53. Minta Izin
Izin dulu mo nyakitin Zia🙏🏻
🧚🏻🧚🏻
"Pak! Pak Edward!"
Kalau saja Edward nggak dengar suara itu dalam lima detik ke depan, udah pasti kakinya nggak sanggup berdiri. Sekarang aja dia berjongkok mengenaskan di salah satu sisi terminal kedatangan bandara. Niatnya ingin lanjut ke area penjemputan di gedung parkir. Tapi pandangannya tiba-tiba mengabur. Mual yang dirasakan ini tidak separah saat dia menjejakkan kaki sesampainya di Singapura kemarin. Tapi pening kepalanya lebih daripada yang selama ini pernah dia rasa.
"Pak Edward, ini minum dulu."
Itu suara sopir kantor. Sekarang ikut berjongkok di depan Edward yang sempat nggak sanggup berdiri. Dengan tangan sedikit kaku, Edward menerima sebotol air mineral. Dia tidak dehidrasi sebenarnya. Tapi beberapa tegukan sedikit membuatnya lebih baik. Setidaknya kedua matanya bisa melihat lebih jelas.
Edward memejamkan mata dan berusaha menguatkan diri. Entah ini efek penerbangan yang masih sama seperti kemarin, atau memang karena lebih dari seharian dia nggak tidur. Edward memang melewatkan tidur sejak sebelum menyusul Zia, di pesawat, saat bersama Zia, sampai siang hari saat penerbangan pulang. Sampai detik ini, sesampainya di Indonesia bahkan dia tidak ingat kapan terlelap.
"Nanti tolong bawakan tas saya ya, Pak," pinta Edward. Dia nggak yakin masih bisa menambah berat bawaan, sedangkan bawa diri aja udah sempoyongan.
"Baik, Pak Edward. Mari saya bantu jalan juga."
Edward meringis saat usahanya berdiri kayaknya dilihat si sopir, makanya nawarin bantu. Dia nggak menolak dan berpegang pada bahu pria itu. Setelah berhasil berdiri, Edward segera melepas cengkeramannya karena takut pria yang tubuhnya lebih kecil dari Edward itu keberatan.
Pelan-pelan Edward melangkah meski kakinya lemas. Perutnya terasa kembung dan mual. Dia pernah merasakan separah ini saat dulu—saat tidak ada makanan yang bisa ditelan selama berhari-hari. Menyiksa dan menyakitkan. Dia sangat berharap penerbangannya tidak memunculkan reaksi traumatis yang separah dulu sampai mengganggu kinerja tubuhnya menelan makanan.
Karena untuk melewatinya saja Edward butuh sakit berkali lipat rasanya. Semoga ini hanya pusing akibat kurang istirahat dan jetlag saja.
"Silakan, Pak Edward."
Edward masuk ke mobil dan membiarkan sopir menutup pintu. Tubuhnya merebah dengan luar biasa lelah. Memejamkan mata tidak membuatnya lebih baik sekarang. Justru pekat hitam yang dilihat bisa memicu kesadaran dirinya hilang. Ini nggak boleh.
"Apa Pak Edward butuh buah? Tadi Pak Erwin dan Bu Valencia bawakan semangka, alpukat, katanya takut kalau Pak Edward jetlag."
Edward meneguk salivanya susah payah. Sepertinya papa dan mamanya memang mengkhawatirkan dengan cukup berlebihan. Padahal sesampai di Singapura juga Edward hanya muntah ringan. Tidak ada tanda-tanda yang harus dikhawatirkan seperti dulu. Tapi Edward nggak menyalahkan.
Kalau teringat tangisan mamanya saat Edward seperti mayat hidup dulu memang dia jadi nggak tega. "Boleh, Pak," jawabnya sembari menerima sekotak buah dari tangan sopir.
Edward meletakkan kotak yang sudah dibantu buka oleh pria yang sekarang mulai fokus menyetir. Lalu tangannya meraih sendok dan menancapkan pada potongan semangka. Dibawanya potongan itu ke mulut dan dia mengunyah dengan santai.
Semua terasa normal saat Edward menelan tiga potong semangka. Tapi saat sampai di perut, rasa mual tiba-tiba menggulungnya, membuatnya hampir memuntahkan kalau saja tidak bisa menahan agar tetap ada di pencernaan.
"Pak, boleh sedikit pelan-pelan nyetirnya?" Edward masih berbaik sangka bahwa mualnya ini akibat jetlag ringan dan makan saat mobil berjalan cukup cepat.
Tapi saat laju mobil sudah memelan, entah kenapa mualnya tidak juga berkurang. Edward menyeka keringat yang mulai terasa mengalir di dahi. Dia menarik napas dalam-dalam meskipun tau laju jantungnya sedang meningkat drastis.
"Tadi Pak Erwin meminta saya antar Pak Edward ke rumah sakit kalau merasa pusing, Pak. Atau saya antar ke sana sekarang?"
Edward mengembungkan pipinya dalam usaha menahan muntah. Makanan yang sudah ditelannya seolah berontak dan hampir naik sampai tenggorokan. Dia cepat-cepat mencari kantong kalau saja keadaan ini di luar kendali.
Edward bukan hanya takut ini mual biasa. Dia kepayahan berpikir kalau saja kesusahan menelan ini adalah awal mula dia mengalami gangguan makan. Dia menggeleng untuk memberi sugesti bahwa kali ini nggak akan terulang lagi.
"Iya, Pak. Ke rumah sakit," kata Edward dengan mata yang sudah mengabur.
Setelah mengatakan itu, Edward tidak tahan lagi menahan gumpalan rasa nyeri di perut. Semua makanan yang baru dia telan langsung naik ke permukaan dan dimuntahkan begitu saja.
***
"Ck, nggak lucu tau, bro."
Edward meringis dengar decakan Ogi. Sohibnya itu berdiri sambil berkacak pinggang beberapa meter dari hospital bed yang sedang Edward duduki. Terlihat geleng-geleng kepala mendapati Edward yang duduk setengah berbaring dengan selang infus.
"Lo nyusulin adek gue sampe tepar gini. Kacau kacau." Ogi melangkah mendekat.
"Nggak tepar. Dokter bilang gue cuma kurang tidur aja. Entar malem juga balik."
"Tetep aja itu gegara nyusulin Zia." Ogi menarik kursi dan duduk di samping ranjang. Dia tertawa singkat lihat Edward yang pucat. "Masih nggak habis pikir gue."
"Nggak usah dipikir kalo gitu." Edward meraih air mineral di meja dan diteguk. Dia menunjuk ke arah meja. Ada beberapa buah yang sudah dikupas tapi cukup jauh dari jangkauan. "Buah gue, Gi."
"Buah zakar?"
"Bangsat."
Ogi mendengus. Tangannya terulur meraih apa yang Edward minta. Dia letakkan di sisi ranjang biar Edward bisa makan sendiri.
"Nggak susah nelan kan lo?"
Edward menggeleng sambil mengunyah apel. Saat sadar kalau nafsu makannya naik dan tubuhnya bisa menerima suapan dengan baik, entah kenapa dia senang bukan main. Artinya memang tadi muntahnya cuma jetlag aja. Bukan karena gangguan makan parah.
"Gimana Zia di sana?" Ogi bertanya sambil lalu. Padahal dia rutin teleponan sama Zia dan si adik terlihat ceria. Yang berarti kehadiran Edward memang membuat Zia happy.
"Cantik terus adek lo, kayak nggak tau aja," jawab Edward juga sambil lalu. Dia lagi suka ngunyah. Rasanya menyenangkan.
"Lo tau maksud gue bukan itu," decak Ogi. "Lo kok bisa kepikiran nyusulin Zia, Ed? Padahal waktu anter dia aja lo pingsan?"
"Nekat."
"Gue nanya serius, anjir. Gue putus selang infus, sekarat lo."
"Gue lepas ini sekarang juga baik-baik aja, Gi. Berlebihan lo." Edward geleng-geleng kepala. Dia selesaikan kunyahan terakhir sebelum menenggak minuman lagi. Tubuhnya terasa ringan setelah diistirahatkan beberapa jam di sini. Dia memang kelelahan dan kurang tidur. Nggak ada diagnosis lain yang membuatnya harus rawat inap. Jadi nanti malam rencananya langsung pulang aja.
"Dia keliatan happy terus. Lo nyenengin dia banget pasti ya, Bro?" tebak Ogi.
"Gue seneng kalo menurut lo Zia happy." Edward terkekeh. Membayangkan senyum Zia, bahkan bagaimana ekspresi gadis itu saat ... arg, bikin salah tingkah sendiri. She's such a perfect beautiful girl. Dan Edward nggak akan bisa melupakan malam itu.
"Senyum lo bikin gue curiga," desis Ogi. Tatapnya menajam. Dia hafal banget kalau Edward udah senyum-senyum najis kayak tadi. "Lo nggak apa-apain adek gue kan?"
"Apa-apain gimana?" Edward sok polos meski kedua mata Edward seakan siap membunuhnya. "Aman, Gi. Nggak usah tegang gitu ekspresinya."
Ogi masih mencari kejujuran dalam ucapan Edward. Lalu mengorelasikan tingkah Zia sejak kemarin saat dia telepon. Nggak mungkin Zia masih keliatan senang kayak gitu kalau udah terjadi apa-apa yang jauh banget. Dia hafal Zia gimana. Jadi ... walau berat mengakui, tapi dia coba percaya Edward.
"Dia tau lo trauma naik pesawat?"
Edward menggeleng. "Nggak perlu gue kasih tau kan?"
"Mungkin perlu, mungkin juga enggak. Terserah lo." Ogi mengedikkan bahu. Maksud dia biar Zia tau apa yang telah Edward lakukan ini lebih dari biasa. Baginya Zia harus tau bahwa Edward udah sangat hebat melalui penerbangan pertama setelah sekian tahun, hanya demi ada di samping Zia saat gadis itu ulang tahun.
"Apa yang gue kasih ke dia buat ulang tahun ini aja belum sempurna, Gi." Edward meringis. Dia menarik napas kuat-kuat sebelum mengembuskannya perlahan. "Semua serba mendadak, sama sekali nggak ada persiapan."
Ogi tau kenapa Edward merasa seperti itu. Dia yang jadi saksi bagaimana dulu tiap ulang tahun mantan-mantan Edward, lelaki itu penuh dengan usaha jauh-jauh hari sebelumnya. Jadi saat untuk Zia justru tidak disiapkan dengan matang, Edward merasa kurang sempurna.
Padahal andai Edward pernah berpikir dari sudut orang lain tentang dirinya sendiri, bahwa melawan rasa trauma dan ketakutan demi menyusul Zia ... adalah poin dari semua effort Edward selama ini.
Tapi Edward tetaplah Edward. Ogi tau lelaki itu ingin membahagiakan siapa pun yang menjadi pasangan dengan cara sempurna.
"Gue mau siapin sesuatu buat Zia kalo udah sampai sini." Pandangan Edward menerawang. Bayangan candle light dinner, lalu mereka bicarakan apa yang harus diselesaikan di antara mereka, keraguan-keraguan yang Zia rasa, semuanya. Dia ingin satu malam bersama Zia. "Gue boleh satu malam aja sama Zia buat deep talk? Setelah kemarin gue nemuin dia, gue tau ada banyak banget pertanyaan yang dia simpen berbulan-bulan, Gi."
"Udah gue duga. Adik gue emang hobi banget simpan apa-apa sendiri. Apalagi kalo yang dia pikirin berpotensi bikin berantem, nggak akan tuh dia tanyain sampe kiamat juga. Mungkin karena masih belum cukup dewasa, Ed, jadi dia sukanya menghindari konflik. Lebih baik sakit sama dugaannya sendiri daripada harus berantem sama orang."
Edward juga menyadari itu. Zia terlalu memikirkan perasaan orang ketimbang dirinya sendiri. Zia terlalu menghargai orang lain tanpa memikirkan ketenangan diri sendiri.
Edward memejamkan mata beberapa saat. Karakter seperti Zia jelas baru Edward dapati sebagai pasangan. Meski dia nggak setuju saat Zia menyimpan apa-apa seorang diri, tapi dia akui bahwa hanya Zia yang bisa menghargainya sebaik ini.
"Tapi kalo ditunggu, disuruh pelan-pelan buat ungkapin, Zia pasti mau kok. Lo harus ekstra, Ed." Ogi memberi senyum tipis. Ini yang dikhawatirkan dari awal. Dia kenal Edward, juga mengenal adiknya. Akan sangat bertolak belakang jika tidak ada komunikasi di tengah-tengah.
"Iya, Gi. Kemarin aja dia baru nanyain permasalahan waktu dinner di rumah Gyna. Padahal itu udah lebih dari empat bulan lalu."
Ogi tersentak dengar nama Gyna. Dia berdehem sebelum menanyakan sesuatu. "Ed, apa lo inget waktu lo bawa Zia pertama kali clubbing?"
Edward seperti berpikir. Tidak butuh waktu lama, dia berhasil menemukan memori itu di ingatan. "Inget, kenapa?"
"Just so you know, Gyna nge-chat gue waktu itu."
Kekagetan Edward tidak bisa disembunyikan. "Apa, Gi?"
Ogi mengangguk. "Dia ngirimin gue potongan video lo ngasih seloki bir ke Zia dan Zia minum."
Astaga. Edward menganga. Dia nggak pernah menyangka bahwa Ogi tau dari Gyna. Selama ini dia kira Ogi dapat pesan dari teman-temannya. Karena memang beberapa masih aktif clubbing dan mungkin ada yang kebetulan tau Zia adiknya Ogi.
"Hal yang langsung bikin gue terbang dari Surabaya ke Jakarta, itu adalah pesan dia yang bilang lo mbungkus Zia."
"Gi, gue nggak—"
"Gue tau." Ogi mengangkat kedua tangan dan meminta Edward tidak pembelaan lebih dulu. "Gue kalut, nggak bisa mikir jernih waktu itu. Lihat Zia minum bir di club langganan kita aja udah bikin gue panas dingin. Apalagi waktu Gyna bilang lo ngamarin Zia. Hampir pecah kepala gue, Ed."
Edward ingin sekali menjawab, tapi sepertinya Ogi belum selesai jadi dia menunggu.
"Gue ngerasa dapat karma. Nangis gue kalo lo tau," decak Ogi. "Gue mikir kalo kesalahan gue dulu yang mabok dan ngelakuin itu ke Key langsung Tuhan balas ke adek gue. Sedih banget kalo inget. Tapi waktu sampai di apartemen, gue lihat Zia gatal-gatal, mukanya bintik-bintik merah dan ternyata alergi alkohol. Gue nanyain dan maksa dia jujur apa lo udah lakuin sesuatu, dan Zia kekeh bilang nggak ada apa-apa. Lo dateng setelah itu dan gue liat lo pure khawatir karena udah biarin Zia minum bir. Bukan karena hal yang lebih parah dari itu ...."
"Iya, gue berani sumpah nggak ngapa-ngapain dia waktu itu, Gi."
Ogi mengangguk. "Sejak itulah gue nggak percaya Gyna, Ed. Apalagi waktu gue minta dia ceritain kronologi lo ngamarin Zia gimana. Dia nggak jawab. Kalaupun bener, dia pasti ngeyakini sama kayak cara dia ngirim video Zia minum bir."
Ternyata sudah sejauh ini Gyna mencoba menjauhkan Zia darinya. Edward baru menyadari saat makan malam itu. Tapi ternyata sudah lama, jauh-jauh sebelumnya. Atau memang setiap makan malam di rumah Gyna adalah asal mula pacar Edward selalu minta putus tanpa alasan?
"Makanya gue pernah tanya ke lo, masih ada hubungan sama Gyna atau gimana? Terus lo jawab nggak. Bahkan lo udah jarang berkunjung ke sana. Jadi gue abaikan pesan Gyna."
Edward terdiam beberapa saat. Dia menatap Ogi dengan intens. "Apa gue udah boleh nemuin bokap lo, Gi?"
Giliran Ogi yang terdiam. Napasnya terdengar berembus berat. "Sorry selama ini gue halangin. Gue cuma belum yakin lo serius sama adek gue. Tapi lihat gimana usaha lo sekarang buat Zia, gue percaya lo nggak main-main. Jadi ... besok ke rumah aja. Bokap nyokap pasti nerima lo dengan baik."
"Gue tau."
"Lo kepedean."
Edward tertawa. "Waktu gue hampir sekarat dulu, selain keluarga gue cuma keluarga lo yang bisa nerima dan bantu nemenin proses gue, Gi. Pasti gue pikir nggak susah lah izin ke Om sama Tante. Udah kenal lama juga."
"Itu kan karena bokap nyokap anggap lo temen baik gue. Beda kalo lo dateng sebagai calon menantu."
Tawa Edward seketika berhenti. Kok masuk akal gini ucapan Ogi? Dia jadi agak ngeri kalau-kalau orang tua Zia nggak mengizinkan. Mereka memang baik, tapi baik karena anggap Edward anak sendiri sebagai teman Ogi, dan bukan sebagai calon Zia. Iya kan?
"Lo bikin ngeri aja, Gi."
Giliran Ogi yang tertawa. "Nggak usah dipikirin. Dateng aja. Minimal disuruh putus karena Zia belum boleh pacaran."
"Serius?"
"Nggak tau juga."
Edward mau nabok Ogi rasanya. "Daripada lo pengaruhin gue, mending beliin gue pepes ikan mas."
"Bangsat tukang suruh."
"Bukannya tadi lo nawarin gue mau dibawain apaan? Sopan lo nengok orang sakit nggak bawa buah tangan?"
Ogi mendengus kesal tapi dia berdiri. Sambil melangkah, gerutuannya terdengar. "Nggak adik, nggak temen, sama aja. Suka pepes ikan. Pake syarat ikan mas, lagi. Bisa gila gue."
***
"Seperti yang tadi Om bilang, Ed. Kalau dari Om sama Tante selama kalian saling nyaman, bisa saling kasih support yang positif, ya silakan jadi teman dekat."
Teman dekat. Mungkin orang tua Zia hanya tidak mau membuat hubungan Zia dan Edward lebih dari dekat banget. Edward sangat paham bahwa itu berarti dirinya nggak diizinkan terlalu jauh dengan Zia, tentang apa pun itu. Mereka menginginkan sang anak memiliki hubungan yang sewajarnya saja di umur yang baru menginjak dewasa awal.
"Om dan Tante mengizinkan."
Edward tersenyum membalas satu kalimat yang baru saja diucapkan oleh papanya Zia. Sebelum ini mereka sudah berbincang panjang lebar. Tentang kemungkinan-kemungkinan pertemanan Edward dan Zia yang terpaut usia cukup jauh. Kekhawatiran orang tua itu juga sudah disampaikan semua ke Edward.
Hanya satu yang Edward ucapkan sebagai jawaban atas semua keluh pasangan suami istri di hadapannya. Edward hanya menjawab bahwa dia sudah memikirkan matang-matang tentang semua ini sebelum mengajak Zia lebih dekat.
"Oh ya, Edward jadi yang mau jemput Zia di bandara?" tanya Laras setelah keterdiaman cukup lama.
Edward mengangguk. "Jadi, Tante." Dia melirik jam di pergelangan tangannya. "Aku berangkat sekarang aja kayaknya. Takut macet soalnya sore."
"Iya, berangkat sekarang saja, Ed." Hendra setuju.
Mereka berdiri untuk mengantar Edward ke pintu. "Aku pamit dulu, Om, Tante."
"Hati-hati."
***
Edward kira, ketakutan akan selamanya menjadi ketakutan. Nyatanya nggak selalu. Masih diingat sebelum ini tiap menjejakkan kaki di bandara membuat kesadarannya terenggut. Tapi sekarang boro-boro. Nggak ada dia mikir bagaimana kinerja jantung jika telinganya mendengar deru pesawat. Yang ada di pikirannya hanya melihat wajah Zia setelah landing. Senyumnya, wajahnya, gerak-geriknya. Hanya itu yang ada di kepala Edward.
Ini bukan tentang bagaimana dia menyembuhkan trauma akan sesuatu. Tapi siapa yang ada saat Edward jatuh dan membuatnya mau untuk bangkit. Zia selalu ada dalam deret pertama alasan dia mau bangkit.
Edward sudah menunggu di bandara, bersandar di salah satu pilar menghadap pintu kedatangan. Tangannya bersedekap di dada. Sudah satu jam tapi dia nggak bosan menatapi layar informasi yang bahkan dulu untuk melihatnya saja sudah gemetar. Sekarang dia justru tidak sabar.
Pesawat Zia sudah landing beberapa menit lalu. Tinggal menunggu sosok Zia muncul. Edward nggak mengalihkan pandangannya dari sana, bahkan makin menajam saat beberapa orang sudah mulai keluar dari pemeriksaan.
Tidak butuh waktu lama untuk Edward melihat Zia di sana. Gadis yang memakai jeans dengan kaus yang dibalut jaket itu terlihat melangkah tanpa menyadari kehadirannya.
Edward mengurai dekapan kedua tangannya. Dia mulai mendekat langkah demi langkah. Saat gadis itu menyadari ada Edward beberapa meter di hadapan, Edward sontak melebarkan langkah.
Di ujung sana, Zia tertegun, kaget banget. Seingatnya kemarin si papa yang mau jemput. Ini kenapa jadi Edward?
Apalagi Edward yang tersenyum tipis dengan kemeja putih yang sudah cukup berantakan—beberapa kancing teratasnya sudah dilepas—namun jas hitam tetap melekat di tubuh itu, sekarang berjalan menghampirinya dengan langkah panjang. Ada kilau di rambut kecoklatan Edward di bawah penerangan bandara yang super terang. Dan bagi Zia itu adalah saat-saat di mana Edward terlihat menakjubkan.
Zia menoleh ke kanan kiri dan menyadari kalau beberapa temannya yang sudah keluar, memandang ke arah sama. Pada Edward. Zia memang menyadari sejak mereka kencan pertama kali. Bahwa ada banyak orang yang akan menoleh lagi setelah nggak sengaja berpapasan dengan Edward. Demi untuk menyadarkan bahwa kedua mata mereka memang termanjakan dengan pria penuh pesona ini.
Edward tidak hanya tampan, tapi pembawaannya itu ....
Zia tidak bisa menjelaskan lebih lanjut. Dia hanya masih heran. Lelaki setenang ini, ternyata bisa menatapnya dengan raut yang lain saat 'hanya bersamanya dan sangat dekat'. Raut nakal yang baru pertama kali Zia lihat dari Edward. Astaga, bolehkah dia berharap bahwa tatapan Edward yang itu hanya boleh ditunjukkan padanya?
Pasalnya, Zia sangat suka. Dan dia nggak rela kenakalan Edward dimiliki siapa pun kecualinya Zia sendiri.
Errr ... kalau Zia jujur bahwa dia nggak bisa tidur semalaman karena kebayang raut Edward yang seksi banget, dia jadi malu.
"Zi, aku bawain tas kamu."
Eh, aku? Itu suara Edward beneran atau mimpi? Kok nggak pake saya lagi?
"Zia, Baby ...."
Zia mengerjap karena telapak tangan Edward dikibaskan di depan wajahnya. "Iya, Om?"
"Hei."
"Eh, Kak." Zia menyadari kalau masih ada teman-temannya yang memandang penasaran. "Ayo, pulang sekarang aja."
Edward tersenyum.
"Nggak usah pake senyum!" desis Zia. Nggak tau apa ya senyum Edward bisa bikin mimisan saking gantengnya. Bisa bahaya kalau teman Zia ada yang kena akibat.
"Iya, ayo."
Zia buru-buru berbisik sama April kalau dia mau pulang duluan. Nggak ketinggalan, April jawab pake kalimat, "Hati-hati yang bawah jangan sampai sakit lagi."
Kan, emang teman laknat.
Zia dan Edward melangkah ke gedung parkir. Cepat-cepat Zia masuk mobil sebelum ada temannya yang mergokin lagi.
"Om, aku mau tanya," kata Zia setelah duduk di samping kemudi.
"Astaga, Zi. Bentar dulu. Baru juga duduk." Edward melepas jas dan melempar ke jok belakang.
Gerakan yang mungkin terlihat biasa tapi mampu membuat Zia merinding. Gila, setiap apa pun yang Edward lakukan kayaknya sanggup membuat jantungnya jumpalitan. Darahnya terasa berdesir. Padahal Edward cuma lepas jas dan menggulung lengan kemeja. Tapi bagi Zia efeknya luar biasa dahsyat.
"Mau tanya apa, Zi?" Edward menoleh ke Zia sembari menyugar rambutnya yang terasa sedikit basah karena berkeringat.
Dan itu tidak lepas dari pandangan Zia. Edward apa nggak sadar tiap gerak-geriknya mengundang takjub untuk Zia? Belum lagi rambut-rambut halus yang mengintip dari balik kemeja itu. Zia jadi teringat bagaimana halus kulit itu di telapak tangannya.
"Zia?"
Zia menelan salivanya dengan gugup. Dia mengangguk satu kali untuk menetralkan otak. Kayaknya sejak malam itu, otaknya agak geser dikit.
"Mau ngobrol di sini sekarang atau nanti?" Tangan Edward terulur untuk membelai rambut Zia.
Edward sedikit mencondongkan tubuh ke arah gadis itu. Sebenarnya udah kangen banget tapi dia takut kebablasan di sini. Kayaknya peluk aja nggak cukup.
"Kalau mau ngobrol sekarang nggak apa-apa." Edward memberi opsi. Dia menepuk pahanya sendiri, satu matanya mengedip dengan banyak sekali bayangan-bayangan tentang apa yang akan dia lakukan setelah ini. Shit, celananya mulai sesak. "Tapi kamu duduk di sini, mau?"
🧚🏻🧚🏻
Kalau mau ketik 69
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top