28. Saya Ajari Kamu, Oke? (Bag.1)
Pagiihhhhh😉
🧚🏻🧚🏻
"Effort lo perlu gue apresiasi, Bapak Edward Neil yang terhormat."
Edward mendengus dengar kalimat Ogi yang berlebihan.
"Bolak balik kantor, apart gue, kantor lagi, apart gue lagi, sekarang ajak gue ke rumah. Demi siapa? Demi bocah umur 19 aja belum genap."
"Banyak omong lo!"
"Kalo aja lo nggak ancam pake laporin hubungan gue sama Key ke nyokap, mana mau gue diajak pulang semobil. Berasa hombreng aja sebelahan sama lo di mobil kayak gini. Hiiiii." Ogi bergidik ngeri.
Edward rasanya mau banting setir aja. Ogi cerewet banget. "Gue tau lo lagi salting sendiri karena malu ke-gap minta jatah. Apalagi Zia juga tau. Ngaku aja lo."
Ogi terdiam. Ya, sebenernya dia banyak ngomong karena itu juga sih. Mengenyahkan kekhawatiran. Takut. Apa pandangan Zia kepadanya sekarang berubah? Arg, dia nggak mau Zia memandangnya abang yang berengsek. Walaupun ... ya, emang sih dia berengsek. Pake alasan apa pun tetap salah. Meski awal dari hubungan sex antara dia dan Key karena kecelakaan, tapi tetap aja nggak dibenarkan.
"Tapi gue cukup kecewa sama lo, Gi." Ini saatnya Edward giliran melampiaskan rasa gugup. Iya, gugup karena mau ketemu Zia. Kalau bocah itu masih marah-marah terus malah mengusirnya gimana? Soalnya Edward nggak pernah menghadapi bocah ngambek sampe tantrum.
"Apa-apaan tiba-tiba lo kecewa sama gue? Harusnya gue lah. Lo nggak aba-aba dari awal suka sama Zia, tiba-tiba udah dipacarin aja."
"Ck." Edward berdecak. "Lo paham gimana gue, Gi. Nggak akan bilang ke siapa-siapa sebelum pendekatan gue berhasil. Biar nggak malu."
Ini kenapa malah jadi nyalahin Edward lagi? Padahal Edward mau nyidang Ogi balik.
"Sekarang dengerin gue." Edward berkata serius. Namun kedua matanya tetap fokus ke jalanan. "Lo nggak bilang apa-apa kalo punya hubungan sama seseorang. Apalagi itu sepupu lo sendiri. Shit, Man. Gue sakit hati. Gue tau itu privasi lo sendiri, tapi gue ngerasa nggak dihargai."
"Buseeeettttt." Ogi kaget dengar curahan hati Edward.
"Nggak usah buset-buset. Dulu lo selalu cerita tiap lagi nggak jomlo. Gue pikir lo belok karena bertahun-tahun nggak pacaran. Taunya sama Key."
"Yaaaa sorry," jawab Ogi malas-malasan. Walau begitu dia serius minta maaf, tau kalau Edward beneran sakit hati. "Ada hal yang bikin gue simpan ini rapat-rapat. Termasuk dari keluarga gue sendiri. Bukan gue nggak percaya sama lo, Ed. Tapi ... ya gitulah, rumit."
"Kalo gitu ngapain lo larang gue nyentuh adek lo. SHIT. GUE TANYA DOANG, BEGO!" teriak Edward seketika. Belum juga selesai ngomong, tangannya udah dipukul Ogi. Kalau aja refleksnya nggak baik saat berkendara, mobilnya pasti udah nabrak pembatas jalan.
"Pertanyaan lo bikin gue curiga!" geram Ogi. Dia nggak niat bikin celaka, tapi rasanya pengen gebuk Edward aja waktu denger kata-kata tadi.
Edward nyengir doang menanggapi geraman Ogi.
"Abang mana yang dengan sukarela bilang ke pacar adiknya kalo izinin nyentuh kayak yang lo maksud itu, hah? Gue tau salah juga nidurin pacar gue, pacar ya bukan pacar-pacar," ralat Ogi segera, biar kuping Edward berdengung karena disindir. Secara kan, Ogi tau banget total wanita yang udah Edward cicip. Tiga. Kalau masih dibilang dikit, keterlaluan. Ogi aja satu dan berharap buat seumur hidup. "Seberengseknya gue, tetep aja sebenernya nggak rela adek gue dikawinin sebelum dinikahin."
"Ada alasan lain?"
Ogi menyugar rambutnya. Sial, seharusnya dia nggak pantas bilang ini juga sih, soalnya Edward udah tau boroknya. Tapi tetap aja sebagai abang yang baik, nggak mungkin menjerumuskan adiknya ke hal nggak baik.
"Gue tau lo punya alasan lain, Gi. Dari tadi gue belum denger kalo lo restuin gue sama Zia."
"Dia masih belum cukup dewasa, Ed." Akhirnya, Ogi mengatakan itu dengan segenap kebimbangan. "Sabar lo harus dibanyakin."
"Udah gue stok banyak-banyak."
"Buat hercules maksud gue."
Edward terdiam. Apa ada makna tersirat dari ucapan Ogi?
"Kita sama-sama laki. Gue paham jatuh cinta pasti sepaket sama itu juga. Tergantung bisa lo tahan atau nggak. Tapi gue berharap banget, kali ini lo bisa nahan. Zia masih terlalu dini buat hal begitu, Ed."
Masih juga, Edward diam mencerna kalimat Ogi. Kali ini Ogi bukan keliatan kayak sahabat yang ketakutan dia hilang arah, tapi justru terkesan menasihati dengan segala permohonan. Memohon dengan sangat dan serendah-rendahnya hati yang dia punya.
"Kalo sampe itu terjadi, gue yakin lo yang pertama buat dia. Akan susah banget dia lupa sama lo misal kalian ujungnya nggak cocok. Gue nggak siap liat adek gue sendiri jatuh. Please banget gue mohon sama lo."
"Gue cinta sama dia, pasti gue perjuangin—"
"Gue tau, Ed." Entah dengan cara apa Ogi menjelaskan keresahannya ini. Jadi mau tidak mau dibukalah pengalamannya sendiri sebagai contoh agar Edward mengerti. "Pertama kali gue having sex sama Key ... itu kecelakaan. Umur dia waktu itu 23, tapi tetep aja belum siap sama konsekuensinya. Dia sempet drop banget. Apalagi Zia yang masih belasan tahun? Lo paham kan maksud gue? Ngelepas virginity sebelum merit itu menguras mental bagi semua perempuan baik-baik, Ed. Tanpa kecuali. Entah itu suka sama suka, mau sama mau, atau nggak."
Edward mengendalikan gas dan rem kuat-kuat, karena cukup terkejut dengan penjabaran Ogi. Selain frustrasi, Ogi juga terdengar pasrah. Nada bicaranya melemah.
"Case-nya emang beda." Ogi menjelaskan lagi. "Tapi Key dan Zia sama-sama orang rumahan, yang buat hal kayak gitu pasti tabu banget."
Benarkah semua perempuan melewati fase regret dan guncangan mental setelah melakukan sebuah hubungan untuk pertama kalinya di luar ikatan yang seharusnya? Edward sama sekali tidak tahu. Dia selalu membersamai wanita yang matang dan dewasa, yang sama sekali bukan pertama kalinya melakukan itu.
Dari beberapa hubungan Edward juga, tak ada satu pun yang terlihat menyesali. Mereka enjoy dan tidak menuntut banyak pada Edward bahkan setelah hubungan berakhir.
"Dan sebenernya ... laki-laki juga sama. Sebagian laki-laki," lanjut Ogi. Dia menoleh ke Edward yang terlihat berpikir keras. Sengaja, agar Edward meresapi penyesalan lelaki itu saat pertama kali melepas dirinya untuk seorang wanita. Meski tidak dikatakan, tapi Ogi tau ada setitik penyesalan di hati Edward juga, saat dulu. Biar bisa memosisikan diri sebagai Zia. Apa aja caranya, Ogi akan lakukan.
"Lo bener," gumam Edward. Sekarang paham maksud Ogi. Karena saat diingat-ingat, kayaknya dia juga pernah nyesel walaupun bentar. Nyeselnya di awal aja, tapi namanya udah pernah ngerasain, begitu dipancing jelas mau-mau aja. Terlanjur nyebur, pikirnya.
"Cewek bisa sejuta kali lipat posesifnya kalo udah pernah lo tidurin. Lo ngapain aja berasa salah. Cemburunya gila-gilaan. Kalo lakinya nggak pinter nge-treat, ujungnya ribut doang terus ditinggalin. Yang kena mentalnya siapa? Cewek."
Edward mengerjap, mulai tau korelasinya. "Tapi apa cuma gue yang dulu kepikiran kalo udah kasih ke satu cewek, ya gue maunya nikahin dia doang. Nggak mau sama yang lain."
"Gue juga, Ed." Ogi tertawa, ngenes. Mau nyesel juga udah kejadian. Seriusan bukan cuma cewek yang bisa kena mental kalo udah ditinggal setelah gituan, cowok macam mereka juga!
"Lo nyesel karena pertama kali malah waktu teler?" tebak Edward.
"Iya lah. Coba kalo sadar, lebih enak pasti tuh." Ogi tergelak. Udahan lah mellow-nya. Dia selipin bercandaan aja.
"Buruan dinikahin sepupu lo. Keburu kabur entar, Gi."
"Lo kira gampang kali. Gue masih harus berjuang seumur hidup buat buktiin kalo gue beneran cinta mati sama dia, bukannya butuh ngewe doang!"
"Bangsat!" umpat Edward dengar kalimat vulgar sohibnya.
Ogi tertawa. Dia menyilangkan tangan untuk sandaran belakang kepala, mulai menikmati perjalanan. Karena hal terpenting sudah dia sampaikan. Tentang ketakutannya kalau Zia menjalin hubungan dengan Edward. Dia yakin Edward pasti memikirkan baik-baik ucapannya. Terserah selanjutnya hubungan keduanya bagaimana. Kalaupun Edward lepas kendali, setidaknya Ogi udah bilangin harus treat yang baik biar nggak berujung kegagalan. Dia udah jelasin secara rinci sependek pengetahuannya tentang perempuan. Lagi pula Ogi nggak bisa pantau keduanya 24/7.
"Gue nggak tau bener apa nggak nitipin Zia ke lo, Ed. Tapi ... gue percaya sama lo."
Edward mengembuskan napasnya hingga terdengar cukup keras. Tanggung jawabnya sangat besar sekarang, dan dia nggak bisa main-main apalagi mundur.
"Thanks, Gi."
***
"Udah makan tadi, Tan, di apartemen Ogi," tolak Edward secara halus.
"Iya, Ma. Udah makan dia." Ogi menunjuk Edward. "Dateng-dateng perutnya langsung bunyi. Kasian kan. Padahal aku cuma beli nasi rames satu, dilahap habis sama dia. Seorang Edward makan nasi rames, bikin heran aja. Biasanya juga tenderloin, tapi tadi makan genjer sama kerupuk melarat malah minta nambah," decak Ogi sambil geleng-geleng kepala.
Laras terkekeh dengar anaknya bersungut sebal.
"Oh iya, Tante Laras," panggil Edward pelan. Jemarinya bertaut di pangkuan. Tadi waktu makan nasi rames, dia keinget sesuatu. Bahwa di rumah ini, di ruang tamu ini, sofa yang sama, pernah jadi tempatnya lari waktu hidupnya down. Agak lupa-lupa ingat, maklumlah lagi agak stres waktu itu. Tapi untuk kebaikan seseorang yang membantunya bangkit, nggak akan pernah lupa.
"Kenapa, Ed?" Laras balik bertanya karena Edward merenung cukup lama. Seperti mengingat-ingat sesuatu.
"Aku ... mau berterima kasih sama Tante," ujar Edward tulus. Senyumnya mengembang penuh rasa terima kasih. "Kalau dulu nggak ada Tante Laras, mungkin aku udah mati kelaparan." Dia menyelipkan kekehan.
Laras masih bingung, tapi mengusahakan senyum tipis. Sembari berpikir maksud anak ini apa?
"Apaan, Ed?" Ogi menyahuti. Tau persis muka sang mama kebingungan.
"Dulu itu, Gi," jelas Edward. Mungkin Ogi nggak ada di sana pas Edward hampir mati. "Gue nggak bisa nelen makanan berhari-hari. Makan apa aja pasti muntah. Gue kabur dari rumah waktu ada jadwal periksa dokter, gue lari ke sini."
Ogi kayak déjà vu. "Bentar, maksud lo waktu ...."
"Pemulihan," Edward memperjelas. Takutnya Ogi nggak tega bahas masa jatuhnya.
"Yang pas lo dateng-dateng pucet banget kayak mayat hidup terus begitu dibukain pintu langsung tepar di lantai?"
Edward mengerjap. "Lo tau?"
"Tau lah, gila. Itu gue yang bukain pintu!"
"Hah?" Edward kaget sendiri. Okelah, mungkin dia lupa siapa yang bukain pintu. Dia cuma inget jatuh ke lantai saking lemasnya karena nggak ada asupan yang masuk ke mulut, tapi dia nggak akan lupa rasa masakan ternikmat sepanjang hidup. Yang sama sekali tidak membuatnya mual dan muntah. Setelah berhari-hari gagal makan, itulah saat di mana ia merasa hidup lagi.
"Iya, gue bukain pintu, gue dudukin di sofa ini juga. Gue nyuruh lo minum, lo muntahin itu air putih."
"T-tapi waktu itu gue makan. Disuapin Tante Laras."
Laras makin bingung. Tapi nggak bisa ngomong apa-apa juga. Takut dirinya yang kelupaan faktor umur, atau emang nggak pernah bantuin Edward makan seperti yang anak itu bilang.
"Ngaco lo," Ogi berdecak. "Nyokap gue lagi di Surabaya waktu itu."
"Nggak nggak. Mungkin lo salah inget, Gi. Bukan yang itu." Edward masih menolak. Di antara banyak ingatannya, yang ini dia yakin seratus persen nggak mungkin salah. Dia emang disuapin kok!
"Gue nerima tamu yang langsung jatuh di bawah kaki gue dan bikin gue hampir kena serangan jantung karena panik, cuma satu kali. Dan tamu itu elo, Ed!" Ogi pun keukeuh dengan ingatannya. "Lagian kenapa gue bisa bilang nyokap bokap di Surabaya, ya karena gue dalam hati udah membantin, untung aja nggak ada ortu, nggak enak kan kalo lo muntah-muntah di sini dan mereka liat. Nggak mungkin salah ingatan gue. Lo yang salah, Ed."
"Kalo emang bener itu yang lo maksud, terus coba sebutin gue makan apa malam itu?"
"Pepes ikan mas empat biji. Lo babat abis semua. Apa lagi?" tantang Ogi membanggakan diri. Ingatannya lebih kuat kalau dibandingin sama Edward yang dulu lagi masa pemulihan secara emosional dan psikis. Jadi udah dipastikan dia benar, Edward salah. Titik nggak ada koma!
Edward makin kebingungan. Apalagi waktu hadap ke Laras, wanita paruh baya itu juga seolah mengiyakan ingatan Ogi. "T-terus ... yang suapin gue siapa?"
"Mana gue tau." Kali ini Ogi nggak tau. Dia emang nggak lihat adegan suap-suapan sih. Tapi kok ... "Eh, bentar." Dia kayak ingat sesuatu.
Edward terfokus lagi ke Ogi.
"Waktu itu cuma ada gue sama Zia," cetus Ogi. Dia memejamkan mata dan menggelengkan kepala. Mencoba mengingat-ingat apa aja yang terjadi. Udah bertahun-tahun yang lalu, tapi sesuatu yang berkesan emang kadang diingat. Contohnya adalah penawar kepanikan. Iya, setelah dibuat panik karena Edward datang dengan kondisi mengkhawatirkan, tiba-tiba dia dibuat lega karena Edward lahap makan. Nah, dia ingat sesuatu. "Waktu itu Zia lagi makan, gue suruh duduk di sofa ini juga, siapa tau jadi stimulus biar lo nafsu makan."
"Gi ...."
"Lo emang akhirnya mau makan, Ed. Tapi gue nggak tau apa Zia suapin lo atau nggak. Mungkin iya, waktu gue tinggal bentar ke dapur buat beresin muntahan sialan lo itu."
"Gi ...." Suara Edward mulai gemetar. "Lo bilang ... gue makan pepes ikan mas?"
Ogi mengangguk mantap. "Empat. Nggak pake nasi karena beberapa suapan nasi bikin lo muntah. Lo cuma makan pepesnya aja. Gue inget banget."
Edward memejamkan mata, tiba-tiba kenangan itu berkelebat cepat. Dulu memang sempat dilupakan, tapi saat makan sederhana punya Ogi tadi, tiba-tiba keinget. Dan dia menyesal kenapa baru menyadarinya sekarang.
Ogi benar kalau bilang dia kayak mayat hidup. Di antara usahanya bangkit dari kehilangan, memang itu yang terjatuh. Saat perutnya tidak bisa menelan makanan apa pun, bahkan minum sekalipun. Membuat daya tahan tubuhnya makin hari kian menurun. Tapi satu kejadian membuatnya merasa hidup. Saat merasakan betapa nikmatnya sebuah makanan, karena berhari-hari dilanda lapar luar biasa.
"Tante, aku boleh tanya?" Tiba-tiba aja suara Edward tercekat. Mendapati Laras mengangguk, dia melanjutkan. "Zia ... suka pepes ikan sejak kapan?"
"Seingat Tante sejak SMP, Ed. Tante juga pernah bahas ini sama Om."
"Ya Tuhan ...." Kedua tangan Edward tertangkup menutup wajah. Apa-apaan ini. Jadi ... sudah pasti Zia yang menyuapinya, membantunya makan saat dulu. Kenapa baru sekarang dia sadar?
"Kenapa, Ed?"
"Zia bilang, dia suka pepes ikan karena lihat orang yang lahap banget makan kayak berhari-hari kelaparan," ujar Edward lemas. Dia membasuh wajahnya sebelum menatap Ogi dengan kedua matanya yang sayu. "Apa itu gue, Gi?"
"What?" Ogi setengah kaget. "Dia bilang gitu ke lo?"
Edward mengangguk lemah.
"Apa jangan-jangan dia naksir sama lo sejak SMP juga?!" pekik Ogi.
"Apa, Gi? Adik kamu naksir Edward?!" Tambahlah pekikan Laras.
"Aku sama Zia udah pacaran, Tante."
"EDWARD!!!"
"APA?!"
Ibu dan anak itu saling teriak karena kaget. Ogi yang teriakkan nama karena nggak nyangka Edward mau jujur sekarang ke Laras, dan Laras sendiri yang kaget dengar pernyataan laki-laki itu. Kaget bukan main. Masalahnya ... umur keduanya terpaut jauh. Pokoknya rusuh tiba-tiba di ruang tamu.
"Mama mau ke Zia dulu." Laras sontak berdiri.
"Ma, Ma. Bentar." Ogi menyusul langkah mamanya yang tergesa.
Tinggallah Edward di sofa, meratapi kekagetannya yang beruntun. Dia melihat Ogi berusaha menenangkan Laras, dan berbicara sambil berjalan di tangga. Mungkin biar nggak mencecar Zia dengan pertanyaan sekarang juga.
Ya Tuhan, ini tanda apa? Edward sungguh takjub dengan kenyataan yang pelan-pelan terpampang di depan mata. Niat hati ingin berterima kasih ke Laras jika benar sudah membantunya dulu dan akan membalas budi baik itu dengan cara membahagiakan Zia, tapi kenyataan justru berbalik.
Kalau memang benar Zia, maka Edward tidak akan tanggung-tanggung memberi apa pun yang ada di hidupnya untuk cewek itu. Semua yang dia punya, tanpa kecuali. Zia bukan hanya mengisi hatinya saat ini, tapi bahkan sudah menopang, membantunya bangkit, memenuhi tiap-tiap langkahnya sedari dulu.
Edward tidak tahu kenapa dia jadi melankolis begini, apalagi waktu lihat Zia udah berdiri kaku di tangga terbawa. Rasanya ingin menggelamkan bocah itu dalam pelukan. Ya, bocah. Bocah yang bikin dia cinta mati.
Secepat itu kayaknya cintanya tumbuh. Perasaan, kemarin dia masih di tahap cinta yang baru tumbuh dan perlu dipupuk sesering mungkin, tapi saat mendapati bahwa bocah berperan besar dalam membantunya bangkit dari keterpurukan, rasa-rasanya dia rela mati demi Zia. Iya, silakan sebut itu berlebihan, tapi memang seemosional ini sekarang hati Edward ke Zia. Hanya itu pendeskripsian yang tepat.
"Zi," panggil Edward pelan. Dia melambaikan tangan ke Zia agar mendekat. Rasanya luar biasa mengharukan. Nggak tau kenapa dia ingin mendekap Zia erat-erat kalau aja nggak di sini. "Sini."
Saat Zia sudah duduk di sampingnya, Edward merasa bahagia. Aneh kan? Kemarin dia masih abai pada bocah ini, ingin melatih bagaimana cara menjadi dewasa dalam sebuah hubungan. Tapi sekarang ... egonya runtuh. Dia ingin menemani Zia melewati masa-masa remaja menuju dewasa. Edward akan memberi kesabaran penuh untuk membersamai tiap proses hidup Zia, nggak ingin menjebaknya dalam hubungan yang dewasa, dan nggak akan memaksa. Nanti pasti ada saatnya. Edward ingin pelan-pelan dan membuat Zia nyaman dengan hubungan mereka.
"Kenapa kamu nggak bilang, kalau ternyata orang yang kamu lihat makan pepes ikan kayak nggak makan bertahun-tahun ... itu saya?"
Setelah Edward menuturkan itu dengan suara yang nyaris tak terdengar, Zia sontak mengalihkan pandangan. Menghindari menatap Edward.
"Itu saya, bener?" Edward mengonfirmasi ulang.
Zia menggeleng kaku. "Om kepedean."
Edward tidak tersinggung sama sekali. Terserah Zia mau bilang apa, dia udah terlanjur sayang. Nggak mau ngaku juga nggak apa-apa. "Boleh jawab dulu? Saya pengen denger aja iya atau bukan."
"Nggak tau," dengus Zia.
Edward tersenyum. Dia meraih dagu Zia agar menatapnya. "Pilihannya cuma dua. Kamu jawab iya atau bukan."
"Atau."
"Zi." Edward terkekeh. Zia ini emang sengaja banget bikin kesabarannya habis. Dia tau. Tujuannya pasti biar Edward nggak mau sama bocah itu lagi. Jangan harap. Edward udah bilang stok sabar banyak-banyak cuma buat Zia doang. "Saya minta maaf. Jangan marah lagi. Ya?"
"Ya."
"Nggak ikhlas maafinnya?"
"Ikhlas."
"Singkat banget jawabnya." Edward berdiri, lalu tubuhnya meluruh biar jongkok di depan Zia.
"Om ngapain?" pekik Zia kaget, lihat Edward tiba-tiba aja udah di depannya.
"Salah siapa nggak mau liat saya." Edward pasang muka tebal walaupun Zia terlihat enggan menatapnya. "Saya minta maaf karena semalam dinner-nya gagal. Saya minta maaf karena belum bisa bagi waktu untuk kamu dan kerjaan. Saya minta maaf buat semuanya."
"Aku udah bilang iya kok. Cepet duduk lagi." Bukan apa-apa, Zia panik kalau misal dilihat keluarganya.
"Tapi mau dinner sama saya? Tonight."
Zia lantas menggeleng. "Kita udah putus."
"Kata siapa?"
"Kataku. Kalo kata Om sih nggak pernah jadian."
Edward mendengus. Dia akhirnya duduk lagi. Ngambek si bocah, perlu dikekepin kayaknya. Jadi dia melingkarkan tangan di bahu Zia walaupun berusaha ditepis. "Kapan saya bilang nggak pernah jadian?"
"Semalem. Awas, Om!" Zia mulai habis kesabaran. Tenaganya tiba-tiba berkali-lipat lebih kuat. Hingga Edward menyerah dan melepas pelukan. Dia bertahan hadap depan, malas lihat Edward di sampingnya.
"Coba saya bilangnya gimana?"
"Emang kapan jadiannya?" Mulut Zia bahkan sambil dimiring-miringkan, menirukan isi pesan dari Edward semalam.
Jelas itu membuat Edward tertawa. Fix, ini Zia cuma ngambek, nggak sampai marah-marah. "Emang saya nggak boleh tanya tanggal jadian kita?"
"Apaan sih, nggak jelas."
Edward mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Kartu pipih berwarna hitam. Dia selipkan ke telapak tangan Zia. Hal itu sukses membuat Zia menunduk dan membelalak seketika.
"Ssssttt." Edward membungkam keterkejutan Zia dengan menempelkan jari telunjuknya di bibir cewek itu. "Maaf, kamu harus membayar bill kencan pertama kita. Itu kesalahan saya, dan nggak etis banget. Saya minta maaf. Dan kartu debit ini ... saya titipin ke kamu. Terserah mau kamu pakai buat apa. Pinnya tanggal jadian kita."
Sebenarnya Edward merasa geli dengan penggunaan tanggal-tanggal tertentu untuk hal sepenting pin ATM. Tapi ... dia mencoba membuat Zia yang masih remaja itu merasa dihargai. Mungkin bagi Edward terasa menggelikan, tapi siapa tau untuk seusia Zia, hal itu bisa membuat hatinya senang.
"Transfer aja buat gantinya. Aku nggak mau pegang ini." Nada suara Zia masih ketus.
"Kamu transfer sendiri nanti ya," bujuk Edward.
"Kan Om yang mau ganti. Ya Om yang transfer dong."
"Oke, kalo kamu minta saya yang transfer, nggak masalah kan saya transfer semua yang ada di sini ke rekening kamu?"
Zia membelalak. Ini apa-apaan coba? "Aku nggak matre ya, Om!"
"Memang. Siapa yang bilang kamu matre?"
Zia mendengus sebal. Kenapa sih om-om ini nyebelin banget? Semalam bikin nangis sampai matanya bengkak, sekarang seenak jidat dateng sambil bermanis-manis ria. Stok gula di dapur bisa abis kalo ada Edward.
"Pegang." Edward masih mencoba menyisipkan kartu debit ke tangan Zia.
"Nanti abis aku transfer, aku balikin." Itu keputusan Zia. Daripada kena serangan jantung lihat nominal di rekeningnya yang awalnya satu nol nol nol, jadi satu nol nol nol nol nol nol nol nol nol kan bahaya!
"Ayo, dinner."
"Nggak mau."
"Takut ditinggal meeting lagi?" Edward bertanya pelan. Diamnya Zia menandakan iya. "Saya memang nggak bisa janji apa nanti ada meeting dadakan atau enggak. Tapi ... kalau ada, saya bisa ajak kamu ke kantor," usulnya.
Entah kenapa Edward tiba-tiba tercetus ide itu. Dia keinget dulu waktu adiknya masih pacaran, beberapa kali bawa Salsa ke kantor. Emang sih sama-sama ditinggal. Tapi paling enggak, mungkin bisa membuat si pacar ngerasa lebih dekat. Lagi-lagi diamnya Zia membuat Edward tersenyum puas. Artinya iya lagi.
"Ayo, ke apartemen saya."
"Kok apartemen? Katanya dinner?"
"Dinner di apartemen saya."
🧚🏻🧚🏻
Ciyee mau diajari ilmu pelettt🥰
Part 35 tungguinnn
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top