6. HAHAHAHA
Maaf typo-nya. Belom sempet edit wkwk
🧚🏻🧚🏻
"Gabut banget sampe sempet gambarin jari lo orang lagi ngupil. Nggak sekalian lagi cebok, Zi?"
Zia tertawa mendengar ocehan dari seberang telepon. "Hus, keliatan auroranya dong, Pril."
"Siapa tau jadi karya masterpiece terus dilelang. Dibeli sama pelukis dunia dan harganya ratusan juta. Lo bisa borong cilor maklornya Pak Tanto, sekalian gerobak-gerobaknya, Pak Tanto-nya, istrinya, anaknya."
"Gue prefer pepes ikan. No pepes no life. Titik."
"Suruh Pak Tanto beralih fungsi jadi penjual pepes. Eh, beliau nanyain lo tadi. Lo nggak ke sekolah sih."
"Jari gue tadi pagi masih kritis, butuh perawatan khusus."
"Lo udah disakitin sama pepes ikan, masih aja cinta. Dasar cewek."
"Ya namanya udah cinta mati. Susah move on."
"Bulol."
"Kalo bulol sama pepes ikan mah gue mau."
"Udah masuk hubungan toxic nggak sih antara lo sama pepes ikan."
"Gue rela, Pril. Serius. Daripada terjebak toxic sama cowok."
"Makanya cari yang bener. Penyayang, setia, jadi toxic-nya paling mentok cuma horny-an aja."
"Tinggal check-in aja kalo itu. Beres."
"Buseeeet. Ke puncak Bogor ya nggak?"
"Iya lah, makin dingin makin syahdu."
Keduanya terdiam, lalu tertawa bersamaan.
Zia yang dari tadi rebahan di sofa, kini bangkit duduk. Dia bergidik. "Sumpah obrolan kita apa banget, Pril. Kalo orang denger kita ngobrol gini, dikiranya hymen kita udah koyak."
"Sama. Geli banget gue dari tadi nahan-nahan nggak ketawa."
"Lagian elo yang mulai duluan, Aprilia tapi lahir bulan Mei!"
"Ya lo kenapa nanggepin, Ziara tanpa kubur?"
Zia mendengus kalau April udah ngomel. "Belajar sono."
"Iyeeeeeee. Mentang-mentang lo udah dapet kampus tanpa syarat. Enak ya jadi orang pinter. Dapet banyak privilege."
"Gue beruntung aja. Nggak pinter-pinter amat."
"Coelin dikit otak lo buat gue kek. Biar daya ingat gue bertahan lama. Masa iya baru selesai belajar terus gue lanjut nonton drakor bentar, yang nyantol malah dramanya."
Zia cekikikan. "Gue juga sama kayak gitu tau!"
"Iyaaa, tapi bedanya lo nggak perlu effort lagi buat munculin materi di otak kalo pas dibutuhin. Nggak kayak gue yang dihadapkan sama soal langsung nge-blank. Padahal gue udah belajar 24 jam nonstop sampe tipes, eh yang pinter tetep elo."
"Astaga." Zia berdecak. April emang kalau ngomong suka overrrated. "Jangan 24 jam juga, kasian otak mungil kita."
"Ucap orang yang tiap hari kerjaannya scroll Tiktuk."
"Tau aja." Zia meraih kue kering di toples yang ada di meja, lalu menggigitnya. Bunyinya kres.
"Makan apa lo?"
Zia makin menjadi-jadi menyuarakan gigitan. Biar April pengen. "Cat tongue," jawabnya.
"Hah?"
"Lidah anak bulu."
"Hah?"
"Alias lidah anabul."
"Lo makan lidah anjing?!"
Zia mengernyit. Kok jadi anjing? April lagi mikirin mantan apa gimana? "Cat, Pril. Cat! Bukan dog!"
"Gue nangkepnya cuma waktu lo bilang anak bulu. Gue kira anjing."
"Anabul yang gue maksud itu mpus." Zia ambil sekalian toplesnya untuk dipindah ke pangkuan.
"ASTAGA, LIDAH KUCING?!"
"You got it!"
"Gantiin Cak Lontong aja sana, Zi. Ngomong aja pake tebak-tebakan."
Zia memberengut. Padahal kan dia tadi udah jelas bilang cat tongue. April aja yang nggak denger.
"Lo masih di apartemen Bang Ogi?"
"Masih, Pril. Papa sama Mama baliknya mingdep."
"Oke deh. Gue udahin dulu ya, Zi."
"Fighting, April, buat belajarnya."
Zia sempat dengar temannya itu tertawa sebelum sambungan diakhiri. Dia lihat penanda waktu di ponsel. Udah malem. Ini alasannya nolak ikut Ogi sama Key kalau pergi. Belanjanya lamaaaaa banget!
Baru aja Zia hampir merebah di sofa lagi, ponsel di tangannya kembali berdering. Kali ini dari sepupunya. "Iya, Kak?"
"Ini Abang." Oh, oke. Zia baru ingat ponsel Ogi tadi emang nggak dibawa karena nyuruh Zia hubungi Edward perihal kesembuhan si jari. "Hp Abang masih utuh kan, Zi?"
"Udah kroak, Bang."
"Baby Zia," Ogi terdengar menghela napas panjang dan lelah. Padahal kan Zia ngomong kenyataan. "Abang minta tolong tanyain ke Edward, mau sekalian nitip merch nggak buat temen SMA yang nikahan di Surabaya? Soalnya Abang mau antar Key sekalian dateng ke acaranya."
"Si Om itu emang nggak ikut, Bang?"
"Dia manusia super sibuk, apalagi pagi sampe sore. Siapa tau mau nitip ini sekalian, gitu maksudnya."
"Oke." Zia mengulurkan tangan ke meja untuk meraih ponsel Ogi. "Pake hp Bang Ogi?"
"Ya iyalah, Zi. Masa pake hp kamu. Jangan pernah kamu coba chattingan sama dia."
"Hmmm." Zia cuma berdehem. Nggak janji. Nggak mau janji lebih tepatnya.
"Kamu hubungi dulu, nanti kabarin Abang. Ini Key belum selesai belanja oleh-oleh buat karyawannya. Makanya agak malem. Kamu nggak apa-apa sendirian?"
"Iya, Abang."
Setelah sesi percakapan sama Ogi selesai, jari Zia langsung berpindah ponsel. Dia lihat lagi foto profil itu. Seorang lelaki yang pakai jas, pokoknya pakaian formal, sedang tersenyum ke arah kamera. Duduk di ruang kerja. Di depannya ada laptop.
Telapak tangan Zia mendadak berkeringat karena gugup saat nekat zoom foto tersebut. Tadi waktu hubungi Edward pertama kali, dia belum berani lihat secara jelas. Tapi ini ... mendadak Zia mengalihkan pandangan dan menggigit bibir bawahnya.
Astaga, kenapa rasanya masih sama? Padahal cuma nge-zoom foto.
Setelah beberapa detik menetralkan kegugupan, akhirnya Zia menghubungi Edward. Satu deringan panjang tidak dijawab. Sebenarnya Zia takut ganggu. Tapi karena sudah disuruh Ogi, jadi dia lakukan panggilan kedua.
Senyumnya hampir mengembang saat tahu teleponnya dijawab. Tapi geraman cukup keras justru terdengar. "Ogi bangsat!"
Dan ... sambungan diakhiri.
Zia mengernyit. "Om Edi kesurupan apa sih. Nggak jelas banget."
Hampir aja Zia lempar ponsel ke meja, tapi ingat itu punya Ogi. Jadi diurungkan. Mending rebahan daripada ngurusin Edward. Masa segitunya nggak mau diganggu sampai bangsat-bangsatin orang? Kerjaannya se-hectic itu emangnya?
Nanti kalau Ogi tanya, Zia tinggal bilang sejujurnya. Kalo Edward cuma bilang Ogi bangsat terus ditutup. Biar tau rasa perang antar teman.
Beberapa saat kemudian, benar perkiraan Zia. Ponsel Ogi bunyi lagi. Saat dia pikir itu dari kakaknya, malah nama kontak bertulisan Edward—diikuti jari tengah—nongol di layar.
"Ngapain, Om, Om. Udah umur segitu tuh mending tobat!" gerutu Zia menatap panggilan masuk. Dia biarkan agak lama.
Sampai kemudian, dia menerima panggilan masuk itu.
"Jemput gue ... di klub biasa. Toilet. CEPET!"
Semua rasa sebal yang dari tadi menggerumul di dalam pikiran Zia, akhirnya luruh seketika. Berganti dengan debaran kekhawatiran karena jujur, dia panik.
Suara Edward tadi terdengar buru-buru, panik juga, dan hampir hilang di akhir kalimat. Dia juga sempat dengar bising dan kegaduhan seperti sesuatu yang terjatuh ke lantai.
Di klub, Edward bilang tadi? Klub yang mana biasanya lelaki itu datangi? Zia tidak tahu sama sekali kehidupan Edward. Dia cuma jadi pengagum yang sewajarnya sejak dulu. Tidak sampai mengusik kehidupan pribadi seorang Edward.
Berkali-kali Zia memilin jemarinya, demi menghilangkan rasa panik harus berbuat apa. Edward butuh bantuan, tapi tidak memungkinkan jika Ogi yang Zia limpahi hal ini. Ogi sedang sibuk, dan yang bisa secepatnya ke sana adalah Zia sendiri.
Jadi dia harus gimana?
"Tenang, Zi." Zia bermonolog. Dia harus tenang agar bisa berpikir dengan baik.
Klub adalah tempat yang baginya sangat asing. Bisa membahayakan, bisa juga tidak. Tapi dari cara Edward meminta dijemput, sudah pasti lelaki itu kenapa-kenapa.
Zia langsung meraih ponselnya sendiri. Meyakinkan diri buat menjemput Edward.
"Bang," kata Zia setelah menghubungi kakaknya.
"Gimana, Zi? Edward bisa dihubungi?"
"Bisa, Bang. Tapi dia bilang lagi clubbing."
"Astaga, ke aiSky lagi dia. Katanya udah ogah."
aiSky. aiSky.
Tanpa pikir panjang, Zia langsung menuju ke tempat itu.
***
"Kan saya udah di atas 17 tahun, Pak." Zia masih berusaha menego bouncer di gate.
"Kamu pakai sandal. Pulang dulu, ganti." Lelaki berperawakan tinggi tegap, bertato di lengan, dan berkaus hitam itu terus meneguhkan pendirian. Menolak Zia masuk karena tidak sesuai standar.
Zia berpikir cepat. Dia menggigit jari telunjuk sembari menghentakkan kaki dengan kecil. Tatapannya terarah ke bawah. Dia tersenyum dan maju lagi. "Pak, kalo gitu saya pinjam sepatu Bapak aja."
Si bouncer melotot, kaget. Baru kali ini ada yang pinjam sepatu.
"Pak, tolong." Zia memohon.
"Kamu disuruh siapa ke sini? Nggak ada pendamping juga."
"Mau jemput Om saya."
"Om kamu teler?"
Zia terkejut. Apa iya Edward teler sampai minta dijemput? Kenapa dia bodoh banget nggak mikir kemungkinan itu? Terlalu awam di dunia seperti ini membuatnya serba kebingungan. Sampai syarat masuk klub aja dia nggak lolos.
"Biar saya bantu temuin Om kamu kalau emang udah teler." Lelaki itu menatap kanan kiri, memastikan tidak ada orang. Walaupun mau teriak sekencang apa juga, siapa yang bisa dengar kecuali Zia? Sedangkan suara dari dalam aja sudah sangat keras. "Tapi nggak gratis."
Zia mengangguk cepat. "Tolong ya, Pak. Ini fotonya."
Bouncer melihat ke ponsel Zia. Seketika mengernyit. "Edward?"
"Iya iya. Ini Om saya. Tolong ya, Pak. Tadi telepon saya minta jemput." Zia nggak heran kalau Edward dikenal. Mungkin sering ke situ. Atau jadi tamu prioritas. Entah, Zia cuma mengira-ngira.
Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala. "Masa iya si Edward nyuruh keponakannya ke sini. Parah."
Zia bernapas lega saat bouncer benar-benar masuk ke dalam untuk mencari keberadaan Edward. Dia sampai berjongkok dan mengusap wajah dengan kasar. Capek ngurusin orang dewasa.
Tidak lama, Zia mendapati pintu terbuka. Matanya mengerjap kaget begitu lihat Edward sudah kayak orang pingsan. Dibantu jalan sama bouncer. Tapi mulut Edward komat-kamit.
"Mana mobilnya?" tanya lelaki yang memapah tubuh Edward dengan gampang seolah tanpa beban.
"Itu." Zia menunjuk mobil yang memang dia pesan lewat aplikasi. Untung driver-nya mau nunggu.
Sebelum beranjak dari sana, Zia sempat melongok ke pintu yang belum tertutup seluruhnya. Benar-benar gelap. Di sudut sana hanya dia lihat lampu yang pindah menyorot ke sana kemari. Dia jadi penasaran. Apa yang banyak orang itu cari di dalam club? Ketenangan? Penghilang rasa stres? Atau apa?
Rasa penasarannya dia simpan saat ini dan memutuskan berbalik. Dirogohnya tas untuk memberi imbalan bouncer karena sudah membantu.
"Nggak usah."
Zia bingung. "Kenapa, Pak?"
"Nanti biar saya tagih ke Edward aja."
"Loh, beneran?" Zia makin bingung. Kenapa jadi nagih Edward? Padahal kan ini kesalahan Zia yang nggak dapat izin masuk. Harusnya dia bisa melakukan ini sendiri andai nggak pake sandal.
"Iya. Cepat. Kasian itu Edward."
Zia akhirnya nurut. "Makasih banyak ya, Pak. Makasih banyak."
Cepat sekali langkah Zia menuju mobil. Di dalam, dia lihat tubuh Edward melintang di jok. Sekarang malah merosot ke bawah.
"Om." Zia tau sia-sia ngajak ngobrol orang mabuk. Tapi siapa tau Edward masih punya sedikit sisa kesadaran. "Naik, duduk yang bener dong, Om. Di bawah lama-lama panas," katanya.
"Langsung jalan sekarang, Kak?" tanya driver.
"Iya, Pak. Sekarang aja. Ke hotel terdekat."
Daripada Zia bingung ngantar Edward ke mana kan? Ke apartemen Ogi nggak mungkin. Kakaknya itu bisa tau dong nanti kalo dia abis dari klub? Ke rumah Edward? Sebenernya dia tau, tapi bukannya lucu menyerahkan Edward ke satpam rumah dalam keadaan mabuk?
Padahal mungkin saja Edward tidak pernah menunjukkan kondisi mabuk di depan keluarganya. Zia akan jadi pihak yang merasa bersalah kalau tindakan itu sampai membuat Edward dalam masalah.
"Om!" teriak Zia.
"HAHAHA!"
"Om ngelindur," omel Zia. Dia membenarkan lengan Edward. Berat banget. Padahal cuma lengan tangan. Kok dia bisa percaya diri tadi bisa bawa tubuh mabuk Edward tanpa bantuan bouncer sih? "Ya udah, sono tidur di bawah aja. Sampe jadi sate!"
Zia duduk paling pucuk. Demi menghindari tangan Edward yang kayak kitiran alias bolang-baling. Gerak terus tak tentu arah.
"Pak, nanti boleh minta tolong bantu saya mapahin Om saya sampe kamar hotel nggak?"
"Iya, Kak. Bisa. Nanti saya bantu."
Zia bersyukur karena bertemu orang baik malam ini. Dia berterima kasih berkali-kali pada driver itu.
***
"Makasih banyak ya, Pak."
"Sama-sama, Kak. Makasih juga uang tipnya. Sebenernya ini kebanyakan."
"Nggak papa kok. Saya yang makasih."
"Kalo gitu saya pamit ya, Kak."
Zia mengangguk. Setelah itu ditutupnya pintu. Nanti dia langsung pulang. Sekarang mau atur suhu ruangan dan lepas sepatu Edward dulu. Bahaya kalo nggak dilepas. Bisa-bisa nanti dimakan pas nggak sadar. Dia pernah dengar yang begitu soalnya.
"Ya ampun, baunya alkohol!" sebal Zia. Dia tadi mau benerin posisi kepala Edward biar nggak miring.
"HAHAHAHA."
"Ngeracaunya yang lebih berkelas dong, Om. Masa dari tadi HAHAHAHA mulu. Nggak jelas." Nah, satu sepatu beserta kaus kakinya berhasil terlepas. Zia pindah ke kaki satunya. Tapi seketika dia menjerit saat Edward bergerak, membuat kaki itu menghantam rahang Zia lumayan keras. "SAKIT, OM!!!"
Sumpah, ini nyeri banget. Zia mengusap rahangnya sambil menahan kesal. Mau marah tapi nggak guna. Si HAHAHAHA ini lagi mabuk. Jadi dia cuma bisa menahan. Walau sesak di dadanya tidak bisa berkurang. Dia malah meneteskan air mata.
"Gwen ... tadi ada Gwen. Mana dia?" Edward meracau lagi.
Zia mau langsung pulang setelah ini. Jadi dia berpindah ke bagian tengah tubuh Edward. Mencari ujung selimut untuk dinaikkan sampai dada lelaki itu. "Sialan, pipi gue sakit," rengeknya di sisa tenaga.
"Baunya Gwen hilang!"
Zia terpekik begitu tubuhnya tertarik ke bawah. Lengan Edward begitu cepat melingkupinya. Membuat Zia dalam posisi yang serba salah. Badannya tertekuk. Kalau tidak dia lepas atau mengalah dengan pelan-pelan meluruskan tubuh, udah pasti dia bisa patah tulang. Udah ketendang di rahang, terus patah tulang, nggak lucu.
"Om, le-lepas." Zia terengah karena usaha untuk melepas gagal.
Edward berbaring menghadap kanan dan mengurung Zia dengan punggung tertekuk. Ini pegal sekali.
"Mana Gwen. Ada yang liat?" Edward masih memejamkan mata tapi ternyata nggak tidur apalagi pingsan.
Zia menggeleng. "Ng-nggak ... liat."
Pelukan itu mengendur. Pelan sekali Zia memanfaatkan kesempatan. Menarik diri dari kungkungan lengan besar itu. Dia berhasil hampir duduk, tapi sebuah tarikan membuat tubuhnya kembali terjatuh. Kali ini wajah mereka tepat berhadapan.
Zia menelan ludahnya susah payah. Pakaiannya berantakan, itu pasti. Rambutnya juga menjatuhi dahi Edward saat ini. Tapi dia tidak mampu bergerak. Mata Edward yang pelan-pelan membuka seolah menyihirnya.
Mata hitam lekat itu sekarang terlihat agak memerah karena efek alkohol. Deru napas Edward bahkan tak beraturan.
"Kok cantik?" Suara Edward yang super serak dan dalam, mengalun pelan di depan wajah Zia.
"Om," cicit Zia. Berusaha membuat Edward sadar. Dari tadi lelaki itu memejam jadi Zia tidak berharap banyak bisa diajak komunikasi. Tapi ini udah melek, semoga Edward beneran sadar.
"Loh, kamu ... Zia ya?" Senyum Edward merekah lebar. Kekehannya terdengar.
"I-iya, aku Zia."
Zia membeku begitu tangan dingin Edward membelai pipinya. Bukan dengan telapak tangan, justru hanya satu jari. Menurutkan dari dahi, garis hidung, sampai pipi. Untung bukan yang kena tendang.
"Kayak barbie. Cantik." Edward memejam lagi.
Zia merasa kehilangan saat pelukan itu terlepas. Apalagi Edward terlihat lebih tenang, lalu berbalik ke arah berlawanan dan memunggunginya. Erangan itu terdengar, pertanda Edward mungkin merasa pusing.
"Om, aku ... pulang ya." Zia langsung turun dari tempat tidur.
"Barbie siapa ya yang mirip. Oh, mimi peri. HAHAHA. Itu laki, bego! Iya gue bercanda. HAHAHA. Rapunzel? Annelise? Lupa semua uncle maaf ya. HAHAHA. Namanya casper ya? Atau nemo?"
Langkah Zia terhenti. Dia udah sampai pintu tapi membalikkan tubuh untuk lihat kondisi Edward. Lelaki itu sudah berputar lagi posisinya. Kaki di kepala, kepala di kaki. Hah, nggak jelas pokoknya. Emang paling bener Zia pergi aja.
"OGI OGI WOY!" teriak Edward seolah orasi. Tangannya terangkat ke atas. "Bisa-bisanya lo punya adek kek dia. Gue keinget MATI MATI terus tau! HAHAHA! Masa secantik barbie mau bawa berita kematian? OGI, KLARIFIKASI!"
"APASI OM EDI NGGAK JELAS!" Zia balas teriak. Biarin adu mulut biar rame.
"EDI EDI SIAPA YANG KEINGET MATI?"
"EDWARD NEIL AMSYONG!!!" balas Zia nggak mau kalah.
"Aduh, amsyong amsyong—HUEEKKKKK."
Zia membelalak. Edward yang tadi gencar orasi, sekarang udah sampai di ujung tempat tidur dan muntah. Muntah di lantai!
"Aku tinggal pulang!" Zia langsung membuka pintu. Nggak mau ngurusin orang muntah alkohol.
"Oh, sialan. Sakit bener tenggorokan gue." Edward menepuk tenggorokannya sendiri. Lalu berpindah ke dada karena sesak.
Lagi-lagi itu menghentikan niat Zia. Dia lihat betapa berantakannya Edward saat ini. Berusaha duduk tapi jatuh juga. Menepuk dada seolah bisa mengurangi rasa sakit.
Zia pelan melangkah makin dekat. Dia sadari wajah Edward yang memang putih, kini merah padam. Keringat membanjiri sekitar pelipis.
Untuk kesekian kali, Zia mengurungkan niat untuk meninggalkan. Dia harus mengurus Edward sampai tidur lelap. Meski jijik dengan muntahan, tapi dia coba bertahan. Ditariknya selimut untuk menutupi lantai. Dilanjut menghubungi petugas hotel.
Huft, Zia berkacak pinggang menatap Edward yang udah tepar. Kayaknya muntah tadi benar melegakan.
"Katanya dewasa, kok masih nyusahin sih?"
🧚🏻🧚🏻
GELUT MULU BERDUA😩
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top