27. Iya Iya Iya
Part 34 versi update duluan di karyakarsa tunggu dulu yeee, baru dapet separuh 😚
Happy reading warga wattpad. Di sini bentar lagi nyampe ke yang manis-manis🤌🏻
🧚🏻🧚🏻
"Gue udah jadian sama Zia."
"WHAT THE F*CK, EDWARD BANGSAT!"
Seperti dalam film-film action, gerak refleks Ogi mendorong kakinya untuk naik ke sofa panjang, melompat melewati sandarannya yang cukup tinggi, lalu mendarat ke lantai dengan setengah goyah dan bunyi bug yang keras.
Edward merasa siaga. Soalnya muka Ogi serem seakan siap memutilasinya jadi dua puluh satu bagian. Dia auto mundur sampai punggungnya terantuk nakas, saat Ogi juga memajukan langkah.
"Gi, gue bisa jelasin." Edward mengangkat dua tangannya, mencegah apa pun niat Ogi padanya. Keadaan Ogi cukup membuatnya waspada, bukan lagi siaga.
Kalau asap itu kasat mata, mungkin Edward bisa lihat ubun-ubunnya Ogi sekarang berasap, saking terbakarnya amarah lelaki itu. Bahkan mukanya merah, kaku, dengan kedua mata melotot dan bikin dia takut bola matanya nanti lepas lalu menggelinding di bawah kakinya. Saking paniknya, Edward malah kepikiran hal semengerikan itu.
"JELASIN APAAN HAH?! LO DENGER TADI GUE BILANG APA?!"
Edward mengerjap. Sejauh pengetahuannya, kalau hadapi orang marah cukup diiyakan dan dituruti aja dulu. Tadi Ogi mengonfirmasi apakah dia dengar ucapan lelaki itu kan? Jadi dengan segenap kekuatan, Edward mengumpulkan suaranya agar bisa mengulangi ucapan Ogi sekeras yang didengar telinganya. Dalam hitungan ketiga, dia berteriak sekeras yang dia bisa. "WHAT THE F*CK, EDWARD BANGSAT!"
"NGAPAIN LO IKUT TERIAK? LO NANTANGIN GUE, ED?!"
"LO YANG NGAPAIN TERIAK-TERIAK KAYAK GITU, GI. TADI LO TANYA APA GUE DENGER YA GUE ULAGIN. BEGO LO!"
"BANGSAT LO EMANG, ED. BANGSAAAAATTT!!!"
"LO YANG BANGSAT, GI."
"LO! NGAPAIN LO PACARIN ADEK GUE, SATTTT?!!!"
"KARENA GUE SUKA SAMA DIA!"
"SUKA DOANG NGGAK PERLU PACARIN, BEGO!"
"GUE SAYANG SAMA DIA!"
"KALO CUMA SAYANG—"
"I LOVE HER. KENAPA, HAH? LO MAU NGOMONG APA LAGI? LO KIRA GAMPANG BUAT BIASA AJA ABIS ZIA CONFESS KE GUE PADAHAL GUE SADAR GUE JUGA CINTA SAMA ADEK LO? LO NGGAK TAU KEPALA GUE HAMPIR PECAH MIKIRIN BUAT NERIMA DIA ATAU NGGAK. AWALNYA GUE KIRA GAMPANG RELAIN DIA, TAPI SEMAKIN HARI GUE RASA GUE NGGAK BISA LIHAT ZIA SAMA LAKI-LAKI LAIN. GUE TAU GUE BERENGSEK, GI. TANPA LO BILANG JUGA GUE TAU KETAKUTAN LO KALO ZIA SAMA GUE. TAPI MENURUT LO GIMANA KALO GUE NGGAK BISA JAUH DARI ADEK LO, HAH? COBA KASIH GUE SOLUSI KALO LO NGGAK RESTUIN ADEK LO SAMA GUE!!!"
Sederet kalimat Edward yang diucapkan cepat banget tanpa jeda, membuat lelaki itu kelihatan hampir kehabisan napas. Dadanya naik turun dengan wajah merah padam.
Detik berikutnya, tubuh Edward melunglai dan tersandar di nakas. Dia mengembuskan napas dengan gusar, sembari mendongak untuk meredakan emosinya. Tidak ada yang tau pergolakan batinnya belakangan ini. Semua hanya terfokus pada bagaimana cara bersikap atas Zia yang menyukainya.
Padahal ... ada sangat banyak ketakutan, kebimbangan, dan pertimbangan sebelum dia memutuskan untuk balik mengejar Zia. Kalau dikira hanya karena cemburu saat ada Gaffi yang bertamu saat itu, maka Edward dengan tegas jawab 'bukan'. Bukan hanya itu. Ada banyak sekali perasaan mendesak di dadanya yang menyuruh dia untuk memperjuangkan bocah itu.
Edward takut perasaan Zia hanya sesaat, dan begitu Zia masuk kuliah maka akan bertemu cinta yang sebenarnya. Bukan Edward takut ditinggalkan, namun khawatir Zia merasa hambar dengannya saat rasa itu hilang. Berujung dengan Zia yang tidak nyaman dengannya, tapi tidak bisa lari karena hubungan kekeluargan mereka yang cukup erat. Semua akan berakhir dengan keterpaksaan. Edward tidak mau Zia terpaksa dengannya.
Apa Edward terlalu jauh berpikir tentang itu? Baginya tidak. Di umurnya yang sekarang, dia mulai banyak mempertimbangkan hal-hal yang futuristis. Bukan hanya jalanin aja dulu seperti di hubungan-hubungan sebelumnya.
"Gue kaget, secepat itu," lirih Ogi. Teriakannya tadi cuma bentuk kekagetan aja. Edward yang kelihatan berantakan membuatnya sadar kalau dia nggak seharusnya menyalahkan satu pihak.
Ogi mengenal Edward sebagai lelaki yang penuh pertimbangan, setidaknya itu terjadi setelah kehilangan Gwen. Edward yang dulu begitu bebas, liar, dan susah diatur, justru berubah jadi seseorang yang berbanding terbalik. Kehilangan Gwen mengembalikan Edward seperti lelaki yang Ogi kenal di masa SMA, meski masih ada sisi nakal yang tersisa. Seperti halnya Edward yang terkadang masih suka clubbing dan minum walau udah berkurang intensitasnya. Kalau dulu semasa kuliah, hampir setiap hari.
"Sorry, Gi. Gue malah ikut marah," kekeh Edward sembari menyugar rambutnya dengan kasar.
"Bego sih lo," decak Ogi. "Harusnya gue yang marah-marah, kenapa jadi lo? Sinting!"
Edward terkekeh. Dia melihat Ogi berbalik dan kembali duduk di sofa. Kali ini di seberang sofa yang tadi, membuat posisi mereka jadi berhadapan. Tapi Edward belum ada niat untuk ikut duduk. Masih nyaman bokongnya di atas nakas.
"Duduk, woy!" suruh Ogi. "Kenapa lo? Takut gue mutilasi?"
Tuh kan, saking lamanya bersahabat, pikiran Ogi dan Edward juga nggak beda jauh. Akhirnya Edward beranjak dan duduk di sofa, berseberangan dengan Ogi.
"Sejak kapan?" tanya Ogi. Dia mengepulkan asap rokok elektrik dari mulutnya.
"Beberapa hari yang lalu. Belum lama."
Ogi mengangguk-angguk. "Lo tau Zia itu nggak sesuai kayak tipe lo."
Edward ikut mengambil rokok elektrik dan menyesapnya. Dia bersandar di sofa. "Tipe gue yang penting cantik."
"Dasar mandang fisik!"
Edward terkekeh. "Dia beneran cantik, Gi. Gue akuin."
"Tapi beda sama tipe lo, Ed." Ogi masih berusaha menyadarkan kalau adiknya itu beda banget sama mantan-mantan Edward sebelumnya. "Idaman lo kan yang cantik elegan kayak putri kerajaan, glamour, tempat makannya fine dining, tempat healing-nya langsung keluar negeri, stabil secara finansial, independen."
"Belum aja Zia kayak gitu, Gi. Dia cantik yang masih natural. Liat nanti beberapa bulan lagi setelah lepas dari seragam putih abu, gue yakin lebih daripada tipe gue yang lo sebutin tadi." Edward menyesap lagi vape-nya. "Tapi gue nggak nuntut dia jadi kayak gitu. Gue lebih suka Zia yang apa adanya. Gue agak khawatir kalau dia terlalu sempurna, nanti gue nggak ada baik-baiknya buat Zia."
Ogi mengamati raut wajah Edward. Meski kalimat terakhir diucapkan dengan nada candaan, tapi dia tau persis masih ada insecurity dalam diri Edward. Lelaki itu telah melewati masa-masa di mana perasaannya 'nggak dihargai' dengan dalih hubungan yang dewasa tidak akan saling menuntut. Mungkin Edward nggak sadar kalau pengalaman cinta itu membentuknya jadi terbiasa dengan jenis hubungan yang saling lepas tangan. Tapi Ogi-lah yang menyadari itu.
Sekarang Ogi yang giliran khawatir. Dengan Edward yang kayak gitu, dan Zia yang juga sangat jauh pandangannya, akan bagaimana keduanya nanti? Tapi mungkin Edward udah mempertimbangkan semuanya. Ogi yakin.
"Nggak usah merendah gitu." Ogi berusaha melebarkan hati Edward. "Zia juga masih kekanakan. Di awal bisa aja dia susah ngertiin lo karena dia terbiasa dikasih perhatian dan prioritas yang cukup dari keluarga gue, Ed. Makanya gue takut itu nyakitin kalian berdua."
Edward meringis. "Baru aja kejadian semalem."
Ogi mengernyit.
"Semalem gue sama dia dinner di luar, tapi ada meeting dadakan. Biasalah kalo ada kesalahan sedikit, pasti kita harus gercep jelasin ke klien sebelum melebar ke mana-mana kan?" Edward menegakkan tubuh. "Gue salah karena abaikan dia, apalagi dia udah nawarin batal aja dinner-nya. Gue juga bingung gimana nanggepinnya. Ya gue pikir nggak separah itu sampe harus meeting segala. Pokoknya gue salah ambil tindakan semalem."
"Itu alasan lo ke sini sekarang? Minta tolong ke gue bujuk dia?" tebak Ogi.
"Nggak gitu juga," decak Edward. "Entar gue lanjut ke rumah lo buat nemuin dia. Yang penting gue ngomong ke lo dulu."
"Serius lo ke sana? Nggak ditanyain bokap nyokap gue?"
Edward mengedikkan bahu. "Dikiranya gue nyariin lo. Tapi kalo tanya ada hubungan apa, ya gue jujur aja."
"Gila, berani amat. Belum ada seminggu kalian jadian. Nggak usah nekat kayak gitu saran gue."
Edward terkekeh. "Itu kalo gue beneran nggak bisa jawab waktu ditanyain, Gi. Santai aja."
Mereka terdiam beberapa saat.
"Jadi lo setuju gue sama Zia?"
Ogi belum menjawab. Perlu beberapa menit keterdiaman mereka berlanjut. Sampai akhirnya Ogi mengucapkan sesuatu. "Bentar, Ed. Gue tau lo nggak mungkin main-main sama hubungan ini. Tapi taruhlah misal kalian ... nggak cocok."
Edward mengangguk, tau ke mana arah pembicaraan Ogi.
"Nggak mungkin nantinya istri lo—misal—biarin lo masih temenan sama gue kayak gini, kalo tau gue abangnya mantan lo."
"Itu juga yang gue pikirin, Gi." Edward meringis. Makanya tiap malam susah tidur. Banyak banget kecamuk di dadanya. "Tapi ... gue putusin buat ambil konsekuensinya."
Ogi cukup kaget. Ini demi Zia loh, Edward mau mengerahkan semua masa depan itu?
"Tapi kan itu cuma perandaian." Edward tersenyum tipis. "Wanita nggak akan tiba-tiba cemburu kalo nggak ada api. Selama hubungan gue sama lo dan keluarga lo baik terus, ya nggak akan nimbulin masalah apa-apa buat hidup gue atau ... istri gue nanti."
"Lo beneran serius sama Zia?" tanya Ogi lagi.
"Lo ngerti ini taruhannya nggak main-main, Gi. Jadi udah pasti gue serius."
"Sabar-sabarin sama dia. Kalo dia salah, bilangin aja. Andai masih nggak mempan, bilang ke gue. Biar gue yang nasihatin."
Edward menahan napasnya sebelum mengembuskannya pelan sekali. "Kalo dia salah, artinya gue yang gagal ngertiin maunya. Dia terlalu baik buat gue, Gi. Jadi lo harus percaya kalo di hubungan ini, gue yang mau perjuangin dia mati-matian. Sorry kalo gue sering bikin adek lo nangis. Gue cuma lagi belajar lebih ngertiin lagi."
"Ck, nggak apa-apa, Ed. Zia emang hatinya sensitif banget. Mimpi rambut Upin yang sehelai itu dipotong aja nangisnya sampai dunia nyata."
Edward mengernyit, lalu tertawa.
"Tapi nggak dibikin nangis terus juga, Ed. Jangan nyakitin dia secara sengaja. Oke?"
"Gue terus berusaha, Gi."
"Gue percaya. Beberapa tahun ini gue takjub sama usaha lo perbaikin cara lo hidup," puji Ogi. Dia nggak pernah mengatakan betapa bangganya pada pencapaian Edward setelah terpuruk. Tapi sekarang dia nggak malu mengapresiasi. "Satu lagi, jangan ngerasa lo buruk."
"Gue—"
Ogi menggeleng, memaksa Edward untuk nggak mengucapkan apa pun lebih dulu. "Lo bilang Zia terlalu baik buat lo? Terus lo yang merangkak benerin hidup sejak perginya Gwen sampai di titik ini bukannya karena pengin jadi lebih baik juga? Lo pernah bilang ke gue udah cukup jadi berengseknya dulu-dulu dan nyesel. Nggak usah insceure mulu, nggak malu sama umur?"
"Pedes amat. Kita seumuran. Nggak usah ngomong seolah-olah gue berumur banget."
"Perumpaaan aja." Ogi ikut tertawa. "Yang penting intinya nyampe. Mungkin ini cara takdir pertemuan lo sama orang yang lebih baik lagi menurut pandangan lo."
"Artinya lo setuju?"
"Kok lo jadi ngebet banget sama adek gue? Lo pernah bilang dia masih bocah!"
"Bocah kayak adek lo nggak boleh dilewatin." Edward menaik turunkan alisnya.
Ogi seketika membelalak. "Gue tau apa yang ada di otak lo, Ed!"
"Apaan?" Edward pura-pura nggak paham. "Maksud gue dia masih fresh, segar."
"Lo kira ikan!"
Edward terbahak.
"Itu pasti tentang segel kemasan kan? Awas kalo lo sampe buka segel sebelum waktunya. Gue matiin lo!"
"Gilaaa. Gue nggak seberani itu juga. Takut hercules kejepit sama yang masih segelan."
"Bangke!" umpat Ogi. Dia tau artinya Edward nggak pernah buka segel sebelumnya. Dasar amatir. Sok berengsek. "Lo janji nggak akan lakuin itu ke adek gue?"
Edward mengangguk. Sebenernya dalam hati masih mikir, janji nggak ya? "Kalo sampe gue lakuin, gue akan—"
"Nggak perlu pake taruhan lagi," sentak Ogi tidak terima. "Gue cukup syok sama perjanjian apartemen ini, nggak usah ditambah-tambahin. Nanti kejadian beneran malah repot. Gue nggak butuh iming-iming lo. Lo cuma perlu janji sama diri lo sendiri aja, terserah mau lo lakuin atau nggak. Gue tau lo bisa kendaliin kalo itu ke Zia."
Edward meringis, garuk-garuk tengkuk. "Kalo nggak bisa gimana?"
"Nggak perlu sok berengsek gitu lo, Ed. Biasa nemuin jalan tol bebas hambatan kan? Lo nggak tau kalo hercules ketemu yang masih segelan bisa bengkok?"
"HAH?!" Edward kaget. Ya enggak bengkok juga sih, tapi dia nyangkanya pasti nggak semudah kayak jalan tol.
"Makanya." Ogi merasa puas udah bikin Edward kaget, seenggaknya setelah ini Edward bisa lebih hati-hati.
"Emang waktu lo sama Key juga gitu, Gi?"
Bagai petir di siang bolong, Ogi tersambar pertanyaan yang sangat mengagetkan jiwa raga. Sampai dia susah berkata-kata. "L-lo ... ta-tau dari ... mana?" gagapnya.
Edward menahan tawa. Enak juga balikin keadaan begini. "Gue denger percakapan lo sama Key waktu itu. Gue lagi di sini ... sama Zia."
"Zi-a ... juga ... tau?" Muka Ogi panik banget.
Edward mengangguk.
"Apa yang kalian denger?" Ogi berdehem, kini duduk tegak sampai condong ke arah Edward untuk mendengar baik-baik.
"Lo minta jatah."
"WHAT THE F*CK, EDWARD BANGSAT!"
***
"Zia ...."
"Iya, Ma?" Zia baru selesai mandi, lalu duduk di depan meja rias. Nutupin matanya yang bengkak tuh butuh usaha. Untung aja siang tadi tangisnya nggak nambah lagi. Mungkin mulai sadar kalau Edward cuma main-main aja.
"Mama boleh masuk?"
"Bentar ya, Ma. Aku bukain." Zia segera beranjak setelah selesai mengeringkan rambutnya.
"Ada Edward di bawah."
Baru juga buka pintu, Zia dibuat terkejut sejadinya. "Apa?"
Laras tersenyum, mengusap satu lengan Zia. "Nyariin kamu."
"Nyariin Bang Ogi kali. Kan si Abang mau balik." Zia berusaha nggak bikin curiga.
"Gimana mungkin nyariin Abangmu, orang mereka dateng barengan itu di bawah."
"Ma." Zia mulai panik. "Si Om itu nggak bilang aneh-aneh kan?"
"Cuma bilang mau ngajak kamu pergi. Ayo, turun. Udah ditungguin."
Zia masih membeku. Tapi mamanya memeluk sambil bantu jalan pelan-pelan, jadilah Zia kayak patung diseret agar berjalan.
"Eh, adeknya Abang cantik amat." Ogi menyapa lebih dulu.
Zia masih ada di ujung tangga terbawah. Mendapati mukanya Ogi cerah banget saat menghampirinya, lalu memeluknya sekilas. Ini aneh. Dimulai dari mamanya tadi, terus sekarang Ogi, masa iya nggak ada yang curiga ada Edward di sini?
Ada apa sebenernya? Zia nggak paham!
"Abang ... baru nyampe?" Zia berusaha basa-basi. Biasanya sih kegirangan kalau abangnya pulang. Tapi senyumnya masih tenggelam karena lihat ada Edward di sana. Mau ngapain lagi sih? Kan udah putus, walaupun lelaki itu malah balik tanya emang jadian kapan!
"Iya baru banget, bareng Edward tadi." Ogi tersenyum. "Ke sana, gih. Dicariin Edward tuh. Abang mau ke kamar dulu, mandi," pamitnya.
Tinggallah Zia yang berdiri di tangga dan Edward yang duduk di sofa dengan tatapan yang ... nggak bisa Zia pahami. Cuma senyum tipis, kedua mata sayu, dan raut yang terlihat kelelahan.
"Zi," panggil Edward sembari menggerakkan tangannya, tanda agar Zia turun dari tangga dan mendekat padanya.
Jangan dikira Zia masih mau dibujuk-bujuk. Udah terlambat. Zia terlanjur sakit hati sama tingkah Edward dari semalam, siang tadi, sampai sore ini. Jadi dengan keteguhan hati, langkahnya menapak pelan-pelan.
Pokoknya Zia mau spam jawaban iya iya iya iya iya, dan iya doang misal Edward ngomong apa pun itu. Apalagi misal Edward minta maaf. Zia iyain aja. Dia udah nggak mau berharap lebih.
"Sini." Edward tersenyum, masih sendu. Dia menarik lengan Zia dengan lembut agar duduk di sampingnya.
Zia rasakan pertahanannya runtuh. Persetan dengan spam jawaban iya iya iya. Nggak mungkin bisa nggak ngelindur ngomelnya kalau Edward udah mode manis begini. Dari usapan, tatapan, dan gerak tubuhnya. Apa ada laki-laki yang lebih menawan dari Edward di dunia ini? Zia mau kalau ada, soalnya sama Edward terlalu mustahil. Dia harus jatuh cinta sendirian. Mandiri banget.
"Zia," tutur Edward, jemarinya membelai pipi Zia yang pucat.
Refleks Zia mengalihkan pandangan. Nggak mau terjebak dalam pesona itu untuk entah keberapa juta kali. Dia akan menyiapkan telinga andai Edward meminta maaf secara langsung. Lambat laun dia mendengar helaan napas Edward, seolah mempersiapkan mau bilang apa.
Pasti mau minta maaf. Pasti mau minta maaf. Iya kan?
"Kenapa kamu nggak bilang, kalau ternyata orang yang kamu lihat makan pepes ikan kayak nggak makan bertahun-tahun ... itu saya?"
🧚🏻🧚🏻
Plot twist dunia perpepesan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top