23. Ngobrol Panjang
Yang nanyain part 28 di KK kapan, tungguin dulu yaaa. Perlu penghayatan soalnya biar ikut ternganu 🤣
Anw, part ini agak pendek. Kalo komennya nembus 300 langsung tar malem diusahain lanjudddd 😎
🧚🏻🧚🏻
"Udah, Pril. Gue udah bilang sama Om itu kalo nanti malem ada acara. Tapi nggak dibales sama dia. Cuma di-read doang," keluh Zia. Semalaman mikir alasan buat nolak ajakan Edward berakhir dengan terdampar di bawah pohon beringin depan sekolah. Nungguin dagangan Pak Tanto.
"Lo bilangnya kapan?"
"Kemaren. Abis dia balik dari rumah, langsung gue chat."
April ikut bingung. Dia sih sering pacaran, tapi juga baru tau ada tipikal laki-laki dengan gaya ngajak kencan kayak yang diceritain Zia tadi. Bilang sayang, suka, enggak. Tiba-tiba nyebut first date. Sebagai remaja yang baru mencicip cinta-cintaan, keduanya jelas bingung gimana cara nanggapin pemikiran orang dewasa macam Edward.
"HTS nggak sih?" April ikut menerka-nerka.
"Mana mau gue HTS, males. Entar udah sering ke mana-mana bareng, ujungnya di-PHP-in. Apalagi umur Om Ed kan udah 30, bukan cuma PHP-in, dia bisa aja ninggalin gue nikah."
"Lo belum siap nikah emangnya?"
"Ya belumlah!" tolak Zia mentah-mentah. "Gue mode chill and free. Udah bilang juga kok ke Om Ed tentang ini. Dia nggak perlu nggak enakan sama keluarga gue, kalo nggak suka ya nggak usah dipaksain."
"Iya juga. Kasian kalo dia terpaksa sama lo, padahal pemikiran dia pasti udah yang serius banget."
Zia mengangguki. Memang paling enak buat curhat tuh di sini, depan sekolah sama April. Walaupun mereka sama-sama nggak bisa kasih solusi dan cuma menularkan kebingungan doang, setidaknya Zia nggak memendam semua sendirian.
"Pak Tanto, beli pop ice yang bubble gum ya satu!" teriak Zia. Beberapa detik kemudian Pak Tanto turun dari kursi kemudi mobil BMW miliknya.
"Siap. Bapak bikinin." Pak Tanti berjalan ke bagian belakang mobil, membuat pesanan Zia.
"Pengen deh gue jualan juga," decak April lihat Pak Tanto yang bikin minuman cup di depannya.
"Bagus tuh, Pril. Gue setuju. Kalo lo bilang ke bokap juga pasti langsung acc, bokap lo kan wirausaha juga. Pasti lo bakal dimodalin."
April mengangguk. "Gue udah pernah ngomong ke bokap soal itu, malah bokap gue kaget terus jawab 'ha?' gitu doang."
Zia mengernyit. Sejauh pengenalannya dengan keluarga April, kayaknya orang tua April itu nggak mungkin nggak dukung keinginan anaknya apalagi yang positif. Kakak-kakak April juga didukung banget jalannya. Masa April cuma dijawab 'ha?'.
"Lo salah ngomong kali, Pril," tebak Zia. "Atau mungkin bokap lo pengen lo kelarin SMA dulu baru nyoba jualan."
"Enggak, Zi. Bokap gue justru dukung makin cepet makin baik, asalkan jangan lupain pendidikan. Padahal pengennya gue jualan es-es-an aja loh."
"Terus, lo bilangnya gimana emang?"
"Gini, 'Pa, aku kan gabut udah nggak sekolah, tinggal belajar buat masuk kuliah aja. Aku pengen nyoba jualan.'. Terus Papaku tanya, 'Jualan apa, Nak?'. 'Jualan pop ice,' gitu kata gue."
Zia masih mengangguk mendengarkan baik-baik.
"Ditanyalah, 'Butuh modal berapa, Nak? Dua puluh?' Terus gue jawab, 'Empat ratus'."
"What?" pekik Zia, ikut kaget. Modal jualan es empat ratus juta itu es batunya ambil dari kutub utara apa gimana? "Maksudnya lo mau sewa tempat, gitu, makanya minta modal ratusan jeti?"
"Enggak, Zi. Di pinggir jalan aja."
Zia masih bingung.
"Itu termasuk murah loh, Zi. Coba lihat BMW-nya Pak Tanto ini harganya lebih dari itu. Jadi kalo gue—"
"Bentar ...." Zia mengangkat dua tangan, mulai mengerti arah pembicaraan April. "Maksudnya empat ratus jeti itu buat lo beli mobil?"
April nyengir tanpa dosa. "Iya, hehe. Jualan kayak Pak Tanto gini kan butuh mobil juga."
Hampir aja Zia lepas kendali dan ngumpat di depan wajah April, untung aja bisa ditahan. "Pantesan bokap lo kaget!"
April tertawa lihat muka Zia yang udah memerah. Emang kebiasaan cewek itu kalau lagi kepanasan dikit, marah dikit, emosi, atau malu pasti langsung kayak kepiting bakar.
Obrolan mereka terhenti saat tiba-tiba sebuah mobil berhenti di belakang mobil Pak Tanto. Yang artinya, posisi Zia dan April terjepit dua mobil. Keduanya berpandangan sebentar, saling menggelengkan kepala tanda nggak tau siapa pemilik mobil yang parkir seenak jidat.
Tapi begitu pintu mobil terbuka, Zia dan April lebih kaget lagi. Seorang lelaki pakai setelan kerja, berjalan ke arah mereka.
"Itu kan?" April menyenggol lengan Zia.
"Iya."
"Tinggi gila. Pantes susah lo gapai, Zi."
"Pril."
"Oh, gue tau selera lo. Mix bule," kekeh April. "Kayak Gaffi."
"Berisik."
"Gue pernah lihat gebetan lo itu satu kali pas di sini juga, tapi baru sekarang keliatan jelas banget. Pepet aja nggak sih, Zi. Sayang loh."
"Dia ketuaan buat gue."
"Tua apaan? Nggak keliatan tua tuh. Justru dewasa, matang, bisa menuhin inner child lo pasti. Entar lama-lama juga dia kena aura mudanya kalo bareng. Atau justru lo yang kebawa umurnya dia. Tergantung."
"Nggak, Pril. Jauh banget bedanya. Gue nggak bisa, nggak siap sama konsekuensinya."
"Ada acara apa sampe ke sekolah hari ini?" Nah, itu Edward udah sampai.
Zia mendongak karena Edward berdiri di depannya persis. Sedangkan April memilih menikmati pop ice sambil pura-pura nggak tau.
"Nggak ada acara kan?" tanya Edward lagi. Muka dan nada suaranya mungkin terdengar tegang banget. Dia emang lagi menahan kesal ke bocah di depannya ini.
"Nggak ada," jawab Zia dengan suara lirih.
"Ayo, pulang," ajak Edward.
Zia sontak menggeleng. Edward ini kelihatan setengah maksa. Ngajak pulang tapi mukanya nyeremin. Apalagi dua tangan yang dimasukkan ke saku celana, makin yakin kalau lelaki itu siap menceramahi Zia sehabis ini.
"Kamu temannya Zia?" Merasa kalau Zia belum mau diajak pulang, Edward cari cara lain. Dia menanyai April. "Nama kamu siapa?" Suaranya tidak setegang tadi. Bisa lari anak orang kalau dia tanya nama sambil mengintimidasi.
"Eh, April, Pak." April menjawab dengan canggung.
Edward tersenyum kecil. Zia sama temannya ini nggak beda jauh. Manggilnya nggak sesuai. Yang satu om yang satu pak. "Beneran nanti malam kamu ada acara sama Zia?" tanyanya. Teringat kalau Zia mengirimi pesan tentang penolakan dinner nanti malam dengan alasan udah ada janji sejak lama sama April.
Mendapati ekspresi April yang bingung dan menatap Zia dengan kernyitan di dahi, Edward udah tau jawabannya. Zia cuma beralasan. Kurang briefing mereka berdua.
"Ya sudah. April, ada acara sekolah hari ini memangnya?"
April menggeleng. "Enggak sih, Pak. Emang cuma mau nongkrong sama temen-temen aja di sekolah."
"Kalo gitu saya izin ajak Zia pulang duluan, boleh? Maaf ganggu waktu ngobrolnya." Edward memberi senyum penuh kesopanan.
April menganga. Baru kali ini ada yang izin segala mau ngajak Zia jalan. Biasanya yang deketin Zia macam Gaffi aja cuma ngajak berantem doang. Dia kelewat takjub makanya mengangguk dengan antusias lihat kesantunan sekaligus ketampanan om-om satu ini. "Boleh banget, Pak."
"April," geram Zia. Malah dibolehin, maksudnya April apaan?
"Ayo." Edward nggak kasih waktu Zia untuk menolak.
"Bentar dong, Om. Pop ice-ku!" Zia menarik lagi lengannya yang udah dalam genggaman Edward tadi.
"Bisa beli di jalan."
"Nggak, aku udah terlanjur beli."
Edward menyabarkan dirinya, menunggu Zia mendekat ke penjual pop ice untuk membayar pesanannya.
"Uang kecil aja ada? Bapak nggak ada kembalian."
Tidak mau menunggu lama, Edward segera menghampiri dan menyerahkan selembar uang.
"Ini malah tambah gede duitnya." Pak Tanto bingung. Uang pecahan lima puluh aja dia nggak ada kembalian, si Edward malah ngasih seratusan.
"Buat Bapak aja lebihnya."
Pak Tanto menyerahkan kembali uang Zia ke pemiliknya. "Beneran ini, Pak?"
"Iya." Edward mengangguk. Sebelum Zia ada niat kabur, segera dia rangkul bahu cewek itu agar segera jalan. "Masuk, Zi."
Zia berusaha menerima kenyataan, kalau Edward memang pantang menyerah. Lagi nggak mau ribut, dia pilih nurut.
"Maksud kamu apa pake alasan nggak bisa dinner sama saya?"
Padahal belum ada semenit mereka masuk ke mobil, tapi Zia merasakan gerah. Nada suara Edward nggak enak banget didengar. Dia memilih diam, menyeruput es dan menatap samping lewat kaca.
"Nggak mau dinner sama saya?" kejar Edward. Dia sudah menyalakan mesin mobil.
Zia masih diam.
"Dipake dulu seatbelt-nya," saran Edward karena Zia seolah abai pada keberadaannya sedari tadi.
Tapi Zia terlanjur malas. Dia tau itu demi keselamatan, tapi pakenya nanti aja kalo udah jalan. Tanpa disuruh. Soalnya cara Edward nyuruh bikin dia dongkol. Biarlah bersikap kayak bocah. Sengaja. Biar Edward habis kesabaran di awal, dan sadar kalau Zia udah nggak berharap kencan.
Melihat Zia yang masih diam, akhirnya Edward bergerak sendiri. Dia mendekat ke Zia dan menjulurkan tangan melewati tubuh cewek itu untuk mencari seatbelt, sebelum memakaikannya.
Selesai bunyi klik tanda seatbelt terpasang, Edward nggak menjauh. Dia justru semakin mendekat untuk meraih dagu Zia dengan jemarinya, agar tatapan mereka bertemu. Ekspresi Zia tetap sama, terlihat gugup dan tidak nyaman dengan kedekatan mereka.
Edward paham perasaan Zia sekarang. Jadi diluruhkan rasa kesalnya pelan-pelan, mencoba lebih sabar lagi menghadapi maksud keinginan Zia. Mereka harus bicara, tidak dengan marah-marah, kesal, apa pun itu. Edward ingin mendengar semua yang Zia resahkan.
"Ayo, ke apartemen saya," bujuk Edward dengan suara selembut mungkin. Jemarinya bahkan mengusap pelan dagu Zia agar cewek itu nggak terlalu gugup lagi. "Kita ngobrol yang banyak."
"Kalo ngomonginnya sama kayak yang kemarin, mending—"
"Nggak, Zia," jawab Edward dengan halus.
Membuat ucapan Zia benar-benar terhenti karena wajahnya terasa memanas. Ternyata selain tatapan Edward yang intens saat serius, lelaki itu juga tetap memesona dengan cara bicaranya yang halus.
"Kita obrolin yang lain," jelas Edward. "Tentang kamu, saya, sekolah kamu, kerjaan saya, anything, yang penting kamu nyaman."
Zia memberanikan diri menatap tepat pada kedua mata Edward. Dan itu kesalahan lagi. Pasti tau alasannya kan? Orang kayak Zia selalu lemah kalau ditatap sehangat itu, apalagi sama Edward.
"Kenapa natap saya kayak gitu, Zi?" Edward terkekeh. Dia menyempatkan mengusap pipi Zia sebelum kembali ke tempat duduknya. "Saya jadi kayak om-om yang nyulik anak SMA beneran."
"Nyulik bocah," gumam Zia, sengaja agak lirih tapi dipastikan ucapannya terdengar.
"Kamu bukan bocah." Edward tersenyum ke arah Zia. Kalau masih bocah, Edward nggak akan naksir lah. Emang dia laki apaan.
"Om, aku mau pulang aja," pinta Zia.
"Ke apartemen saya aja. Kamu bisa kabur kalo saya antar pulang. Yang ada kita nggak jadi dinner."
"Kata Bang Ogi nggak boleh iyain ajakan orang asing buat berduaan di tempat sepi."
"Jadi saya bagi kamu orang asing?"
Zia mengangguk.
Edward sudah menjalankan mobilnya. "Oke, tapi kalau saya antar kamu pulang, kamu bisa janji nggak akan kabur buat hindarin dinner sama saya? Bisa janji?"
Zia terdiam. Bisa aja dia bohong buat jawab iya, tapi ... dia juga nggak yakin. Dia masih labil, kadang ada ide spontan yang membuatnya berubah pikiran.
"Nggak bisa janji kan? Kalo gitu ke apartemen saya aja. Nggak boleh nolak."
🧚🏻🧚🏻
Hayo diapain 🤤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top