61. Hidup dengan Benar
Hai haiiii, suka sad ending gak?
#tanyadoang🫨
🧚🏻🧚🏻
"We're done!"
Pesta kelulusan yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan berubah jadi konflik yang tak terduga. Zia meninggalkan Edward dengan langkah-langkah yang cepat. Seperti dihantui oleh bayangan kepergian Zia, waktu terasa membeku di sekitar Edward. Suara tawa riang dan riuh seolah lenyap, meninggalkan keheningan yang membuatnya merasakan kebingungan.
Ada usaha Edward untuk meresapi situasi dan mencerna kata-kata yang baru saja diucapkan oleh Zia. We're done. Itu mungkin akan terdengar biasa saat Zia sedang kesal karena Edward telat membalas pesan, atau saat Edward lupa akan janji temu. Tapi kali ini tidak biasa. Edward tau bahwa Zia serius dengan ucapan tadi.
Samar-samar keramaian sekitar mulai menyadarkan Edward bahwa saat ini dia sendirian. Matanya mengikuti langkah Zia yang mendekat ke Ogi dan Key. Terlibat pembicaraan di sana, Zia terlihat memaksa Ogi untuk suatu hal, Ogi menolak, lalu Zia meminta lagi.
Edward ingin maju, tapi kedua kakinya seperti terpaku di tempat. Hatinya tidak cukup berani mengejar Zia yang sedang dikuasai emosi. Jadi Edward memutuskan diam. Mengamati gerak-gerik Zia yang terlihat rapuh.
Kedua tangan Edward mengepal di sisi kanan kiri tubuh. Bahunya meluruh saat tatapnya sempat menangkap Zia yang bersimbah air mata. Tapi apa yang akan Edward jelaskan? Tidak ada kan? Sekuat apa pun usaha untuknya berubah lebih baik saat bersama Zia, itu tidak akan sebanding dengan dosa-dosa yang sudah berhasil mencoreng dirinya dalam pandangan gadis itu.
Lalu saat Edward mendapat tatapan tajam dari Ogi dan berlari ke arah orang tuanya untuk menjelaskan sesuatu, Edward sadar bahwa tadi mungkin Zia meminta pulang. Saat ini Zia sedang dipeluk Key dengan tubuh yang gemetar. Ini salah Edward. Dari awal memang kesalahan ada padanya.
Hatinya semakin remuk saat Zia akhirnya pergi. Langkah-langkah lemah gadis itu yang terpijak menandakan sebesar apa kesalahan yang telah Edward perbuat. Lebih dari jahat, Edward itu picik, licik. Seenak sendiri membuat Zia jatuh cinta, lalu membiarkan gadis itu terpuruk karena fakta yang sengaja Edward tunda.
"Ed ...."
Kekagetan dengan tepukan di bahu tidak sebanding dengan rasa bersalah Edward yang bergumul di dada. Dia menoleh ke kiri dan memaksakan senyum saat orang tua Zia mendekat.
"Ogi, Key, sama Zia katanya pulang dulu. Kamu pulang sama Om sama Tante aja." Hendra memberi senyum pada lelaki yang seumuran anaknya. Entah konflik apa yang mendera di antara Edward dan Zia, tapi dia sebagai orang tua tidak boleh men-judge salah satu pihak. Edward terlihat pucat, kebingungan, dan bukan tidak mungkin bahwa ini hanya kesalahpahaman. "Ayo, kita pulang sekarang."
Edward tidak tahu apa perlakuan baik ini akan terus sama jika tau bahwa Edward dalang di semua kesakitan Zia. Tapi untuk saat ini, dia masih diberi kesempatan. Jadi dianggukilah ajakan orang tua Zia.
***
"Zia udah tau."
Ogi dengar itu dengan saksama. Hanya ada dia dan Edward di beranda rumah. Edward tidak terlihat emosional secara fisik. Lelaki itu sangat tenang, namun siapa pun yang melihat gurat wajah dan cara Edward menatap, akan tahu bahwa jauh di dalam hati Edward terluka.
Raut Edward begitu datar saat bertatapan dengan Ogi. Tidak ada penyangkalan, tidak ada tatap kosong. Edward sangat fokus menatap Ogi saat berkata bahwa Zia udah tau. Namun suara dan gerak bibirnya tidak bisa bohong. Ogi mengerti Edward terlalu bingung menggambarkan situasi mendadak yang sedang terjadi.
"Ed ...." Ogi juga tidak tau harus memulai dari mana. Dia tidak pernah menghadapi Edward yang setenang ini menghadapi sebuah permasalahan. Edward tipe pemikir yang ekspresif saat sedang kesal, marah, maupun sedih. Tapi ini ... tidak ada tanda apa-apa dalam tatapan yang Edward beri padanya.
"Zia udah tau dan itu salah gue." Lagi, suara Edward sangat datar tanpa lekuk nada sedikit pun.
"Salah lo karena lo rekam perbuatan lo itu?" Ogi ingin marah, sangat. Tapi dia akan menjadi orang bodoh kalau marah-marah di depan Edward yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi sedikit pun.
"Gue nggak pernah rekam."
"Ya, lo emang nggak pernah. Tapi Gwen? Lo nggak tau kan?"
"Nggak." Edward menggeleng satu kali. "Gue sama dia nggak pernah rekam apa pun."
Ogi berdecih. Ini sebuah pembelaan atau kebenaran? Kenapa Edward tidak se-menggebu biasanya, se-ekspresif biasanya, saat menjelaskan pembenaran dan klarifikasi?
"Mungkin lo nggak sadar waktu Gwen diam-diam ngelakuin itu."
Lagi, Edward menggeleng. "Gue yakin nggak pernah ada hal kayak gitu. Gue dan Gwen tau konsekuensi dari perbuatan bodoh kalo sampe jadi video."
"Lo yang nggak tau!" Suara Ogi meninggi. Sengaja dia memancing emosi Edward, ingin tau sekuat apa pendirian Edward bahwa memang perkataan tadi benar-benar jujur.
"Nggak ada. Gue bilang nggak, artinya benar-benar nggak."
Harusnya, kalimat itu menjadi sangat emosional kan? Ogi membayangkan Edward akan teriak di depannya saat bilang NGGAK. Itu penyangkalan yang memang benar. Tapi kenapa Edward tetap mengatakannya dengan ketenangan yang tidak terbaca? Ada apa?
"Just a quick fyi, Gyna kirim video lo sama Gwen ke Zia."
"Nggak pernah ada video gue sama Gwen yang begitu." Edward seperti tidak kaget. Atau mungkin dia kaget tapi mampu mengendalikan eskpresi.
"Gue tau." Ogi menyerah untuk memancing emosi Edward. Mungkin Edward masih kebingungan bagaimana sikap yang harus diambil saat ini. Biarkan lelaki itu berpikir lebih dulu, Ogi nggak akan memperparah keadaan. "Gue sama Key sempat cek hp Zia tadi waktu di mobil. Gyna kirim foto dan video lo sama Gwen. Zia nggak berani download, tapi keliatan banget itu gambar dan video apa. Dan setelah gue download, itu bohongan. Itu bukan lo sama Gwen. Artinya dia cuma mau gertak Zia."
Edward terdiam. Dia memikirkan sangat banyak hal dan kemungkinan. Pikirannya buntu, bahkan sekadar berkata pun terasa susah. Kepalanya terlalu penuh akan ketakutan hubungan mereka setelah ini.
"Emosi Zia belum stabil. Gyna manfaatin itu. Dia tau Zia nggak akan berani buka video kalo udah dibilang itu isinya lo sama Gwen. Gue kenal adek gue," jelas Ogi, berusaha menjelaskan detail yang mungkin Edward belum tau. "Tadi gue tanya ke lo, barangkali kalian juga pernah abadikan dalam bentuk video—"
"Nggak."
"Oke, gue percaya." Ogi mengangguk. Napasnya terembus berat. Kalau Edward ragu menjawab, artinya ada benar dan ada tidaknya, kemungkinan Edward lupa. Tapi ini, beberapa kali Edward bilang tidak. Artinya memang Edward secara sadar sudah yakin kalau tidak ada video bodoh yang dibuat dengan sengaja maupun ketidaksengajaan. "Gue nggak tau ini bisa bikin hubungan kalian membaik atau nggak, tapi ... bilang aja ke Zia kalo video itu bukan lo, dan nggak pernah ada video tentang lo sama Gwen. Barangkali kecewanya sedikit berkurang."
Sampai pada ucapan itu, helaan napas Edward baru terdengar. Berantakan, berat, dan seperti menahan gundah yang sangat menumpuk.
Ogi agaknya sedikit lega karena ekspresi kaku Edward sedikit luntur. Setidaknya Edward tetaplah Edward yang bisa menampilkan emosi kesedihannya lewat keresahan. Terlihat dari duduk Edward yang mulai tidak tenang.
"Gue nggak tau gimana kalo nggak sama Zia." Suaranya sangat lirih. Edward mengusap wajah dengan gusar. Sebenarnya menutupi dari pandangan Ogi, bahwa kedua matanya sangat berat menahan putus asa.
"Zia cuma butuh waktu buat nerima, Ed." Ogi menepuk bahu Edward yang melemah. "Gue bantu jelasin sebisa gue."
Ogi hanya bisa mengatakan itu. Karena Ogi tau bahwa hubungan ini tergantung pada keinginan salah satu atau keduanya yang menjalinnya. Ogi tidak akan mencampuri urusan lebih jauh. Dia hanya ingin memaparkan kebenaran-kebenaran yang diketahuinya aja.
"Sekarang lo temuin Zia dulu, bicarain ini."
"Nggak akan ubah apa-apa. Dia pasti tetep minta udahan."
"Seenggaknya dia tau kalo video itu nggak bener."
"Apa gunanya kalo dia tetep minta putus?"
"Gue udah bilang, siapa tau itu bisa bikin kecewanya berkurang."
"Nggak akan. Dia permasalahin kebejatan gue yang bikin dia kepikiran. Dia sering tanya berkali-kali, apa gue keinget Gwen tiap sama Zia? Apa hal sesederhana dinner sama Zia bikin gue kepikiran Gwen? Gi, hal sekecil itu aja Zia pikir gue masih keinget, apalagi hal besar kayak gini? Zia nggak akan mudah maafin gue."
"Terus lo mau apa abis ini?" Ogi menyerah. "Nyerah? Diem? Itu nandain kalo lo beneran masih keinget Gwen."
"Gue nggak pernah keinget Gwen."
"Gue paham, Ed. Makanya temuin Zia sekali lagi aja. Jangan takut sama reaksinya. Dia pasti tetep marah, tapi seenggaknya lo tunjukin kalo lo masih berusaha dapatin dia."
Kepala Edward terasa penuh. Dia memejam dengan detak jantung yang tak beraturan. Kenapa bisa sesakit ini? Bagaimana jadi Zia? Pasti lebih lagi kan? Apa Edward masih pantas mengais cintanya pada gadis itu?
"Temuin Zia, Ed."
Berkali-kali Edward mendengar itu dari Ogi. Meski sangat banyak rasa takut di benaknya, tapi Edward akhirnya mengangguk. Dia hampir kesusahan berdiri. Bukan karena fisiknya sedang lemah, tapi pikirannya benar-benar kacau.
Undakan demi undakan Edward lalui setengah sadar. Sampai di depan sebuah pintu, Edward berhenti. Dia menyiapkan sangat banyak keberanian karena jujur, dia tidak tau kata apa yang harus diucapkan. Maaf akan terdengar basi. Lalu ... apa? Kata cinta juga hanya terdengar bullshit.
"Zi, ada Edward. Abang izin buka pintunya ya," ucap Ogi lumayan keras setelah mengetuk pintu. Dia sempat melirik sebentar dan melihat adiknya duduk di kursi rias, tanpa menjawab apa pun. Lalu dia menoleh ke Edward. "Masuk aja."
Ada punggung Zia di hadapannya, tapi Edward masih membeku. Kebingungan merayapi pikiran membuat dia buntu. Apalagi saat Zia terlihat mengusapkan lengan ke wajah. Sudah pasti gadis itu belum berhenti menangis sejak tau kebenaran masa lalu Edward.
Pelan-pelan, Edward melangkah. Setiap yang dia tapaki penuh dengan keraguan apakah keputusan ini benar.
"Zi ...." Suara Edward tercekat meski hanya satu sukukata. Dia berhenti tepat di belakang Zia. Dari cermin di hadapan mereka, dilihatnya wajah Zia yang sembap. Andai bisa, Edward ingin memeluknya sekarang. Tapi itu hanya akan menambah kesakitan. Edward tidak mau. "Yang ada di foto sama video itu bukan aku," jelasnya teramat pelan.
Isakan yang terdengar membuat hati Edward makin teriris. Sepertinya ini keputusan yang salah. Dia hanya membuat Zia ingat pada rasa sakit.
"Nggak penting." Suara Zia gemetar meski berusaha dikuatkan. "Kita udah putus."
"Aku nggak pernah keinget Gwen." Edward berusaha jujur tentang ini, jika memang itu yang diresahkan Zia. Keinget Gwen? Dia bahkan lupa bagaimana rasanya jatuh cinta sebelum sama Zia. Benar-benar telah terlupakan hal yang terjadi di masa lalunya. Zia adalah semua yang dia perjuangkan untuk sekarang ini.
"Nggak ada yang lebih bisa dipercayai di hubungan ini kecuali kita berdua." Zia tertawa sumbang, mengingat-ingat pesan Edward yang satu ini. Merasa bodoh telah memercayai Edward sangat jauh. "Aku berusaha lakuin itu. Aku selalu tanya kebenarannya sama Kak Ed. Tapi bahkan Kak Ed nggak mau jujur."
"Aku jujur, Zia. Aku nggak bohong."
Setiap ucapan Edward terdengar lembut di telinga Zia. Tapi justru sakitnya bertambah parah. Ya Tuhan, dia tau ini tidak benar, tapi apakah Edward memperlakukan semua dengan sama, seperti cara Edward memanggil namanya?
"Aku nggak keinget Gwen waktu sama kamu. Aku nggak keinget siapa pun waktu lagi sama kamu. Itu bukan videoku, aku nggak pernah punya foto dan video kayak gitu."
"Tapi bener udah lakuin kan? Berkali-kali sampai nggak kehitung?" todong Zia. Kali ini menatap wajah Edward dengan air mata yang belum berhenti, lewat cermin di hadapannya. Beberapa jam terakhir dia masih mencari jawaban. Apakah Edward akan mengangguk dengan pernyataannya ini, atau menolak. Dua jawaban sama sekali tidak bisa membuat sakit Zia lebih baik. "Kak Ed sengaja nggak bilang dari awal biar ada kemungkinan aku masih bisa nerima itu. Egois banget. Aku udah relain lepas pendidikanku di universitas impian di luar negeri, karena Kak Ed bilang nggak bisa LDR. Dan aku pilih menetap di sini. Tapi malah dihancurin di akhir. Kalo bilang dari awal, aku masih bisa pergi sejauh mungkin. Kak Ed beneran udah hancurin banyak hal di hidup aku."
Hancurin banyak hal di hidup Zia. Itu terdengar lebih jahat ketimbang Zia bilang bahwa Edward sebusuk-busuknya orang. Ya Tuhan .... Edward baru sadar bahwa dia sudah terlalu egois merenggut semua impian Zia di masa muda.
"Itu kan tujuannya?" Zia sempat terisak di tengah usahanya melontarkan semua keresahan. "Kalo gitu aku juga bisa egois. Aku masih virgin dan pengin dapat yang sama juga. Kak Ed sama sekali nggak masuk tipe aku."
"I'm sorry. Aku salah." Edward mengaku dengan penuh kerendahan hati. Memang benar dia egois, itu tidak bisa ditimpali dengan kebenaran apa pun. "Take as much time as you need. Aku akan nunggu sampai kapan pun."
"Nggak perlu. Aku nggak akan berubah pikiran. Selama sama Kak Ed aku nggak pernah bahagia. Isinya sedih terus, nangis terus, tapi aku sempat berharap nanti dapat bahagianya. Ternyata nggak. Kak Ed malah bikin aku kehilangan banyak hal yang harusnya aku dapetin. Impianku hancur cuma karena hubungan yang salah. Aku salah pilih keputusan cuma karena denger Kak Ed bilang 'Nggak bisa LDR'. Itu egois banget."
"Zi ...." Edward kalut. Kepanikannya sudah mencapai puncak. Dia mendekat dan mengulurkan tangan untuk menyentuh puncak kepala Zia. Tapi cara gadis itu yang kaget dan terisak membuat hatinya tercabik. Sudah separah itu Zia tersakiti, harusnya Edward sadar diri.
Zia bilang nggak pernah bahagia sama Edward. Zia bilang adanya hanya sedih dan sakit hati yang Edward beri. Zia bilang keputusan untuk menerima cinta Edward adalah salah. Itu lebih menyakitkan dari apa pun.
"Aku ... nggak apa-apa kita LDR. Selama sama kamu, hubungan yang gimana pun aku tetap mau. Asal kita jangan putus. Ya, Zi?" mohon Edward dengan kerendahan hati. Dia janji akan memperbaiki dengan lebih baik mulai sekarang.
Namun Zia menggeleng. Wajahnya diusap dengan telapak tangan. Entah sudah berapa kali dia melakukan itu seharian ini. Sumpah, hatinya belum membaik sama sekali. "LDR ke mana?" kekehnya sarat sindiran. "Yang aku pengin juga udah hancur sejak awal pacaran sama Kak Ed."
Edward tidak bisa berkata apa pun lagi. Dalam benak Zia, berhubungan sama Edward sudah salah sejak awal. Semua yang mereka lalui adalah kesalahan. Padahal bagi Edward, itu adalah bagian kebahagiaan yang baru, yang belum pernah dia dapatkan selama tiga puluh tahun hidup di dunia ini. Sejauh inikah perbedaan mereka dalam memandang satu sama lain?
Zia menganggap Edward menghancurkan impiannya, di saat Edward menganggap Zia adalah kebahagiaan terbesar di hidupnya.
Kamar itu mendadak diisi keheningan. Edward yang berdiri dengan sangat banyak ketakutan, dan Zia yang masih terisak dengan memilukan. Dua-duanya seperti tidak bisa menemukan titik temu untuk sebuah hubungan agar kembali seperti semula. Tidak ada satu hal pun yang bisa jadi pertimbangan.
"Kita akan bicarain ini lagi minggu depan," putus Edward pada akhirnya, mencoba menunjukkan bahwa keseriusannya benar ada. Edward mau memperjuangkan Zia sampai kapan pun. Dia beri waktu karena mungkin keduanya butuh menenangkan pikiran lebih dulu.
"Nggak perlu." Zia menolak. Dia mengibaskan tangan seolah tidak peduli. "Kak Ed pikir seminggu udah bisa perbaikin semuanya? Nggak akan bisa."
"Zi, aku nggak maksa kamu nerima aku lagi, aku cuma perlu kita bicara—"
"Itu namanya maksa. Kak Ed kapan berhenti jadi egois? Nggak mikirin perasaan aku sama sekali? Jangan kayak gini, aku udah benci banget. Aku bilang putus ya putus. Terserah nerima atau nggak. Kita udah putus."
Tidak. Edward tidak bisa semudah itu melepas Zia. Dia tidak akan pernah siap. "Nanti malem kita ketemu buat dinner sama keluarga kamu."
"Nggak perlu."
"Aku udah janji."
"Pilihannya cuma itu. Kak Ed atau aku yang nggak ikut!"
***
Edward memejam saat menyadari semua aksesnya ke Zia sudah diblokir. Di dalam mobil tepat di depan rumah Gyna, dia lebih dulu mengecek sebuah akun instagram milik Zia. Dia baru tau bahwa Zia mengunggah foto mereka berdua saat dinner. Dan dia sempat like tadi. Sudah bisa ditebak selanjutnya bagaimana. Zia menghapus foto itu dengan segera, lalu me-remove akun Edward dari pengikut, sebelum mem-private akun.
Edward tidak yakin seminggu kemudian Zia bisa diajak bicara. Tapi setidaknya dia akan berusaha. Optimismenya sedikit muncul meski tidak ada tanda-tanda Zia menerima, justru sebaliknya. Entah, Edward hanya tidak mau menyerah. Meski sebenarnya hubungan mereka sudah sangat di ujung tanduk.
Pelan-pelan Edward membuka pintu mobil. Sudah malam. Rumah di hadapannya pun sudah terang benderang oleh lampu. Tidak perlu waktu lama, dia sudah diizinkan masuk dan mendapati Gyna baru turun dari tangga.
"Ed? Tumben." Gyna tersenyum, sepertinya sudah siap mendapati kemarahan Edward. Dia membentengi diri dengan cara melipat kedua lengan di depan dada. Menandakan kalau ini adalah daerah kekuasaannya dan Edward tidak bisa lebih kasar dari pertemuan terakhir mereka. "How? Udah putus?" kekehnya.
"Daddy sama Mommy ada?" Suara Edward mengalun pelan dan datar.
"Kayaknya lo beneran putus ya?" dengus Gyna tanpa menjawab pertanyaan Edward. Dilihat dari wajah lusuh Edward, juga—dia benci menyadari ini, tapi ternyata—mata Edward sembap. Demi apa pun dia tidak rela air mata Edward ditujukan untuk wanita lain.
"Gue nggak akan putus sama Zia." Edward menjawab dengan tidak peduli. Langkahnya terpijak lagi, mendekat ke Gyna dengan pelan. "Kalaupun putus, gue nggak akan pernah mau sama lo, Gyn."
"Can't wait to see that," sindir Gyna. Dia menurunkan kedua lengannya sebelum mendekat ke Edward. Tepat di hadapannya, tangannya terulur untuk menyentuh wajah Edward. Tidak ada reaksi apa pun, Edward masih diam. "Lo butuh istirahat kayaknya. My bed's always yours if you need it."
Edward tidak menanggapi tentang itu. Dia ingin fokus ke dirinya sendiri dan Zia. Terlalu menghabiskan emosi kalau harus marah-marah ke Gyna yang dengan jalangnya menawarkan tempat tidur. "Gue ke sini mau ketemu Daddy sama—"
"Oh, ada Edward?"
Suara itu membuat Edward dan Gyna menoleh ke arah tangga. Terlihat Daddy dan Mommy turun bersamaan. Tidak mau kehabisan waktu, Edward segera mendekat meski tuan rumah belum sampai di tangga terakhir.
"Dad, Mom, maaf aku harus bilang ini. Tapi kedua anak kalian benar-benar jalang."
Hal itu lantas menyulutkan kekagetan semua orang.
"Ed, lo—"
"Gwen punya hubungan gelap selama bertahun-tahun bahkan waktu kami udah ada tanggal pernikahan. Dia menjajakan tubuhnya demi kesenangannya sendiri. Gaya seksnya sangat bebas sama banyak orang. Dia punya affair yang gila-gilaan. Dan satu lagi, Gyna. Dia terlalu jauh ikut campur hubunganku sama Zia. Dia fitnah dan kirim video yang nggak-nggak ke Zia. Biar hubunganku sama Zia hancur." Tidak ada yang bersuara meski ada jeda di antara kalimat Edward. Suara Edward sangat datar seolah apa yang dikatakan tak membawa perasaan apa pun di benaknya. Padahal ... hancur. Hati Edward hancur harus membuka ini di depan orang tua yang tidak tau apa-apa. Tapi tak ada yang bisa dilakukan. "Daddy sama Mommy harus bisa mendidik dia lebih baik lagi. Sebelum Gyna bertindak lebih jauh."
Edward tau, keluarga yang memegang manners setinggi keluarga Gyna akan merasa tertohok. Daddy sama Mommy pasti merasa terhina dengan kalimat Edward. Sengaja.
"Edward! Lo nggak harus bilang gitu ke orang tua gue."
"Gue harus bilang ke siapa lagi kalo bukan Mommy sama Daddy? Lo takut mereka tau kelakuan lo?" Edward mengalihkan pandangan ke wajah Mommy yang pucat pasi mendengar itu. "Mom, I'm sorry. Kalian yang hentikan kejalangan Gyna atau aku yang turun tangan sendiri."
Edward mundur beberapa langkah, membiarkan keluarga itu saling melempar tatapan menyalahkan, marah, dan Edward sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Gyna. Untuk keluarga yang berada, rasa malu dijunjung nomor satu. Mereka paham jika Edward sudah mengatakan demikian, dalam sekali turun tangan pasti hidup mereka berubah drastis.
"Gyn, gue bisa kabulin kehaluan lo yang bilang Daddy sering pergi ninggalin lo sama Mommy. Gue juga bisa bikin debt collector nggedor pintu rumah lo tiap hari. Biar gue bantu jadi kenyataan."
"Ed. Edward. Kami minta maaf." Suara Mommy mengalun lirih. Dengar apa yang Edward ucapkan sudah membuat semua panik. "Mommy belum tau tentang ini, tapi tolong jangan buat seperti itu. Nanti biar Mommy sama Daddy yang tegur Gyna."
Edward mengangkat satu sudut bibirnya. "Tegur? Dia nggak mempan sama omongan, Mom. Harus lebih keras dari itu. Tapi terserah gimana cara kalian nyadarin Gyna. Yang penting semua harus berhenti karena aku udah muak. Setelah ini jangan harap aku akan ke sini lagi, atau sekadar ingat punya keluarga di sini. Maaf, Mommy sama Daddy memang baik. Tapi sayangnya punya dua anak jalang."
Itu adalah penghinaan paling atas. Edward tau sudah menyinggung Mommy sama Daddy dengan cara paling keras. Tapi dia mana peduli, di saat Gwen dan Gyna sama-sama pernah membuat hatinya hancur dengan cara paling memalukan.
"Permisi." Edward undur diri.
Sampai di perbatasan ruangan, dia berhenti dan memejamkan mata kuat-kuat. Di belakangnya, terdengar kegaduhan besar. Suara Daddy yang sejak tadi tidak terdengar, langsung menyapa telinga saat mengatai Gyna dengan teriakan. Lalu disusul suara kaca yang terbanting, tangisan Gyna, tangisan Mommy, sebuah pukulan, bantingan lagi, semuanya berulang-ulang.
Gaduh, tapi Edward tau bahwa cara menghentikan Gyna hanya dengan ini.
***
"Ma ...."
"Iya, Zi?" Laras melihat sang anak yang baru keluar dari kamar. Keadaan itu benar mengkhawatirkan. Wajah pucat, mata sembap, rambut berantakan.
"Aku mau kuliah di Melbourne."
Laras terkejut dengar penuturan itu. "Boleh Mama tau kenapa tiba-tiba, Nak?"
Zia duduk di samping Laras. "Nggak tiba-tiba. Aku pernah izin sebelum ujian ke Papa sama Mama dan diizinin. Makanya sempat apply beberapa di sana."
"Maksud Mama ...." Laras mengembuskan napas pelan. Suara Zia terdengar sengau, lirih, dan tertekan. Pelan sekali dia membelai lembut lengan sang anak. Kalimatnya melantun hati-hati. "Mama pikir nggak jadi. Kamu juga minggu depan ada jadwal verif penerimaan di sini kan?"
"Nggak aku ambil."
"Di Melbourne mau ambil apa, Sayang?" Laras memberi senyum menenangkan. Dia khawatir keputusan Zia tidak didasari kesadaran yang penuh. "Fashion design di RMIT sana udah kelewat batas kelengkapan dokumen karena kamu bilang nggak jadi ambil. Tapi kalau kamu mau tetap di sana, Mama Papa tetap ikut keputusan kamu. Asalkan ... kamu punya tujuan ya, Nak."
Ya, inilah yang Zia sesali. Dia ingin sekali mengambil itu sejak dulu. Cita-citanya. Tapi demi nggak mau pisah sama Edward, dia abaikan kesempatan baik. Bodoh memang.
"Apa pun yang penting nggak di sini."
"Tapi kalau Mama boleh kasih saran, kita harus tau dulu—"
"Mama, aku nggak peduli." Suara Zia melirih penuh keputusasaan. Air matanya sudah mengalir lagi. Membayangkan kalau harus menetap di sini dan kemungkinan bertemu Edward lebih sering, dia tidak bisa. "Masih ada LoA yang belum sampai batas waktu. Besok aku mau urus student visa-nya."
"LoA yang di mana, Zi?"
"Design di University of Melbourne."
"Kalau Mama nggak salah ingat, kamu bilang sendiri itu berat dan nggak akan kamu ambil kalo udah diterima RMIT kan? Mau dicoba ditekuni?"
Sekali lagi, Zia nggak peduli mau susah atau nggak. Seberat apa pun yang dia ambil, tidak akan bisa menyaingi susahnya berhadapan dengan Edward jika dia tetap di sini.
"Dan setau Mama, urus visanya nggak cukup sehari jadi. Paling cepat aja satu bulan. Masih ada waktu?" Laras berusaha memberi pengertian. Dia bukan tidak merestui keinginan Zia. Namun ... dia tidak mau sang anak akhirnya menyesal karena mengambil keputusan saat sedang kondisi tidak stabil seperti ini.
"Aku mau urus bareng April besok." Zia tetap teguh. "Kalaupun nggak cukup waktu, aku bisa ambil di semester berikutnya. Masih buka pendaftaran. Yang penting aku mau ke sana dulu minggu depan."
"Zi?" Sudah kaget dengan keinginan anaknya yang tiba-tiba ingin menerima penawaran LoA secara mendadak, sekarang lebih terkejut saat tau Zia ingin pergi secepat itu.
"Aku ikut di Sidney dulu sama April. Karena dia yang udah jelas dapet. Aku nunggu aja di sana sambil kursus. Aku harap Mama sama Papa setuju."
"Nanti Mama pikirkan—"
"Ma, please, udah nggak ada waktu." Zia memohon. Dia menahan getar dalam suaranya. Dipeluknya wanita yang sudah melahirkan, meminta restu untuk keputusannya kali ini.
"Tapi kamu terlalu terburu-buru, Zi. Mama ragu kamu nggak akan nyesel."
"Nggak, Ma. Aku udah pikirin ini baik-baik. Aku pernah apply di sana, artinya aku juga sempat pertimbangin tentang itu. Aku mohon." Zia mengeratkan pelukan. Hatinya sakit, dia hanya bisa sembuh kalau pergi dari sini. "Tolong, Ma."
Helaan napas Laras terdengar berat. "Iya, Mama izinin kamu berangkat ke sana minggu depan."
*
"Abang denger kamu jadi ambil di Melbourne, Zi?"
Zia tidak menjawab. Dia tau Ogi berkemungkinan membocorkan ini ke Edward. Dia sedang tidak menyukai semua yang pro ke Edward.
"Zi, bener itu?"
"Bener, Bang. Mau bilang ke Kak Edward? Silakan aja. Aku tau Abang lebih pilih dia daripada adik sendiri." Zia tidak menoleh ke kakaknya sama sekali.
"Ya Tuhan .... Mana mungkin kayak gitu." Ogi dengan sabar mendekat ke adiknya yang sedang memasukkan baju-baju ke dalam koper. "Abang nggak akan bilang ke Edward, oke? Jangan benci sama Abang ya."
"Buktinya Bang Ogi yang nyuruh Kak Ed masuk kamarku kemarin. Itu apa?"
"Abang cuma nyuruh dia jelasin tentang video itu. Tapi kalau permasalahannya bukan di sana, ya Abang bisa apa? Keputusannya tetap di kamu. Abang minta maaf karena udah lancang ikut campur." Ogi duduk di samping Zia dan memeluk adiknya. Dikecupnya puncak kepala gadis itu dengan penuh rasa sayang. Hampir saja dia menangis mengingat dua hari ini Zia tidak berhenti bersedih. Wajah Zia sampai sembap tak berkesudahan. Yang lebih membuat Ogi resah adalah ... alasan putus mereka. Demi apa pun Ogi masih tidak rela semua harus berakhir dengan cara seperti ini.
Maksudnya, baik Edward maupun Zia tidak ada yang sama-sama mau berpisah. Tapi masa lalu Edward memang tidak bisa dibenarkan. Entah dengan cara apa Ogi bisa mengikhlaskan hubungan antara adik dan sahabatnya ini yang sudah berakhir. Dia tau bagaimana kisah keduanya dan dia berada di tengah. Ini menyakitkan juga untuknya.
"Bang Ogi jangan ikutan nangis." Zia jadi tidak tega saat sadar ada isak kecil dari Ogi. Dia melepas peluk dan benar sekali, mata Ogi sudah berkabut. Diusapnya wajah Ogi dengan pelan dan dia tersenyum. "Aku nggak apa-apa. Aku cuma lagi usaha buat move on. Lagian nggak ada ruginya aku kuliah di luar negeri. Aku nggak akan jadi gila di sana, Bang. Tenang aja."
Meski Zia mengatakan dengan bercanda dan penuh senyum, tapi jika disertai wajah kusut dan pucat, siapa yang tega? Ogi tau Zia hanya menghibur diri.
"Minggu depan Abang belum bisa ikut nganter kamu sampe Sidney. Tapi Abang janji akan nyusul, oke?"
Zia mengangguk. "Nggak apa-apa, tapi Abang janji nggak bilang ke ... dia kan?"
"Iya, Abang janji."
***
Tepat seminggu. Edward makin resah karena tidak ada tanda-tanda Zia membuka blokir semua sosial media. Dia pikir Zia masih sama seperti dulu. Jika belum tenang maka hanya perlu diberi waktu.
Sebelum ini ... seminggu sudah membuat Zia berubah pikiran, bahkan menghubungi terlebih dulu. Tapi sekarang tidak sama sekali. Edward ingin menghubungi Zia dengan nomor lain tapi takut membuat Zia risih dalam usaha untuk menenangkan diri.
Jadi selesai meeting, Edward meraih kunci mobil untuk segera bertandang ke rumah Zia. Selama seminggu dia susah tidur. Tapi dia masih punya harapan karena Ogi juga tidak mengabari apa pun yang menandakan kabar buruk. Jika Zia masih menolaknya, tidak apa, selama Zia masih diam di tempat maka Edward punya sangat banyak waktu. Dia akan datang terus menerus untuk meyakinkan.
Edward sampai di rumah Zia saat hari sudah gelap. Tidak butuh waktu lama setelah ditekannya bel, sampai pintu terbuka. Ogi yang membukakan pintu.
"Ternyata lo, Ed." Ogi mengulas senyum kecil sebelum membiarkan tamunya masuk.
"Zia mana?"
"Lagi pergi." Ogi tidak tega mengucapkan ini.
"Balik jam berapa?"
"Duduk dulu, lah." Ogi menunjuk sofa, dan Edward ikut duduk di sofa di hadapannya.
"Balik jam berapa dia? Perginya sama siapa aja?"
"Sama bokap sama nyokap." Ogi tidak menjawab balik jam berapa. Karena bukan hanya hitungan jam, namun bisa jadi tahun. Entah tahun berapa Zia mau balik. "Eh, iya, lo mau minum apa, bro?"
Edward merasa aneh dengan tingkah Ogi. Dia kenal Ogi belasan tahun dan lelaki itu terlihat menyembunyikan sesuatu. "Zia pergi ke mana?"
"Gue ada bir. Tapi lo udah nggak minum ya. Lupa gue," kekeh Ogi sebelum beranjak. "Jus aja kali ya?"
"Zia pergi ke mana, Gi?" Kepanikan mulai menyerang Edward. Dia ikut berdiri dan menyusul Ogi yang hampir ke dapur. "Gi, jawab gue dulu!" suaranya mulai meninggi.
Ogi berbalik dan berhadapan dengan Edward. Sumpah, sebagai seseorang yang tau kejatuhan Edward, titik balik lelaki itu, dan segala hal menyakitkan yang telah dilalui, Ogi sama sekali tidak tega mengatakan ini. Apalagi ekspresi Edward sudah merah padam, dengan gurat keresahan yang semakin membuat lelaki itu kasihan di matanya.
Tapi Ogi juga tidak mau mengkhianati janji ke adiknya yang tidak mau ini dibocorkan ke Edward. God, Ogi sungguh tidak tega berada di tengah-tengah seperti ini. Dia melihat terang-terangan kesakitan dari dua pihak.
"Zia ... ninggalin gue ... ya?" Suara Edward gemetar. Tatapnya menajam penuh pertimbangan. Masih berharap kalau ini bukan kejutan yang membuat harapannya runtuh. "Ogi, jawab gue, Bangsat!!!"
"Ya udah, ikhlasin dia aja, Ed." Ogi tidak bisa ikut menjawab dengan teriakan, dia menatap Edward penuh penyesalan karena tidak bisa memberi tahu banyak hal. "Dia beneran mau pisah. Jangan kejar dia lagi. Udah, cukupin dulu lo berjuang."
Dalam denyutan kata-kata Ogi, dunia Edward seolah-olah berputar dalam kekacauan yang tak terkendali. Matanya menyorot nanar, berusaha mengabaikan rasa sakit yang membuat kakinya hampir gagal untuk berdiri.
"Lo ... nggak mau kasih tau gue dia pergi ke mana, Gi?" gumam Edward. Suaranya pecah seperti retakan hatinya sendiri.
"Sorry, nggak bisa. Dia juga pesen ke gue jangan cari tau keberadaannya. Itu malah bikin dia nggak bisa sembuh. Tolong hargain perasaan dia, Ed."
"Kasih tau gue dia pergi ke mana, Gi." Kali ini kepanikan Edward membawa emosinya melecut. Dia menatap Ogi dengan tajam. Tidak, dia tidak bisa kalau Zia pergi dengan cara seperti ini. Bagaimana kalau Zia keluar negeri? Edward tidak bisa membayangkan berapa kali dia akan naik pesawat tiap kali rindu. God, tolong jangan. Meski Edward sudah pernah flight dua kali, tapi baginya itu tetap mengerikan.
Edward mungkin bisa bilang menerima hubungan mereka yang LDR. Sungguh, dia serius. Hanya saja ketakutan untuk terbang lah yang tidak bisa dikendalikan.
"Gue nggak bisa ngasih tau ke mananya." Ogi berdehem untuk melontarkan kalimat berikutnya. "Dia sampai mohon-mohon ke gue buat bilang ke lo biar jangan nyari dia. Sekarang gue yang mohon sama lo, berhenti cari Zia. Gue tau lo bisa lakukan apa pun dengan mudah, termasuk nemuin keberadaannya. Tapi ... gue serius. Jangan cari Zia di mana."
Edward tertegun. Rasa sakit mulai merayap dan membuat hatinya nyeri. Ini bukan tentang Zia ada di mana. Tapi cara gadis itu meninggalkan sudah menggores luka Edward sangat dalam, meski dia tau ini kesalahan masa lalu. Ini berarti bahwa Zia memang ingin berakhir dengan Edward.
Tidak pernah ada di bayangan Edward bahwa Zia akan benar-benar meninggalkan. Ini di luar penerimaan hatinya. Dia masih berpikir Zia tetap di sini, di tempat yang sama. Tapi ternyata tidak.
Zia pergi. Dan Edward tidak tahu bagaimana cara menjalani hidup dengan benar lagi setelah ini.
🧚🏻🧚🏻
Tim 'kapok lu ed' / Tim 'kasian edi'
Tim 'sini sama aku aja' si ☺️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top