54. Di Parkiran

Halooooooooo ....
Happy reading

🧚🏻🧚🏻

" ..., mau?"

"Bercanda terus sih, Om." Zia tidak menanggapi tawaran Edward. Dia membenarkan letak duduknya dan menatap depan.

Padahal kan Edward nggak bercanda. Kalau Zia mau duduk di pangkuannya, dengan senang hati Edward menerima. Kalau nolak ya udah dia nggak akan maksa. "Mau nanya apa tadi, Zi?"

"Oh iya, itu." Zia jadi ingat sesuatu. Dia menghadap kanan sambil menyender di jok mobil. Matanya menangkap side profile seorang Edward yang tidak pernah berhenti memikat hatinya. Apa Zia salah kalau dia kadang cemburu sama orang-orang yang bisa menikmati keindahan Edward seperti ini? Padahal Edward nggak melakukan apa pun untuk membuat semua orang kagum. Tapi dia tau akan sangat kekanakan kalau mencemburui hal nggak mendasar. Apalagi Edward nggak dengan sengaja mencari perhatian ke banyak wanita. Emang dasarnya aja Edward udah ganteng, wangi, penuh karisma. Nggak bisa nyalahin Edward juga sih. Zia aja yang berlebihan.

"Zi?"

Zia meringis karena sadar dari tadi cuma diam memikirkan hal yang nggak-nggak. "Om ... beneran yang ngasih jam tangan sama temen-temen dan guru-guruku?"

Edward mengangguk. Dia mengulurkan tangan untuk memberi usapan ringan di puncak kepala Zia. "Kenapa? Ada yang belum kebagian?"

Zia berdecak. "Kelebihan tau. Kemahalan. Om kan bisa ngasih makanan aja. Apa kek, yang bisa dimakan bareng-bareng. Jam tangan branded itu bikin aku nggak enak sama Om Ed."

Edward tersenyum. Dia meraih tangan Zia untuk digenggam. "Dienakin aja kalo sama aku."

"Kok jadi pake aku. Saya-nya mana?"

"Ya udah, saya." Edward nurut aja. Kalau Zia nggak suka dengan perubahan panggilan ini, dia bisa apa? Nggak mau dia meributkan hal sepele. "Maaf kalau menurut kamu cara saya salah. Waktu itu saya inget kebetulan ada teman yang pegang salah satu brand jam tangan di sana. Jadi saya pikir lebih gampang dapat barang itu daripada harus cari makanan atau lainnya."

"Tapi ratusan biji loh itu, Om. Nggak rugi emangnya?"

"Nggak ada yang rugi selama apa yang saya keluarin itu buat kamu." Edward tersenyum saat lihat ekspresi Zia yang kaget. "Lagian itu bentuk permintaan maaf saya ke mereka. Guru-guru kamu sama teman-teman kamu panik semua katanya gara-gara saya. Mereka berhak dapat itu karena udah peduli ke kamu, saya berterima kasih ke mereka."

Giliran Zia yang terdiam. Jadi, Edward melakukan ini juga untuk berterima kasih karena Zia dipedulikan. Bukan semata-mata karena mereka adalah teman-teman Zia.

"Apa itu alasan kamu nggak balas chat saya seharian kemarin, Zi? Kamu marah karena saya kasih gift sebanyak itu ke mereka?"

Zia tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Dia hanya menatap Edward dengan sendu karena memang benar tebakan Edward. Zia sempat kesal. Takut ngerepotin Edward. Kalau jam tangan biasa sih Zia nggak masalah. Ini ... dia benar-benar kaget waktu temannya bilang dikasih sama omnya Zia. Oleh-oleh katanya. Mungkin bagi Edward sepele, tapi untuk teman-teman Zia yang tersebar dari banyak kalangan, itu jelas sesuatu yang mewah.

"Maaf udah cuekin chat-nya Om."

"No. It's okay, Zi." Edward menarik tubuh Zia agar mendekat. Merasa kalau dia punya kesempatan untuk itu, jadi tanpa aba-aba diangkatnya tubuh Zia agar berpindah ke pangkuannya. Respons Zia yang ikut mengangkat kaki agar memudahkan duduk, membuat Edward yakin kalau sebenernya gadis itu juga mau.

"Dih, ujung-ujungnya modus." Zia mencibir sembari menepuk pelan pipi Edward dengan kedua tangan.

"Kamu juga mau kan? Ngaku," tuduh Edward.

"Fitnah." Walaupun menjawab dengan penyangkalan, tapi Zia tetap menyamankan duduk di pangkuan Edward. Dibantu lelaki itu yang memundurkan jok mobil yang diduduki serta merebahkan sedikit. Makin nyamanlah Zia duduk.

"Sekali aja nggak usah gengsi ngakuin, nggak bisa ya, Zi?"

"Apaan. Kan aku lebih sering ungkapin ke Om. Om mah telat."

Edward terdiam untuk berpikir. Ungkapin perasaan maksudnya ya? "Waktu kamu mabuk pernah bilang cinta sama saya. Kamu sadar nggak?" Ini hal yang sudah lama Edward pendam untuk ditanyakan. Dan sekarang saat yang tepat.

"Sadar kok." Zia mengaku akhirnya. Untuk mengusir salah tingkah akibat pengakuan ini, tangan Zia terpaksa bermain-main di dada Edward yang terbuka. "Waktu itu aku emang mabuk, tapi agak sadar dikit. Aku juga inget gimana Om bantu aku duduk, minum, siapin air buat mandi, semuanya. Aku ... aku ... terlalu terbawa suasana, jadinya confess sekalian."

Edward segera menarik tubuh Zia lebih dekat. Dia meremas lembut pinggang gadis itu. "Makasih udah jujur."

Zia mengangguk sebagai jawaban. Dia masih menunduk dan baru sadar penuh apa yang kedua tangannya lakukan. "Ih, berbuluuuuu."

Edward terkekeh. "Kalau nggak suka, saya bisa waxing, Sayang."

"Nggak usah deh, Om." Zia meringis. Lagian rambut halus di dada Edward nggak lebat. Tipis, lembut. Enak aja buat diusap-usap. Eh.

"Saya tau kamu suka. Makanya malam itu kamu pegang terus di situ."

"Mulai!" Kesal Zia. Yang awalnya mengusap dada Edward, kini menepuknya lumayan keras.

"Atau lebih suka perut? Seinget saya kamu juga lama-lama di sana."

"Om! Aku turun aja lah!"

"Eits." Edward buru-buru mengeratkan pelukan, membuat tubuh Zia sepenuhnya tersandar padanya. Dia mendongak dan mendapati wajah Zia yang memerah. "Kamu nggak pernah saya izinin pergi dari saya, Zi."

"Posesif."

"Emang." Edward tersenyum. "Cewek cantik harus diposesifin."

"Emang aku cantik?"

Edward mendengus kesal. "Kamu nggak sadar kamu cantik? Tiap liat cermin kamu nggak lihat diri kamu cantik?"

Lagi-lagi Zia nggak menjawab. Dia menikmati tiap sentuhan Edward di wajahnya. Seperti biasa, seulas senyum cemerlang yang lelaki itu beri padanya telah mampu meluluhlantakkan hati Zia.

"Jangan pernah ngerasa diri kamu nggak cantik, Zi. Berapa kali dan harus dengan apa lagi biar kamu percaya, kalau kamu itu perfect buat saya?"

Zia menggigit bibir bawahnya dengan malu. Kalau kayak gini sih, dia nggak perlu kata apa pun lagi. Hatinya berbunga karena tau bahwa cintanya bersambut. Jadi tiap kalimat yang Edward lontarkan nggak akan Zia tolak di pikiran, dengan dalih Edward cuma mau menyenangkan hatinya aja.

Nggak kali ini. Zia yakin Edward emang udah cinta. Titik. Jadi Zia tanpa malu-malu langsung peluk Edward. Kencang banget saking senangnya dengan kenyataan ini. Sejak Edward mengonfirmasi bahwa lelaki itu juga mencintai Zia, rasanya hidup Zia lebih tenang. Nggak ada pikiran aneh-aneh yang tiba-tiba tercetus. Semua clear hanya dengan kalimat I Love You yang Edward lontarkan malam itu.

"Badan Om kok agak hangat ya?"

"Oh ya? Mungkin perasaan kamu aja." Edward hanya menganggap lalu. Jangan sampai Zia tau dia sempat drop sepulang dari Singapura.

"Mungkin Om kecapekan abis ada kerjaan di Singapura kemarin ya?"

Edward mengernyit bingung. "Kerjaan? Kapan saya ada kerjaan ke Singapura?"

Zia melepas pelukan. Dia ikut menatap Edward dengan bingung. "Loh, kemarin waktu nyusulin aku itu bukan karena ada pekerjaan di sana?"

"Astaga. Zia, Baby ...," keluh Edward. Dia sampai menjatuhkan kepala ke sandaran jok. Saking lemasnya dengar perkiraan Zia tentang itu. "Saya nggak ada kerjaan apa pun di sana. Especially for you. Saya dateng emang buat nemuin kamu."

Zia mengerjap kaget. Serius? Maksudnya ... dia kira Edward ada kerjaan dan sekalian aja surprise-in Zia. Jadi emang ke sana sengaja?

"Saya masih nggak paham sama jalan pikiran kamu," decak Edward dengan gemas.

"Maaf, Om," sesal Zia. Dia nggak kepikiran sama sekali kalau Edward beneran murni nyusulin. Dia juga sadar betapa jahat pikirannya itu.

"Iya. Saya minta maaf juga." Edward memberi kecupan ringan di pipi Zia. Kasian juga lihat ekspresi si bocah.

"Berarti Om ke sana emang udah sewa kamar VVIP yang sekalian balkon itu?"

Edward mengangguk.

"Kenapa Om Ed bisa bikin pegawai di sana diem aja? Terus juga ada yang nganter aku sampai balkon."

Kali ini Edward terkekeh. Dia merangkum wajah Zia. Sadar kalau gadis itu selalu penuh rasa penasaran. "Itu hotel punya papanya Salsa makanya saya bisa nge-lobby."

"Oh?" Zia kaget lagi. Tapi saat ingat siapa keluarga Edward, ya harusnya dia nggak heran. "Nggak main-main ya circle-nya orang-orang kaya. Keren. Makanya dulu aku sempet maju mundur waktu suka sama Om. Takutnya Om udah punya tipe sendiri, atau bisa jadi dijodohin yang sama-sama kalangan atas gitu. Contohnya Kak Albert sama Kak Salsa ini."

"Ck. Kamu ini kebiasaan nyimpulin sendiri. Keluarga saya nggak pernah lihat dari itu, Zi," jelas Edward. "Kalau kamu tau, dulu hidup Salsa malah jauh dari kata berkecukupan. Mereka pacaran dari SMA. Dan keluarga saya nggak pernah permasalahkan status sosial seperti itu."

"Dari SMA?"

Edward mengangguk. "Kebetulan dulu Albert maunya masuk SMA umum, bukan lanjutin di sekolah yayasan. Mungkin itu cara dia ketemu jodohnya. Dan hotel yang di Singapura itu maksudnya punya papa sambungnya Salsa. Bukan Papa kandung. Itu pun setelah Albert sama Salsa pacaran. Jadi kalau kamu berpikir kalau keluarga saya selalu lihat dari status sosial, enggak, Zi. Apalagi saya tau kamu sempat berpikir kalau tipe saya harus dan selalu kaya raya, nggak boleh manja, dewasa, kamu salah."

"Kok ... Om tau?" Zia lebih kaget kenapa Edward bisa menebak pikirannya yang sempat insecure. Apalagi saat dulu tau keluarga Gwen, rasa-rasanya Zia merasa bukan jadi orang yang tepat untuk Edward dalam hal apa pun.

"Saya berusaha seumur hidup buat bisa baca pikiran kamu," jawab Edward sambil bercanda. Yang segera dihadiahi pukulan ringan di bahunya. "Udah ya, Zi, Baby. Jangan mikirin yang aneh-aneh. Itu cuma bikin kamu nggak nyaman. Semua hal harus kamu tanyain ke saya, oke?"

Edward nggak akan lupa bilang kalau Zia wajib bertanya padanya tentang apa pun yang didengar, atau sekadar yang terpikir di benak gadis itu. Dia nggak mau Zia menerka sendirian, dan sakit sendirian juga.

"Clear?" tanya Edward.

"Iya, Om." Zia menunduk. Dia sadar telah banyak asumsi yang menyakiti mereka berdua. Baik dia maupun Edward sama-sama dirugikan akibat Zia yang menyimpan apa pun sendirian. Setelah malam itu, Zia jadi makin yakin untuk selalu jujur pada Edward. "Om."

"Iya, Sayang?" Edward mendekat untuk kembali memeluk Zia erat.

"Aku ... kangen."

Edward senang dengar itu dari mulut Zia. Gadis ini perlu dirayu dengan banyak sekali kalimat sampai-sampai untuk mengaku kangen aja butuh waktu selama ini. "Saya juga."

"Ehm, kayaknya mending pake aku deh, Om."

"Kok jadi berubah?" Edward tersenyum. Dia menikmati ekspresi Zia yang malu-malu sembari mengusap rahangnya. Mungkin Zia nggak sadar tangan lembut itu sedang membelai wajah Edward.

"Suka aja. Nggak formal banget. Kerasa lebih ... deket."

"Oke, ada request lain lagi?"

Zia menggeleng. "Om kenapa mau-mau aja disuruh sama aku yang plinplan gini?"

"Bukan plinplan. Tadi kamu cuma masih malu aja." Edward menyandarkan pipinya pada sentuhan telapak tangan Zia. Dia memejam. "I just hope I can make you happy, the way that you want, Zi."

"You did."

Mau tidak mau Edward membuka mata merasakan deru napas Zia begitu dekat. Apalagi gadis itu berbisik tepat di depan bibirnya. Tidak mau menunggu lama, Edward meraih belakang kepala Zia dan menariknya lembut, agar bibir mereka bersentuhan. Hal yang segera melecutkan sensasi gairah dan desir panas di tubuh keduanya.

Jemari Edward menelusuri tekstur rambut Zia yang halus, sebelum menarik jepitan rambut yang mengikat helainya. Dia suka keindahan rambut Zia saat tergerai. Zia cantik dalam keadaan apa pun, tapi jauh lebih memesona dengan rambut sebahunya yang digerai.

Edward memiringkan kepala demi ciuman yang lebih dalam. Mereka berpagutan pelan namun intens. Tangannya mencengkeram lembut rahang Zia agar tidak menjauh dari jangkauannya.

Zia mengerang, pening dengan ciuman Edward, meleleh dan mendamba. Lidah Edward yang meluncur masuk dan menyentuh lidahnya membuat indera di tubuh Zia serasa meledak. Dia menjauh untuk beberapa detik, tidak kuat dengan ciuman sekaligus sentuhan tangan Edward yang lihai di bagian tubuhnya.

Saat Zia akan mendekat untuk memulai ciuman baru, dia tertegun mendapati raut Edward yang terpancar sempurna; alis hitam tebal yang menaungi tatap sendu penuh rasa ingin. Zia jelas tau apa artinya.

Zia mendekat, bukan untuk saling berpagutan bibir lagi bersama Edward, tapi untuk mengecup rahang kokoh lelaki itu lalu semakin turun ke arah leher. Reaksi tegang dari Edward bisa Zia rasa dari caranya mengeratkan pelukan.

"Zi," geram Edward dengan suara parau. Ingin sekali dia memberi akses lebih jauh agar bibir lembut gadis itu menciumi sepanjang lehernya yang mendamba. Tapi dia paham betul jika sudah sampai sana, maka Edward tidak akan bisa berhenti. "Stop it, Zi," pintanya dengan erangan frustrasi.

"Kak Ed sering kayak gini, kenapa aku nggak boleh?" Zia menyesap lekuk leher Edward. Saat dirasanya Edward mendesah, Zia makin ingin jauh.

"Baby ... stop. Atau aku—"

"Apa?"

Suara menantang dari Zia mampu melecutkan gairah Edward setinggi-tingginya. Dia lantas meraih wajah Zia untuk memulai ciuman bibir. Kali ini lebih keras dan penuh tekanan daripada sebelumnya. Tangannya tidak tinggal diam. Dia menyentuh gundukan di dada Zia untuk meremas beberapa kali, tanpa henti. Membuat tubuh di pangkuannya bergerak gelisah. Dan Edward tau sebentar lagi gadis itu akan tunduk dalam kekuasaannya.

"Perlu aku lepas kaus kamu sampai bra-nya sekalian?" tantang Edward di tengah ciuman mereka. Tubuh Zia yang melengkung ke arahnya menandakan kalau Edward telah berhasil membuat Zia sempat hilang akal.

"E-enggak, Om!" Suara Zia lebih mirip pekikan. Dia ingin menolak, tapi sensasi sentuhan tangan Edward yang ahli masih sedikit memengaruhi kewarasannya.

"Ya udah, kalau aku bilang stop artinya kamu stop. Paham?" Edward menatap Zia dengan intens. "Kalau lanjut, kamu yang harus tanggung jawab nuntasin."

"Nuntasin?" ulang Zia seperti kaset rusak.

"Iya. Kamu harus pegangin herkules biar nggak terbang."

Hanya butuh beberapa detik untuk Zia akhirnya membelalak. Dengar kata 'herkules' membuatnya memukul bahu Edward lumayan keras.

"Mau emangnya, Zi?"

Merasa kalau Edward sedang mengerjainya, Zia diam beberapa saat. Dia harus balik ngerjain. Apalagi kayaknya Edward beneran hampir out of control. "Aku ... mau, Om."

"What?"

Benar saja, Zia merasakan tubuh Edward menegang lagi. "Iya, mau. Bang Ogi aja udah kayak gitu sama Kak Key. Aku juga mau lah sama Kak Ed."

"Astaga, Zi." Edward langsung lemas. Tau banget kalau itu jenis cibiran untuk Edward. "Kamu ini kalo nggak sama aku, udah habis diterkam yang lain. Jadi jangan pernah mancing-mancing."

"Dih, aku kalo sama yang lain nggak mungkin kayak gini lah."

"Maksudnya yang lain?" Edward curiga.

"Eh, maksudku selain Om Ed."

"Nggak. Yang lain yang ada di bayangan kamu siapa?"

"Om, nggak ada yang lain. Maksud aku ... kalo sama yang lain, aku nggak berani. Tapi karena sama Om Ed, aku percaya Om nggak akan kayak gitu."

"Ck. Kamu bikin aku cemburu aja."

"Lagian yang nyebut yang lain duluan kan Om. Kenapa jadi aku yang disalahin?"

"Hm. Mau makan dulu atau langsung pulang, Sayang?"

"Kok tiba-tiba nawarin itu?"

"Mau ditawarin apa? Nginep sama aku terus kita lanjutin yang di Singapura?"

"Nggak."

Edward terkekeh. "Aku nyalain mobil dulu ya. Kita langsung pulang aja. Kamu udah ditungguin Om sama Tante."

"Aku pindah dulu."

"Kirain mau di sini aja duduknya."

"Emang Om bisa sambil nyetir?"

"Bisa." Edward memajukan jok dan menegakkan tubuh. Jadilah tubuh Zia sekarang lebih rendah dan dia bisa melihat depan dengan jelas.

"Nggak mau ah, Om. Bahaya."

"I can handle it."

"Udah pernah sama cewek lain ya sampai seyakin itu bisa?"

Edward mengernyit. Dia menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu balik duduk di situ aja, Zi."

Zia terkekeh. Dia memeluk Edward dengan erat. "Bercanda doang, Om Kak."

Edward tidak menjawab lagi. Dia membiarkan Zia memeluknya, sembari dirinya menyetir keluar dari area parkir. Baru juga beberapa meter mobil berpindah, dia melihat seseorang melangkah ke salah satu mobil di sudut sana.

"Kenapa, Om?" Zia mengangkat kepala dan menyadari Edward menatap ke satu arah. Dia mengikuti pandangan Edward dan terlihat tidak kaget. "Kak Gyna ya?"

"Kamu liat?"

Zia mengangguk. "Waktu di Changi tadi juga aku liat dia."

"Dia ke Singapura juga?" Edward kaget dengan kenyataan ini.

"Iya, mungkin liburan deh. Atau ... nggak tau. Tapi dia kayaknya nggak lihat aku waktu di bandara."

Edward memfokuskan pandangan ke satu orang di sana. Awalnya Gyna memang terlihat mencari-cari mobil. Tapi mendadak tatapan Gyna terhenti. Dan itu jelas ke arahnya—ke arah mobil Edward. Kaca mobil one way milik Edward memudahkannya menelisik lebih jauh kalau memang benar, Gyna melihat ke arah mobil ini dengan intens.

"Zi ...."

"Iya, Om?" Zia mendongak.

Edward mengusap kepala Zia dan menunduk, mengamati ekspresi polos gadis itu. Zia terlalu baik, jadi mungkin tidak sadar kalau ada yang berlaku jahat dengan cara halus. "Hati-hati terus sama Gyna ya."

"Iya. Tadi di bandara juga aku sengaja nggak nyapa. Untung aja Kak Gyna emang nggak lihat aku."

"Bukan." Edward menggeleng. Matanya menyempatkan mengarah ke Gyna yang masih berdiri menatapi mobil mereka. Lalu dia kembali terfokus ke Zia. "Bukan dia nggak lihat kamu. Karena bisa jadi, dia sengaja menguntit kamu sampai Singapura."

🧚🏻🧚🏻

Siap?

Yyy

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top