edward telah banyak berubah. Tapi sampai detik ini masih terasa asing. Edward memang berdiri di tengah mereka, hadir secara fisik tetapi jauh dari keterlibatannya yang dulu begitu hangat.

"Kita langsung berangkat aja. Dinner satu keluarga. Papa lihat kamu nggak ada jadwal urgent lagi kan, Ed?"

Edward mengangguk singkat, lalu berjalan ke arah meja untuk mengambil beberapa hal yang harus dibawa. Dua ponsel, satu tablet. Tidak boleh lepas dari jangkauan agar pikirannya selalu terfokus pada pekerjaan.

Hal itu lantas membuat Erwin, Valencia, Albert, Salsa, bahkan dua anak kecil yang tadinya berlarian, langsung terdiam. Ikut merasakan kekosongan di tengah-tengah mereka, ikut merasakan kehilangan dalam cara Edward berinteraksi.

Erwin sebagai seorang ayah mencoba menyelami alam pikiran anaknya, berusaha mencari jawaban atas pergolakan batin yang dialami oleh Edward. Mereka sama-sama lelaki. Kehilangan memang membuat banyak orang jatuh di titik terendah. Namun, Edward sama sekali tidak terlihat jatuh. Fisiknya sehat, pekerjaannya selalu diselesaikan lebih dari maksimal. Fokusnya tidak terganggu. Kesemua yang ada dalam diri Edward terlihat sangat baik-baik saja. Bertentangan dengan titik terjatuh Edward yang dulu.

Baru pertama kali mereka mendapati Edward yang seperti ini. Jika sakit, mereka akan mudah membawa ke rumah sakit. Jika Edward butuh konselor, maka mereka akan mudah mendatangkan. Tapi Edward selalu bilang 'baik-baik saja' saat ditanyai. Dan memang, semua terlihat normal. Selain senyum yang memudar, raut datar, dan singkatnya sebuah kalimat jika perlu, tidak ada yang aneh.

Edward selalu tutup mulut akan keadaannya. Lagi pula, apa yang harus dijelaskan? Dia akan tetap hidup meskipun sendirian. Ada rutinitas yang akan dia kerjakan sampai tutup usia. Ini bentuk tanggung jawab. Pekerjaan adalah pengabdiannya.

"Kamu nggak tanya kenapa kita dinner di luar, Ed?" Albert giliran menanyai. "Biasanya tanya 'dalam rangka apa?'?"

Edward hanya mendengus. Sedikit saja sudut bibirnya terangkat. Menandakan kalau dia tidak mempermasalahkan dinner ini dalam rangka apa. Selama dia bisa, maka ayo berangkat.

"Anak Mama udah 32 tahun," ucap Valencia untuk menyadarkan. Meski lagi-lagi tidak ada reaksi dari Edward. "Berdoa dan buat harapan yang baik-baik ya, Ed. Kami selalu mendoakan kamu yang terbaik."

Edward tidak menanggapi. Harapan? Dia tidak punya apa pun. Harapannya sudah lenyap dibawa pergi seseorang. Sekarang yang bisa dilakukannya hanya hidup. Sudah. Itu saja.

Edward tidak merasakan bahwa umurnya sudah menginjak 32. Oh, sudah berapa lama dia tidak melihat sebuah harapan lagi? Dia bahkan tidak sadar bagaimana bisa kedua kakinya masih sanggup melangkah sejauh ini.

"Ma, ayo.

"Ayo, Ma."

Suara dua anak kecil yang menarik-narik tangan Salsa membuat perhatian mereka teralih. Valencia terkekeh lihat cucuknya yang nggak sabar ingin pergi. "Ya udah, ayo berangkat. Cucu Oma udah nggak sabar ya?"

Edward memperhatikan raut bahagia dua keponakannya. Tangannya terulur untuk menawarkan 'gendong' kepada Anne. Bocah itu hampir menolak, padahal seingat Edward, Anne sangat nempel padanya.

"Sama Uncle nggak mau, Sayang?" Salsa bertanya pelan ke anaknya. Dia nggak enak hati kalau Anne menolak. Siapa tau Anne bisa jadi penghiburan kecil untuk Edward. "Adek aja yang sama Uncle ya kalo gitu, nggak apa-apa?"

"Ih, Anne aja!" protes Anne yang langsung menerbitkan tawa semua orang, ya, kecuali Edward sendiri.

Bocah itu malu-malu melangkah mendekati Edward, yang langsung Edward bawa ke gendongan. Tatapannya melembut, tidak sekaku biasanya, saat menatap bayi berumur dua setengah tahun yang sudah cukup banyak berbicara.

Semuanya menatap perubahan ekspresi Edward. Merasa sedikit lega karena mungkin saja, mereka pikir, akan ada sesuatu yang bisa membuat keceriaan Edward kembali suatu saat nanti. Edward hanya sedang kehilangan harapan. Nanti, jika ada seseorang yang datang dan mampu menumbuhkan harapan baru, setidaknya mereka yakin Edward masih bisa seperti dulu.

Edward berjalan bersisian mamanya, keluar dari ruangan. Dia sempat mendengar celotehan-celotehan Anne yang masih belum cukup Edward mengerti. Mungkin yang tahu hanya Salsa dan Albert.

Di tengah langkah, Edward merasakan ponsel di saku jas bergetar. Dia merogoh sembari menerima panggilan itu tanpa melihat caller id.

"Ed."

Edward berhenti sebentar. Suara Ogi.

"Lo di rumah nggak?"

Berusaha menelan rasa sesaknya sendiri, Edward mengatur napas agar lebih tenang.

"Ed, ya elah. Lo denger gue nggak sih? Halo?"

"Halo."

"Nah, ada suaranya juga." Ogi tertawa kecil, terdengar dan sangat terasa kecanggungan di antara mereka. Jangan tanya sudah berapa lama tidak saling bertatap muka. Mungkin ... sekitar satu tahun. "Kemarin gue sama istri gue, sama bayi gue juga, dateng ke rumah nyokap lo. Terus ke rumah Albert. Tapi lo nggak ada di dua-duanya. Langsung aja ya, gue mau undang lo buat dateng ke resepsi gue sama Key. Undangannya gue kirim via WA aja karena lo susah banget didatengin. Ck."

"Oke."

"Oke oke oke." Ogi setengah kesal. Mereka saling diam cukup lama. Ogi terdengar menghela napas lelah. "Lo baik-baik aja, Ed? Gue nggak pernah denger kabar lo."

"Ya, gue baik." Edward masuk ke dalam lift. Pantulan dirinya di sana menyadarkan bahwa pada kenyataannya, dia tidak pernah baik-baik saja. Hanya mendengar suara Ogi—kakak dari orang yang sampai detik ini masih membawa hatinya pergi—sudah membuat perasaannya kalut. Ya Tuhan, andai Edward mati rasa saja, pasti nggak akan sesakit ini ....

"Syukurlah. Kalo gitu gue tutup dulu. Undangannya langsung gue kirim ya. Gue akan seneng kalo lo dateng, tapi kalo emang nggak bisa nggak usah dipaksain."

Bersamaan dengan berakhirnya telepon mereka, tubuh Edward tersandar lemas di dinding lift, sembari memeluk keponakannya untuk menyembunyikan ekspresi kalut agar tidak disadari yang lain. Dia memejamkan mata beberapa saat untuk mengenyahkan banyak sekali kenangan dengan Zia. Ini alasannya nggak mau berhubungan dengan Ogi. Edward nggak bisa merasakan sakit yang separah ini. 

Dulu, kehilangan Gwen membuat Edward yang masih sanggup hidup ingin menyusul untuk mati. Tapi kehilangan Zia, membuat dia tetap hidup meski semua yang ada di dirinya telah benar-benar mati.

🧚🏻🧚🏻

Maafin aku ya, Mas Ed😔

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top