39. Dinner Panas (Bag. 1)
Fast access-nya tungguin menyusul. Kurang dikiiiiit di sana😗
Happy reading☺️
🧚🏻🧚🏻
"Ed, woy! Bengong aja lo!"
Edward hampir terjungkal waktu bahunya ditepuk Ogi. Matanya mengerjap cepat dan dia terkekeh pelan. Tangan kanannya refleks mengusap tengkuk dengan cengiran konyol. Gila, dia nggak nyangka ternyata lihat Zia tersenyum padanya aja udah bikin ritme debaran di dadanya nggak menentu. Padahal udah sering mendapati Zia senyum, ketawa, ngambek, nangis, hampir semua. Tapi ini keliatan beda. Senyumnya Zia manis banget. Khas senyum seorang perempuan ke laki-laki, berseri-seri, cerah, kedua mata sampai menyipit, bahkan tulang pipinya terangkat menggemaskan. Makanya Edward didera perasaan grogi yang memalukan.
Padahal seingatnya pagi tadi mereka akhiri pertemuan dalam keterdiaman. Setelah dia tanya apa Zia bisa janji nggak melain hati, tiba-tiba gadis itu terdiam lama. Edward mengartikan bahwa mungkin Zia belum yakin padanya untuk janji sepenting itu. Tidak apa, wajar kalau Zia belum bisa menentukan pilihan. Yang dia salut adalah Zia nggak mengucapkan janji dengan sembarangan. Namun Edward percaya Zia hanya perlu diyakinkan.
"Ed!!!"
Edward mengerjap. "Wow." Suaranya agak tercekat. Refleks dia membasahi bibir bawah dengan sapuan ringan lidahnya, karena menyadari dia terlalu grogi sampai kehilangan kata-kata. Kekagumannya nggak bisa disembunyikan lagi. "How beautiful you look, Zi."
"Cuih!" Ogi yang bereaksi. Dia bergidik dengar kalimat Edward tadi. "Nggak zamannya salting, Saaatttt. Geli gue liatnya. Kayak abege aja tingkah lo."
Edward mendelik ke arah Ogi. Ngerusak suasana banget manusia satu ini. Lagian ngapain Ogi antar adiknya sampai pintu segala. Edward bisa menjemput Zia dengan cara yang baik dan benar bahkan sampai ke dalam rumah. Menghadap orang tua Zia untuk ambil hati juga jagonya. Sayangnya Ogi masih terus nggak izinkan dia ngobrol serius tentang hubungan Edward-Zia ke om sama tante. Nggak tau kenapa.
"Lo lebih parah kalo sama Key!" desis Edward.
Sontak kalimat itu membuat Ogi dan Zia menganga. Si Ogi segera memberi tatapan menghunus ke Edward karena memang niatnya nggak menunjukkan ke Zia bahwa dia tau Zia mengetahui hubungannya. Aduh, nggak tau gimana kalimatnya. Pokoknya gitu.
Sedangkan Zia yang ngira kalau Ogi nggak tau kalo dia pernah mergokin, jelas aja protes lewat tatapan ke Edward. Kenapa laki-laki itu bocorin kalau mereka tau hubungan Key-Ogi? Kan harusnya diem-diem aja!
"Kalian berdua udah sama-sama tau jadi nggak perlu kucing-kucingan," saran Edward. "Kecuali sama yang belum tau, baru perlu dijaga."
Zia cukup kaget. Eh, serius abangnya udah tau kalo dia dan Edward mergokin waktu di kamar itu? Tapi dari tingkah pasrah Ogi sekarang kayaknya emang benar. Pintar banget ternyata abangnya ini menyembunyikan sesuatu.
"Lo bener, Ed. Gue juga capek," keluh Ogi. Mukanya kayak nggak ada semangat. Kalimatnya terdengar lemah dan nggak punya daya apa-apa. "Tapi kalian janji, jangan bilang ke siapa-siapa."
"Aman." Edward mengarahkan jempolnya. Iya, aman selagi bukan Ogi sendiri yang teledor dan berujung kepergok orang lain lagi.
"Zi." Giliran Ogi menatap adiknya yang masih tercenung. Dia takut Zia melihatnya dengan cara berbeda sekarang. "Abang minta maaf nggak bisa kasih contoh yang baik. Maaf ya. Abang emang berengsek, tapi semoga kamu nggak benci sama Abang."
Zia mengerjap. Kenapa malah jadi sendu begini suasananya. Ogi keliatan kasihan banget. Seperti udah menahan cerita bertahun-tahun lamanya. Apa dia melewatkan sesuatu? Jelas, banyak. Ogi yang pacaran sama sepupu mereka dan dia nggak tau, itu aja udah termasuk rahasia besar. "Bang," gumamnya. Dia nggak boleh egois dengan anggap Ogi seberengsek itu. Hidup Ogi nggak selamanya sesuai sama yang Zia ingin. "Abang bisa cerita ke aku mulai sekarang. Aku nggak anggap Abang berengsek kok."
Ogi cukup lega dengar penuturan adiknya. Lalu diusapnya dengan pelan puncak kepala Zia. "Pergi sama Edward, gih. Hati-hati."
Sebelum benar-benar meninggalkan, Zia sempat memeluk Ogi terlebih dulu. Entah kenapa dia bisa menerima kekurangan abangnya sendiri. Apalagi dia yakin Ogi cuma ngelakuin itu sama Key, sepupunya. Zia kenal Ogi dengan sangat baik. Jadi kalau sampai terjadi hal yang kebablasan, pasti ada suatu hal yang menjalari.
Zia nggak membenarkan seseorang yang having sex di luar ikatan seharusnya. Baginya sangat tabu. Dia juga sudah melewati masa-masa kecewa terhadap Ogi saat mengetahui abangnya kayak gitu. Tapi karena lama berpura-pura nggak tau, jadi kecewanya pelan-pelan pupus dan dia bisa berpikir bahwa nggak semua jalan hidup Ogi harus sesuai harapan Zia.
Ogi punya hidup sendiri sebagai orang lain. Bukan hanya jadi abangnya. Zia berusaha mengikhlaskan jika Ogi memilih seperti itu.
"Abang tunggu oleh-olehnya. Bawain ya, Zi." Ogi mengatakannya sambil terkekeh karena adiknya nggak juga melepas pelukan.
"Entar gue beliin martabak. Tenang aja." Edward yang menjawab.
"Sekelas elo minimal martabaknya pake topping kaviar, Ed."
"Nggak sekalian nitip pepes ikan sturgeon?"
"Kalo pepes ikan buat Zia ajalah. Asal nemu aja pake ikan itu. Awas entar beneran ditagih. Zia orangnya gampang penasaran."
Edward nyengir. "Ke ujung dunia juga gue bakal cariin kalo buat Zia."
Ogi melotot. Ini kayaknya Edward balik ke masa remaja lagi. Masa gombalannya receh gitu? "Tapi lo yang bilang sendiri kalo dunia nggak ada ujungnya soalnya bulet."
"Nggak usah mulai, Gi. Kita pernah musuhan dua puluh bulan gegara beda pendapat bumi datar sama bumi bulet!"
Zia yang ada di antara keduanya cuma bisa mendengus kesal. Dua orang itu dari dulu emang tingkahnya nggak berubah. Kalo nggak musuhan ya peluk-pelukan kayak homo.
"Aku batalin dinner-nya nih kalo kalian berdua ngomel terus," ancam Zia. Tapi setelah itu matanya membelalak. Dia menggeleng karena baru sadar ucapannya.
"Nggak apa-apa dibatalin. Setuju banget malahan." Edward tersenyum lebar.
"Lo mau bikin adek gue kecewa lagi karena batal dinner?" Ogi nggak terima.
Edward melunturkan senyumnya. Nggak salah sih Ogi bilang gitu. Soalnya Ogi nggak tau kalau ini bukan dinner Edward-Zia aja. Justru dinner di keluarga Gyna. Lagi-lagi Zia yang melarang Edward bilang terus terang.
"Ayo berangkat aja, Om. Kelamaan." Zia nggak mau ini tertunda. Bisa susah atur waktu lagi sama Edward.
"Jangan inepin adek gue lagi!" Ogi melotot ke Edward. Semalam udah nginap dan dia yang harus cari alasan ke orang tuanya biar nggak tau Zia sama Edward. Dia nggak bisa lagi cari pembelaan lain setelah ini.
"Abis dinner langsung balik." Edward mengatakannya dengan yakin. Dia juga ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam nanti. Kalau ngajak Zia nginap pasti jadi terabaikan. Kasihan. "Ayo, Zi."
Zia menatap telapak tangan Edward yang terulur di depannya. Bukan Zia enggan menerima, tapi dia malu sama Ogi. Selama ini kalau dia pacaran nggak pernah menunjukkan romantisme macam begini depan keluarganya. Lagian gaya pacaran Zia santai aja kayak temenan biasa. Nggak beranilah mereka gandengan tangan di depan Ogi.
Sekarang Edward malah berani. Mungkin karena udah sohiban sama Ogi jadi ngelunjak dikit. Tapi tetap aja Zia nggak nerima. Malu. Yang ada, Zia langsung melengos dan melewati tubuh Edward lebih dulu. Membiarkan tangan Edward menggantung tanpa disambut.
"Malu dia." Ogi menepuk bahu Edward, berusaha membuat lelaki itu nggak kecewa. "Jangan terlalu dipikirin. Zia emang suka malu-malu."
Edward mengangguk. Dia cukup paham karena tau kisah percintaan Zia sebelum ini nggak sampe deket banget. Dia tau jelas dari Ogi hasil banyak tanya apa Zia pernah pacaran atau nggak, berapa kali, mantannya namanya siapa. Dan lain-lain-lain-lain.
"Gue duluan, Gi," pamit Edward.
Ogi mengangguk. Dia mengepalkan tangan dan dipukulkan ringan ke punggung Edward saat lelaki itu udah berbalik. "Btw, lo bucinnya keliatan banget, bro! Adek gue pasti lo perlakukan dengan baik."
Edward menghentikan langkahnya. Dia berbalik lagi sembari tertawa ringan. Memperlakukan Zia dengan baik? Entah, tapi Edward selalu berharap Zia merasa begitu juga. Meski belum sempurna cara Edward memperlakukan, tapi dia terus berusaha. Udah dibilang berkali-kali kan, di hubungan ini dia akan berusaha memperjuangkan. Dia di sini yang mau banyak berjuang. Meskipun menunggu adalah bagian dari perjuangannya, maka Edward nggak keberatan. Zia nggak perlu melakukan apa-apa. Cukup nggak melain hati aja Edward senang luar biasa.
"Tapi adek gue masih labil gitu, Ed. Gue khawatir lo nggak kuat," kekeh Ogi. "Sebenernya gue percaya lo bisa handle dia. Tapi ... ya ... pasti suatu saat lo ada rasa capek."
"Lebih baik capek daripada nggak sama dia kan, Gi?" Edward membalas kekehan Ogi.
"Tuh, buciiiinnn lagi." Ogi berlagak sebal meski dalam hati tersenyum. Dia emang harusnya nggak khawatirkan apa pun. Dia kenal Edward dengan baik yang selalu memperlakukan pacar-pacarnya dengan baik juga.
"Gue udah pernah bilang, buat gue yang kayak gini tapi dapetin Zia itu kayak dapat jackpot, hoki," lanjut Edward. Dia juga udah beberapa kali bilang ke Zia tentang ini. Betapa bersyukurnya dipertemukan sama Zia dan berakhir dengan menjalin hubungan. "Jadi lo nggak perlu khawatir."
Ogi mengangguk-angguk. Mereka menyudahi obrolan karena takut Zia menunggu di dalam mobil. Edward segera menyusul masuk. Dilihatnya Zia sudah duduk dan pakai seatbelt.
"Kok ngelamun?" Edward bertanya dengan nada pelan saat melihat tatapan Zia kosong ke arah depan.
"Nggak kok, Om." Zia tersenyum tipis. "Aku cuma masih kepikiran Bang Ogi sama Kak Key."
Edward memutar kunci mobil dan mulai menjalankannya. "Mungkin dia punya alasan kenapa nggak bilang, Zi."
"Iya, Om." Zia mengangguk. "Tapi ... ya, sampe ... segitunya ya mereka? Maksudku, sampe sejauh ... itu." Akhirnya Zia melontarkan keresahannya selama ini. Biasa ngobrolin banyak hal ke Ogi, tapi kalau topik percakapannya adalah Ogi nggak mungkin dia mengutarakan ke abangnya. Jadi entah kenapa Zia nyaman kalau curhatnya sekarang ke Edward.
"Ini tentang yang kita denger waktu mereka di kamar?" tanya Edward hati-hati.
Zia mengangguk dan menatap Edward dengan tatap sayu. Menunjukkan kecewanya yang sempat muncul.
"Hal kayak gitu memang salah," jelas Edward dengan suara lirih. Dia nggak mungkin terang-terangan menyalahkan Ogi yang melakukan itu di luar pernikahan, sedangkan dirinya sendiri aja nggak jauh beda. "Tapi zaman sekarang lumrah, Zi."
"Lumrah? Aku sering denger banyak orang melumrahkan hal yang jelas-jelas salah. Kenapa?" Zia ingin dengar dari sudut pandang Edward. Makanya sekarang terfokus menatap kanan, setengah menghadapkan tubuh ke lelaki itu.
Keseriusan ekspresi Zia jelas menggugah hati Edward. Dia mulai waswas karena baru kali ini mendapati Zia sefokus itu membahas sesuatu. Kedua mata Zia menyorot tegas, hampir tidak berkedip. "Zi."
"Iya. Bisa jelasin itu?" Suara Zia terdengar tenang namun penuh penekanan.
Edward perlu menarik napas berkali-kali sampai menemukan kata-kata yang tepat. Bertahun-tahun menjadi pembicara di seminar bisnis, ngobrol dengan klien dengan tutur kata yang tidak diragukan lagi, tapi entah kenapa detik ini dia kehilangan semua kemampuan itu.
"Aku nggak nge-judge orang, Om. Aku cuma tanya kenapa Om anggap lumrah padahal sebelumnya bilang hal itu emang salah?"
Ternyata ... Zia bisa sedetail dan sepemikir itu. Edward bisa saja mengalihkan jawaban ke hal lain. Tapi dia paham ini bukan saatnya. Zia ingin dia menjawab maksud ucapannya tadi.
"Maksud saya." Edward mulai menata kata-kata. Dia meraih jemari Zia agar bisa digenggam. Zia tidak menolak. "Saya nggak melumrahkan hal yang salah. Tapi di dalam kehidupan ini, memang banyak sekali orang yang melakukan itu. Lumrah di sini bukan saya mewajarkan. Tapi karena saking banyaknya dan saking biasanya, jadi saya kayak udah lumrah lihat orang-orang yang begitu."
Zia terdiam beberapa detik. Tidak ada suara apa pun dari mulutnya. Hanya anggukan kecil yang lantas membuat Edward seolah bisa merasakan kelegaan luar biasa. Padahal tadi pertanyaan biasa, tapi Edward rasanya takut.
Iya, Edward takut jika Zia juga kecewa padanya suatu saat nanti kalau tau kenyataan Edward bagian dari yang dia lumrahkan tadi. Meski itu adalah masa lalunya. Dulu. Sekarang tidak. Semoga.
"Semua orang punya masa lalu, Zi," ujar Edward. Resahnya mulai menumpuk. Kalau bicara tentang masa lalu, dia seakan ingin menolak hal-hal yang membuatnya menyesal di masa sekarang. Dia bukan menyesal pernah menjalin cinta dengan beberapa mantannya, hanya saja ... apa pun yang dia lakukan itu ... sudah membuatnya terlihat buruk di mata kekasihnya sekarang.
Kalau tau masa depannya akan seperti ini, dia lebih pilih tidak menjalani apa pun sama sekali di waktu yang lalu. Kalau tau dia akan berakhir dengan gadis yang ada di sampingnya ini, maka Edward akan menjaga baik-baik kelakuannya dulu. Dia juga sadar kalau orang seperti Zia layak dapat yang lebih baik. Edward sedang mencoba menjadi layak, namun tetap tidak bisa menjadi sempurna.
"Iya, Om." Zia mengangguk. Duduknya mulai normal lagi dan menghadap depan. Tapi dia ikut menggenggam tangan Edward, balas mengusapnya pelan-pelan karena tiba-tiba dia sadar telapak tangan Edward dingin dan kaku.
"Saya hargai prinsip kamu," lanjut Edward.
"Ada yang pernah ngetawain waktu aku bilang pandanganku tentang ini, Om," jelas Zia. "Katanya aku terlalu naif. Dia bilang, belum aja aku ketemu laki-laki yang cocok. Kalo udah sih pasti ngikut aliran gitu juga. Temen-temenku udah banyak yang kayak gitu. Dan mereka keliatan bangga banget. Cuma karena aku beda, aku diketawain."
"Kamu nggak pantes diketawain, Zi." Edward tidak setuju.
"Padahal kan kalau sampe aku kayak gitu artinya nggak seprinsip sama pasanganku ya?"
Edward hanya menjawab dengan anggukan. Zia memang masih remaja. Prinsip bisa berubah-ubah. Tapi dialah yang harus mengimbangi. Dia tidak mau merusak prinsip Zia meski bisa saja benar adanya, mungkin gadis itu masih terlalu naif di umurnya yang sekarang untuk membahas dunia secara luas.
"Om juga sama?"
"Hm? Apanya?"
"Pandangannya."
Edward menoleh ke Zia, mengamati raut gadis itu yang menunggu jawabannya dengan harap-harap cemas. Padahal Edward sudah gugup luar biasa. Kalau Zia nanti tau tentang dia yang bahkan nggak terhitung lagi berapa kali pernah melakukan, apa yang akan terjadi? Edward nggak sanggup kalau harus kehilangan gadis itu.
"Iya. Sama." Pada akhirnya, meski dengan sedikit tercekat Edward mampu menjawab. Setidaknya dia jujur. Pandangannya saat ini memang sama, lebih tepatnya dia coba menyamakan dengan Zia.
"Makasih ya, Om."
Saking kalutnya, Edward nggak bisa menahan buncahan perasaan. Dia tarik tangan Zia untuk dikecupinya berkali-kali. "Saya yang makasih sama kamu. Maaf ya, Zi. Saya banyak kurangnya.
"Nggak kok." Zia tersenyum. "Om buat aku tuh perfect tau."
"Kamu yang perfect." Edward balas memuji. Dia sempat mendapati kekagetan Zia waktu dengar ucapannya ini. Nggak tau kenapa. "Makasih mau sama saya."
Zia tersenyum tipis. "Om sukanya merendah."
Edward tidak menanggapi tentang ini. Dia teringat sesuatu. "Zi, apa saya boleh minta kamu panggil saya Kak aja? Kalau kamu keberatan, cukup malam ini aja waktu dinner. Setelah itu senyamannya kamu mau manggil saya apa."
Zia berpikir sebentar. Tanpa banyak pertimbangan dia mengangguk. "Kak Edward kan?"
"Good job." Edward menepuk pelan puncak kepala Zia. Pasti Zia tau ini demi dinner di rumah Gyna biar nggak keliatan aneh interaksi mereka.
"Aku jadi inget, Om."
"Kak."
"Oh iya." Zia terkekeh. "Kak Ed nanti mau ngobrol sama papanya Kak Gyna?"
Edward mengedikkan bahu. "Kalau memang memungkinkan, iya. Tapi saya berharap enggak. Kita cukup dinner aja selayaknya keluarga. Tapi saya nggak mau mencampuri konflik di sana lebih jauh. Tolong ngertiin saya tentang ini ya, Zi," pinta Edward.
Zia tau maksudnya Edward nggak mau dipaksa ngobrol sama papanya Gyna. Jadi dia mengangguk. "Iya, kita dinner aja. Kan keluarga mereka keluarga Kak Ed juga."
Edward tersenyum, meski dalam hati masih menyimpan banyak ketakutan. Ternyata begini rasanya sembunyikan kebohongan. Hatinya nggak tenang sama sekali. Apa langkah-langkahnya akan terus merasa gelisah sepanjang dia hidup setelah ini?
Entah. Yang pasti, jika Edward jujur maka Zia bisa pergi. Dan Edward nggak mau. Dia butuh waktu untuk mempersiapkan diri walau tidak tau sampai kapan. Mungkin ... dia akan ketakutan seumur hidup.
***
Sesuai perkiraan Zia, itu adalah rumah dengan halaman luas berpagar tinggi. Di depannya ada seorang wanita—mungkin asisten di rumah itu—sedang berbicara dengan Edward. Sekadar ramah tamah karena keduanya terlihat bukan sekali dua kali ketemu.
"Mari, Tuan." Wanita itu membungkukkan tubuh sembari menjulurkan tangan, mempersilakan kedua tamu melewatinya lebih dulu.
"Kami nyusul aja, Bi." Edward tersenyum.
Mungkin sudah biasa—Zia juga heran—jadi wanita itu berlalu dengan sopan. Tinggallah mereka berdua di depan pintu yang sudah dibukakan tadi.
"Jadi masuk, Zi? Kalau mau kamu batalin belum terlambat. Mumpung masih di pintu." Edward menawarkan untuk terakhir kali.
Zia mendengus. "Nggak ada yang mau berubah pikiran, Om."
"Hei."
"Oh iya. Kak." Zia cepat-cepat meralat.
Paham bahwa Zia serius dengan itu, Edward hanya bisa pasrah. Dia menghela napasnya pelan-pelan sebelum meraih jemari gadisnya untuk dikecup lembut. "Ayo kalo gitu."
Keduanya melangkah melewati pintu utama. Seperti tidak ada kehidupan di ruang tamu, Zia sampai melongok ke kanan kiri. Entah rumahnya yang terlalu besar atau memang orangnya sangat sedikit. Tapi kemungkinan kedua lebih masuk akal. Soalnya dia ingat rumah orang tua Edward lebih besar dari ini tapi nggak terbilang sepi. Di sana, para asisten hilir mudik di waktu-waktu sibuk. Jadi nggak hening. Nggak begitu ramai juga. Mungkin tepatnya suasana rumah Edward lebih damai, sejuk, tentram.
Pemikiran Zia tentang kondisi rumah seketika terhenti. Dia harus menahan langkahnya karena Edward diam mendadak. Zia cukup kaget merasakan jemari yang menggenggam tangannya terasa basah, juga mengerat dalam cekalan.
Refleks Zia menoleh ke Edward. Kondisi lelaki di sampingnya ini cukup bisa dia jabarkan. Rahangnya terlihat mengeras, jakunnya yang bergerak adalah tanda kalau Edward kesusahan menelan ludahnya sendiri. Juga tarikan napas yang mendadak bisa Zia dengar jelas. Menderu, seakan ada rasa sesak yang mengungkung dada Edward saat tatapnya terarah ke sesuatu di depan sana.
Memberanikan diri, Zia mengikuti arah pandang Edward yang membeku. Detik itu juga Zia merasakan hatinya seperti diremas-remas. Benar, itu ... foto seorang wanita cantik. Terpajang rapi di deretan foto keluarga. Namun di antaranya ada foto Gwen seorang diri dalam balutan seragam kerjanya. Pramugari. Iya, Zia mendadak ikut terdiam. Ada yang berdentam kuat di dadanya saat pukulan kalimat-kalimat Gyna menyerang akal sehatnya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Gwen memang sesempurna itu. Zia sampai bingung mendeskripsikan perasaannya ini. Nggak manusiawi kalau dia bilang cemburu, sedangkan yang dicemburui sudah tidak bisa ditemui di dunia. Tapi justru itulah yang membuat Zia merasa serba salah. Dia lebih memilih menghadapi sesuatu yang nyata di hadapannya, bukan justru seseorang yang sudah pergi dan sama sekali nggak bisa kembali. Dia seperti mencemburui sesuatu yang tak kasat mata. Sedangkan cinta Edward ke Gwen bukan cuma ilusi. Itu adalah nyata meski sosok Gwen sudah tidak bisa Edward genggam.
Bukannya itu definisi cinta sejati kata orang-orang? Edward hanya melanjutkan hidup bersamanya. Tapi untuk cinta? Nggak mungkin. Lelaki itu sudah memberikan cinta sangat hebat dan nggak akan terganti ke Gwen. Siapa pun nggak ada yang bisa mendebat satu hal ini.
"Zi ...."
Zia cukup terkejut dengan panggilan itu. Saat dia kira dia yang akan jadi pihak menyadarkan, ternyata salah. Lamunan keduanya dipecahkan Edward. Dia hanya bisa menoleh ke lelaki itu meski hatinya makin hancur. Tidak mungkin dia menyalahkan Edward. Wajar kalau lelaki itu masih teringat saat dihadapkan pada hal semacam ini. Dia yang salah karena terlalu berharap bahwa masa lalu Edward benar-benar selesai.
Tidak ada yang bisa mengelak bahwa Edward seperti terpukul berada dalam suasana seperti ini. Jelas sekali terlihat dari raut wajah Edward yang bimbang. Kedua matanya menyorot sayu dengan genggaman yang kini melemah. Senyum yang tercetak juga terkesan hanya sebagai bentuk keterpaksaan. Sedikit sekali sudut bibirnya terangkat.
"Kita ... pulang ... sekarang. Ya?" tanya Edward seakan susah berbicara akibat kesulitan menarik napas dengan baik.
Semakin terang perkiraan Zia bahwa Edward tidak bisa menahan buncahan perasaan yang muncul mendadak saat melihat foto Gwen. Itu hanya foto. Tapi reaksi Edward bisa separah ini.
Harus dengan cara apa Zia bisa membuat lelaki itu hanya melihatnya?
🧚🏻🧚🏻
Pergi aja sih Zi. Capek kan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top