32. Gara-Gara Jenguk
Nah double update nih. Ramein komen cepeetttt *maksa wkwkwk
Yang nanya fast access, udah sampe part 41 ya tadi pagi. Tungguin yang selanjutnya lebih asoy🤣
🧚🏻🧚🏻
"Ah elo, Pril. Kebiasaan ngeduluin. Samping seat-nya Zia biar gue aja."
"Batu banget lo, Gaf. Dibilangin gue sama Zia udah nge-list dari lama kalo tempat duduk kami di pesawat tuh sebelahan. Lo nggak bisa tuker sembarangan dong!"
"Udah udah." Zia pusing banget dengar April sama Gaffi debat. Dua orang itu langsung berdecak bersamaan saat dengar interupsinya.
"Lo sakit, Zi?" Gaffi berpindah haluan. Dia yang awalnya fokus debat sama April, jadi beralih ke Zia lagi. Dicondongkannya tubuh ke arah Zia untuk mengamati lebih dekat. Dia memicing. "Kok muka lo pucet?"
April jadi ikut tersadar. Dia menoleh ke sobatnya yang duduk tepat di kanannya. Sedangkan Gaffi memang di bangku depan mereka, tapi menghadap belakang. Emang dari dulu itu pose favorit Gaffi kalau lagi niat pedekate. Sayangnya nggak pernah Zia gubris.
"Perlu gue anter balik?" tawar Gaffi. Rautnya beneran khawatir. Baru kali ini mendapati Zia keliatan lemas dan nggak bersemangat. Tiga tahun mengenal cewek itu, dia tau Zia orang yang ceria dan nggak pernah ngeluh sakit. Apalagi menampakkan keadaannya kalau lagi nggak enak badan. Makanya Gaffi ngerasa aneh hari ini.
"Lo beneran sakit, Zi?" April ikut nimbrung. Soalnya dari semalam Zia nggak ada cerita apa-apa.
"Gue kurang tidur aja," jawab Zia. Dia nggak bohong. Emang beneran kurang tidur setelah semalam ketemuan sama Edward. Entah kenapa gampang banget lelaki itu membuatnya terbayang-bayang sama kebersamaan mereka. Kayaknya emang Zia udah cinta tingkat akut.
"Jangan sering begadang, Zi." Gaffi menasihati. "Gue liat semalem lo online sampai tengah malem. Hampir pagi malah."
Zia mengernyit. Masa seniat itu Gaffi cek WA-nya? Padahal mereka nggak ada chattingan sama sekali loh semalem.
"Niat banget lo, Gaf," decak April. "Fyi, lo nggak usah berharap terlalu jauh deh."
"Sirik aja lo. Kenapa emang kalo gue berharap?"
April menoleh ke Zia, mengisyaratkan dengan kedua matanya kalo lebih baik Zia bilang aja statusnya yang udah nggak jomlo. Bisa jadi abis ini Gaffi nggak akan rese.
"Gue udah ada pacar, Gaf," cetus Zia pada akhirnya. Lebih baik emang bilang ini sama Gaffi. Kasian juga kalau cowok itu mengira Zia masih bisa diperjuangkan. Nggak adil. Zia berasa ngasih kesempatan walaupun dari awal sebenernya enggak.
Reaksi Gaffi? Dia malah ketawa. "Bercandaan lo nggak lucu, Zi. Siapa cowok yang berhasil dapetin lo itu? Liat aja di sekolah ini yang suka sama lo banyak tapi yang berani deketin terang-terangan cuma gue. Sebutin coba yang berhasil luluhin lo?"
Pedenya Gaffi emang patut diacungi jempol. Zia dan April sampai geleng-geleng kepala. Padahal kan Zia pernah pacaran juga sama anak di sekolah mereka. Walaupun cuma hitungan bulan tetep diitung mantan. Jadi pendapat Gaffi tentang cuma cowok itu yang berani deketin, nggak bener sama sekali. Kayaknya Gaffi menutup mata dari kenyataan kalau memang ada yang berhasil bikin Zia jatuh cinta.
"Padahal nggak ada yang bilang pacarnya Zia satu sekolah sama kita loh, Gaf," decak April. Emang cuma dia yang berani bantah Gaffi. Kalau Zia mending diem.
Gaffi terdiam. Dia mengernyit memperhatikan Zia dengan saksama. Tapi seperti biasa cewek itu nggak merespons apa-apa. Heran aja kenapa Zia kayak nggak ada minat sama sekali ke Gaffi padahal dulu pernah suka. Dia jadi berpikir apa emang bener Zia udah ada pacar?
"Pacar lo ... anak sekolah lain?" Suara Gaffi mulai melirih. Ada sedikit percaya, tapi harapannya belum dia redupkan juga. Siapa tau Zia emang cuma bercanda. "Mungkin aja gue kenal." Soalnya relasi Gaffi sama anak sekolah lain emang cukup luas, akibat sering tanding basket antar sekolah.
"Udah bukan anak sekolahan," jawab Zia, sengaja masih jawab. Kalau enggak, Gaffi beneran ngira dia bercanda.
"Kalo gitu ... udah kuliah? Kuliah di mana? Ambil jurusan apa? Semester berapa?" Saking ingin taunya, Gaffi membombardir Zia dengan pertanyaan yang beruntun. Bukan bermaksud kepo, itu hanya caranya menutupi sedikit saja kecewa yang muncul. Bayangin, setahun lebih ngejar Zia dan nggak ada tanda Zia bisa nerima walaupun kadang ngasih harapan, tapi Zia malah bilang udah punya pacar. Gaffi rasanya mau pindah alam aja.
"Udah lah, Gaf. Gue lagi pusing." Zia memutuskan menyudahi. Kepalanya direbahkan di atas meja. Beneran pusing karena semalam begadang nungguin si Edi ngabarin. Malah nihil. Nggak taulah apa yang ada di pikiran om-om itu.
"Tuh kan, lo pasti belum ada pacar. Lo cuma—"
"Udah. Gue udah ada pacar," decak Zia dengan kesal. "Orang yang lo kira Om gue waktu di rumah, itu pacar gue. Paham?"
"WHATTT!???" Gaffi nggak bisa menahan teriakan terkejutnya.
"Wow." April juga takjub sama keberanian Zia mengungkap identitas.
"Om-om itu? Lo pacaran sama om-om?" pekik Gaffi.
Akibat dari ucapan cowok itu, anak-anak lain yang awalnya bergerombol sama gengnya masing-masing jadi terpusat ke mereka bertiga. Lebih tepatnya yang duduk di bangku samping Zia, itulah yang ikut terkaget.
Sialnya lagi, penunggu kursi keramat itu adalah lalat-lalat yang nggak pernah terima kalau Gaffi ngejar-ngejar Zia. Itu alasannya si lalat selalu duduk dekat-dekat dengan keberadaan Zia. Biar bisa nguping.
"Lo bisa nggak sih ngomongnya pelan aja?" protes Zia. Dia marah banget ke Gaffi. Masa spontannya kayak gitu? Merugikan orang lain banget.
"S-sorry ... Zi." Muka Gaffi kayak orang linglung. Bingung dan nggak tau harus bilang apa. Terkejut tingkat terparah. Dikira omnya Zia sampai dia berusaha ambil hatinya, malah ternyata ....
"Pantesan lo ditolak, Gaf. Zia doyannya Om-Om."
Mulai nih mulai. Lalat satu.
"Nyari pacar apa nyari sugar daddy tuh?"
Perkenalkan, lalat dua.
"Sekalian dua-duanya lah. Dapet duit juga."
"Pantesan dia keliatan agak beda ya, kayak bukan Zia yang biasanya. Udah keseringan diewe mungkin. Secara kan pacarnya om-om. Mustahil nggak diapa-apain."
"Nah, modal ngangkang doang dapet duit tuh. Spill dong, Zi. Pendapatan lo selama jadi simpenan Om-Om."
Sumpah, kepala Zia rasanya mau pecah. Dia segera meraih tas dan bangkit dari tempat duduk. Biarlah si lalat-lalat itu ngoceh sesuka hati. Jujur aja Zia nggak pernah punya cukup keberanian untuk membalas. Takutnya nggak kuat buat marahin orang dan malah dia yang nangis sendiri. Biarin aja, lagian orang gila nggak usah ditanggepin.
Tapi walau begitu tetep aja Zia sakit hati. Belum reda kekesalannya sama si lalat waktu pesta abis ujian malam itu, sekarang ditambah lagi. Paham kan kenapa waktu itu dia nangis-nangis di mobil Edward? Selain karena kesal telat dijemput, juga karena keinget mulut-mulut yang nggak punya filter sama sekali. Padahal dia diem aja, tetep punya musuh. Heran.
"Zia ... Zia! Maafin gue. Dengerin gue dulu!" Itu suara sumber pembuat masalah. Iya, Gaffi. Kalau aja cowok itu bisa mengontrol suaranya, pasti nggak akan kayak gini.
Zia terlanjur jengkel. Dia udah jalan cepat sampai depan. Niatnya mau naik ojol aja. Kenapa sih tiap ada masalah di sekolah kayak gini, pasti dia nggak bawa motor sendiri. Jadi susah buat kabur.
"Zi, lo marah sama gue? Lo tau refleks orang beda-beda kan? Nggak perlu lo salahin gue sampe kabur kayak gitu."
Zia berhenti, apa itu tadi? Gaffi malah balik marah? Maksudnya?
"Lo nggak punya hati banget ya, Zi," cetus Gaffi. Napasnya mulai menderu. Langkahnya pelan menghampiri Zia sebelum sampai di samping cewek itu. "Lo mikir nggak kalo lo baru aja nginjak gue?"
Zia menoleh ke samping, mendapati Gaffi seperti ... marah? Banget malah. "Apaan sih lo, Gaf. Harusnya gue yang marah sama lo, kenapa jadi—"
"Iya, selalu lo yang boleh marah dan gue enggak." Gaffi seperti habis kesabaran. Tangannya bergerak ke atas sebagai tanda kalau dia sedang sangat emosi. "Gue ngejar lo selama ini, usahain banyak hal buat lo, nggak apa-apa ujungnya lo jadian sama yang lain. Tapi kenapa lo nggak bilang dari awal kalo nggak suka sama gue?"
"Gaf, gue nggak pernah ngasih harapan sama lo."
"Pernah ... dan sering," tandas Gaffi. Tatapannya begitu tajam menghunus kedua bola mata Zia. "Lo yang izinin gue ke rumah beberapa kali. Lo yang akhirnya bilang kalo dulu sempet suka sama gue. Lo yang nggak pernah nolak gue ajak makan di kantin. Lo selalu usahain bisa pulang tiap gue mau main ke rumah lo dan lo ada di luar. Lo mau gue kenalin ke Bunda. Lo selalu bilang semangat tiap gue mau tanding. Bahkan lo juga yang selalu bilang oke tiap gue minta tolong ajarin mata pelajaran sebelum ujian, biar kita bisa belajar bareng. Sikap lo emang ogah-ogahan tiap sama gue, tapi lo nggak nolak. Gue pikir lo cuma gengsi aja. Lo emang nggak bilang suka sama gue, tapi lo juga nggak bilang kalo lo nggak suka sama gue. Maksudnya apa, Zi?"
Zia kehabisan kata-kata. Mengingat-ingat bahwa ucapan Gaffi ... sebenarnya benar. Mereka pernah melalui itu. Hanya saja, dia pikir itu hal lumrah. Gaffi pernah ke rumahnya, itu karena Gaffi sendiri yang setengah memaksa Zia agar mau diantar dan alasan cowok itu selalu tepat. Tentang nggak pernah nolak saat diajak makan di kantin, Zia pikir bukan sesuatu yang berlebihan karena dia selalu mengajak April ikut serta, dan Gaffi membuntuti di belakang mereka. Bukan berarti Zia mengiyakan, tapi dia udah nolak dan Gaffi yang pantang menyerah. Apalagi tentang Zia yang nggak nolak waktu dikenalin ke bundanya, itu juga tanpa sepengetahuan Zia. Dia datang ke sana karena kerja kelompok dan nggak sendiri. Ada tiga orang lainnya, tapi Zia nggak menyangka yang dikenalkan cuma Zia aja karena dia terlanjur mengiyakan waktu Gaffi izin katanya Bunda mau kenalan. Entahlah, Zia sangat pening dengan semua yang terjadi. Baru pertama kali juga lihat Gaffi semarah ini. Jadi dia mengalah dan meminta maaf lebih dulu.
"Gue minta maaf kalo perlakuan gue bikin lo berharap, Gaf. Gue minta maaf banget," ujar Zia. Dia nggak mau punya musuh. Apalagi mereka udah temenan lama.
"Harusnya dari awal lo bilang aja udah ada cowok yang lo suka, Zi." Gaffi terlihat kalut, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Bahkan waktu gue ketemu pacar lo itu di rumah, lo masih ngiyain kalo itu Om lo."
"Gaf, waktu itu emang gue belum pacaran. Makanya gue nggak bilang. Sorry." Zia jadi terkesan pacar yang menjelaskan kesalahpahaman. Tapi memang dia nggak mau ada salah paham lagi sama Gaffi. Cowok itu nggak sepenuhnya salah, Zia sendiri juga ada andil dalam keruwetan ini.
"Tapi pasti udah pedekate kan?" Gaffi tertawa pelan, naas dengan nasibnya sendiri. Gila, ternyata sakit juga ya di-PHP-in. Apalagi dia yang ternyata salah memahami perasaan cewek. Berbanding terbalik lah pokoknya apa yang dia pikirkan sama Zia.
"Nggak. Gue bener-bener tiba-tiba aja gitu jadiannya. Belum lama." Zia mencoba menjelaskan.
"Gue nggak ada hak sih sebenernya buat marah kayak gini," kekeh Gaffi. Dua tangannya diletakkan di dua pinggang dan dia mendongak. "Maaf, gue jadi berlebihan. Lo nggak salah kok, Zi. Itu hak lo. Lagian gue bukan siapa-siapa lo. Tadi cuma agak kaget aja, jadinya malah marahin lo. Maaf ya, Zi. Semoga lo bahagia sama pacar lo. Gue nggak akan ganggu kok."
Detik itu juga Zia melihat sisi lain Gaffi. Dia pikir Gaffi cuma cowok tukang gombal dan nggak serius waktu deketin. Ibaratnya cuma pengin naklukin aja sampai dapet. Ternyata enggak. Zia lihat sendiri reaksi Gaffi, dan sepertinya cowok itu ... beneran suka yang nggak main-main.
"Maaf, Gaf." Zia mengulangi permintaan maafnya lagi.
Gaffi tersenyum dan mengangguk. Lalu berbalik dan melangkah lunglai kembali masuk ke area sekolah.
Zia memandanginya dengan iba. Tapi lebih baik emang begini. Dia takut salah kasih perlakuan lagi. Soalnya dia cukup awam sama pemikiran cowok. Lebih baik sama yang emang dia suka aja. Edward contohnya.
Ngomong-ngomong, Zia membuka ponsel. Edward nggak menghubunginya sama sekali. Dari semalam sampe sekarang. Bener kata April waktu itu. Pacaran sama om-om tuh pasti jarang chat apalagi telepon. Ngabarin aja seabad sekali. Zia jadi feeling lonely. Tapi mencoba mengerti kesibukan Edward. Lelaki itu nggak akan aneh-aneh kecuali sibuk sama kerjaan.
Baru juga Zia mau menyeberang, suara klakson dari sebuah mobil membuatnya terperanjak kaget. Hampir aja dia memaki dalam hati, kalau aja kaca di bagian samping kemudi nggak turun dan menampakkan seorang ... Edward.
Sialan, Zia terpaku lihat wajah itu. Tremornya mulai lagi. Dia sampai mengatur napasnya biar terkendali. Edward selalu terlihat menawan di matanya.
"Ayo masuk, Zi."
Zia tersadar dari keterkejutan. Dia lantas melangkah ke arah pintu yang udah dibukain sama Edward dari samping. Dalam sekejap, dia udah duduk di samping Edward.
"Tumben nggak di bawah pohon beringin lagi?" tanya Edward.
Zia meringis. "Nggak, Om. Tadi di kelas ada penjelasan buat wisata akhir tahun pelajaran."
Edward mengangguk-angguk. "Ke mana wisatanya, Zi?"
"Malaysia sama Singapura."
Edward membeku sebentar. Oh, luar negeri ya? "Naik pesawat?"
"Jalan kaki," jawab Zia asal. "Ya iyalah, Om."
Edward terkekeh.
"Kok tau aku di sekolah? Pasti kalo jemput pas banget waktu aku mau balik."
"Saya tadi tanya Ogi, katanya kamu nggak di rumah. Makanya saya tunggu di sini."
Kenapa harus tanya Ogi coba? Zia heran banget ini Edward pacaran sama dia atau sama Ogi? Kenapa nggak hubungin Zia aja langsung?
"Lagian kamu baliknya selalu tengah hari kayak gini. Tepat waktu break saya dari kantor." Edward mulai memutar kunci. Dia meraih tangan Zia seperti biasa untuk digenggam.
"Mau antar aku pulang, Om?"
"Makan siang dulu gimana?" tawar Edward.
"Aku pake baju SMA kayak gini?"
"Nggak masalah. Cuma sebentar. Dua jam lagi saya harus balik kantor."
"Katanya hari ini nggak bisa ketemu."
Edward menatap Zia dengan senyum. "Kayaknya semalam ada yang ngode pengin ketemu. Jadi saya usahain walaupun bentar."
"Sibuknya sampai malam ya, Om?"
"Heem." Edward mengangguk. "Kebetulan nanti malam masih ada meeting. Kemarin saya pending cukup banyak soalnya. Jadi mau dikejar hari ini sebelum weekend."
Obrolan mereka berlanjut terus menerus, seolah-olah Edward melupakan kalau semalam cukup pusing memikirkan tingkah Zia. Begitu juga sama Zia, dia menanggapi seolah melupakan kalau lelaki ini membuatnya galau seharian karena nggak ada kabar. Entah hubungan macam apa yang sedang mereka jalin sekarang.
"Tadi yang di depan gerbang sama kamu itu bukannya Gaffi?"
Oh, jadi Edward lihat? "Iya, Om."
"Ada masalah sama kalian berdua? Keliatan ngobrol serius banget."
Meluncurlah cerita Zia secara singkat. Tentang Gaffi yang merasa di-PHP-in. Juga kejujurannya kalau dia udah punya pacar yaitu Edward. Singkat aja nggak berbelit. Dia mengaku salah karena bikin Gaffi ngerasa punya harapan.
"Jadi Gaffi udah tau kamu punya pacar?" Entah kenapa Edward senang dengar fakta ini. Akhirnya ... saingan terberatnya meninggalkan area pertempuran!
"Iya."
"Good. Kamu memang harus bilang tentang ini." Edward tersenyum lebar. Dia mengusap puncak kepala Zia dengan lembut.
Di tengah obrolan mereka, getar ponsel milik Edward mengalihkan pembicaraan. Sengaja dia loadspeaker sambil nyetir.
"Ed."
"Kenapa, Gyn?" Edward memelankan laju mobil. Dia menoleh ke Zia sembari menyetir. Tau kalau gadisnya pasti penasaran dengan suara itu. Nanti akan dia ceritakan.
"Mommy masuk rumah sakit lagi. Gue cuma ngabarin aja. Siapa tau lo ada waktu buat jenguk. Nanyain lo terus soalnya."
Edward mengeratkan genggaman tangannya pada Zia. Terasa dingin. Mungkin Zia emang sedang memikirkan banyak hal. "Gue ada meeting sampai malam, Gyn. Gue bantu doa semoga mommy lekas membaik. Titip salam ya."
"Oh ... oke, Ed."
Telepon terputus tanpa aba-aba.
"Itu tadi Gyna. Yang pernah ketemu di club," jelas Edward tanpa disuruh. "Adiknya Gwen."
Zia mengangguk. Nggak masalah sih sama hal ini. "Mamanya lagi sakit ya? Om nggak mau jenguk?"
Edward menimbang-nimbang pertanyaan Zia. Dia bisa aja jenguk kalau belum janji ke Zia mau makan siang abis ini.
"Jenguk aja nggak apa-apa kok, Om."
"Tapi kamu mau ikut?"
Zia mengernyit. "Nggak. Om sendiri aja."
"Ck," decak Edward. "Nanti kalau nggak ikut, kamu overthinking dikira saya ngapain aja di sana."
"Om kan cuma jenguk, emang mau ngapain selain itu? Aku nggak mikir kayak gitu loh."
"Boong." Edward mencubit ringan dagu Zia. "Kita jenguk sama-sama. Kamu ikut. Sebentar aja. Abis itu kita makan, terus saya antar kamu pulang."
Keputusan Edward udah paten. Zia nggak bisa menolak.
***
"Waktu itu aku ngiranya kamu masih kecil banget loh, Zi," kata Gyna saat menunggu di luar ruangan. Edward sedang menjenguk di dalam sana. "Pas Edward teleponan sama kamu. Katanya adiknya Ogi. Bener kan itu kamu?"
Zia meringis. Kalau Edward bilang adiknya Ogi ke Gyna, ya berarti emang dia. Cuma ... Zia nggak tau maksud Gyna tuh teleponan waktu kapan. Dan ... kok bisa Edward lagi sama Gyna? Entahlah.
"Ternyata udah SMA." Gyna tersenyum, mengamati seragam yang dipakai Zia. "Kelas berapa?"
"Dua belas, Kak."
"Oh, udah kelulusan dong?"
"Iya. Tinggal nunggu pengumuman kelulusan aja." Zia masih canggung banget. Soalnya Gyna ini belum tau kalau Zia pacarnya Edward. Tadi begitu sampai sini, Edward langsung masuk ke ruangan, dan Gyna di luar sama Zia.
Gyna sempat tanya lewat tatapan matanya, tentang siapa yang datang bersama Edward. Tapi karena Edward lagi terburu-buru jadi cuma jawab, 'Adiknya Ogi. Kebetulan lewat sekolahnya dan sekalian mau anter ke rumah Ogi.'
Itu aja. Intinya Gyna nggak tau kalau gadis SMA yang lagi diajak ngobrol ternyata pacarnya Edward. Gyna nggak menaruh curiga, sebab dia tau persahabatan antara Ogi dan Edward. Udah pasti jemput adik sahabatnya adalah hal biasa. Bisa aja Ogi lagi sibuk dan minta tolong Edward yang jemput karena sedang senggang waktu.
"Kamu mau ikut masuk, Zi? Aku mau ke dalem dulu," pamit Gyna. Dia udah berdiri.
"Aku di sini aja, Kak."
Gyna mengangguk dan segera membuka pintu ruang rawat. Tinggallah Zia sendirian dengan tas di samping tempatnya duduk, dan ponsel punya Edward yang emang tadi dititipkan padanya untuk dipegangkan.
Sedikit bingung mau ngapain, Zia iseng menyalakan ponsel Edward. Dia mengernyit. Perasaan waktu itu nggak disandi deh. Iya, dia nggak salah inget. Dia pernah pake saat pesan makanan. Ponselnya juga keliatan beda. Zia membolak-balikkan ponsel itu dan sadar emang ada beda. Atau mungkin cuma casing-nya sih yang ganti. Soalnya tipe ponselnya sama.
Tapi Zia nggak berpikir macam-macam. Emang lebih aman ponsel Edward dikunci daripada dibiarkan tanpa pengaman kayak waktu lalu. Bahaya.
Beberapa saat kemudian, Zia merasakan ponsel dalam genggamannya menunjukkan sebuah panggilan masuk. Nama Albert terpampang di sana. Ini adiknya Edward kalau Zia nggak salah ingat.
Takut itu hal penting, Zia segera beranjak. Dia membuka pintu pelan-pelan dan berniat memanggil nama dengan lirih, karena takut mengganggu orang yang ada di balik tirai.
Baru juga mulut Zia terbuka mau memanggil nama Edward, dia terhenti. Telinganya mendengar percakapan yang cukup rahasia. Zia berniat menutup pintu lagi tapi urung ketika Edward menyebut pacar. Gue udah ada pacar, kata Edward tadi. Meski di balik tirai, namun suara itu cukup jelas tertangkap Zia.
"Pacar lo yang sekarang posesif banget emangnya sampe lo nggak mau dinner sama keluarga gue lagi? Padahal mantan lo sebelum ini fine-fine aja, Ed."
"Bukan gitu, Gyn."
"Terus kenapa? Dia cemburu? Kekanakan banget kalo dia cemburuin hal kayak gini. Lo cuma dinner, nggak lebih. Hubungan keluarga kita nggak akan putus kata lo, Ed."
"Gue tau. Tapi gue juga harus hargain pasangan gue sekarang. Dia punya keluarga yang harus gue hormati."
"Gue paham, Ed. Hormatin keluarganya nggak mesti harus bikin lo mutus kekeluargaan sama kami. Lo egois kalo ngebiarin keluarga gue berduka sendirian, sedangkan elo udah bebas tanpa beban apa pun."
"Gyna ...." Edward terlihat udah lelah, terdengar dari caranya menyebut nama Gyna dengan lirih.
"Gue nggak nyangka pacar lo sekarang bisa ubah lo jadi orang yang nggak punya rasa peduli dan rasa terima kasih. Nggak sedewasa mantan-mantan lo sebelum ini. Nggak bisa ngertiin kalo lo punya masa lalu yang nggak bisa dilepas. Yaitu keluarga gue."
Diam beberapa saat. Tidak ada yang tau kalau ada satu serangan sakit di dada Zia. Dia susah bernapas sekarang.
"Tadi gue hubungin lo ngabarin mommy sakit aja lo harus pertimbangin lama banget. Bener-bener nggak beres pacar lo yang sekarang."
"Gue nggak niat mutus hubungan kekeluargaan kita, Gyn. Jangan bawa-bawa pasangan gue ke masalah ini. Nggak ada hubungannya."
"Apa lo lagi berusaha hindarin keluarga gue buat coba lupain, biar lo jatuh cinta sama pasangan lo?"
"Nggak sama sekali."
"Keliatan boongnya. Sampai kapan pun lo nggak akan lupain kakak gue, Ed. Lo yang bilang sendiri, kehilangan dia bikin lo hampir gila. Dan nggak akan ada cinta yang tersisa buat orang lain. Semua cuma buat Gwen. Gue ingetin kalo lo lupa. Berkali-kali lo bilang lo nggak bisa jatuh cinta lagi. Gue juga lihat itu dari cara lo perlakukan mantan-mantan lo setelah Gwen. Hambar. Lo cuma berusaha hidup semestinya, tapi hati lo nggak. Nggak pernah lo jatuh cinta sama mereka, pasangan lo sekarang, atau siapa pun ke depannya. Gue nggak salah kan?"
Detik-detik setelahnya seperti kekosongan yang membakar dada Zia. Dihantam ribuan kali perkataan Gyna yang baginya masuk akal, lalu ... keterdiaman Edward karena nggak membantah kalimat Gyna dengan kata: Tidak. Artinya semua terang, Edward memang hanya hidup semestinya, tapi tidak ada siapa pun yang bisa menerobos hatinya sehebat cara Gwen membuat Edward jatuh cinta.
Semua bergerumul menjadi satu dalam ingatan Zia. Tentang masa jatuhnya Edward yang memang sesuai apa yang dipaparkan Gyna tadi; hampir gila waktu kehilangan Gwen. Juga tentang Edward yang bisa semudah itu ajak Zia pacaran. Mungkin ... Edward hanya tidak enak hati padanya. Lelaki itu berpikir nggak ada salahnya pacaran sama Zia, karena sama siapa pun juga sama aja rasanya hambar tanpa rasa cinta. Edward mungkin saja memilih Zia karena cuma dengan dia Edward nggak sia-sia untuk menjaga adik dari sahabatnya. Edward hanya ingin membalas rasa terima kasih lewat penjagaannya terhadap Zia.
Didukung dengan ingatan Zia waktu pertama kali Edward mengajaknya pacaran. Nggak ada alasan apa-apa tiba-tiba bilang mereka akan kencan. Lelaki itu cuma mengatakan takut Zia salah pilih laki-laki. Edward bilang ingin menghindarkan Zia dari cowok-cowok nggak baik yang cuma hobi memanfaatkan perempuan. Edward cuma ingin menjaganya, bukan mencintainya.
Inti dari semua ini adalah ... Edward terpaksa menjadikannya pacar. Edward nggak punya rasa yang sama. Edward nggak pernah bilang suka, sayang, nyaman, tidak sama sekali.
Mendadak Zia kehilangan kekuatan untuk bertumpu. Dia menyeret kakinya untuk kembali duduk di kursi tunggu. Tubuhnya sedikit gemetar.
Zia kira cintanya udah nggak bertepuk sebelah tangan sejak Edward mengajaknya menjalin hubungan. Tapi ternyata ini lebih sakit dari sebelumnya. Dia cuma bisa mendekap Edward secara nyata; tubuhnya, raganya. Sedang hati Edward selamanya nggak akan bisa Zia raih.
Karena pada kenyataannya Edward sudah mati rasa. Seluruh hati dan cinta lelaki itu terlanjur termiliki dan dibawa pergi oleh orang yang bahkan tidak bisa ditemui di dunia ini. Terikat dan nggak bisa lepas.
Siapa Zia hingga berharap membuat Edward memberinya cinta sedikit aja ... di saat Edward sendiri udah bersumpah nggak ada cinta sama sekali untuk orang lain?
🧚🏻🧚🏻
Satu pujian buat Gyna🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top