55. Are You Surprised?
Iyes tersurpris 🙂
🧚🏻🧚🏻
"Zi, mau pergi sama Edward?"
Zia yang baru sampai di dua anak tangga terbawah sedikit kaget dengar pertanyaan itu. Laras terlihat menghampirinya dengan senyum. Sampai di hadapan, wanita itu menepuk lembut bahu Zia.
"Cantiknya anak Mama," puji Laras. "Jadi pergi sama Edward?" ulangnya karena sang anak dari tadi masih diam.
"Iya, Ma." Zia membalas dengan senyum tipis. Dia udah tau Edward sempat ke sini kemarin, waktu Zia masih di Singapura. Katanya untuk memperjelas hubungan keduanya. Biar mereka nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi karena orang tua Zia udah tau. Tapi rasanya aneh aja saat Laras menanyakan hal ini. Zia masih malu. Dia emang nggak terbiasa cerita tentang lawan jenis ke orang tuanya.
"Zia beneran suka sama Edward ya?" Suara Laras terdengar santai, bahkan diselipi kekehan.
Benar kan, hal seperti ini membuat Zia malu. Dia hanya bisa menunduk dan mengikuti langkah mamanya ke ruang tamu.
"Dia baik kan sama kamu, Zi?"
"Baik, Ma."
"Kamu pernah nangis sampai nggak mau keluar kamar, itu lagi marahan sama Edward?"
Tebakan yang tepat sasaran. Zia memilin jemarinya dengan gelisah. Dia nggak mau Edward dicap nggak baik. Serius, waktu itu emang dia aja yang keterlaluan mikir enggak-enggak. Padahal kenyataannya Edward nggak kayak gitu.
"Bukan karena dia sebenernya," aku Zia dengan jujur. Dia memberanikan diri menatap mamanya yang sudah duduk di sofa ruang tamu. Akhirnya dengan langkah pelan, Zia ikut duduk di samping sang mama. Demi meyakinkan kalau Edward nggak seburuk itu sampai bikin Zia nangis parah. "Waktu itu aku aja yang salah paham."
"Jadi cuma salah paham kan?" Laras memberi senyum sembari membelai lembut puncak kepala putrinya.
"Iya, Ma." Zia mengangguk untuk meyakinkan. "Kak Ed itu orang baik. Baik banget," pujinya tanpa mengada-ngada.
Karena memang bagi Zia, Edward nggak ada celah untuk dicari keburukannya. Lelaki itu sangat bertanggung jawab, punya sikap yang gentle dan seringkali membuat Zia kagum pada semua perlakuannya.
Meski tidak ada manusia yang sempurna, tapi Edward baginya mendekati kesempurnaan yang diidam-idamkan semua kaum perempuan.
"Mama harap ini nggak akan pengaruh sama pendidikan kamu ya, Zi," pesan Laras. "Kamu harus tetap kejar cita-cita kamu. Jalan kamu masih panjang. Sementara ini, kamu berteman dekat aja sama Edward ya. Makan malam, nonton, atau keluar sesekali sama Edward nggak apa-apa, Mama izinin."
Ini persis seperti kata Edward kemarin saat menjelaskan ke Zia tentang pendapat orang tuanya. Teman dekat. Tapi dibolehkan sesekali pergi jika dibutuhkan. Artinya sudah jelas bahwa orang tuanya hanya ingin Zia fokus terlebih dulu ke pendidikannya, dan belum saatnya untuk ke arah yang serius. Meskipun tidak dipungkiri bahwa orang tuanya setuju jika orang terdekat Zia adalah Edward. Hanya saja, waktunya belum tepat.
Makanya kemarin Edward bilang, 'Mungkin Mama kamu kira aku langsung ajak kamu nikah, Zi. Tapi aku udah yakinin Tante sama Om kalo kita jalanin kayak teman dekat dulu aja.'.
"Ma, aku pasti tetap lanjut kuliah. Kak Edward juga support aku terus. Aku sama dia udah kayak kakak-adik. Kak Ed bisa arahin aku. Aku berteman baik sama dia. Makasih ya, Ma, udah nasihatin."
"Iya, Nak." Laras tersenyum, bersyukur karena anaknya mengerti apa yang diucapkannya sejak tadi. Sebagai orang tua, Laras punya kuasa untuk menasihati Zia agar tidak memikirkan hubungan serius dalam waktu dekat. Tapi dia juga paham bahwa umur anaknya bukan lagi remaja, yang pasti sudah bisa mengendalikan rasa cinta yang tumbuh. "Tau kan sebenarnya Mama hanya ... belum siap kalau kamu tiba-tiba minta nikah," kekehnya.
"Iya, Ma." Zia ikut terkekeh. Dia mengamati ekspresi Laras yang masih santai sedari tadi meski nasihatnya nancep di benak Zia. "Buat sekarang, aku sama Kak Ed ya cuma saling tukar pikiran aja. Kalo penat kadang jalan-jalan ke mana. Dia juga pernah bilang nggak akan halangin kemauan aku lanjut pendidikan. Nggak maksa suruh cepat nikah. Mama jangan khawatir ya."
Laras menatap wajah anaknya dengan intens. Nggak terasa Zia sudah 19 tahun tiga hari yang lalu. Saat sekeluarga menyambut kepulangan Zia dari Singapura dengan sebuah kejutan kecil, dilihatnya seorang Zia telah cukup dewasa malam itu. Walau tetap sampai kapan pun, Laras menganggap Zia adalah anak kecil.
"Mama bukan melarang misal kamu mau nikah di umur yang belia, tapi Mama memikirkan kesiapan kamu. Khawatirnya Mama, kamu tiba-tiba minta nikah cuma karena kamu lagi cinta-cintanya sama laki-laki, dan belum memikirkan kehidupan pernikahan seperti apa. Mama harap kamu lanjut pendidikan dulu, jalin relasi dan pengalaman dengan banyak orang. Kalau jodohnya, pasti dipermudah."
Baru kali ini Zia dinasihatin tentang laki-laki dan jodoh, rasanya dia pengin nangis aja. Selama ini mama dan papanya selalu memanjakan, nggak pernah sekalipun menyinggung tentang hubungan Zia dan lawan jenis karena bagi mereka, Zia masih kecil. Dan Zia sadar, ucapan mamanya tentang ini memang sangat benar.
"Makasih ya, Ma." Zia memeluk mamanya erat.
"Sama-sama, Sayang."
Pelukan mereka harus terlepas saat denting bel berbunyi. Tanpa perlu ditanya juga keduanya tau kalau itu Edward yang datang.
"Ma, Kak Edward disuruh masuk dulu apa gimana?" Zia agak bingung dengan situasi ini. Soalnya baru pertama kali.
"Edward udah izin kemarin, mau ajak kamu dinner. Langsung ke depan aja, Zi. Siapa tau dia udah reservasi tempat makan. Kasian kalau kelamaan."
"Iya, Ma. Aku nggak akan pulang malem-malem. Janji."
Mau tidak mau Laras terkekeh dengar anaknya berjanji padahal dia nggak minta. "Hati-hati, Zi."
*
"Tadi aku ngobrol sama Mama, terus katanya aku disuruh lanjut kuliah dulu. Bener kata Om, Mama belum siap kalo tiba-tiba aku diajak nikah dalam waktu dekat." Zia terkekeh. Mulutnya nggak berhenti bicara padahal Edward baru masuk mobil setelah membukakan pintu untuknya. Tangan Zia terulur menarik seatbelt dan memasangnya. "Terus aku jawab, kita itu saling support. Om selalu dukung pilihanku. Dan aku emang mau kuliah dulu. Iya kan, Om?"
Saat menoleh ke samping, Zia mengernyit karena Edward malah senyum-senyum sendiri. Lelaki yang berpakaian formal dengan setelan jas dan kemeja, serta dasi berwarna abu-abu yang senada dengan gaun Zia—mereka memang sudah berbagi info outfit sebelumnya—kini menatapnya dengan intens, dengan kepala yang bahkan sedikit dimiringkan. Ini orang kenapa?
"Om?" Zia berusaha menyadarkan tatapan Edward yang nggak teralih sedikit pun.
Edward bukan tidak menyadari panggilan itu. Tapi dia masih menikmati sesuatu yang memanjakan mata. Degup jantungnya mendadak tak beraturan. Sorot matanya mengamati tiap detail keindahan di wajah yang sedang balik menatapnya. Tiap gerak halus Zia saat berbicara tadi, juga senyum serta kekehan yang terdengar di telinga Edward menjadi momen yang tidak bisa tergambarkan. Entah kenapa Edward merasa kelu, tidak bisa berpikir jernih. Sorot matanya enggan beranjak dari Zia. Itu adalah reaksi tak terkendali dari kekaguman yang menguasai tiap detiknya saat bersama Zia.
Perlu beberapa waktu untuk akhirnya Edward berhasil menguasai diri. Dia maju untuk mengulurkan tangan, membelaikan ibu jarinya untuk menyentuh dagu Zia dengan lembut. Dia tersenyum, suaranya terdengar amat sangat jauh meski mereka bahkan berhadapan, saking terpukaunya Edward pada penampilan Zia dengan gaun abu-abunya malam ini. "You look absolutely stunning today, Zi," bisiknya dengan senyum samar.
Refleks Zia menegang. Bukan sekali dua kali dia dipuji Edward, tapi kenapa yang sekarang rasanya beda?
"Kamu cantik, gaunnya indah, it suits you perfectly."
Zia mengerjap demi menahan rasa panas di pipi. Dia tersenyum kecil sebagai bentuk terima kasih atas pujian Edward yang terdengar tulus. Tangannya yang gugup segera mencengkeram clutch di pangkuan.
"Thank you," cicit Zia saking malunya. "Om juga ... ganteng."
Edward makin mendekat untuk menarik dagu Zia dengan lembut agar menatapnya. "Oh ya? Tau dari mana aku ganteng? Orang kamu aja hadap bawah dari tadi."
Zia meringis. Dia menelan ludahnya setengah gugup. Ditatapnya balik lelaki di hadapannya ini. Emang ganteng kok. Sambil merem juga dia bisa bilang kalo Edward ganteng!
"Aku suka aksesoris yang kamu pakai. Anting ini." Tangan Edward menyentuh lembut di daun telinga Zia, di mana ada anting mungil yang berbeda dari biasa Zia pakai. "Jepit rambutnya juga." Lalu ke jepit rambut kristal yang memberi efek kilau sederhana di atas tatanan rambut. Dari mana Zia belajar tentang semua ini? Lebih tepatnya, Edward nggak nyangka seumur Zia sudah begitu pandai memilih pakaian yang cocok dan tepat di tubuhnya. Karena dulu seingat Edward, di umur 19, belum banyak perempuan yang bisa mengatur gaya berpakaian sendiri. Tapi Zia ... perfect. Gadis itu selalu mampu memukau mata Edward.
"Thank you, Om." Zia bersuara lagi. Kali ini memberanikan diri menatap kedua mata Edward.
Lelaki itu balas tersenyum. Malam ini kayaknya Edward sangat banyak senyum. Tubuhnya makin mendekat untuk menyentuhkan ujung hidungnya ke pipi Zia, menghirup lembut aroma yang menguar dari gadis itu, sebelum menanamkan satu kecupan ringan di sana.
"My pleasure, Baby," bisik Edward, lalu menarik diri.
Keduanya kembali ke posisi masing-masing. Edward masih mempertahankan lengkungan di bibir. Dia juga nggak melepas dekapan tangan mereka. Biarlah, nyetir sambil pegangan masih bisa dikendalikan.
"Nggak susah nyetirnya kayak gini?" Zia bertanya karena takut Edward kesusahan.
"Nggak." Edward memutar setir dengan satu tangan. Matanya melirik spion untuk memastikan kondisi aman untuk putar balik di depan rumah Zia. Setelahnya, mobil melaju pelan-pelan. "Nggak susah, Zi."
"Tapi bahaya loh." Zia masih berusaha melepas. Tapi Edward justru mengeratkan genggaman dan membawa ke arah bibir untuk dikecup. Sepengalaman Zia sama Edward, kayaknya itu laki emang hobi banget cium-cium apa aja.
"Bahaya itu kalo kamu pegang persneling."
Zia mengernyit. Jauh deh kayaknya persneling sama tangan yang ada di atas pangkuan Edward. Ngaco ini Edward. "Persnelingnya di mana, tanganku di mana. Jauh, Om."
"Siapa bilang persneling yang itu?" Edward protes sambil melirik persneling beneran.
"Terus?"
"Persneling yang lain." Edward mengedip ke arah Zia.
Perlu beberapa detik sampai Zia sadar dan dia membelalak. Refleks dia menghentakkan tangan yang ada di genggaman Edward.
"Tuh, bahaya. Dikit lagi nyenggol persneling, Zi. Udah dibilangin juga," decak Edward dan mengunci lagi tangan Zia erat-erat. Masa Zia hampir nyentuh aset paling berharga yang sudah libur tahunan. Kayaknya kinerja persneling lebih gahar nanti kalo sama Zia. Liat aja.
"Lagian Om jorok terus ngomongnya."
Edward hanya terkekeh. Sekali lagi dia mengecup punggung tangan Zia sebelum kembali diletakkan di pangkuan.
"Sepi banget, aku boleh play music, Om?"
"Boleh, Zi. Isi playlist-nya pake lagu kesukaan kamu semua aja. Ke depannya kita mau sering pake mobil yang ini."
Zia masih menyentuh-nyentuh layar head unit untuk memilih lagu, sambil menjawab. "Nggak ganti-ganti lagi loh, Om. Kadang kalo Om jemput, aku harus nyari mobilnya yang mana."
"Enggak. Lagian sekarang kamu nggak perlu nyari-nyari mobilku, kan udah aku jemput sampe depan rumah."
Zia menatap Edward dan tersenyum. "Iya juga."
Ingin rasanya Edward mengacak-acak rambut Zia tapi sayang, udah rapi banget. "Zi ...."
"Iya?" Zia baru selesai memilih lagu dan seketika mobil diisi suara dari musik ballad. Biasa kesukaannya Zia, yang galau-galau.
"Tadi siang aku ketemu Gyna."
Zia tersentak. Dia menunggu Edward untuk melanjutkan ucapan itu.
"Nggak sengaja ketemu. Aku udah janji sama kamu, nggak akan nemuin dia dengan sengaja tanpa kepentingan. Kebetulan aku ada offsite meeting di conference hall hotel. Dia ada di sana," jelas Edward panjang lebar sebelum Zia sempat mengira yang tidak-tidak.
"Ketemu aja atau ngobrol, Om?" Walaupun susah karena Zia kebiasaan memendam sendirian tentang apa yang ingin ditanyakan, tapi mulai sekarang dia harus terbiasa. Karena dia pikir, Edward mencintainya. Jadi pasti nggak keberatan kalau Zia menunjukkan cemburu kan?
"Say hi aja, kebetulan papasan." Edward mengusap punggung tangan Zia dengan lembut. "Terus dia ternyata tau aku nyusulin kamu ke Singapura."
Perasaan Zia jadi nggak enak. Bukan tentang cemburu kalau ini. Tapi ... aneh aja perilaku Gyna itu.
"Kita say hi, lalu dia tanya 'udah pulang?'. Ya, aku tau dia kelepasan tanya." Edward mendengkus lirih. "Dia jadi lanjutin bilang katanya juga dari Singapura nemuin temennya."
"Mungkin emang pas bareng aja ke sananya, Om." Zia coba berpikiran positif.
"Apa pun itu, hati-hati ya, Zi," pesan Edward. "Nggak semua orang yang kelihatan baik itu beneran baik." Edward sudah terbiasa menghadapi beberapa karakter seseorang, termasuk klien yang baru pertama kali bertemu. Sayangnya dia baru membuka mata bahwa Gyna punya sesuatu yang bisa menyerang hubungannya dan Zia. Selama ini Edward terlalu tutup mata. Sekarang akan lebih berhati-hati.
"Iya, aku nggak akan deket-deket sama Kak Gyna." Zia mengangguk dengan patuh. Dia nggak mau hubungannya dan Edward yang sudah sebaik ini harus dihancurkan karena keegoisan salah satunya. Apa pun itu alasan Edward melarang, udah pasti yang terbaik. Karena di antara dia atau Edward, yang paling tau tentang Gyna sudah pasti lelaki itu.
"Nggak marah kan?" tanya Edward dengan serius. Dia super hati-hati kalau mau bicara sama Zia. Karena Zia mudah berprasangka, gampang kepikiran, dan perasa. Takutnya ada sesuatu yang menyakiti gadis itu tapi nggak bilang.
"Enggak, Om. Aku nggak marah." Zia tersenyum. "Aku paham alasannya. Aku juga ngerasa aneh sama Kak Gyna kok." Dimulai dari Gyna menjelaskan tentang Gwen yang harusnya nggak perlu. Itu membuat Zia berpikir bahwa memang ada niat apa-apa.
"Nanti aku cari tau dulu maunya dia apa."
"Karena masih suka sama Om, mungkin?" tebak Zia.
Edward tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Kalaupun benar karena Gyna masih mengharapkannya, Edward nggak mau mengakui di depan Zia. Karena dia tau nanti pasti Zia akan merasa nggak nyaman. "Mungkin lebih dari permasalahan suka, Zi. Atau dia punya dendam sama aku ya?" candanya.
Dan Zia terkekeh kecil sebagai jawaban. "Siapa juga yang mau dendamin Om. Nggak ada celah buat dibenci orang kok."
"Your teasing's top-notch, Baby. Siapa yang ngajarin?"
"Pake nanya."
Edward tertawa. Mereka terus melempar kalimat demi kalimat. Terkadang raut serius Edward bisa terpaku beberapa detik pada wajah Zia, menikmati momen interaksi mereka yang luar biasa.
Dia sadar dan sangat paham, bahwa perasaan yang seringkali membuat detak jantungnya tidak terkendali ini, bukan hanya cinta. Lebih dari itu. Ternyata Edward telah jauh lebih dalam menyayangi Zia.
***
Mereka memasuki sebuah ruangan yang penuh kehangatan. Meja makan dengan kain putih terhampar mulus, terhias dengan gelas kristal dan alat makan cantik. Cahaya lilin yang gemerlap ada di atas meja, dengan lampu gantung yang menyorot hangat, memancarkan pemandangan indah gemerlap kota dari jendela-jendela besar.
Aroma harum bunga-bunga segar terhirup oleh Zia, dan dia tersenyum karenanya. Wangi yang warm, sangat tepat dengan suasana redup restoran fine dining itu. Dia membiarkan pinggangnya direngkuh Edward dengan sangat lembut, dihela agar mereka berjalan menuju salah satu meja yang sudah disiapkan.
Tidak butuh waktu lama untuk para pelayan mengantarkan makanan ke meja mereka. Zia merasakan tangan Edward tidak melepas rengkuhan sedari tadi—mungkin hanya dilakukan ketika menarik kursi untuk Zia—setelahnya, lagi-lagi Edward seolah tidak mau jauh-jauh dari gadis itu.
Zia sempat menoleh ke Edward, yang anehnya tetap tidak mengalihkan pandangan. Senyum lembut terus Edward sematkan di bibir, membuat Zia bertanya-tanya kenapa malam ini lelaki itu terlihat berbeda. Sorot matanya yang teduh, caranya tersenyum, semua hal terasa lebih intim.
Di tengah suasana restoran yang tenang dan lampu yang redup, keindahan Edward di sampingnya makin membuat degup jantung Zia berlarian tidak karuan. Dia gugup, tapi rasanya terlalu memalukan kalau dia menyangkal sorot mata Edward yang sehangat itu. Juga perasaan dicintai, dihargai, tiba-tiba saja menembus kesadaran Zia. Bahwa memang Edward memang benar mencintainya, dia merasakan itu.
Jadi Zia nggak akan lagi menyangkal dengan sikap malu-malu. Dia balas menatap Edward. Tangannya terangkat untuk menyentuh rahang Edward dengan pelan. "Thank you udah ajak aku ke sini. Indah banget," bisiknya, suaranya beradu dengan alunan musik lirih dari kejauhan.
"Sama-sama." Edward menangkup tangan Zia dan mengecup telapak tangan sebelum digenggam. "Mau langsung makan?" Suaranya masih terdengar halus dan lirih.
Sampai-sampai ... Zia nggak bisa bayangkan apakah selain Edward, ada laki-laki yang bisa memperlakukannya sehangat ini? Sepertinya tidak. Dan sampai kapan pun Zia nggak siap jika kehilangan Edward di hidupnya.
"Kayaknya ada yang mau Om bicarain ya?" tebak Zia dengan hati-hati. Dia cukup mengenali gerak-gerik Edward.
"Kok kamu tau?" Edward terkekeh. Dia membelai punggung tangan Zia dan menatapnya dalam. "Aku mau berterima kasih sama kamu."
"Yang cuma karena pepes ikan dulu itu?" Lagi-lagi Zia menebak.
"Kamu tau, Zi," bisik Edward. Sorot matanya menembus waktu, menghadirkan kembali momen-momen yang hampir terlupakan. "Itu bukan cuma."
Edward menghadap depan, menatap Berry Breeze di atas meja. Mengingat hari-hari gelap yang pernah melandanya. Dia mengingat bagaimana Zia, secara tidak sadar, sudah menjadi penyelamat dalam pertarungannya melawan eating disorder. Hal yang hampir menggerogoti hidup dan mengancam nyawanya.
"Jangan pernah bilang cuma. Kamu salah satu orang yang kasih dampak besar waktu aku lewatin eating disorder, walaupun kamu pikir cuma tindakan kecil."
Giliran Zia terdiam. Eating disorder? Astaga, dia pikir dulu Edward hanya enggan makan seperti biasa. Tapi ternyata ... lebih kompleks dari itu. Dia nggak tau bahwa tindakan kecil yang cuma kasih satu potong lauk ke atas piring Edward, sudah menjadi titik balik hidup lelaki itu. Kalau diingat ke belakang, sepertinya Edward benar, lelaki itu mengalami gangguan makan yang sangat parah dulu. Sampai menggerogoti tubuhnya sendiri, karena tidak ada nutrisi yang bisa masuk.
"Om kenapa ... dulu nggak rawat inap? Seingetku dulu sempat di rumah sakit kan?"
Edward tersenyum. "Siapa yang betah lama-lama di sana, Zi?" Dulu, tiap rasa lapar melanda, baginya adalah musuh terbesar. Setitik nasi saja di atas piring sudah membuatnya ketakutan. Rasa nyeri tiap memuntahkan semua isi lambung membuatnya enggan untuk menyantap apa pun.
Orang bilang, semua hanya tentang sugesti. Tapi Edward telah menjalani perawatan intensif yang cukup panjang dan membosankan. Nyatanya ... itu tidak juga berhasil membuat keinginan untuk makan naik.
"Aku ... nggak tau gimana waktu itu Om bisa doyan banget sama pepes ikan." Zia mengulang masa-masa dulu. "Aku pikir Om cuma laper aja, ternyata ... udah berbulan-bulan eating disorder."
"Aku juga nggak tau kenapa pepes ikan yang baru kamu buka dari daun pisang waktu itu keliatan enak banget." Edward tertawa ringan. Dia hampir nggak pernah makan pepes ikan sebelum itu. Tapi entah kenapa saat tangan kecil Zia membuka bungkus itu dari daun pisang, bau yang menguar baginya sangat menggugah. Dia nggak nyangka dari itulah hidupnya mulai bisa ditata kembali.
"Sekarang aku paham ... Om." Zia mengangguk sebagai bentuk konfirmasi kalau dia paham kenapa Edward terus mengulang-ulang bahwa Zia berarti di hidupnya.
"Aku harap setelah ini kamu nggak pernah anggap pertemuan kita baru sebentar dan perasaanku ke kamu nggak mungkin lebih besar daripada sebelum-sebelumnya. Salah, Zi. Kamu harus percaya kalo kamu punya tempat sendiri buat aku. You mean the world to me, and I love you so much."
Apa Zia boleh banting bumi sekarang? Dia lemah tiap kali Edward mengatakan cinta. Dan baru kali ini dia sebagai pihak yang menjawab dengan, "I love you too."
"Sekarang kita makan dulu, Sayang." Edward menatap hidangan. Ada pembuka irisan carpaccio daging sapi dengan taburan permesan yang melimpah dan minyak zaitun. Fillet Mignon ada di sisi yang lebih jauh dari jangkauan Edward sebagai hidangan utama nanti. Juga ada sepiring tiramisu. Edward tidak cukup berpikir banyak tentang ini karena tau Zia tidak ada alergi dengan suatu makanan—kecuali yang mengandung alkohol.
"Kak, kita belum sempet foto yang bagus waktu itu." Zia menatap sekitar. "Di resto ini dibolehin foto nggak? Biasanya ada yang nggak boleh."
"Boleh, Zi. Asal di tempat duduk sini aja fotonya. Mau aku panggilin karyawan?"
Zia mengangguk sembari mengeluarkan ponsel dari clutch. Dia mengamati Edward yang sedang melihat sekitar untuk menunggu momen saat ada karyawan di dekat meja mereka.
Mengotak-atik ponsel, Zia mengernyit saat mendapat sebuah pesan dari nomor yang asing dan tidak ada dalam kontak ponselnya.
Tapi saat melihat sederet kalimat itu, Zia tersentak.
Hi Zi. I'm Gyna.
Disusul pesan masuk lagi saat itu juga.
Dinner yang romantis ya?
Refleks Zia menoleh ke sekitar. Apa Gyna ada di sekitarnya saat ini? Entah kenapa dia merasa cemas dan kebingungan.
"Sebentar ya, Zi. Itu ada waiter," gumam Edward. "Excuse me," panggilnya pelan ke arah pelayan.
Sedangkan Zia yang ada di samping Edward masih juga terkejut dan tak begitu menghiraukan Edward yang masih berbicara dengan pelayan. Matanya terfokus pada isi pesan untuk menafsirkan baik-baik. Apa Gyna ada di sini? Atau hanya tau bahwa dia sedang dinner dengan Edward?
Kemarin kita ketemu di Singapura. Kamu nggak mau tau aku nemuin siapa di sana?
Pesan masuk lagi, yang kali ini membuat Zia makin bertanya-tanya. Apa maksud Gyna bertanya seperti itu? Padahal siapa pun yang Gyna temui, tak ada hubungan dengan Zia sama sekali. Dan dia nggak peduli.
Baru juga Zia menutup aplikasi pesan, sebuah notifikasi muncul di layar atas. Dua pesan berurutan sangat cepat sampai-sampai Zia gagal mencerna.
Yap.
Gwen.
Zia mematung. Pandangan matanya tetap terarah ke layar notifikasi dengan tatap kosong. Setiap helaan napasnya terasa berat, seakan-akan ada beban rahasia yang tak terucap menghimpit dadanya.
"Zia ...."
Panggilan itu membuat ponsel Zia terjatuh ke pangkuan. Dia seperti baru tersadar dan kerjapan matanya jadi tanda kalau dia berusaha keras memahami situasi saat ini.
"Hp kamu."
Dengan tangan gemetar, Zia meraih kembali ponsel di pangkuan. Seolah Gyna tidak cukup membuatnya terkena serangan kepanikan yang beruntun, perempuan itu tetap saja mengiriminya pesan.
Are you surprised?
🧚🏻🧚🏻
Sinetron apaan ini🥲
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top