58. Email

Yang baca ini semoga nggak emosay :(((

🧚🏻🧚🏻

"Temen-temen lo pada gila kayaknya, Pril."

"Apaan?"

Zia bangkit duduk. Dia geleng-geleng kepala menatap ponsel. "Baru juga gue post foto dinner tadi sama Kak Ed, komen mereka malah pada minta tas sama jam tangan!"

April ketawa di seberang sana. "Lagian sih pacar lo totalitas banget pake ngasih tas sama jam tangan segala. Gila. Bentar gue liat dulu. Lo posting di ig?"

"Iya."

"Ck, udah bener nggak lo tag si om-om itu. Bisa diserbu sama pemburu tas. Apalagi tau kalo pacar lo seroyal apa."

"Tapi kan mereka nggak tau kalo Om itu ternyata pacar gue, Pril."

"Eh, iya juga ya." April kayaknya baru sadar. "Lo juga upload-nya nggak keliatan muka dia. Aman lah. Mereka pasti ngira lo udah punya pacar, tapi bukan yang ngasih mereka tas. Gitu kan maksudnya?"

"Semoga aja." Zia meringis, agak malu lihat unggahannya di sosial media. Kayaknya ini pertama kali dia go public sama laki-laki.

Zia emang udah pernah pacaran satu kali. Tapi bukan yang dekat banget. Mereka masih saling malu-malu dan cuma pacaran via chat doang. Kalo sama Edward kayaknya lebih ... errr, nggak tau deh. Zia ngerasa deket banget pokoknya.

"Oh ya, Pril. Lo jadi apply di Sidney?"

"Udah, Zi. Tapi gue hopeless banget."

"Hei, kenapa? Jangan hopeless. Lo pasti bisa."

"Bisa gila." April ketawa sumbang.

"Gue serius, juga," decak Zia. Dia tau banget April mampu. Tapi itu anak cuma lagi stres aja. Capek belajar katanya. "Pengumumannya lusa kan?"

"Iya. Barengan sama pesta kelulusan kita. Harusnya happy-happy, gue bisa-bisa malah mules seharian!"

"Nggak. Tenang aja. Gue yakin lo lolos kok. Bawa happy dulu aja."

"Iya juga, entar kalo nggak lolos baru deh boleh stres lagi. Iya kan?"

Zia mau tidak mau jadi tertawa.

"Udah dulu ya, Zi. Gue beneran mules ini. Jangan lupa besok ke sekolah buat geladi bersih."

"Oke, Pril. Tidur duluan sono lo."

Kekehan April masih terdengar sebelum panggilan diakhiri. Zia masih memandangi ponsel dan menggigit bibir bawahnya dengan senewen. Aduh, upload ginian alay nggak sih? Tapi namanya juga jatuh cinta. Semua jenis ke-alay-an akan dimaklumkan asal masih batas wajar.

Akhirnya Zia berbaring lagi. Dia mengecek WA dan membuka ruang chat dengan Edward. Lelaki itu masih belum aktif lagi. Tadi pas mereka pulang sih Edward bilangnya mau selesaikan kerjaan. Mungkin emang lagi sibuk. Jadi Zia berusaha mengerti.

Baru juga Zia mau letakkan ponsel di nakas, dia melihat sebuah nomor terpampang di layar ponsel. Deretan nomor baru dengan satu nama di bawahnya. Gyna.

Zia setengah duduk. Dia mengernyit. Berniat mengabaikan itu tapi dia ingat sesuatu. Gyna nggak akan menghubunginya kecuali mau mengabarkan sesuatu. Iya kan? Walaupun lebih sering sesuatu itu merusak hubungan Zia dan Edward. Zia hanya ingin tau sejauh mana Gyna berusaha memengaruhinya.

Nanti setelah ini, Zia berniat bilang ke Edward bahwa Gyna menghubunginya dan bilang yang enggak-enggak lagi. Kalau ini keterlaluan, mungkin aja Edward bisa ambil sikap tentang kekacauan yang Gyna buat pada hubungan mereka.

Karena Zia yakin Edward lebih percaya padanya ketimbang ucapan Gyna kalau aja perempuan itu membela diri dan berusaha mengalihkan tersangka. Seperti halnya Zia yang sekarang lebih memilih memercayai Edward daripada Gyna—yang udah dia tau sifatnya kayak apa.

"Halo ...?" Akhirnya Zia menjawab panggilan itu, meski dengan nada suara yang lirih.

"Tadi ... Edward ke sini."

Satu baris kalimat itu mau tidak mau membuat senyum di bibir Zia mengembang. Dia kelewat semangat untuk bangkit duduk. Benarkah Edward mendatangi Gyna? Pasti untuk memberi perempuan itu sedikit peringatan kan? Pasti.

"Dia tanya kepastian tentang ... Gwen."

Lengkung senyum di bibir Zia seketika pudar. Seluruh tubuhnya kaku dan dia bahkan nggak sadar sempat memekik kaget.

"Padahal kalian tadi di resto keliatan happy. Edward pintar banget ya pura-pura biasa aja depan kamu. Padahal dalam hati, dia kacau. Dia bahkan mau cari tau semuanya yang di Singapura."

Zia menggeleng lemah. Nggak mungkin kan Edward segegabah itu? Gwen masih hidup? Tidak. Tidak mungkin. Dari awal Zia dengar itu dari Gyna aja serasa mustahil. Ditambah Edward terang-terangan dan dengan penuh keyakinan juga bilang tidak mungkin.

Mereka sama-sama tau tabiat Gyna. Mereka tau Gyna maunya apa dari hubungan Zia dan Edward. Jadi nggak mungkin Edward seimpulsif itu.

"Nggak mungkin," gumam Zia secara sadar. Sekalian menyadarkan Gyna bahwa dia tidak akan percaya pada perempuan itu. Edward mungkin memang benar datang ke Gyna, tapi tujuannya bukan seperti yang Gyna paparkan.

"Tanyakan aja, Zi. Kamu masih muda. Masih ada waktu untuk pergi. Emang dasarnya Edward gagal move on. Denger kabar begitu aja udah kelabakan. Padahal aku cuma bilang kemungkinan ada yang selamat. Kamu aja nggak percaya kan kalo Gwen masih hidup?"

Zia tidak bisa lagi mendengar apa pun. Dia matikan sambungan telepon dengan tergesa. Matanya masih menatapi benda pipih itu dengan mata sayu dan pikiran yang ke mana-mana.

Ekspresi dan reaksi spontan Edward tiap kali mendengar sesuatu tentang Gwen memang selalu membuat hati Zia nyeri. Benar jika Edward mencintai Zia, tapi ... apa benar jika lelaki itu sudah lupa akan Gwen? Apa mungkin masih ada perasaan yang tertinggal tentang Gwen, meski hanya sedikit di sudut hati Edward?

Denger kabar begitu aja udah kelabakan ....

Begitukah? Apa benar yang Gyna ucapkan? Tapi dengan mata kepala Zia sendiri, dia memang menyadari itu. Reaksi Edward terlalu berlebihan saat dengar kabar tentang Gwen, meski lelaki itu tegas menyangkal tentang kamustahilan kabar tentang Gwen.

Namun diingat-ingat, penyangkalan Edward malah terasa janggal. Berkali-kali lelaki itu menjawab perandaian Zia, justru dengan kalimat menertawakan.

Nggak mungkin bener.

Aku nggak suka berandai-andai hal nggak masuk akal, Zi.

Kalo ternyata itu bener, ya nggak mungkin. Nggak mungkin itu bener, Zi.

Padahal mudah jika memang Edward sudah tidak berharap pada kebenaran kabar itu, sudah pasti akan jawab perandaian Zia dengan lugas. Bukannya menolak mentah-mentah kabar itu dengan nada menggebu dan ditekan berkali-kali.

Zia sudah menyematkan kata 'Andai' di awal pertanyaannya. Edward cukup jawab aja, bukan malah bilang nggak mungkin, nggak mungkin, nggak mungkin, berkali-kali secara berurutan.

Semua orang juga tau itu tidak mungkin. Tapi kenapa hanya Edward yang menjawab sepanik itu, yang bukannya terdengar yakin dengan jawabannya, tapi justru terlihat punya setitik harapan?

Pemikiran dan analisis Zia sudah terlalu jauh. Membuat hatinya dirundung resah terus menerus. Dia harus menghentikan sekarang juga. Lebih baik menanyakannya langsung ke Edward. Zia berusaha menghubungi Edward untuk menanyakan apa yang terjadi. Satu kali ke ponsel pribadi, tidak ada jawaban. Kalau benar Edward mendatangi Gyna, harusnya memang masih di jalan. Jadi mungkin saja Edward bawa ponsel satunya. Siapa tau.

Tapi lagi-lagi, panggilan Zia tidak mendapat jawab.

***

Edward mencekal setir dengan kuat. Ucapan Gyna yang terus menerus membuat emosinya terbentuk sempurna.

Hubungi korban selamat itu kalo lo mau tau, Ed.

Ini cuma akal-akalan Gyna aja. Dia sangat yakin. Korban selamat dari pesawat? Apakah itu mungkin?

Tidak perlu malu kalau takut terbang. Anak saya juga takut terbang.

Mendadak mobil berdecit cukup keras. Degup jantung Edward bertalu sangat kuat dan hampir menyakitinya. Napasnya memburu dan matanya nyalang ke arah depan. Beruntunglah dia sedang di jalan kecil yang sepi. Hingga mobil yang berhenti mendadak tidak mengganggu pengendara lain.

Edward berusaha menepikan mobil. Dia menumpukan dahinya di setir, menetralkan segala hal yang menyerbu pikirannya secara bersamaan.

Dari portal berita yang Edward baca, dia menemukan seorang wanita yang sama—yang duduk di kursi tepat di sampingnya saat menaiki pesawat. Dan wanita itu adalah ... ibu dari korban yang selamat.

Sedangkan Gyna bilang perempuan itu ke Singapura untuk menemui korban. Ada hubungan apa antara mereka? Dan bagaimana mungkin ada satu orang yang selamat dari kecelakaan naas itu? Tuhan tidak mungkin salah memberi petunjuk beruntun seperti ini kalau tidak menyuruh Edward mencari tau kan?

Edward harus menyelesaikan semua hal tentang masa lalunya. Sekarang dia sudah punya Zia. Cintanya telah tertambat tepat dan dia nggak mau permasalahan yang sudah dikira selesai ternyata belum. Dan nantinya berpotensi akan merusak hubungan dia dan Zia.

Kabar baik atau buruk pun akan dia terima. Yang pasti, keputusan Edward tetap sama. Zia adalah satu-satunya yang akan dia jadikan tujuan akhir.

Dengan itu, Edward menarik ponsel kerjanya dari saku celana. Matanya terpejam sesaat melihat panggilan tidak terjawab dari Zia. Dia berjanji pada diri sendiri, nanti akan menelepon Zia balik. Sekarang, Edward hanya ingin mencari penerbangan tercepat ke Singapura—kalau bisa dini hari ini juga!

Setelah berselancar mencari tiket pesawat dan menemukannya, Edward mendadak termenung. God, untuk apa dia se-effort ini hanya untuk mencari tau hal yang masih abu-abu? Lebih baik mengirim orang untuk mendapatkan informasi. Dia punya banyak kesibukan. Pekerjaan, tentu juga Zia. Waktunya tidak banyak dan akan sangat kacau kalau harus menyusul sesuatu yang tidak jelas.

Jadi, Edward berpindah haluan untuk menghubungi seseorang yang dia percayai.

***

"Zi ... udah bangun?"

"Hm?"

Edward tersenyum. Dia membenarkan letak ponsel di telinganya. "Aku udah di depan rumah kamu. Keluar yuk. Sarapan."

Belum ada jawaban Zia, hanya suara cukup gaduh. Mungkin Zia lagi berusaha bangun.

"Ayo, mumpung masih pagi banget. Bangun dulu, Zi. Nanti tidur lagi ya?" Suara Edward mengalun lembut. Andai dia ada di samping Zia sekarang, pasti sudah dikecupi wajah Zia yang baru bangun tidur itu.

"Kak ...."

Senyum Edward makin mengembang. Suara serak Zia membuatnya sangat rindu. Padahal baru semalam mereka ketemu. Kalau udah gini, Edward nggak yakin apa bisa berjauhan dengan Zia. Baru kali ini dia menjalin hubungan yang mana tidak keberatan meski pasangannya menuntut kabar setiap saat. Karena baru pertama juga Edward sadar bahwa nggak mendapati kabar dari Zia rasanya nggak karuan.

"Aku ... mandi dulu?"

"Boleh, masih jam 5. Tapi jangan lama-lama ya, Sayang."

"Iya, Kak."

Edward mendapati panggilan diakhiri oleh Zia. Dia mengembuskan napas dengan resah. Diketukkan jemarinya ke setir mobil. Tubuhnya lelah. Sangat. Edward bahkan belum tidur semalaman. Dia menunggu kabar dari orang suruhannya yang mencari tahu tentang korban selamat.

"Saya hanya bertemu ibu dari Bapak Evan. Saat saya tunjukkan foto Pak Edward, beliau langsung memberikan kontak anaknya. Katanya, beliau tau Pak Edward."

Entah maksud tau di sini adalah memang tau Edward secara personal, atau hanya karena mereka pernah bertemu satu kali. Tapi sepertinya dugaan kedua lebih masuk akal.

Sembari menunggu Zia, Edward mengambil ponsel kerjanya untuk mengecek email. Dia mengirimkan email ke Evan beberapa jam lalu namun belum ada balasan. Kata orang suruhannya, Evan terlalu tertutup pada semua orang. Mungkin memang sudah tidak mau menjelaskan apa pun tentang kecelakaan pesawat bertahun-tahun lalu. Makanya menutup diri dari siapa pun.

Edward membaca ulang email yang dia kirim ke Evan dini hari tadi.

Subject: Confirmation Regarding Recent Incident

Dear Mr. Evan,

I hope this email finds you well. My name is Edward, and I have recently come across information that leads me to believe that you might have been involved in the recent JIA-222 plane incident. I apologize for reaching out in this manner, but this is an urgent matter for me, considering someone close to me was also involved in the unfortunate event. If you are indeed the individual involved, could you please confirm this for me at your earliest convenience?

(Saya harap email ini sampai kepada Anda dengan baik. Saya Edward, dan baru-baru ini saya mendapat informasi bahwa Anda mungkin terlibat dalam kejadian kecelakaan pesawat JIA-222. Maaf telah menghubungi Anda dengan cara ini, namun hal ini sangat mendesak bagi saya, mengingat seseorang yang dekat dengan saya juga terlibat dalam kejadian yang tidak mengenakkan ini. Jika benar, bisakah Anda mengonfirmasi hal ini kepada saya?)

Edward termenung beberapa saat. Apa pesannya terlalu terburu-buru dan mendesak? Dia kelewat panik semalam, jadi kurang memikirkan bahwa mungkin hal itu bisa memicu reaksi tidak mengenakkan bagi Evan. Ah, mungkin saja iya. Lebih baik dia mengirim ulang pesan dengan lebih ramah. Sekalian, mungkin, lebih baik memperkenalkan siapa dia, dan siapa yang dimaksud seseorang yang dekat. Siapa tau Evan bersedia membalas.

Subject: Gwen's Plane Incident Inquiry

Dear Mr. Evan,

I hope this message doesn't cause any discomfort, especially considering airplane incident. I'm reaching out to kindly ask if by any chance you might be familiar with someone named "Gwen Alexandria", who might have been connected to the aforementioned incident. I completely understand if this topic is sensitive for you. Should you have any association or information related to Gwen that you'd be comfortable sharing, I'd greatly appreciate your assistance. Your understanding and consideration regarding this matter are sincerely appreciated.

Thank you for your time and understanding.

(Saya berharap pesan ini tidak menimbulkan ketidaknyamanan, terutama mengingat kejadian kecelakaan pesawat. Saya menghubungi Anda untuk bertanya apakah Anda mengenal seseorang bernama "Gwen Alexandria", yang menjadi korban kejadian tersebut. Saya mohon maaf dan sepenuhnya mengerti jika topik ini sensitif. Apabila Anda memiliki informasi terkait Gwen yang bersedia Anda bagi kepada saya, saya akan sangat menghargainya. Terima kasih atas waktu dan pengertian Anda.)

Merevisi pesan itu sudah sanggup membuat napas Edward terasa tercekat. Dia khawatir jika hal ini tidak membuahkan hasil. Karena baginya, dia harus tau sesuatu ini terlebih dulu untuk bisa berjalan ke depan dengan tenang.

Edward dikejutkan dengan notifikasi sebuah email. Dia terlalu gugup sampai-sampai ponsel hampir meluncur dari tangan. Dibukanya email itu.

Subject: Re: Gwen's Plane Incident Inquiry

'Gwen Alexandria?' Are you Edward Neil Soediro?

Edward meloloskan napas dengan lega luar biasa. Cepat-cepat dia membalas seolah takut dikejar waktu.

Edward: Confirmed, I am Edward Neil Soediro. Would it be acceptable for me to reach out to you via phone? (Iya, saya Edward Neil Soediro. Apakah bisa saya menghubungi Anda melalui telepon?)

Evan: Just continue our communication via email at this address. (Cukup lanjutkan percakapan kita via email di alamat ini saja).

Edward: I apologize for the offer earlier. Can we continue our conversation in Bahasa Indonesia? (Saya meminta maaf atas penawaran sebelumnya. Bisakah kita melanjutkan percakapan dengan Bahasa Indonesia?)

Evan: Sure (Tentu)

Edward mengetikkan semua keresahannya dengan cepat. Sampai-sampai dia tidak sadar kecepatan jemarinya dalam mengetik sudah lebih dari kebiasaannya sendiri. Gejolak dan rasa penasaran di dadanya makin membludak saat tau bahwa orang yang bisa menjadi sumber informasi ini bersedia berbagi cerita. Seperti pintu yang telah terbuka lebar setelah bertahun-tahun ditutup rapat, semua hal keluar tanpa bisa dicegah. Begitu cepat, liar, dan bebas. Tidak ada rem dari jarinya untuk mengetikkan keresahan selama enam tahun.

Saat semua telah selesai Edward ketikkan, napasnya terembus di udara dengan rasa sesak yang makin menjadi.

Evan: Sebenarnya saya bukan korban yang selamat dari kecelakaan pesawat. Tapi karena nama saya terdaftar sebagai kru yang terbang saat itu, jadi saya tercatat sebagai korban.

Edward perlu membaca itu berulang-ulang sampai menemukan sebuah titik terang.

Evan: Jadwal penerbangan saat itu tidak ada crew change di maskapai kami, karena jarak transit yang pendek dan kepadatan kebutuhan kru. Jadi seharusnya memang saya yang menerbangkan pesawat dari Jakarta-Turki-Amsterdam. Tapi tidak lama setelah transit di Turki, salah satu pilot senior bernama Luke melakukan crew change secara ilegal. Ada pelanggaran prosedur yang fatal. Luke melakukannya tanpa izin. Melanggar protokol operasional dengan melakukan crew swap secara diam-diam, yang seharusnya tidak pernah terjadi di tengah penerbangan. Dia mengambil peran saya yang seharusnya melanjutkan penerbangan dari Turki ke Amsterdam.

Edward membeku, tidak sanggup berkata apa-apa.

Evan: Tidak ada yang melapor. Semua seolah ikut menyembunyikan. Para kru tahu hubungan erat antara Luke dan Gwen. Dan mereka tidak ada yang mau ikut campur karena keduanya sudah sangat senior di maskapai kami.

Edward tidak tahan untuk tidak menjawab. Sebelum balasan Evan datang lagi, dia cepat-cepat mengirimkan.

Edward: Hubungan erat yang bagaimana? Gwen calon istri saya waktu itu.

Evan: Hubungan erat. Mungkin seperti hubungan Anda dengan Gwen, begitulah hubungan Gwen dengan Luke juga.

Edward menggeleng. Hampir dia memaki Evan dengan kata-kata kasar bahwa Gwen saat itu adalah calon istrinya. Gwen sudah berjanji nggak akan mendua lagi. Bahkan Gwen rela berhenti dari pekerjaan sebagai pramugari demi bisa menikah dengan Edward.

Evan: Mereka menyebut penerbangan itu 'Last Party'. Karena semua tahu Gwen tidak akan flight lagi setelah menikah dengan Anda. Alasan itulah yang membuat semua bungkam. Luke bilang ini kecurangan pertama dan terakhirnya, demi Gwen, demi bisa flight bersama Gwen untuk terakhir kali. And as you know, that was indeed their final flight.

Edward: Last Party?

Evan: Ya. Luke ternyata sudah menunggu di Turki dan menyiapkan pesta di Amsterdam begitu mereka sampai.

Edward: Pesta apa?

Evan: Money party, alcohol, and sex.

Edward mau terbahak rasanya. Evan ini pengarang cerita yang handal. Tidak ada di dunia ini kecurangan seperti itu di dunia penerbangan! Sepertinya dia salah menanyai narasumber.

Edward: Jangan mencoba bohong pada saya.

Evan: No. There's no falsehood in my words. Saya ikut sedih karena calon istri Anda mengalami hal tragis. Namun saya juga tidak menyuruh Anda memercayai ucapan saya. Setelah kecelakaan itu, saya tahu Anda mengalami hari-hari yang berat. Itu pasti. Dan mulai sekarang, percayalah kalau kesedihan Anda akan terangkat. Jangan berlarut-larut sedih tentang hal ini. Anda harus tahu kenyataannya seperti apa agar bisa melanjutkan hidup dengan seharusnya. Lanjutkan hidup Anda dengan tenang daripada terus memikirkan Gwen Alexandria.

Evan: Sebenarnya saya ingin menjelaskan ini dari dulu kepada Anda. Tapi Gyna selalu melarang saya. Dia bilang, Anda masih sangat depresi. Belakangan saya tahu kalau alasan dia melarang saya bicara, selain karena ingin menjaga perasaan Anda, ternyata juga karena dia tidak mau kenangan tentang Gwen hilang begitu saja dari ingatan Anda. Kakak beradik itu sama saja ya?

Edward: Saya ingatkan lagi, jangan membuat kebohongan. Bukankah operasi penerbangan itu terstruktur dan teratur? Pergantian kru setelah transit biasanya terjadi sesuai jadwal dan prosedur yang telah ditetapkan. Tidak akan sembarangan. Belum ada maskapai yang kecolongan hal sefatal ini.

Evan: Belum ada atau tidak tercium media? Jika terjadi kecolongan serius seperti pertukaran identitas kru tanpa konfirmasi, itu dapat menimbulkan ketidakpercayaan di antara penumpang dan masyarakat luas terhadap maskapai tersebut kalau sampai ketahuan. Berita ini tidak akan tersiar sampai kapan pun. Itu alasan kenapa perlu waktu sangat lama, sampai media tahu bahwa saya disebut korban yang selamat. Itu pun dalam portal berita yang sangat terbatas, bahkan terkesan mengada-ada. Karena maskapai menyembunyikan dengan baik. Mereka tetap menganggap Evan adalah korban dan tidak selamat. Kalau Anda memercayai saya, cukup percayai. Hiduplah tenang, Ed. Gwen Alexandria isn't worth your tears.

Evan: Saya tidak benci mereka. Karena bagaimana pun, saya selamat dari insiden kecelakaan karena kebodohan mereka juga. Saya hanya muak melihat semuanya. Saya cukup peduli pada Anda karena tahu Anda begitu mencintai Gwen sampai kepergiannya membuat Anda depresi.

Evan: Sama seperti Anda, saya juga takut naik pesawat. Ibu saya sempat bertemu Anda beberapa waktu lalu. Dia juga tahu Anda, karena sudah saya ceritakan dari lama. Jadi tidak mungkin saya membohongi orang yang punya ketakutan yang sama kan? Kita sama-sama penakut. Tapi Anda lebih beruntung karena Ibu saya melihat Anda flight demi perempuan selain Gwen.

Evan: Saya harap tugas saya sudah selesai. Jangan email saya lagi setelah ini. Terima kasih waktunya.

Tok tok tok ....

Sementara itu dari luar mobil, Zia melongok lewat kaca. Dia membuka pintu mobil dan menyadari kalau Edward terkejut luar biasa. Wajahnya memerah dan gerakan tangannya berantakan saat melempar ponsel ke dashboard. Detik itu juga seperti tersadar, Edward tarik lagi ponsel dari sana dan memindahkan ke sisa bangku yang tidak diduduki.

"Kak?" Zia tidak mengerti dengan tingkah Edward. Dia masuk ke mobil dan mengerjap saat sadar napas Edward memburu hebat. Titik-titik keringat membasahi wajah lelaki itu. Bahkan kalau Zia tidak salah lihat, keringat juga tercetak di kaus abu-abu bagian dada Edward.

Lebih kaget lagi saat tiba-tiba Zia dilingkupi sebuah lengan dengan tergesa dan kencang, erat, rapat. Zia terasa hampir sesak napas karena kekagetan menderanya tiba-tiba. Tangannya refleks melingkar di punggung Edward. Terasa hangat dan dia sadar pasti ada apa-apa dengan lelaki ini. Padahal tadi saat meneleponnya, Edward terdengar baik-baik saja.

"Kak Ed ...?" bisik Zia hati-hati.

Tidak ada jawaban, namun cahaya dari ponsel Edward yang ada di bangku membuat fokus Zia terarah ke sana. Ada sebuah notifikasi email.

Jantung Zia terasa berhenti berdetak, nyeri, sakit, dan mungkin ... dunianya hampir runtuh.

Subject: Re: Gwen's Plane Incident Inquiry

Benar kata Gyna, Edward mencari tahu sejauh itu.

Gwen lagi. Gwen lagi. Apa ini saatnya Zia untuk menyudahi?

🧚🏻🧚🏻

fakta emang pedih, Zi🫠

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top