51. Birthday Bomb ❗️
Tilulitttttt tilulittt warning 🥷🏻
Komen 1 huruf di sini coba ❗️
🧚🏻🧚🏻
"I love you, Zi. I love you."
Edward merasa sangat rentan dalam segala cara. Mungkin karena suhu tubuhnya yang belum naik sedari turun pesawat tadi, atau justru menyadari bahwa Zia-lah ternyata yang bisa membawanya sejauh ini. Zia, gadis yang tidak pernah sama sekali terpikirkan olehnya akan bisa mengubah banyak hal di dunia Edward. Terutama tentang segala resah dan kalut yang coba dihilangkan enam tahun terakhir—hal-hal yang berkaitan dengan penerbangan. Edward tetap akan berterima kasih pada Zia untuk semua pengaruh baik yang dihadirkan untuknya.
"Thank you, Zi." Edward menyempatkan mengecup pipi Zia dengan bibirnya yang masih terasa beku saking dinginnya. "I love you," bisiknya lagi.
"R-really?"
Pertanyaan Zia lantas membuat Edward kehilangan kemampuan untuk berpikir selama beberapa saat. Apa maksud respons Zia dengan kata 'Really'? Juga dengan nada ragu dalam suara Zia? Lamat-lamat satu kata itu makin membuat kepalanya pening. 'Really' masih jadi komentar yang cukup menusuk hati Edward.
Dalam kebingungannya sendiri, Edward berusaha melepas rengkuhan di pinggang Zia untuk meraih railing balkon. Dijadikan itu sebagai tolakan agar tubuhnya bisa berdiri tegak di hadapan Zia, hanya bermodal tumpuan tangannya yang mendadak kebas lagi.
Kedua mata Edward masih berkabut tapi berusaha difokuskan pada Zia. Gadis itu mengerjap cepat dan mereka bertemu tatap. Edward makin putus asa saat mendapat jawaban bahwa ternyata Zia memang ragu dengan kata cintanya. Oh, God.
Pelan-pelan Edward melepas tangan kanannya dari tumpuan untuk menyusurkan jemari ke wajah Zia yang terasa hangat. Tubuhnya tercondong ke depan lebih dekat dan membelai bibir Zia yang masih berkilat akibat ciuman mereka beberapa saat lalu. Perlu banyak detik berlalu sebelum dia sanggup bertanya, setelah lidahnya terasa kelu. "Don't you feel it, Zi?" bisiknya nggak menyangka. "Apa kamu nggak ngerasain saya cinta sama kamu?"
Seharusnya sudah terlampau jelas kata cinta Edward di telinga Zia. Tapi entah karena terlalu terkejut, Zia masih bungkam. Hanya bibirnya yang setengah terbuka, tanda bahwa kekagetannya masih kentara.
"Kenapa pertanyaan kamu seolah kamu baru tau perasaan saya?" Meski Edward hampir kesusahan menata kata dengan suaranya yang serak, tapi dia berusaha terus mengejar jawaban. Dia menolak pemikiran bahwa ternyata selama ini Zia nggak tau perasaannya. Demi apa pun ini konyol kalau sampai perkiraannya benar.
"A-aku ... emang ... baru tau." Zia mengakui dengan satu kalimat tersendat.
"Apa?" Edward mengernyit. Beberapa detik dia berusaha mengolah ucapan Zia, dan saat mendapat inti dari semua ini tak ayal memompa kecemasaannya ke permukaan. Zia kira selama ini Edward nggak cinta? Benarkah?
Rahang Edward terkatup rapat saat mengembuskan napas ke udara. Dia mendongak dan berusaha meredakan semua perasaan campur aduk yang mendera. Menguatkan hati, Edward kembali menatap Zia yang masih terdiam. Apa tidak ada kata lain selain 'Really' yang harusnya gadis cantik ini tanyakan? Kenapa harus .... Arg!
"Kita udah sama-sama beberapa bulan. We've kissed many times. Menurut kamu laki-kaki gila mana yang mau pacaran dan kissing sama orang yang nggak dicintai, Zi?" beberapa kalimat terlontar, dan Edward justru makin resah. Dia menunduk setelah membasuh wajah dengan telapak tangannya.
Sedangkan Zia? Dia justru makin terpaku pada penjabaran Edward tentang semua ini. Apalagi raut Edward terlihat putus asa. Bahkan air mata yang tadi dilihatnya, kini hanya meninggalkan jejak basah. Sepertinya Edward kelewat kaget sama pemikiran Zia sampai suaranya melirih seolah kehilangan upaya. Tapi nggak salah kan kalau Zia juga nggak nyangka ternyata lelaki itu balas cinta?
"Maaf, Om." Zia meminta maaf lebih dulu saat lihat Edward terus menunduk. "Soalnya ... nggak pernah bilang. Aku pikir ...." Dia memutuskan berhenti saja. Daripada terdengar membela diri. Baginya, mendengar kata cinta dari Edward udah lebih dari cukup. Ini luar biasa.
Jangan tanyakan bagaimana perasaannya sekarang. Yang awalnya kaget rupanya bisa meninggalkan degup-degup mendebarkan. Sepertinya Zia diserang salah tingkah yang tiba-tiba. Karena begitu memikirkan ungkapan Edward sejak berdiri di hadapannya tadi, sepertinya sangat disayangkan jika dia melewatkan momen manis ini.
Masih diingat jelas bagaimana suara khas lelaki itu yang menggumamkan cinta berkali-kali. Merinduinya juga. Bahkan meski mereka berhadapan sekarang, Edward tetap bilang rindu. Singkatnya Zia mendengar itu dengan baik.
"Saya beneran nggak pernah bilang?" Rupanya Edward lebih terkejut lagi dengan pernyataan Zia. Dia gagal mengingat kapan pernah bilang sama Zia tentang ini. Dan memang nggak ada. Setelah dipikir-pikir memang dia yang melewatkan mengucapkan itu. Pantes aja. "Zi, maafin saya."
Kedua lengan Edward kembali mendekap Zia dalam pelukan. Makin dieratkan saat rasa bersalah kian menggerogoti. Andai bisa memutar waktu, pasti dia akan mengucapkan kata cinta sejak pertama kali mengajak Zia berpacaran. Dia tau, Zia butuh validasi bahwa perempuan itu dicintai. Ya Tuhan, andai Edward tau dari awal ....
"Saya yang salah. Saya minta maaf," bisik Edward di telinga Zia. Dia terlalu naif selalu berpikir in relationship, actions speak louder than words. Tapi dia lupa bahwa sewajarnya perempuan memang butuh pengakuan bukan hanya tindakan. Apalagi seumuran Zia, yang masih sangat ingin diyakinkan bahwa cintanya berbalas. "Selama kamu ngira saya nggak cinta, kamu pasti sering sedih, ya?" tebaknya.
Zia refleks mengangguk. Memang benar adanya begitu. Dia nggak bisa bohong kalau soal perasaan.
"Apa ada hal lain yang mau kamu tanyain?" Edward merenggangkan pelukan. Tatapnya tersorot sayu pada gadis yang masih merona. Seperti biasa, Zia memang gampang salting. Tapi kali ini Edward sedang terlalu rapuh untuk menggoda seperti biasa. Jadi hanya kedua mata yang mengamati gerak-gerik Zia tanpa teralih. "Apa kamu juga berpikir saya masih cinta sama Gwen?"
Tadi refleks Zia mengangguk, sekarang justru membeku. Kaget. Apa ekspresinya semudah itu terbaca? Kalau dia dibilang cemburuan gimana? Kalau Edward ilfeel karena menganggap pikirannya kekanakan gimana?
"Iya, Zi?" Edward ingin Zia menjawab. Tapi sepertinya tidak akan. Jadi dia yang bergerak lebih dulu. Dikecupnya pipi Zia sebelum mengajak gadis itu duduk di sebuah sofa yang nggak jauh dari mereka.
Edward bahkan lupa suasana masih di-set remang. Awalnya dia mau bikin sejenis kejutan kecil. Tapi kayaknya gagal karena duluan dia yang dapat surprise. Atau ... kayaknya dua-duanya dilingkupi kekagetan dengan alasan yang berbeda.
"Tell me." Edward berujar lembut. Tubuhnya masih belum fit jadi dia bersandar di sandaran sofa sembari menggenggam tangan Zia yang hangat. Setidaknya ada yang bisa menghangatkan tubuhnya. "Tebakan saya benar?"
Tidak ada jawaban. Zia terus menunduk. Edward akhirnya menyentuh dagu Zia agar menatapnya.
"Saya pernah sama Gwen dalam waktu yang lama ...." Edward menggeleng saat Zia hampir memprotes. Ekspresi Zia bahkan seperti tidak sabar ingin meluapkan entah pertanyaan apa. Nanti, Edward belum selesai. "Tapi saya juga udah kehilangan Gwen sejak lama."
Barulah Zia terdiam. Terlihat serius menyimak lelaki di sampingnya, yang kini tidak berhenti membelai punggung tangannya dengan lembut, seolah meredakan overthinking Zia yang udah nggak terbendung.
"Kamu tau bunga?"
"Bunga siapa? Yang penyanyi? Atau pemain sinetron? Atau bunga di tepi jalan?" Dasarnya Zia sudah kesal karena membahas Gwen—walau sebenernya ini yang dia mau untuk bahas kenyataannya—jadi yang keluar malah kalimat ketus.
"Bunga. Flower." Edward masih menjawab dengan suaranya yang lembut. Diangkatnya tangan Zia untuk dikecup beberapa kali agar kekesalan gadis itu mereda. "Kalo lama nggak disiram, dirawat, dipupuk, pasti layu kan? Sama kayak perasaan saya ke Gwen kalau kamu mau tau. Dan kamu memang harus tau. Saya sama dia lima tahun, dan saya kehilangan dia udah enam tahun. Lebih lama waktu nggak sama dia kan?"
"Tapi Om punya pilihan buat terus siram dan rawat bunga itu kan?" Zia masih mencari celah.
"Apa yang harus saya rawat kalau bunganya udah layu dan mati?"
Zia sontak diam, nggak bisa menyanggah lagi. Yang bisa dilakukan justru menatap sorot Edward yang hangat dan teduh. Ah, kenapa dia bisa setakjub ini pada seorang lelaki? Membayangkan kekesalannya bisa diredam cuma dengan tatapan, membuatnya nggak berkutik.
"Come here. Come closer to me," pinta Edward dengan tarikan lembut pada lengan Zia, berusaha membuat gadis itu mendekat dengan sendirinya.
Karena masih diselimuti banyak perasaan campur aduk, Zia akhirnya mendekat. Bukan hanya Edward yang memeluknya, tapi kini kedua lengan Zia juga ikut serta melingkar di punggung Edward. Harum aroma khas Edward langsung merasuk indra penciuman. Kalau boleh jujur, dia juga sangat rindu Edward. Tapi rasa gengsinya terlalu tinggi untuk menghubungi duluan setelah seringnya chat-chat diabaikan.
"I love you. I really do." Edward menumpukan dagunya di puncak kepala Zia. "Sekarang yang harus saya rawat, jaga, dan pupuk terus cuma perasaan saya ke kamu. Jangan khawatir, Zi. Sekali saya bilang cinta sama kamu, artinya nggak ada orang lain."
Zia mengangguk. Bibirnya tergigit ke dalam karena grogi luar biasa. Baper, tapi masih ada hal yang mengganjal. Dia nggak cukup berani.
"Masih ada yang mau kamu tanyain lagi?" Edward bertanya pelan.
Mungkin ini emang saatnya Zia bicara. Mumpung Edward juga nggak bisa lihat ekspresi wajahnya, juga sebaliknya. Dia nggak membiarkan Edward melepas pelukan agar saat pertanyaan ini terlontar, malunya masih bisa diselamatkan.
"Om ... masih suka keinget nggak?" Zia menyurukkan kepala ke dada Edward. Takut respons Edward nggak sesuai harapan.
"Kalau nggak diingatkan ya nggak akan inget, Sayang." Telapak tangan Edward bergerak naik turun di punggung Zia, paham kalau gadis itu nggak enak hati untuk menanyakan ini. "Kalau maksud kamu sengaja buat inget, nggak. Saya nggak pernah kayak gitu. Tapi kalau ... oh, misal parfum kemarin. Bohong kalau saya bilang nggak ingat. Tapi bukan berarti saya langsung baper keinget dia apalagi sampe sedih, nggak kayak gitu, Zi."
"Kalo misal ...." Zia menelan ludahnya dengan perasaan gugup. Mempersiapkan untuk kalimat selanjutnya. "Momen kayak gini, berduaan sama aku gini, Om masih keinget?"
Pertanyaan yang mulai aneh, tapi Edward tetap sabar menjelaskan. Ini baru awal. Apa yang akan terjadi nanti kalau Zia tau kebejatannya di masa lalu, pasti lebih runyam. Edward harus menyiapkan diri.
"Enggak. Saya susah fokus kalo ada distraksi. Jadi tiap saya sama kamu, ya fokusnya cuma ke kamu." Edward merenggangkan pelukan dan merangkum wajah gadis di hadapannya.
"Aku ... pernah denger." Zia berdehem. Dia memejam saat merasakan Edward mengecupi wajahnya dengan lembut. Pelan dan hati-hati. Meski itu sudah mampu membuatnya meleleh, tapi ada pertanyaan yang harus dilontarkan. "Katanya ... laki-laki cuma jatuh cinta satu kali. Cintanya udah abis di orang lama, sisanya ngelanjutin hidup aja sama orang baru."
"Itu kalo gamon." Edward tersenyum. Jarinya menepuk ujung hidung Zia dengan gemas. "Saya kok nggak ngerasain cinta bisa habis ya? Perasaan, bisa tumbuh terus," kekehnya. "Lagi pula kalau saya cuma mau lanjutin hidup, pasti saya lakuin sendirian. Nggak perlu saya bawa-bawa kamu segala. Kalau sekarang saya pilih kamu, artinya apa kamu tau?"
"Om cinta sama aku."
"Itu tau." Edward tertawa saat Zia kembali memeluknya erat.
"Tapi kita baru beberapa bulan, Om. Aku takut Om nanti dalam hati ngebandingin sama mantan-mantan sebelumnya."
"Hei, saya nggak pernah kayak gitu." Edward berdecak. Adaaaa aja pemikiran Zia ini. Harus diapain biar nggak overthinking?
"Soalnya Om nggak mungkin lupa semuanya kan?"
"Iya, Zi. Tapi lama-lama pasti lupa. Sama mereka udah berakhir lama. Sedangkan sama kamu? Kita masih punya waktu seumur hidup. Kalau saya lupa sama pertemuan pertama kita, masih ada banyak hal lain yang bisa kita ingat-ingat."
"Seumur ... hidup, Om?"
"Iya. Saya mau saya kamu selama itu."
Arg. Zia rasanya mau banting bumi. Kalau aja mukanya nggak tenggelam di dada Edward sekarang, udah pasti merah padam dan dia malu setengah mati.
"Wait, Zi. Saya kelupaan sesuatu."
Zia masih diam walaupun tubuh Edward sedikit bergerak. Ada sepercik cahaya di tengah keremangan balkon hotel. Mungkin Edward mengeluarkan ponsel. Beberapa saat mereka terdiam, suasana sekitar tiba-tiba terang benderang. Zia refleks melepas pelukan dan menatap sekitar. Sedari tadi memang tau sekitarnya ada apa saja. Lift di sana, sebuah pintu menuju suatu ruangan, lalu tembok-temboknya yang begitu artistik, satu set sofa yang mereka duduki sekarang. Tapi yang membuatnya tertegun adalah rangkaian bunga yang menggantung di salah satu sisi dinding. Rangkaian mawar merah membentuk tulisan Happy 19th Birthday, Zia.
Jangan bayangkan seberapa banyak mengisi dinding. Memang ... full. Dari ujung kiri sampai ujung kanan. Tidak ada lampu di antara mawar-mawar. Justru merah menyalanya terkesan membara namun hangat.
Tidak sampai sana, denting lift tiba-tiba terdengar. Beberapa orang yang Zia ingat berseragam hotel, melangkah mendekatinya menyanyikan lagu Happy Birthday dengan kompak, indah, jelas membuat Zia terkesan. Satu orang yang membawa kue, segera memberikannya pada Edward.
Zia dibantu Edward untuk berdiri menyambut karena lagu hampir berakhir. Tidak ada letupan kembang api, confetti, atau lainnya. Hanya rangkaian mawar yang memenuhi sisi dinding segitu luasnya, lalu beberapa orang menyanyikan lagu, sudah. Tapi biarlah hati Zia yang meletup-letup nggak karuan.
Bukan apa yang diberikan Edward, tapi kehadiran lelaki itu yang telah membuat Zia terkesan lebih dari apa pun.
"Make a wish, Baby," bisik Edward karena Zia masih membeku, bahkan setelah para pegawai hotel berpamitan—tentu setelah membawakan banyak hadiah dari Edward.
Zia tersadar dan menyorotkan tatapan pada Edward. Bahkan kue yang Edward bawa tak begitu besar. Kecil, mungil, dan lagi-lagi Zia nggak peduli. Biarlah perasaan lelaki itu saja yang Zia harapkan makin bertumbuh besar.
Lilin sudah padam, pelukan itu kembali terjalin. Andai ada hari terbaik sepanjang sejarah, Zia akan menobatkan hari ini. Edward menyusulnya di tengah padat jadwal pekerjaan. Mengesankan.
"Maaf seadanya." Edward mengecup dahi Zia. "Saya kurang persiapan waktu mau ke sini. Besok kalau udah sampai Indo, saya janji kasih yang lebih, Sayang."
Zia terkekeh. Mulutnya cemberut karena nahan haru. "Jadi lanjut part dua kalo udah pulang?"
Edward ikut terkekeh. Dia mengecup bibir Zia beberapa kali. "Iya. Yang ini buat formalitas aja. Saya udah habis ide mau apa. Ini mainstream banget, tapi semoga kamu suka."
"Suka banget. Aku mau bikin story tapi baju aku jelek."
Astaga. Bisa-bisanya masih mikirin baju. "Bagus kok. Doraemon," puji Edward setelah mengamati piyama Zia.
"Bukan doraemon ini, Om. Ih!" kesal Zia.
"Iya, maaf." Edward berusaha mengusap sudut mata Zia. Ini anak gampang terharu banget kayaknya. "Pas banget motif baju kamu floral. Cocok kalo foto di depan mawar itu, Zi."
"Maunya foto sama Om. Tapi yang cantik."
"Udah cantik banget, Sayang," puji Edward. Dia menyelipkan helai rambut Zia ke belakang telinga. "Nanti kalo lebih cantik dari ini, saya yang nggak kuat liatnya."
"Gombal ya?" tuding Zia. Dia menikmati momen saat ditatap Edward sebegini hangat. Kalau boleh pilih, dia mau di sini terus sampai pagi. Tapi Edward nggak boleh merem, bolehnya liatin Zia aja.
"Kenyataan. Tapi kalau kamu anggap gombal ya itu terserah kamu." Edward mencubit ringan pipi Zia. "Oh ya, ini kado-kadonya. Maaf nggak sempat dihias, Zi. Beneran saya serba buru-buru."
Zia baru ingat tadi para pegawai hotel bawakan banyak totebag. Dan waktu dia nengok ... gila ... dia mimpi apa semalam bisa dapat barang-barang branded begitu?
"Suka?" Edward kembali menyusul dengan pertanyaan.
"Saking sukanya jadi lemes." Zia terduduk di sofa. Matanya menangkap satu kotak dan meraihnya dengan heran. Okelah kalau ada tas, sepatu, parfum, dan banyak fashion item lain, tapi ini ... ponsel? Buat apa? "Aku udah ada hp, Om."
"Katanya eror nggak bisa buat roaming, Zi."
"Iya waktu itu emang eror, tapi sekarang udah bisa." Zia nggak habis pikir sama semuanya. Masa cuma karena ngeluh gagal setting, Edward langsung beliin hp baru? Lagian lusa dia udah balik ke rumah. Nggak butuh lagi itu setting roaming di LN.
"Syukurlah kalau udah bisa. Berarti kamu harus upgrade hp." Jawaban Edward sangat santai, bahkan sambil mendekat ke Zia untuk mengecupi bahunya. Kedua tangan seperti biasa, melingkar nyaman di pinggang Zia.
"Tapi—"
"Ssstt. You can't refuse my gift."
Zia terdiam. Dia ingat kalau Edward pernah bilang nggak suka pemberiannya dikembalikan. Ya udah. Dia pasrah aja. Lagian enak sih. Pasrah yang enak kalau kayak gini.
"Sisanya di Indo ya, Baby." Bibir Edward sudah sampai pada rahang Zia. "Saya akan urus cuti biar bisa nemenin kamu ke mana-mana."
Awalnya Zia masih diam. Tapi saat dirasanya ada sesuatu yang menyentuh telinga, refleks bahunya mengedik. Seperti biasa, lembut bibir Edward berhasil menggelitik perutnya. Merinding dari ujung kaki sampai kepala.
"Kamu nggak kangen?" Suara Edward terdengar serak. Jemarinya meraih pipi Zia agar menghadapnya. Dan saat kedua pasang mata berhasil saling menatap, Edward merasa kerinduannya memuncak. "Saya kangen banget."
Entah siapa yang memulai kali ini, tapi bibir mereka sudah menyatu. Mungkin Edward, mungkin juga Zia. Atau bisa jadi memang keduanya yang saling menuntut sebuah ciuman karena rasa rindu yang lama nggak disalurkan.
"Saya ada hadiah lain." Edward tiba-tiba saja menghentikan ciuman. Tatapnya menghunus pada kedua mata Zia yang menyorot sayu. "Birthday bomb," bisiknya tepat di depan bibir gadis itu.
Dalam kepala Zia, kata Birthday Bomb terealisasi dalam bentuk kembang api, confetti, atau hal lain yang bisa memacu degup jantung karena ledakannya.
"Wanna see?"
Jadi tanpa ragu, Zia mengangguk.
Tatap Edward berkilat, tidak menyangka Zia setuju secepat itu. Tanpa menunggu lama, dia membawa Zia ke dalam sebuah ruangan, di mana pintunya ada tepat di samping lift. Kamar hotel yang dia pesan spesial malam ini.
Edward melepas jaketnya dan melempar asal ke tempat tidur setelah pintu otomatis tertutup. Ditekannya tubuh Zia ke dinding di samping pintu, untuk menyatukan bagian-bagian tubuh mereka yang saling mendamba.
"Kok ... jaketnya dilepas?" Zia hanya bisa menanyakan itu meski tidak benar-benar ingin tau. Meski Edward datang dengan pakaian kasual yang tampannya tidak tertandingi dengan jaket bomber untuk melapisi polo shirt, tetap saja Edward yang pakai polo shirt jauh lebih tampan. Otot-otot di lengan itu terbentuk sempurna.
Namun Edward jelas tidak menjawab. Dia sudah terlalu lapar. Satu tangannya mengait di sela rambut Zia yang halus, dan dia memulai ciuman yang sempat terputus. Ciuman Edward sangat menuntut. Lidahnya meraba langit-langit mulut Zia untuk melejitkan respons. Benar saja, gadis itu memekik kaget padahal ciuman mereka baru dimulai. Ini akan terasa menggairahkan dan Edward tidak ingin berhenti.
Seketika Zia lupa pada keadaan, bahkan lupa siapa dia, siapa Edward. Yang ada hanya kenikmatan yang melejit, meledakkan sesuatu tak kasat mata di seluruh tubuhnya. Bibirnya balas mengulum, menggigit ringan, bahkan lidahnya ikut serta terbelit. Beberapa saat dia menyadari kebutuhan Edward, dan lidah Zia sengaja mengikuti jejak lelaki itu untuk membelai langit-langit mulut. Edward mengerang keras dan menjamahkan tangan ke seluruh tubuh Zia.
Dengan tak sabaran, telapak tangan kanan Edward sampai di dada Zia untuk meremasnya beberapa kali. Lembut, namun membuat desah Zia terbit berkali-kali. Tubuhnya makin menghimpit Zia rapat. Meminta gadis itu merasakan bukti hasratnya yang sudah menuntut. Mereka bertukar ciuman dengan keras. Edward mengulum bibir Zia tanpa ampun, meski erangan Zia sudah tidak terkendali, dihajar gairah yang meletup-letup.
Zia merasa panas itu sudah membakar mereka. Fokusnya terpecah bukan hanya pada bibirnya yang berusaha membalas dambaan Edward, namun juga kelihaian tangan Edward pada bagian-bagian sensitifnya membuat punggungnya melengkung.
Lenguhan terdengar terus menerus dari bibir Zia yang sudah terasa membengkak. Tangan Zia tidak bisa diam saja di saat dadanya terus diremas dengan intens. Edward sudah berhasil menyusupkan telapak tangan yang dingin ke punggung Zia, lalu memutar sampai depan dan meraup dada Zia dari dalam.
Kepala Zia mendongak dengan tubuh yang bergerak gelisah. Dia memejam dan menyadari kalau sensasi gairah yang diberikan oleh Edward terlalu besar untuk disangkal dengan sikap malu-malu. Tiba-tiba saja dia teringat bahu kokoh lelaki itu, dada yang bidang, perut yang terbentuk. Bagaimana kekarnya tubuh telanjang Edward membuat jemari ramping Zia ikut menyusup ke dalam shirt yang dipakai Edward.
Tanpa menunggu lama, Edward memberi akses penuh. Dilepasnya bajunya sendiri melewati kepala dan meraih tangan Zia agar membelai perutnya. Dia harus menahan getar gairah membuat giginya bergemeletuk. Zia memang tidak berpengalaman banyak dalam hal ini tapi sikapnya terlihat sangat seksi untuk membuatnya bergairah. Tubuh Edward mendekat ke arah sentuhan Zia, meminta lebih. Andai bisa memaksa, Edward ingin mengarahkan tangan halus itu ke bukti hasratnya di balik celana. Menyusup, lalu menemukan, dan ... mereka akan meledak bersama-sama.
Edward melumat bibir Zia dengan rakus. Tangannya memberi intensitas yang lebih pada dada Zia, meski belum saatnya menyusup ke dalam bra. Didesahkannya napas tepat di depan bibir Zia yang memerah dan tatapan yang sayu, terbang, hilang akal. "Shall we move to the bed?" bisiknya sensual.
Zia juga menjawab dengan deru napas yang tertahan. "Ya."
🧚🏻🧚🏻
Zia masi kicil om. Mending sm aku aja💃🏻🔥
Part depan bulan depan soalnya warning keras😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top