48. Si Hercules
Happy new yearrrrr💥💥💥
Dah apdet nih, ditunggu komen yang buanyak yee☺️
🧚🏻🧚🏻
"Ya, secepatnya. Antar segera ke kamar saya."
Edward mengakhiri percakapan dan meletakkan ponsel di meja. Dia kembali fokus ke Zia yang sudah duduk di kursi, sedangkan dirinya berjongkok tepat di hadapan gadis itu. Edward nggak yakin bisa bertahan kalau tetap memangku Zia setelah ciuman mereka yang mahadahsyat. Lebih baik seperti ini, membiarkan Zia duduk di sofa single seater.
"Maafin saya, Zi. Kamu sampe kelaparan kayak gini," keluh Edward merasa bersalah. Seumur-umur, baru ini dia bikin pacarnya kelaparan. Berasa nggak punya harga diri banget. Pasti gara-gara abis lari pagi mereka marahan. Jadi Zia nggak nafsu makan. Terbukti dari porsi nasi goreng kecil aja nggak dihabiskan sama Zia.
"Iya." Zia mengangguk kaku. Dia masih belum bisa meredakan efek ciuman mereka beberapa menit lalu. Ada hantaman kuat di kepala yang membuatnya pening, entah karena apa.
"Sekarang kamu pake baju dulu," ujar Edward. Dia menyusurkan tangannya untuk mengusap lembut lutut Zia yang hanya terbalut bathrobe. Senyumnya tersungging kecil. "Bajunya ada di dalem."
Zia mengernyit. Tadi bukannya waktu dia tanya di mana Edward naruh baju, lelaki itu jawab ada di sini? Kok jadi di dalam? "Bukan di sini bajunya?" Dia mengutarakan keresahannya.
"Siapa yang bilang?" Edward terkekeh. Kayaknya Zia salah fokus waktu dia bilang ada tadi. Maksudnya kan emang ada, tapi nggak di sini juga. Itu hanya trik biar Zia keluar kamar dan menghampirinya. Gimana lagi, Edward terlanjur kebelet lihat bocah itu cuma pake bathrobe. Pengin kekepin sampai sesak napas rasanya. Tapi dia cukup puas karena sempat melakukannya, walaupun ya ... ada grepe-grepe dikit juga.
"Jadi di mana?" Suara Zia masih mengalun pelan. Dia menunduk karena merasakan sentuhan ringan di lutut. Ternyata Edward mendaratkan bibir di sana. Meski sekejap tapi hangat napas itu terasa menembus kain yang menutupi sampai di kulit lututnya.
"Di samping kamar mandi ada ruangan. Tadi waktu kamu udah masuk kamar mandi, saya sempat bilang bajunya di sana. Kamu nggak denger?"
Zia mengerjap. Dia merasakan tubuhnya kaku. Bukan hanya lutut yang kena sasaran, sekarang kepala Edward mendekat ke arah perutnya dan mengecup ringan, dengan kedua tangan yang melingkar di pinggangnya. Mengantarkan gelenyar luar biasa yang tadi sempat dirasa.
"Ayo, saya gendong lagi ke sana."
Tanpa persetujuan, tubuh Zia sudah diangkat. Sama dengan posisi gendong waktu mereka masuk kamar. Alias gendong depan. Lagi-lagi Zia refleks melingkarkan tangan ke leher Edward, juga kedua kaki di sekitaran pinggul lelaki itu.
"Laper banget sampe lemes kayak gini, Baby?" tanya Edward. Dia merasakan tubuh Zia emang melunglai, beda sama waktu gendong dari lift ke kamar.
Zia menggeleng pelan. Kepalanya sudah terjatuh di bahu Edward. Selain malu, dia juga ... "Aku agak pusing," keluhnya.
Edward mengernyit. Raut khawatirnya terpancar jelas dan dia mempercepat langkah. Diambilnya satu tote bag berisi pakaian Zia, sebelum diletakkan asal di salah satu sofa. Mereka duduk di sampingnya. Lagi-lagi Edward memangku Zia.
"Pusing?" Edward merangkum wajah Zia. Dia mengamati lekat-lekat dan menyadari kalau tatapan gadis itu sedikit sayu dengan rona merah yang cukup terlihat.
"Tapi pusingnya kayak ...." Zia menjeda, mencari kata-kata yang kiranya tepat. Ini bukan pusing yang dunia berasa muter-muter. Pusingnya beda dan dia nggak bisa menjelaskan. Jantungnya kerasa berdentum lebih cepat, kuat, lalu napasnya tersendat.
"Kamu nggak abis minum aneh-aneh kan, Zi?" tanya Edward semakin khawatir. Ciri-cirinya Zia mirip orang yang nge-fly pas mabuk ringan, muka merah, mengeluh lapar, dan pandangan nggak terfokus.
"Minum ... apa, Om?" Zia ikut bingung dengan pertanyaan Edward. Padahal mungkin ini bukan karena minum apa-apa, tapi efek ciuman mereka. Ditambah lagi ... huh, Zia capek dengan pemikirannya sendiri. Tapi saat teringat Edward nggak membalas ucapan cintanya membuat dia kecewa, syok, walaupun udah nebak dari awal.
"Wait ...." Edward mengernyit. Kayaknya dia punya satu kesimpulan. Pelan sekali tangannya semakin turun untuk mengusap lembut leher Zia. Benar dugaannya, gadis itu berjengit dengan napas yang makin memburu. "Zi ...," panggilnya.
Berusaha terfokus lagi, Zia mengangguk kecil.
"Atau mau dituntasin?" Suara Edward mengalun pelan. Dia nggak tau efek sentuhannya bisa membuat Zia merasa pening sampai begini.
"M-maksudnya?"
Edward menatap lekat pada wajah Zia, turun ke leher, dada, perut, dan kaki yang menjuntai. Kalau ingat gimana reaksi tubuh Zia saat disentuhnya tadi, udah pasti bukan cuma dirinya yang kebawa suasana. Tapi Zia juga. Buktinya jelas. Edward hafal dengan ciri-ciri itu. Apalagi—shit—kalau ingat sesuatu yang berhasil digenggam tadi, rasa-rasanya si Hercules mau ngamuk aja. Masih dirasa dengan jelas segimana pas hal itu di genggamannya.
Pemikiran Edward membawa tangannya pelan-pelan merayap ke arah dada Zia. Sekilas dilewatinya dan dia cukup terkejut karena sesuatu yang mengeras tadi masih bertahan di sana. Wow, Edward tau dia hanya perlu memercikkan sedikit saja api, pasti sekejap Zia sudah telentang pasrah di bawahnya. Andai Edward mau dan tega, maka tanpa pikir panjang memanfaatkan keadaan Zia. Tanpa lupa memastikan bahwa Zia harus aman dan nyaman dalam kungkungannya, merasai titik puncak tertinggi yang akan Edward beri padanya.
Tapi lagi-lagi, Edward nggak akan gegabah. Apa gunanya umur bertambah kalau pikirannya masih sedangkal dulu? Tidak, dia mencintai Zia dengan cara yang berbeda. Gadis ini spesial dan Edward tidak akan memperlakukan sama dengan sebelum-sebelumnya.
"Ganti baju dulu aja, Zi." Edward tersenyum. Dia membelai pipi Zia yang memerah. "Di sana ya," tunjuknya ke suatu ruangan.
Zia mengangguk setuju. Dia baru akan turun dari pangkuan Edward saat tubuhnya sedikit limbung.
"Hati-hati." Edward nggak membiarkan Zia berjalan sendiri. Jadi dia membantu Zia berdiri untuk menapak lantai. Tidak lupa juga merengkuh pinggul gadis itu untuk menghindari limbung.
"Om mending pake baju juga." Zia mengalihkan pandangan dari tubuh Edward. Baru ini lihat Edward telanjang dada. Dari tadi kan posisi lelaki itu duduk, waktu berdiri gini kok tambah ... menakjubkan. Kesemuanya terlihat sempurna. Zia takut makin pusing.
"Iya, nanti saya pake. Kamu masih pusing?"
"Dikit. Kayaknya karena laper banget." Zia meringis, tapi tatapnya menghadap bawah. Takut oleng kalau lihat Edward.
"Bentar lagi makanannya diantar ke sini. Sabar ya." Edward terus menuntun Zia sampai ruang ganti.
Mereka berhenti di depan pintu. Zia berbalik menghadap Edward dan mau pamit buat izin masuk kamar. Tapi Edward menahannya.
"Pusingnya mau diredain nggak?" tanya Edward serius. Dia mendaratkan kedua tangan di kanan kiri bahu Zia. Kepalanya menunduk.
"Diredain? Pake obat?"
Edward menggeleng. Dia mengerling, lalu pelan-pelan menunjuk ke arah bibirnya sendiri. Menepuk tiga kali di sana.
"Pake bibir?" decak Zia. Udah tau modusnya. "Ujung-ujungnya cium juga."
"Siapa bilang." Edward terkekeh. "Kalau saya cium malah bisa makin pusing kamunya. Di tubuh kamu ada racun, makanya harus dikeluarin biar nggak pusing."
"Detoks?"
Edward tergelak. Zia emang beda dari yang lain. Hal seperti ini sepertinya masih jauh dari jangkauan pikiran gadis itu. "Terserah kamu sebut apa. Tapi saya cuma nawarin, siapa tau kamu mau keluarin. Saya bisa bantu pake bibir, atau pake tangan kalau kamu mau. Paling maksimal sih pake herkules."
Zia mengernyit. "Hercules bukannya nama burung peliharaan Om?"
Nah, Edward lupa pernah bahas herkules sama Zia.
"Ih, Om. JOROK!" teriak Zia seketika. Kayaknya baru sadar apa yang dimaksud Edward sedari tadi. "PUTUS AJA LAH KALO MASIH NGOMONG JOROK!"
Dan pintu di depannya terbanting lagi. Dua kali Edward menerima itu hari ini tapi dia ketawa aja. Ngerti banget kalau sebenernya Zia lagi malu-malu.
Edward cuma bisa geleng-geleng kepala. Dia bergegas meraih kaus untuk dipakai. Sebentar lagi pasti interkom bunyi. Tunggu aja. Edward berdiri di tengah kamar sembari matanya menatap layar interkom yang menempel di belakang pintu.
Saat itu juga terlihat satu orang berjalan mendekati pintu kamarnya. Nggak sampai lima detik, suara bel terdengar. Edward membuka pintu. "Terima kasih," ucapnya sambil memindahkan Troli Hors D'Oeuvre ke tangannya.
Pintu kembali tertutup dan Edward berjalan mendorong troli ke arah beranda luar alias tempat dia dan Zia tadi lagi panas-panasnya. Kalo ini cukup cuacanya aja yang panas. Antara dia dan Zia tunda dulu daripada kebablasan. Lama-lama Edward bisa gila kalau harus lihat Zia pake bathrobe lagi.
"Om, laper."
Suara itu membuat Edward menoleh. Kali ini dia tersenyum lega karena Zia udah pakai baju yang semestinya. "Sini, Baby."
Zia nurut karena dia udah agak gemetar saking laparnya. Dia mengusap perut tanda kalau nggak sabar menyantap makanan. Kayaknya sih enak-enak. Udah pasti. Masakan chef profesional semua.
"Kamu suka semua menu ini?" Edward berdiri untuk membuka tutup masing-masing makanan di atas troli. Ada beberapa menu dari buah-buahan, sayur, sampai dessert. Semua dalam porsi kecil.
"Suka." Zia mengangguk cepat.
"Saya suapin mau?"
"Mau." Lagi-lagi Zia mengangguk tanpa penolakan.
Respons cepat Zia membuat Edward tersenyum lebar. Kenapa ya dia jadi suka banget nyuapin pasangan kayak gini? Mungkin karena baru pertama kali dapat pacar yang nggak malu-malu buat menunjukkan sisi manjanya. Edward gemas rasanya.
Setelah menarik salah satu kursi untuk Edward duduk, sedangkan sofa yang tadi diduduki dia serahkan takhtanya ke Zia, Edward mulai meracik makanan.
"Aaaa." Edward menyuapi dan Zia menerima dengan suka hati. "Makannya bisa sambil ngobrol? Kalau nggak biasa nggak apa-apa, Zi."
"Bisa kok, Om." Lagian mulut Zia nggak penuh-penuh banget buat ngunyah. Dia selalu makan dengan suapan kecil.
Edward tidak lepas mengamati Zia meski tatapan gadis itu seperti takjub ke arah kolam renang. Sesekali Edward harus menginterupsi dengan suapannya.
"Zi, tadi kalo saya nggak salah denger, kamu bilang stalking ig saya. Bener?" Edward memulai percakapan ringan mereka.
Zia mengangguk meski tanpa menatap Edward di sampingnya. Agak malu mengakui tapi udah terlanjur. "Dari aku SMP."
Edward terkekeh. "Dasar, SMP udah naksir orang."
"Biarin." Zia memukul paha Edward dengan kesal. Dulu kayaknya dia baru puber saat itu. Terus waktu lihat Edward berkunjung ke rumah untuk pertama kali setelah bertahun-tahun—seingatnya terakhir waktu Zia masih belum masuk SD—entah kenapa tiba-tiba deg-degan.
Visual Edward bagi Zia yang masih kelas satu SMP—demi apa pun—adalah laki-laki tertampan yang pernah dia lihat. Wajar kan kalau dia agak kepo sama kehidupan Edward. Walaupun sempet kecewa Edward udah punya pacar tapi ya udah, dia sadar kalo dia pasti cuma kagum karena paras aja.
"Maaf. Dulu saya nggak notice kamu waktu kamu udah SMP. Saya cuma inget kamu yang masih TK itu," kekehnya.
"Nggak apa-apa kok, Om. Lagian dulu waktu aku udah sekolah jarang nongol kalo Om main. Ngumpet."
"Kenapa tuh ngumpet?"
"Malu. Kan Om sama temen-temen Bang Ogi lain pernah liat aku mainan ingus." Akhirnya Zia ngaku juga kalau beberapa kali sebenarnya dia malu caper-caper lagi dengan cara lari-larian di depan teman-teman Ogi yang belajar kelompok di rumahnya. Sejak SD dia sadar punya rasa malu kayak gitu.
Edward sontak ketawa. "First impression saya ke kamu emang yang itu, Zi," akunya. "Waktu saya udah lulus SMA, saya udah jarang main ya?"
Zia mengangguki. "Aku sampe lupa Abang punya temen Om Ed. Waktu aku udah SMP, Om main lagi kayaknya. Bawain makanan banyaaaakkk banget. Terus bilang ke Abang kalo Om mau nikah."
Edward mengingat-ingat masa itu. Memang benar dulu sehabis lulus, dia langsung niat merit. Tapi karena Gwen masih ingin berkarier jadi pramugari, Edward memutuskan untuk tunangan dulu. Penantiannya membuahkan hasil di umurnya yang ke-24. Gwen bersedia menikah dengan syarat berhenti dari pekerjaan yang jauh dari Edward. Mereka sudah sepakat kalau Gwen ingin bekerja, maka akan ditempatkan di kantor yang sama dengan Edward.
"Pasti kamu mulai naksir waktu saya dateng itu ya?" goda Edward.
"Ih, Om kepedean!" Awalnya Zia menatap protes pada Edward. "Tapi emang bener sih." Dia tertawa. "Terus aku kan patah hati denger Om mau nikah. Ya patah hati galau aja gitu, Om. Sampe aku melihara kucing."
"Hubungannya apa?" Edward mulai bingung sama kalimat melantur Zia.
"Biar bisa ngusir galau, Om."
Edward mengerjap. Oh, jadi Zia ini ngerawat kucing biar ada kesibukan dan nggak keinget Edward yang mau nikah? Aneh-aneh aja bocah SMP!
"Karena aku udah move on, kucingnya dikasih ke sodara sama Mama soalnya aku sibuk sekolah." Zia terkikik.
"Kok move on-nya cepet? Kamu nggak beneran cinta sama saya ya?" Edward malah mengulik itu. Masa sih Zia gampang banget lupa?
"Kan cuma kagum aja, Oooommm. Suka dikit, kagum banyak." Soalnya sosok Edward bagi Zia waktu di pandangannya dulu tuh ganteng, tinggi, putih, mancung, rambutnya agak cokelat, mukanya kebule-bulean sejak dini, siapa yang nggak suka coba? Emang sih masih kelas 1 SMP dia kan udah tau mana orang ganteng!
"Dasar cewek." Edward nggak mau memperpanjang topik ini. Dia keinget sesuatu. "Kamu masih suka kucing?"
"Masih."
"Nanti ke pet shop yuk. Saya beliin."
"Nggak ah, Om. Nanti kalo aku udah masuk kuliah, kasian kucingnya nggak keurus."
"Saya yang urus, tenang aja. Banyak itu maid di rumah saya. Bisa minta tolong mereka rawat. Kamu tinggal dateng kalo kangen."
Zia masih mikir-mikir. "Nanti aku pertimbangin."
Edward mengangguk. "Kasih nama Hercules."
"Apaan sih Hercules mulu!" Zia mengambil minum untuk melegakan tenggorokan. "Jadi Om beneran punya burung namanya Hercules atau boongan?"
"Beneran."
Zia makin curiga soalnya Edward kayak nahan senyum. "Boong ya?"
Edward akhirnya tertawa. Biarlah Zia tau kalau ini bukan tentang peliharaan burung. Tapi hal lain. "Aaaa lagi. Saya suapin."
Zia membuka mulut dan kembali menerima suapan Edward. Dia teringat sesuatu untuk membagi foto kucing di masa lalunya. Jadi dia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan membukanya.
"Om, aku masih punya loh foto kucingku. Kalo mau beli yang kayak gini ya lucunya."
Edward memindahkan piring ke satu tangan, dan bergeser makin dekat ke Zia untuk melihat foto di ponsel. Terlihat seorang anak remaja lagi gendong kucing putih, lalu selfie.
"Lucu kan, Om?" tanya Zia antusias.
Edward mengangguk dan tersenyum. Dia mencubit ringan pipi Zia. "Iya, kamu cute."
"Maksud aku kucingnya!" Kok Edward malah salah sangka sih!
"Lebih cute kamu, Baby." Edward kali ini menyuapkan makanan ke mulutnya sendiri.
Zia nggak bisa mendebat. Dia hanya mendengus kesal. Obrolan mereka emang nggak nyambung. Harusnya Edward memuji kucing, bukan malah muji Zia!
"Itu ig kamu, Zi?" tanya Edward, mulai terfokus pada suatu hal. Tadi Zia nunjukin foto sama kucing kayaknya dari arsip di instagram. "Saya boleh liat?"
Zia mengangguk mengizinkan. Dia serahkan ponsel dan membiarkan Edward melihati akun instagramnya. Tangan Zia terarah ke troli untuk ambil buah, lalu dia tusuk dengan garpu sebelum dilahap.
"Saya nggak lihat ada tanda-tanda anak SMA di sini," kekeh Edward, terlihat fokus scroll foto-foto Zia di sosial media. Lelaki itu bahkan meletakkan piring. Rautnya menggambarkan senyum takjub. "Look, Zi. My fav one."
Melihat gimana antusiasnya Edward, Zia mendekat saat Edward memaparkan ponsel ke hadapannya. Ada foto Zia waktu lagi di pantai. Pakai dress motif floral selutut dan topi serta kacamata hitam. Nggak ada yang spesial buat Zia, kenapa Edward bilang itu favorit?
"Cantik kan?" tanya Edward dengan senyum lebarnya.
Zia menggigit bibir bawahnya, agak salting tapi lucu juga. Masa Edward nanya gitu, seolah-olah yang ada di foto bukan Zia!
"Terus ini favorit yang kedua." Edward bergegas scroll lagi, terlihat sangat bersemangat menunjukkannya lagi ke Zia. "Kamu happy banget di sini."
Itu foto waktu Zia dapat piala. Bukan foto yang pegang piala dengan pose berdiri kaku, Zia justru mengangkatnya tinggi-tinggi dan tertawa.
"Tapi semuanya favorit saya. Ini juga, oh, yang ini juga." Edward berdecak kagum. Zia ini emang menakjubkan. Bisa-bisanya waktu itu Ogi bilang Zia bukan tipenya Edward? Yang kayak gini emang bukan tipe untuk dipacarain doang, tapi buat diajak bersama-sama seumur hidup!
"Kok segini aja fotonya?" Edward cukup kecewa karena foto-foto harus berakhir. Cuma belasan postingan aja tapi bagi Edward nggak cukup.
"Yang lainnya ada di arsip."
Edward mengangguk-angguk. Dia mengembalikan ponsel ke Zia sembari memeluk gadis itu. Beberapa kali bibirnya mendarat di pipi Zia dengan gemas. "Kamu sadar nggak kalo kamu luar biasa, Zi? Beauty, brain, a perfect 10."
"Om berlebihan banget." Zia membalas pelukan Edward saking nyamannya. Di saat seperti ini, rasa-rasanya dia mau meluapkan semua pikiran buruk-buruk tentang Edward. Tapi ... apa udah tepat?
"Saya nggak berlebihan kok." Edward merangkum wajah Zia dan lagi-lagi memberi kecupan di seluruh wajahnya. Entah kenapa Edward nggak bisa berhenti melakukan ini. Sentuhan-sentuhannya adalah bentuk rasa sayang dan cinta yang ingin dia tunjukkan. "Nanti dinner di sini ya?"
Zia belum menjawab. Berhadapan dengan Edward dalam jarak sedekat ini masih belum sanggup hatinya tolerir. Bayangkan, siapa yang tahan ditatap orang ganteng dengan sorot lembut yang bikin perutnya mendadak mules, lalu usapan di pipi yang teramat pelan mengantarkan degupan jantungnya nggak karuan. Zia nggak sanggup.
"Saya anggap kamu mau. Saya pernah salah bikin kamu sakit waktu dinner sebelumnya, Zi. Sekarang izinin saya tebus itu semua. Kamu akan diperlakukan baik di tengah keluarga saya."
Zia memejam saat deru napas Edward semakin dekat. Belum mampu berpikir apa pun, bibir mereka sudah menyatu. Lembut sekali Zia rasakan Edward menyesap bibirnya. Lidah yang pelan-pelan menyusup membuat Zia refleks meremas lengan Edward. Ah, dia nggak pernah bisa memberontak dengan sentuhan semacam ini. Edward kelewat pandai membuat Zia terlena pada apa pun.
Ciuman itu tidak bertahan lama karena Edward memutuskan untuk menyudahi. Dia mengusap bibir Zia dan tersenyum. "Mau dinner di sini?"
Beberapa detik Zia terdiam. Oh, jadi ini trik Edward biar dia nggak berkutik? Tapi nyatanya Zia emang nggak niat menolak. Jadi dia mengangguk.
***
Sudah seminggu ini Edward susah tidur. Mendekati hari di mana Zia akan berangkat wisata ke Kuala Lumpur membuat pikirannya terbang ke mana-mana.
Edward tidak berani menunjukkan bahwa dia ingin mencegah Zia pergi. Karena bagaimanapun, kekhawatirannya ini nggak beralasan. Zia sudah mengikuti rencana wisata sejak lama. Kehadiran Edward nggak seharusnya membuat Zia membatalkan banyak hal di hidupnya.
"Gue di sini aja, Gi." Suara Edward mulai tertekan. Suara pesawat yang mulai dekat, area bandara yang terlihat di pandangan mata, membuatnya mual. Kepalanya berdentum nyeri. Dia nggak bisa lebih jauh lagi.
"Gue cariin tempat dulu." Ogi setuju karena tau banget Edward nggak bisa lama-lama sama sesuatu yang berhubungan dengan bandara, pesawat, penerbangan, semuanya.
"Om nggak ikut masuk nganter aku?" Zia bertanya karena kebingungan kenapa Edward menolak mengantar.
"Edward di sini aja, Zi," jelas Ogi. "Kamu sama Abang. Nanti Abang tunggu sampai kamu flight."
Tidak ada yang bersuara setelah itu. Ogi memberhentikan mobil di sebuah minimarket. Sengaja turun dan izin beli sesuatu. Padahal niatnya biar Edward dan Zia punya waktu buat ngobrol.
Tentu saja itu Edward gunakan dengan baik. Dia meredakan rasa gugupnya sebelum berpindah ke kursi belakang, tepat di samping Zia. Tanpa aba-aba dipeluknya Zia yang bahkan masih kebingungan apa yang terjadi.
"Janji nanti balik?" bisik Edward di helai rambut Zia. Dia menghirup lekat aroma yang sudah terbiasa dihirup, seolah itu adalah kebutuhan oksigen demi dia bisa hidup lebih lama.
Sedangkan Zia yang masih bingung jelas belum menjawab.
"Janji nggak ninggalin saya, Zi?"
"I-ini ... aku kan mau pergi, Om." Zia mau meregangkan pelukan tapi Edward menolak. Lelaki itu memeluknya makin rapat.
Siapa sangka kalau ucapan Zia tentang mau pergi membuat Edward merasakan keringat dingin mengaliri kulit-kulitnya. Tidak ada yang tau seberapa kaku buku-buku jemari Edward karena menahan bongkahan batu besar yang seolah menghantam kepalanya. Dia pusing, limbung, hampir kehilangan daya untuk menguasai tubuhnya sendiri.
"Om tungguin aku balik ya." Zia menepuk-nepuk punggung Edward yang berkeringat. Padahal ini masih sangat pagi. Baru juga pukul 4. Cuaca juga dingin. Tapi Zia anggap Edward hanya khawatir dia kenapa-kenapa, melihat dari masa lalu lelaki itu. "Ada Bang Ogi, Om. Udahan peluknya."
Edward masih belum mampu bereaksi apa-apa. Jadi saat Zia melepas pelukan, tubuhnya segera lunglai di sandaran jok. Napasnya tersendat. Ini perasaan yang sama seperti bertahun-tahun lalu. Cemas, takut, semua hal menghantam dadanya seolah tidak memberinya ruang untuk menarik napas.
"Lo turun di sini, Ed?" Ogi menawarkan. Dia buka pintu mobil dan lihat kondisi Edward yang lemas. "Bro, lo nggak apa-apa?"
Edward berusaha mengatur pernapasan. Dadanya terasa sesak luar biasa. Tapi dia nggak boleh egois dengan keadaannya. Ini bisa membuat Zia dan Ogi kerepotan. Dia nggak mau.
"Turun di sini aja, Gi."
Ogi gerak cepat berpindah ke samping Edward karena tau sohibnya itu lagi nggak baik-baik aja. Pintu udah dibuka dan dia antisipasi kalau-kalau Edward kehilangan kendali. Untung aja lelaki itu masih sanggup berdiri, bahkan berjalan ke arah minimarket.
"Zia pasti balik. Jangan khawatir, Ed." Ogi menepuk pundak Edward untuk menenangkan. Dia cukup tau apa yang dirasa Edward. Dulu Edward sempat mengikuti sebuah terapi tentang traumatis yang dialami, namun entah kenapa belum sepenuhnya hilang. Tapi setidaknya, Ogi lihat perubahan itu. Edward sudah bisa lebih tenang daripada dulu-dulu yang bahkan untuk sekadar lihat miniatur pesawat aja udah jatuh pingsan.
"Lo anter Zia aja dulu, Gi. Gue nunggu di sini." Sebenarnya Edward mual. Isi perutnya makin naik ke atas dan hampir aja dia muntahkan sesuatu. Tapi ditahan sekuat tenaga. Paling tidak, dia tunggu Ogi dan Zia berlalu.
"Oke, lo baik-baik di sini," pesan Ogi sebelum berbalik dan masuk ke mobil lagi. "Kalo Zia udah aman, gue nggak perlu nunggu dia flight." Di saat seperti ini, Ogi tau siapa yang harus diprioritaskan. Tentu saja Edward. Dia akan balik cepat nanti.
Ogi melangkah menjauhi Edward untuk masuk kembali ke mobil. Tubuh Edward terduduk di bangku. Matanya nanar menatap kepergian mobil yang membawa Zia dan Ogi. Kelebat tentang mengerikannya sebuah berita kecelakaan pesawat pelan-pelan merenggut kinerja pernapasannya. Perutnya terasa bergejolak dan Edward nggak bisa menahan lebih lama.
Tidak adanya isi perut membuat semua yang keluar dari mulutnya hanya air. Dia terbatuk dan menekan dadanya kuat-kuat karena sesak luar biasa. Reruntuhan pesawat, suara gaduh saat eksekusi, semua itu mengikat kepala Edward begitu kencang, sampai-sampai dia merasa hampir pecah.
Edward gemetar saat mengeluarkan ponsel dari saku. Dibukanya sebuah akun instagram milik Zia, melihat-lihat foto di sana. Berharap itu bisa mengurangi ketakutan yang nggak bisa dibendung.
Zia pasti baik-baik aja.
Entah sudah berapa lama Edward meyakinkan diri. Namun suara petir yang menyambar membuatnya terkejut. Ponsel di tangannya berhasil terjatuh ke lantai.
God, jangan lagi. Berkali-kali Edward berdoa agar cuaca tidak lagi memburuk seperti awal mula kecelakaan itu terjadi.
"Ed!"
Teriakan itu membuat Edward yang sedari tadi masih diam, akhirnya mengangkat kepala. Dia baru sadar bahwa mobil Ogi sudah terparkir di depannya. Temannya itu segera turun dan menghampirinya.
"Bentar lagi Zia flight. Tadi sih katanya hampir delay karena cuaca buruk. Tapi akhirnya berangkat juga."
Serentetan kalimat yang terdengar sontak membekukan seluruh tubuh Edward. Andai dia bisa membuat pilihan, maka ditariknya Zia agar nggak perlu terbang.
"Sorry, Ed. Maksud gue ...." Ogi segera klarifikasi. Dia ingat kalau dulu sebelum pesawat yang Gwen tumpangi jatuh, itu juga hampir delay karena cuaca buruk. Namun tetap dipaksakan terbang. "Udah dipastikan aman semuanya. Cuacanya juga nggak ekstrem."
Ogi memutuskan berdiri di samping Edward yang duduk menunduk. Lelaki itu terlihat pucat. Ada titik keringat di wajah Edward. "Ayo balik sekarang, Bro. Harus ngantor pagi kita."
Belum sempat ada respons apa-apa, suara gemuruh dari atas terdengar menggema. Refleks Ogi mendongak. "Itu pesawat Zia kayaknya."
Samar-samar Edward masih mendengar suara Ogi. Disertai gemuruh pesawat yang mulai lepas landas tak jauh dari tempat mereka berada. Dia berusaha menghirup banyak udara yang tersedia, tapi mulutnya kepayahan untuk merespons.
Tiba-tiba saja kegaduhan sejak pesawat itu terjatuh terus saja mengungkung ingatan Edward. Seolah di depan matanya sekarang ada pembawa acara berita nasional yang mengabarkan bahwa tidak ada satu pun jiwa yang selamat.
Kepala Edward terasa pening, sekitarnya berputar-putar. Telinganya semakin berdengung hingga beberapa detik dia dililit kecemasan hebat. Edward berusaha berdiri untuk menghindari suara pesawat yang makin menjauh. Dia ingin ke mobil dan melaju pulang dengan cepat.
Tapi dalam sekejap pusaran hitam menghantam pandangannya, menggulungnya dalam keremangan yang hampir membuatnya tak sadarkan diri. Hanya beberapa saat dia bertahan, namun saat satu kaki menapak, kesadarannya terenggut begitu saja. Bersamaan sebuah teriakan sebelum semua terasa menggelap.
"EDWARD!!!"
🧚🏻🧚🏻
San Ping
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top