31. Udah Bersumpah
Karena kebablasan dua minggu gak update, aku mau double update niiiiihhhh. Ramein komen hayuk.
Btw, maapin ya lama. Emang dasar buka wattpad.com ga sempat padahal kerjaannya mantengin laptop tiap hari😫
Maaf yaaa, jadi ga enak. Abis ini kuusahain bangeeeettt seminggu ada update ya. Kadang kelupaan, ketok ketok aja di wall/ig 🤌🏻
🧚🏻🧚🏻
"Boleh saya minta kiss?"
Zia sontak membelalak. Mulutnya terbuka. Ingin protes tapi speechless.
"Di pipi aja," kekeh Edward lihat eskpresi Zia. Cewek itu terlalu polos dan lugu. Digoda dikit udah kaget. Lihat aja sekarang, mukanya udah memerah lagi. "Sini," tunjuknya ke pipi kiri, sedikit mencondongkan tubuh ke arah Zia.
"Nggak mau."
"Kok gitu? Besok belum tentu kita bisa ketemu, Zi."
Makin melongolah Zia. Maksudnya kalau ketemu, Edward minta cium terus apa gimana?
"Besok saya harus—"
"Terserah. Mau pergi yang jauh juga terserah!" Zia udah nggak tau apa lagi yang bisa dia ucapkan ke Edward. Pemikiran lelaki itu beneran nggak bisa ditebak sama otaknya yang masih bocah.
"Kamu emang harus diajarin duluan. Nggak ada inisiatif." Edward berdecak, tapi nggak tinggal diam. Tubuhnya udah mendekat ke Zia dan nggak membiarkan cewek itu membuka pintu mobil.
"Mau apa?!" Zia memasang tameng. Melotot selebar-lebarnya sampai maksimal walaupun aslinya gemetar. Dia masih belum siap andai kejadian beberapa hari yang lalu terulang lagi.
Edward yang lihat itu jadi mengulum senyum geli. Alih-alih memeluk Zia seperti niatnya di awal tadi, dia justru hanya menepuk pelan bibir cewek di hadapannya ini dengan jari telunjuknya, tiga kali. "Padahal bibir kamu soft, manis, sayang kalo dipake buat bicara pake nada tinggi, Zi. Nggak baik."
"Ya lagian Om Edi."
"Ck. Nggak ada panggilan yang lain? Masih aja Edi." Telapak tangan Edward hinggap di puncak kepala Zia, turun ke belakang dan mengusapnya, mengikuti helai rambut Zia yang terurai.
"Udah paling cocok Om Edi."
"Iya, Zia. Yang penting kamu happy." Edward terlihat pasrah. Usapannya udah sampai di bagian tengkuk, dia lanjutkan sampai punggung. Lalu dengan lembut menarik tubuh itu agar mendekat padanya.
"Emang Om mau dipanggil siapa?"
Edward memiringkan kepala, menatap Zia yang mendongak dengan kerjapan lucu. Sempurnalah dekapannya saat kedua lengannya melingkar di tubuh Zia. Dia menyurukkan bibirnya ke lekukan leher dengan embusan napas yang penuh kelegaan. Akhirnya setelah semua ini, dia bisa peluk si bocah juga.
"Oooommmm," gumam Zia.
"Iya?" Edward mengeratkan pelukan. Makin dihirupnya aroma tubuh Zia sembari memejam. Nyamannya udah kerasa. Kayaknya Zia emang obat dari segala capek. Udah lama sejak terakhir dia merasa ada seseorang yang hanya dengan memeluknya aja bisa menghapus segala lelah. Dan Edward nggak menyangka kalau Zia mampu menerbitkan rasa itu.
"Aku mau jujur," kata Zia, lalu meringis karena debaran itu kembali hadir. Dia mengatur napas, berusaha menetralkan detak jantungnya yang bertalu. Heran juga sama diri sendiri. Berapa kali dia nangis-nangis karena Edward? Tapi cuma dipeluk gini udah luluh. Hatinya emang lemah banget.
"Jujur tentang apa?" Suara Edward lebih lirih. Dia mengenduskan bibir dan hidungnya makin rapat ke ceruk leher Zia. Tangannya ditahan kuat agar tetap di sisi pinggang dan punggung Zia, nggak boleh ke mana-mana. Bahaya.
"Kemarin aku kesel banget. Sampe aku nangis," lapor Zia walaupun kepalanya teredam dada Edward. Lagian peluk kenceng banget kayak mau matahin tulang-tulangnya. Bikin sesak napas. Selain karena pelukan, juga karena salting. Soalnya Edward wangi banget. Bukannya tadi denger-denger lelaki itu baru perjalanan luar kota langsung ke sini? Kok kayak masih segar aromanya, nggak ada apek-apeknya sama sekali.
"Kasiannya bocil ini," bisik Edward lagi.
Zia sontak memukul punggung lebar Edward, menerbitkan tawa lelaki itu. "Aku bukan bocil!"
"Bukan bocil tapi botik."
"Apa itu, Om?"
"Bocil cantik."
"HAHAHA, lucu banget sampe aku ngompol." Zia tertawa dibuat-buat. Kayaknya lawakan Edward itu udah jadul banget. Dia ngerasa selera humor mereka beda jauh.
"Oh ya sampe ngompol? Mana coba saya cek." Edward melepaskan pelukan. Dia mengedip ke Zia dan mengulum senyum. Rasain, suruh siapa ngetawain. Padahal Edward lagi berusaha menghibur sehabis Zia mengeluarkan curahan hati. Malah diejek begitu.
"Om jorok!"
Edward tergelak. Dia menjawil ujung hidung mancung Zia karena gemas.
"Aku kan tadi mau curhat!" protes Zia karena usahanya untuk mencurahkan hati malah gagal karena bahas perkara ngompol.
"Iya, Zi. Mau curhat apa tadi? Kamu kesel sampe nangis?" ulang Edward, berusaha meredakan tawa. Kasian juga wajah Zia udah merah padam.
"Gara-gara Om Edi."
"Siapa itu edi? Kamu kayaknya cinta banget sama dia sampe sebut-sebut terus."
"Ih, Om!"
"Apa, Baby?"
Zia membelalak. Rasa panas seketika menjalari telinga sampai seluruh wajahnya. Suara lembut Edward saat menjawab itu membuat bulu kuduknya berdiri. Merinding.
"Are you blushing?" heran Edward. Dia mendekat dan memperhatikan wajah Zia di penerangan mobil yang apa adanya. Dahinya mengernyit dengan tatapan memicing. Saat menemukan satu hal, Edward terkekeh. "Astaga, Zi. Dipanggil bocil nggak mau, dipanggil baby malah salting."
"Aku eng-enggak salting kok." Zia menolehkan wajah ke arah lain, menggigit bibir bawahnya dengan tertahan. Kenapa ada hal beda waktu dengar Edward memanggilnya dengan cara itu? Rasanya malu mengakui, tapi dia deg-degan parah. Padahal bukan kali pertama dia dipanggil kayak gitu.
"Iya, udah udah." Edward mengalah. Lebih baik berhenti menggoda Zia daripada si bocah ngambek lagi. Dia merentangkan tangan dan menaikkan alisnya dengan heran. "Nggak mau peluk saya? Kamu nggak kangen?"
"Tadi kan udah peluk."
"Saya doang yang meluk. Kamu cuma diem." Edward meralat ucapan Zia. Karena memang nyatanya begitu. Mau tidak mau tangannya diturunkan, nggak jadi menawarkan sebuah pelukan. "Kenapa kalo sama saya kok kamu keliatan nggak nyaman?"
Zia belum menjawab. Masih nggak ngerti maksud Edward keliatan nggak nyamannya gimana.
"Ada perlakuan saya yang nggak kamu suka?" tanya Edward dengan serius.
Loh ... kok jadi gini? Zia nggak tau harus jawab apa. Karena nyatanya, dia kelewat suka sama semua perlakuan Edward jika ada di dekatnya. Kalaupun dia terlihat gugup, itu murni karena bingung bagaimana harus bersikap.
Apa akan ditertawakan misal Zia jujur kalau tiap lihat wajah Edward aja dia udah ngerasa mules? Bukan mules sakit perut, tapi semacam ada yang mengaduk-aduk perutnya. Kadang bikin keringat dingin juga. Entah kenapa Zia merasakan kayak gitu.
"Sebelum kita pacaran kamu keliatan enjoy, nggak ada beban waktu sama saya," jelas Edward saat lihat kebingungan di raut wajah Zia. "Kalau ada yang bikin kamu nggak nyaman, bilang aja."
Zia jadi merasa bersalah kalau nggak bilang tentang ini. Takut nambah beban pikiran Edward. "Nggak kok, Om. Aku mungkin cuma belum terbiasa aja sama status kita." Dia meringis, merasa nggak enak hati.
Edward mengangguk-angguk, mencoba menerima alasan Zia. Pacaran sama yang umurnya jauh di bawahnya emang lebih susah dimengerti. Dia yang harus banyak tanya apa yang dipendam di hati Zia. Daripada mereka kurang komunikasi. Soalnya Edward bukan tipe laki-laki yang peka dan pintar menebak. Dia terbiasa realistis dan enggan menebak-nebak.
"Dibiasain aja kalau gitu." Edward meraih tangan Zia lagi, mengecupnya beberapa kali.
Nah, yang begini ini bikin Zia gemetar dan keringat dingin. Kalau dia tremor dan Edward justru menyangka dia nggak nyaman, fix laki-laki itu nggak paham sama cewek remaja kayak Zia. Malah dikira nggak enjoy. Ya gimana mau enjoy kalau buat napas aja agak sesak. Kayaknya benar kata Edward, dia harus membiasakan diri.
"Om."
"Ya, Zi?"
"Besok ... beneran nggak bisa ketemu?" lirih Zia. Lihat tanda-tanda Edward yang melirik jam di pergelangan tangan, dia tau kalau pertemuan mereka malam ini akan berakhir. Rasanya belum rela. Walau gugup begitu, tapi dia enggan pisah rasanya. Masih kangen.
"Kamu mau ketemu?" Edward justru balik bertanya. Sedikit hatinya merasa berbunga. Jarang-jarang Zia keliatan antusias dengan pertemuan mereka.
"Kalau Om nggak sibuk."
"Asalkan kamu ubah panggilan ke saya jangan Om, saya bisa usahain besok ketemu."
"Kok ngancam?" Bibir Zia mengerucut.
"Bukan ngancam, tapi syarat." Edward menegaskan.
"Kalo nggak bisa aku ubah?"
"Ya nggak bisa ketemu."
"Apa hubungannya ketemu sama panggilan sih. Kalo nggak mau ketemu bilang aja deh."
"Saya cium nih kalau protes terus."
"Tuh kan ngancem lagi, Om Edi!"
"Satu panggilan Om Edi, satu kiss."
Zia menganga. Ini om-om agak kurang waras kayaknya. Nggak tau apa dalam diri Zia masih sangat suci, polos, murni, bersih bening seperti tanpa noda?!
"Deal?" Edward memiringkan kepala. Satu sudut bibirnya terangkat, mengejek Zia yang melongo dengan wajah memerah. "Baby Zi ...," gumamnya.
Refleks Zia menutup wajahnya yang memanas saat dengar bagaimana penyebutan baby yang ditangkap telinganya di tengah hening malam. Saking lembutnya suara Edward, sampai-sampai Zia dengar desah napas lelaki itu di akhir kata saat memanggilnya baby. Gila, ini efek apa ya?
"Saya nggak serius, Zi," sambung Edward. Nggak tega juga godain bocah ini. Kasian. "Tapi peluk dulu satu kali, sebelum saya pulang."
"Langsung pulang aja, Om. Aku mau turun." Zia bergegas menyelamatkan gelisahnya sendiri. Edward memang bilang dia harus membiasakan kebersamaan mereka, tapi untuk hari ini kayaknya cukup. Dia bisa awkward banget kalau lebih lama lagi. Sekarang aja dia nggak yakin apa masih bisa jalan tanpa ngerasa meleyot di tengah langkahnya.
"Zi. Zia!" cegah Edward. Niatnya meminta Zia jangan turun dulu, tapi cewek itu udah keluar dengan buru-buru.
Edward hanya bisa mengembuskan napas dengan capek. Baru aja tadi seneng karena ketemu Zia, malah udah kabur aja. Ya sudahlah, Edward udah tau dari awal kalau ini konsekuensinya pacaran sama Zia. Cewek itu masih sulit dia tebak pemikirannya bagaimana, masih sering gugup di dekatnya, sampai-sampai Edward ngerasa kayak salah terus dan kebingungan harus ambil sikap.
Tapi ... melihat punggung Zia yang saat ini masih berjalan ke arah pintu rumah, rasa-rasanya Edward nggak akan mungkin bisa menyerah. Dia yakin setiap hubungan percintaan pasti ada struggle masing-masing.
Bukankah Edward udah biasa jadi pihak yang paling memperjuangkan sedari awal percintaannya dulu? Jadi bentuk penolakan-penolakan kecil Zia terhadapnya nggak akan membuatnya mundur dengan mudah.
Edward memutuskan pandangan saat melihat Zia udah masuk ke rumah. Dia kembali fokus ke depan dan berniat menyalakan mobil. Belum juga niatnya terlaksana, getar ponsel di dashboard membuat lengannya terulur.
Adeknya Ogi
Aku balikin uang 30jt-nya ya, Om.
Kepala Edward berasa mau pecah. Apa begini rasanya lagi capek-capeknya tapi ditimpa sesuatu yang membuatnya kesal luar biasa? Dia nggak tau maksud Zia tiba-tiba balikin uang karena apa, setelah pergi tiba-tiba tadi.
Tapi berhubung Edward lebih suka membahas semua hal secara tatap muka, jadi diabaikannya pesan Zia.
***
Edward terdiam di bawah guyuran shower. Mandi di malam hari dengan air hangat selalu membuatnya lebih baik setelah berkendara jauh seorang diri. Tapi kali ini sepertinya enggak. Sudah belasan menit kepalanya merasa pening. Nggak mereda sedikit pun. Malah bertambah parah saat memikirkan bagaimana cara dia berbicara dengan Zia lagi. Maksudnya ... cara agar membuat Zia mengerti kalau sebaiknya mereka mengomunikasikan semua dengan terang. Edward nggak punya waktu untuk menebak-nebak.
Udah terbukti kaburnya Zia yang tiba-tiba setelah ciuman mereka lalu memblokir nomornya sudah membuat Edward kalut. Memang setelah Edward tau alasan kenapa Zia nangis dan minta diantar balik, dia menerima penjelasan cewek itu. Tapi lihatlah tadi Zia mengulanginya lagi tanpa tau apa ada yang salah dengan mereka.
Kalau terus-terusan begitu, apa hubungan mereka akan berjalan baik? Dia menyayangi Zia, mungkin juga Zia sama. Tapi hal-hal begini seringkali membuat Edward kebawa pikiran. Ujungnya dia sendiri yang pusing. Kepalanya terasa berat banget.
Merasa cukup diguyur air berlama-lama, Edward akhirnya menyudahi. Dia meraih handuk dan dililitkan ke pinggangnya. Langkahnya masuk ke walk in closet dan duduk di sebuah kursi kayu.
Memandang pantulan diri di cermin, Edward tiba-tiba teringat ucapan Zia setelah kencan mereka yang gagal.
" ... Dari awal juga aku sadar kalo cuma aku yang excited sama kencan ini."
Edward memejamkan mata, mengingat-ingat kesakitan Zia. Sebenarnya, Edward juga di posisi yang serba salah. Dibilang tidak excited, dia merasa sedikit kecewa. Seharian mencari cara agar penampilannya layak mendampingi gadis seumur Zia tapi terasa sia-sia waktu effort-nya nggak dilihat.
Tapi di sisi lain Edward juga merasa bersalah. Dia kurang bisa membagi waktu antara pekerjaan dan kencan. Memang dari dulu dia nggak terbiasa melakukan dua atau lebih hal secara bersamaan. Edward tipe orang yang harus terfokus satu-satu.
Edward ingin membahas ini, tapi kesalahpahaman lain kembali hadir. Mereka seolah nggak pernah punya waktu untuk membahas permasalahan sebelum-sebelumnya. Edward dan Zia sama-sama kesusahan mencari cara komunikasi yang tepat untuk menyalurkan keresahan masing-masing.
Lamunan Edward terhenti saat terdengar getar ponsel di atas nakas, nggak jauh dari tempatnya duduk. Dia berjalan meraih ponsel dan melihat nama Gyna di caller id.
"Halo, Gyn." Edward melepas handuknya setelah mengusapkan ke badan. Dia memilah baju tidur untuk dikenakannya malam ini.
"Ed, lama banget nggak ngobrol. Sombong lo sekarang."
Edward mendengus.
"Sibuk banget?"
"Kayak biasanya." Edward meletakkan ponsel di meja karena mau memakai bajunya.
"Pasti kecapekan," tebak Gyna.
"Ya gitulah, Gyn. Nggak ada yang berubah dari kerjaan gue. Kalo nggak di kantor ya keluar kota."
"Makanya cari cewek biar hidup lo nggak monoton." Terdengar tawa Gyna di seberang sana.
Edward membalas tawa itu dengan kekehan. Dia sudah selesai memakai piyamanya dan kembali meraih ponsel untuk dibawa ke kamar tidur. "Udah."
"Maksudnya?"
"Gue udah punya cewek."
Hening cukup lama. Edward menyadari itu. Mungkin Gyna syok, sehingga suara tawa langsung terhenti. "Gyn?"
"Oh, iya, Ed. Congrats," ujar Gyna. Terdengar sedikit lirih, tapi kekehannya menyusul kemudian. "Gue cuma kaget aja. Eh, kenalin bisa kali. Lo belum lupa sama Mommy kan?"
"Nggak akan lupa, Gyn." Edward duduk di sofa, menunggu rambutnya kering dulu. Lagi males pake hairdryer.
"Siapa cewek lo, Ed? Gue kenal?"
"Kalo kenal deket mungkin enggak, tapi lo tau orangnya."
"Let me guess. Temennya kakak gue?"
"Nope." Edward terkekeh. Mana mungkin sama temannya Gwen. Dia nggak akan menyangkutpautkan semua dengan masa lalu. Terlalu berkonsekuensi.
"Selain temen kakak gue, kayaknya gue nggak tau deh." Gyna menyerah.
"Ya intinya nggak jauh-jauh dari radar pertemanan gue." Edward memberi clue. Lagi pula dia punya hak untuk menyembunyikan siapa pacarnya sekarang.
"Kenalin ke Mommy kali, Ed. Lo inget janji lo kan?"
Edward termenung. Mengingat-ingat janji yang pernah diucapkan saat keadaannya sangat down. Bahwa baginya tidak akan ada yang bisa menggantikan Gwen di hati. Itu dia ucapkan di depan keluarga Gwen yang masih berduka. Seperti sumpah, Edward bahkan mengatakan kalaupun tuntutan hidup mengharuskannya menikah, maka ia akan minta izin orang tua Gwen juga.
"Ed, lo nggak perlu kok beratin diri buat jalin hubungan cuma karena tuntutan orang-orang." Seperti bisa membaca keresahan Edward, Gyna mengatakannya dengan tepat sesuai apa yang Edward pikirkan.
"Yang kali ini nggak main-main, Gyn. Gue serius sama dia. Bukan karena tuntutan siapa-siapa. Tapi memang gue sendiri yang udah siap buat jalin hubungan yang lebih serius lagi."
"Lo mau merit dalam waktu dekat?"
"Belum."
"Lo selalu bilang hal yang sama waktu dua kali pacaran sebelum ini, Ed." Gyna tertawa lirih, tidak menganggap ucapan Edward serius. "Nyatanya dua mantan lo itu cuma jadi pelampiasan aja. Karena lo gagal lupain kakak gue. Iya kan?"
"Gyn, please ...." Mohon Edward dengan suara lirih. "Gwen udah tenang di sana, jangan dibawa-bawa lagi ya. Dan hubungan gue sama mantan-mantan gue atau sama yang sekarang, sama sekali nggak ada hubungannya sama Gwen. Saat gue jalin hubungan pasti niat gue serius. Makanya itu kenapa gue selalu bilang hal yang sama, kalo gue ada niat untuk merit. Sama yang sekarang juga."
Gyna terdiam beberapa saat. "Tapi sama yang sebelum ini lo nggak keukeuh banget, Ed. Lo bahkan masih sering ngunjungin Mommy sama Daddy."
Edward memejamkan mata, memijit pelipisnya yang makin berkedut nyeri. Ya memang benar apa yang dikatakan Gyna. Dulu dia masih sering mengunjungi. Bukan tanpa sebab. Tapi mantannya memang mengizinkan dia tetap menjalin hubungan baik sama keluarga Gwen, setelah tau kisah kelam Edward. Lagipula saat dia mengajak pacarnya ikut serta dinner di keluarga Gwen, mereka sangat welcome. Nggak ada masalah sama sekali. Kedua belah pihak sama-sama menerima kenyataan.
Tapi sekarang beda. Edward nggak yakin hal ini nggak akan meninggalkan masalah dalam hubungannya dengan Zia. Karena Zia berbeda, bukan seperti mantan-mantannya. Zia masih remaja dengan segala pemikiran yang terbatas. Jadi Edward menjaga dengan baik perasaan Zia dan nggak ingin membawa gadisnya dalam permasalahan masa lalu.
"Lo nggak lupa janji lo kan? Mau ngenalin ke Mom sama Daddy, siapa pun yang lagi lo pacarin?"
Edward terdiam. Tidak, dia nggak lupa janjinya. Tapi kalau untuk ngenalin, jawabannya juga tidak akan.
"Lo udah bersumpah, Ed."
🧚🏻🧚🏻
Sumpah apa ya🙃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top