33. Nggak Ada yang Penting

Jangan ikut ovt kek Zia 😚

🧚🏻🧚🏻

" ... Gue nggak salah kan?"

Edward menahan kuat-kuat keinginan untuk membantah. Andai tidak ada orang yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit dan dia takut mengganggu istirahat, udah pasti Edward masih sanggup menjawab kalimat panjang Gyna.

Belum lagi Gyna terlihat sangat emosional. Kedua mata itu memerah dan berair seperti hampir menangis. Mengingatkan Edward pada keadaan yang sama, ketika Gwen baru saja dikabarkan tidak terselamatkan. Ternyata sampai detik ini, Gyna belum bangkit dari rasa kehilangan.

Edward bergerak lebih dulu sebelum seseorang yang berbaring di ranjang rumah sakit semakin terusik karena teriakan Gyna. Dihelanya tubuh Gyna agar keluar dari tirai dan menuju belakang pintu.

"Gyn," lirih Edward. Dia menumpukan kedua telapak tangan di kanan kiri bahu perempuan itu. Ditundukkan kepala agar sejajar dengan tatapan Gyna yang terlihat sangat kacau. "Gue nggak akan lupain keluarga lo. Tapi hidup terus jalan, kita nggak bisa stuck di masa yang udah lewat lama. Lo, Gwen, mommy, daddy, selalu gue inget kebaikan kalian. Sekarang gue udah punya pasangan. Lambat laun lo akan tau siapa pacar gue tanpa perlu gue kenalin. Ini keputusan gue, Gyn. Gue harap lo paham."

Tandas dan tegas, Edward berusaha menyampaikan niatnya untuk tidak memperkenalkan Zia ke siapa pun sebelum waktunya. Dia hanya ingin menghargai perasaan Zia. Banyak hubungan sebelum ini yang gagal tanpa dia ketahui sebab pastinya apa. Jadi untuk yang saat ini, Edward berusaha keras menjaga baik-baik.

Mungkin ucapan Gyna memang ada benarnya. Perlakuan Edward ke seseorang yang dua kali pernah dikenalkan ke keluarga Gwen memang berbeda. Edward hanya menjalani hidup seperti semestinya, tanpa rasa berlebih, meski berulang kali berusaha dipupuk setiap hari. Rasa sayang, nyaman, cinta, sudah pasti ada walau intensitasnya tidak begitu banyak. Namun entah kenapa, pembawaan mantan-mantannya selalu mengingatkannya kembali pada Gwen. Cara mereka berbicara, cara mereka memperlakukan Edward, prinsip hidup mereka yang tak jauh beda, semua hal terasa sama. Hingga cinta itu seolah semu. Edward tidak bisa memastikan apakah dia benar mencintai pacarnya sebelum ini, atau dia hanya nyaman karena menemukan sosok Gwen di orang lain.

Setelah bertahun-tahun akhirnya Edward baru sadar bahwa mungkin hal itulah yang membuat hubungan mereka berakhir. Edward merasa berengsek jika memang ternyata selama ini mantannya merasakan Edward masih terbayang-bayangi masa lalu.

"Sorry, Ed," isak Gyna. Tubuhnya gemetar saat menutup wajah dengan kedua tangan. "Gue cuma ... nggak tau harus apa. Gue nggak punya siapa-siapa. Daddy juga lebih sering pergi-pergi sejak perusahaan pailit. Nggak tau ke mana dan ngapain. Keluarga gue kacau. Beberapa kali rumah gue didatengin debt collector karena perusahaan gue terlilit utang. Gue nggak paham sama ini. Gue ...."

Isakan kencang itu membuat Edward iba. Dia mengusap pelan bahu Gyna. Sangat mengerti perasaan perempuan itu. Kondisi hatinya pasti sedang kalut.

"Gue baru tau, Gyn. Maaf." Edward berujar pelan. Dia juga bingung harus bersikap bagaimana. Melihat kondisi mommy tadi, sepertinya memang keluarga itu sedang dilanda prahara yang hebat. "Untuk biaya rumah sakit ini, biar gue yang tanggung. Gue cuma bisa bantu itu. Lo tenangin diri ya, mommy sama daddy masih butuh lo."

Cukup lama mereka terdiam. Edward menunggu isakan Gyna sedikit reda. Dia hanya bisa menepuk pelan-pelan bahu Gyna untuk menenangkan. Setelah keadaan lebih baik, dia berniat pamit pulang.

"Gue balik dulu, Gyn," pamit Edward. "Jangan pikirin biaya rumah sakit. Nanti gue selesaikan semuanya."

Gyna mengucapkan thanks tanpa suara. Hanya gerak bibirnya yang terbaca.

Edward memberi senyum tipis dan membuka pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. Gyna tidak ikut keluar ruangan. Jadi saat Edward sudah ada di luar pintu, senyumnya tersungging lagi. Kali ini ke gadis yang sedang duduk di kursi tunggu dan mainan ponsel.

"Zi," panggil Edward pelan. Menyadari tubuh Zia sedikit tersentak, dia mengernyit. Segera dia duduk di samping Zia. "Kamu ngelamun? Kenapa?"

Zia meneguk ludah dengan susah payah. Dia menggeleng dan memaksakan senyum. "Nggak papa."

Edward tidak mau ambil pusing dengan jawaban nggak papa meskipun ngerasa kalau Zia sedang mikirin apa-apa. "Ayo, pulang," ajaknya.

Zia meraih tas dan memakainya, lalu mengembalikan ponsel ke Edward. Tidak ada yang bersuara sepanjang lorong rumah sakit. Mereka berjalan berdampingan tapi seperti orang yang tidak saling mengenal. Edward yang bisanya merangkul bahunya setiap mereka jalan, sekarang tidak.

"Kamu tunggu di sini dulu, Zi. Saya mau ke bagian administrasi," kata Edward.

Meski bingung, tapi Zia nurut. Dia kembali duduk di kursi dan membiarkan Edward ke sebuah loket. Entah mau apa, Zia tidak terlalu memikirkan itu.

Tidak lama kemudian Edward kembali menghampiri Zia. Dia memasukkan dompet ke saku celana dan siap untuk menjelaskan suatu hal yang dia takutkan berakibat fatal kalau disembunyikan dari Zia.

"Perusahaan keluarga Gyna lagi pailit," mulai Edward. Dia meraih tangan Zia agar gadisnya tau kalau semua yang Edward katakan nggak dibuat-buat. "Saya berusaha bantu. Saya bayarin tagihan rumah sakit. Bukan karena mereka keluarganya ... mantan saya. Tapi murni karena saya pengin bantuin mereka. Kalaupun bukan keluarga Gyna yang lagi ada masalah, udah pasti saya juga bantu."

Zia tidak merespons apa-apa. Baginya tentang itu bukan masalah besar. Edward memang punya kepedulian yang baik ke banyak orang. Tapi dia masih nggak sanggup jawab. Ada banyak hal berkecamuk di pikirannya. Terlalu penuh dan sakit.

"Jangan mikir macam-macam ya, Zi." Edward menyempatkan mengusap pipi Zia sekilas.

Zia nggak mampu menolak saat Edward membantunya berdiri. Nggak seperti sebelumnya, kali ini Edward menggenggam tangannya saat keluar dari pintu masuk dan menuju tempat parkir mobil.

"Mau lunch di mana?" tanya Edward setelah memakai seatbelt. "Kamu lagi pengin sesuatu atau saya yang kasih pilihan?" lanjutnya.

"Aku ... mau langsung pulang aja."

Gerakan Edward terhenti. Kernyitan di dahinya muncul. Apa yang salah dengan tawarannya ini? Apa mood Zia bisa berubah secepat itu?

"Fast food mau?" Edward mirip seperti seseorang yang sedang membujuk anak kecil. Menawarkan hal yang sebenernya nggak boleh, tapi nggak apa-apa sekali-kali biar si bocah nggak ngambek.

Tapi ternyata niat Edward nggak disambut baik. Zia justru menggeleng dan keukeuh bilang, "Aku mau pulang."

Edward mengembuskan napasnya dengan gusar. Diketukkan jemarinya di stir mobil untuk mengatur napasnya yang memburu. Dia kebingungan bagaimana menghadapi emosi Zia yang berubah-ubah secepat ini.

Setelah cukup menenangkan diri, Edward menoleh ke Zia yang sekarang menghindari tatapannya. Seperti beberapa kali saat Zia ngambek, sekarang juga sama. Menghadap luar lewat kaca samping mobil. Edward mendekat dan memakaikan seatbelt. Kebiasaan Zia juga kalau lagi ngambek pasti nggak mau pakai sabuk pengaman.

Setelah bunyi klik tanda terpasang, Edward mendekatkan kepalanya dan mengecup pipi Zia beberapa kali. Sebenarnya agar Zia merespons, nolak dan ngomel juga nggak apa-apa. Tapi justru cewek itu tetap diam tanpa reaksi apa-apa.

"Kenapa, Zi? Ada apa? Cerita aja." Edward akhirnya mengalah. Dia lepas sabuk pengamannya yang menghalangi gerakan untuk mendekat ke Zia. Kalau begini kan dia leluasa untuk mendekap cewek itu. Rahasia nenangin Zia cuma dipeluk. Makanya Edward mengulurkan tangan dan mengusap lengan Zia pelan-pelan. "Kamu marah karena saya jenguk mommy-nya Gyna?"

Sontak Zia menggeleng dengan cepat.

Edward mengartikan memang bukan karena itu. Jadi ditebaknya lagi hal lain. "Marah karena saya bayarin biaya rumah sakit tadi?" tanyanya lembut.

Zia juga menggeleng.

Edward terkekeh ringan. Akibat bingung mau nebak apa lagi. Merasa nggak bisa berpikir tentang alasan kenapa Zia ngambek, akhirnya disudahilah aksi membujuknya. Padahal dia sudah bekerja sangat keras untuk menebak hati cewek. Pertama kali dalam hidupnya dipusingkan oleh sesuatu yang tak kasat mata. Mood seorang remaja.

"Ya sudah. Kita langsung makan aja." Edward menarik diri. Dia memakai kembali seatbelt dan menyalakan mobil.

"Pulang aja."

"Kamu nggak mau nemenin saya makan, Zi?"

"Aku mau pulang."

Lagi-lagi Edward menekan gemuruh kuat di dadanya. Tapi lebih baik dia mengangguki. "Oke."

Mobil mulai berjalan. Berkali-kali Edward melirik Zia yang masih dengan posisi sama. Kedua tangan bertaut di atas rok SMA-nya. Kepala bersandar sembari menatap luar kaca. Dia juga sadar wajah Zia pucat sedari tadi. Mungkin lagi nggak enak badan, makanya bisa pengaruh sama mood. Semoga aja.

"Om belum kirimin nomor rekening."

Sampai pada itulah Edward memelankan laju mobil. Jangan bilang Zia beneran mau balikin uang darinya. "Apa, Zi?"

Zia menatap ke depan kali ini. Bibirnya sedikit gemetar saat mengatakan ini. "Aku udah bilang mau balikin uangnya."

"Saya nggak pernah bilang iya." Apa Zia tidak tau kalau Edward tipe laki-laki yang tidak suka pemberiannya dikembalikan?

"Aku mau ngembaliin."

"Nggak. Saya nggak akan nerima." Edward memutuskan topik pembicaraan. Suaranya juga sedikit ditekan, tanda kalau dia serius nggak mau Zia ngembaliin.

"Ya udah kalau nggak mau kasih nomornya. Aku bisa minta sama Bang Ogi."

Semua rasa panas di dada Edward sedari tadi seolah membuncah saat ini juga. Dia sudah sangat banyak menekan egonya sendiri untuk menghadapi mood Zia yang turun naik tanpa diketahui sebabnya. Tapi tentang hal ini ... Edward tidak pernah bisa menoleransi.

"Saya nggak suka sesuatu yang udah saya kasih tapi malah dikembalikan." Suara Edward penuh penekanan. Dia menghadap Zia meskipun gadis itu sama sekali tidak menatapnya.

"Dari awal Om ngasih, aku nggak pernah setuju." Zia memberanikan diri membalas tatapan Edward yang dalam dan tajam. Air matanya hampir menetes melihat cara Edward menghunuskan pandangan padanya.

"Kamu ini kenapa, Zi?"

"Om Ed yang kenapa? Aku cuma pengin ngembaliin uangnya!"

"Ya alasannya apa? Tadi kamu baik-baik aja kenapa sekarang ngambek, marah? Kalau ada yang salah itu bicarain," tandas Edward. Nada suaranya begitu datar tanpa ekspresi apa pun. "Jangan kembalikan. Saya nggak suka."

"Aku juga nggak suka dikasih seenaknya sendiri!"

"Saya nggak seenak sendiri ngasih segitu ke kamu. Itu untuk permintaan maaf saya karena kamu bayar bill untuk dinner pertama kita. Kalau emang kamu nggak suka, ke depannya saya nggak akan lakuin itu lagi. Tapi yang udah saya kasih ke kamu nggak perlu dikembalikan. Saya nggak suka. Paham?" Wajah Edward sudah begitu dekat dengan Zia. Embus napasnya sangat memburu akibat emosinya yang termainkan.

Zia gemetar. Bukan karena cara Edward berbicara padanya, meski dia paham lelaki itu sedang marah. Tapi pada ketidaktahuan Edward tentang kondisi Zia sekarang. Mereka memang kurang mengenal lebih jauh. Zia penginnya sendirian kalau hatinya lagi nggak baik-baik aja. Tapi Edward selalu memaksa mereka membicarakan semua pada saat itu juga. Zia nggak bisa.

"Kamu ikut saya ke kantor," cetus Edward. Dia segera kembali ke kemudi dan menyalakan mobil.

"Pulang. Aku mau pulang." Tangis Zia sudah tidak bisa lagi ditahan. Sekuat dia gigit bibir bawahnya untuk menghalau air mata, nyatanya tidak bisa.

"Ikut saya, Zi."

"Nggak!" tolak Zia. Dia sudah tergugu. "Om masih marah-marah."

Edward kembali menoleh ke Zia. Ingin sekali mengusap lelehan air mata, tapi tidak. Biarkan Zia menangis kalau itu bisa bikin lega. "Saya nggak marah."

"Om marah!"

"Nggak. Ada saya bentak-bentak kamu? Atau pukul barang-barang di dalam mobil? Nggak kan? Saya nggak marah," tandas Edward.

Zia makin tidak bisa berkutik. Dia membiarkan ke mana aja Edward membawanya kali ini, meski hatinya sama sekali nggak nyaman. Dia butuh bertanya, tapi bingung mulai dari mana. Dia juga takut ... jawaban Edward nggak sesuai apa yang diharapkan. Zia didera rasa kalut dan sakit yang berkali-lipat. Dia hanya bisa menangisi kesakitannya sendiri, bahkan tanpa Edward yang harusnya meredam kesedihannya.

***

"Tolong antar adik saya ke ruangan," kata Edward, meminta tolong pada salah satu resepsionis.

"Baik, Pak Edward."

Edward mengamati punggung Zia dan resepsionis yang meninggalkan lobby. Gadisnya terlihat rapuh dalam balutan seragam SMA. Jalannya sedikit sempoyongan. Mungkin hampir kehabisan tenaga karena menangis sepanjang perjalanan.

Edward memijit pelipisnya. Diredakannya rasa cemas, kalut, yang bergerumul di dada. Dia merasa sangat bersalah melihat kondisi Zia. Tapi bagaimana lagi, Edward juga masih belajar untuk lebih baik lagi dalam memahami perasaan cewek itu.

"Pak Edward."

"Ya?" Edward segera berbalik. Seorang sopir kantor yang dia mintain tolong memesankan makanan di sebuah resto sudah sampai.

"Ini pesanannya Bapak."

Edward memberi senyum. "Terima kasih, Pak." Lalu diselipkannya sedikit bonus ke tangan pria yang sudah berumur itu.

Segera langkah Edward menuju lift dengan dua tote bag di tangan. Saat keluar dari lift di lantai tujuan, dia berpapasan dengan resepsionis yang baru mengantar Zia. Itu artinya Zia emang udah masuk ke ruangannya. Nggak ke mana-mana.

Begitu Edward buka pintu, dia mendapati Zia duduk di sofa. Sempat menoleh ke arahnya, mungkin karena dengar suara pintu terbuka. Tapi kemudian kembali menunduk. Pelan-pelan Edward menghampiri dan meletakkan makanan di atas meja. Tepat di depan sofa yang diduduki Zia.

Masih dengan posisi berdiri, Edward bergumam, "Makan duluan kalau kamu udah laper. Saya ada meeting sebentar."

Tidak mendapatkan respons apa pun dari Zia, Edward akhirnya berbalik. Tapi baru dua langkah dia terhenti. Kepalanya menoleh dan mendapati Zia mengusap wajah demi menghalau air mata.

Edward memutuskan menghampiri lagi. Kali ini direndahkan tubuhnya dengan satu lutut ditekuk dan satu lainnya menyentuh lantai. Dia berjongkok di depan Zia membuat cewek itu mengalihkan pandangan. Suara sesenggukan masih terdengar.

"Kalau butuh apa-apa, nanti telepon saya," ujar Edward dengan suara halus. Dia menunjuk saku kemeja kirinya, tempat ponselnya tersimpan. "Saya cuma meeting di lantai atas."

Tidak ada jawaban, hanya sesenggukan yang terdengar. Tanda kalau tangis Zia sebelumnya sebegitu hebat. Dengan gerakan sangat lembut, Edward merangkum rahang Zia.

"Saya minta maaf," bisik Edward. Jemarinya membelai wajah Zia yang basah. Tubuh cewek itu masih tersentak karena sesenggukan yang belum juga reda.

Edward terpaku pada kedua mata Zia yang sembap. Berapa kali dia sudah membuat gadisnya menangis separah ini? Sampai kapan dia bisa membuat Zia senang? Edward memang belum pernah membahagiakan Zia, padahal seharusnya di awal pacaran terasa sangat indah kan? Edward justru memberi kebalikannya.

Entah kenapa Edward teringat pada ucapannya ke Gyna. Kalau dia menjaga dengan baik perasaan pasangannya sekarang. Tapi bahkan tanpa orang lain yang ikut andil pun, Edward sendiri yang membuat Zia menangis. Entah alasan jelasnya karena apa, tapi Edward mengaku salah.

Perasaan Edward mendadak tumpah ruah. Antara haru, sedih, kecewa, campur aduk jadi satu. Ini Zia yang dia pilih tanpa paksaan, untuk menemaninya menjalani hidup sehari-hari. Tapi dia hanya bisa memberi tangis. Nggak hanya sekali, berkali-kali.

"Nanti kita bicara ya, Zi?" bisik Edward. Dia menanamkan satu kecupan di dahi Zia, sebelum turun ke puncak hidung, lalu menjauhkan wajah. Mata yang biasa menyorot ceria saat ini terlihat rapuh. Bulu lentik yang menaungi kedua mata indah Zia sudah penuh oleh buliran air mata.

Bibir Zia satu-satunya yang menjadi fokus Edward. Bibir yang gemetar seperti menahan tangis yang lebih hebat lagi. Padahal sesenggukan sebelumnya pun belum berkurang. Pelan-pelan Edward mendekat, menyatukan bibir mereka. Dirasakannya sendiri bibir dingin itu bergetar dan isakan lolos dari mulut Zia.

Satu kali Edward memberi kecupan lembut, sebelum menyudahi. Dia membelai wajah Zia sebelum melepaskannya dengan terpaksa. Saat hampir berdiri, Edward menyadari sesuatu. Tangan Zia yang saling bertaut di atas pangkuan juga butuh untuk dia limpahi perhatian. Jadi Edward mengurai jemari Zia yang basah, lalu mengecupnya beberapa kali.

"Saya meeting dulu." Edward akhirnya berdiri meski rasa-rasanya ingin meninggalkan meeting kali ini. Tapi dia tetap harus profesional. Zia akan ada dalam pengawasannya meski ditinggal sebentar.

Tepat setelah pintu tertutup, Zia meloloskan tangisannya. Nggak tau kenapa rasa sedihnya memuncak. Banyak yang ingin dia tanyakan ke Edward tapi bagaimana tanggapan lelaki itu nanti? Akan jujur dan membuat Zia sakit hati, atau tetap menjaga perasaan Zia dengan cara berbohong?

Dan ... kalau Zia bilang dia mendengar percakapan di rumah sakit, apakah Edward akan marah?

Zia merasa lemas luar biasa. Dia hanya bisa bersandar menyedihkan di sofa. Berkali-kali mencoba menenangkan diri atas sakit hatinya yang bertubi-tubi. Baru kali ini dia merasakan patah hati sebegininya. Padahal kisah cinta mereka baru dimulai dan belum lama.

Tanpa sadar Zia mendengus. Kisah cinta? Kayaknya nggak tepat. Soalnya cuma Zia yang cinta, Edward-nya enggak. Kalau suka, mungkin. Karena Edward pernah mengatakannya berkali-kali. Tapi itu sama sekali nggak setara dengan perasaan Zia yang udah lebih dari sayang.

Cukup lama Zia tenggelam dalam skenario-skenario perasaan Edward padanya, saat sebuah suara dddrrrtttt cukup keras terdengar. Itu pasti getar ponsel. Suaranya cukup keras sampai Zia tau sumbernya dari mana.

Zia belum bergerak dari tempatnya duduk. Tubuhnya masih lemas. Sesenggukannya juga belum reda. Tapi matanya yang sudah sangat berat itu menangkap suatu hal di meja kerja Edward. Itu ponsel yang Zia kenal, sangat. Gimana nggak, dia pernah memakainya meski cuma sebentar.

Walau sedikit sempoyongan, Zia berusaha bangkit. Dia menelan ludahnya susah payah saat menyadari kalau itu emang ponsel Edward. Dia ingat Edward bilang punya dua. Yang satu isinya penting, yang satu cuma cadangan. Pantas aja tadi di rumah sakit dia pegang ponsel yang beda.

Zia berniat membiarkan panggilan masuknya. Dia kembali duduk dan berniat meringkuk lalu tidur. Nggak punya daya upaya buat pergi dari sini. Biarin nanti Edward mau bilang apa pun, Zia akan diam aja terus. Dia masih sakit hati.

Di tengah rebahannya tiba-tiba Zia tersentak sampai-sampai dia terbatuk. Tangannya refleks meraih ponsel di tas, lalu membuka ruang chat dengan Edward. Seingatnya tadi ... Edward bilang hubungin Ogi buat tanya Zia di rumah atau enggak. Padahal kan Edward punya nomor Zia. Harusnya bisa langsung hubungin. Kecuali ....

Zia menggeleng. Dia nggak mau menambah runyam pikirannya. Nggak mungkin Edward setega itu menganggapnya nggak penting sampai menyimpan nomornya cuma di ponsel cadangan.

Berkali-kali Zia berusaha memejamkan mata setelah meletakkan ponselnya di meja. Tapi entah kenapa hatinya merasa ada yang janggal. Kembali diraihnya ponsel, lalu memberanikan diri menghubungi sebuah nomor milik Edward.

Nggak sampai hitungan ketiga, degup jantung Zia berdentam kuat bersamaan dengan bergetarnya ponsel Edward di meja. Ingatannya terlempar ke saat di mana Edward mengatakan dengan jelas ....

"Nggak ada yang penting di hp itu, cuma cadangan."

🧚🏻🧚🏻

Harusnya dikasih judul KEKASIH CADANGAN aja lebih cucok ya😶

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top