2. Lanjutin Hidup
Harusnya di-up waktu sahur tadi pagi tp gak sempet wkwk.
Selamat membacaaaa😌
🧚🏻🧚🏻
"Bilang sama Abang, kamu diapain Edward?"
"Enggak, Bang. Aku nggak diapa-apain!"
"Jujur aja, Zi."
"Aku udah jujur. Ih!" teriak Zia kesal.
Tatap Ogi bertumbukan dengan Edward yang duduk santai di sofa. Di saat pemilik apartemen dan sang adik lagi debat sambil berdiri di belakang pintu, tamunya malah menyesap bir. Nggak ada akhlak memang.
"Sekali lagi Abang tanya. Kamu diapain Edward?" geram Ogi frustrasi karena adiknya tidak mau jujur.
"Bilangnya tanya sekali lagi. Padahal dari tadi tanyanya itu terus," kesal Zia. "Aku udah jujur, Abang aja yang nggak percaya."
"Terus kenapa kamu nangis sampai kayak gitu? Tadi juga keras banget nangisnya waktu Abang telepon."
"Karena telat dijemput!" Zia gantian yang frustrasi. Kakinya dihentakkan ke lantai berkali-kali karena gemas kakaknya tidak mau dengar kejujurannya. "Telat berapa jam coba? Sejam lebih! Kalo aja temen-temenku udah pulang semua, aku di sana sama siapa? Mau pesan taksi aja nggak dibolehin. Abang tuh ribet tau!"
"Arg!" Ogi meremas rambutnya dengan geram.
"Udahlah, Gi." Sebuah suara menginterupsi mereka. Sepupunya yang tadi sudah masuk kamar tamu, karena lebih dulu sampai ketimbang Edward dan Zia, kini menghampiri kakak beradik itu. "Zia perlu beberes terus istirahat. Jangan lo cecar terus kayak gitu."
Zia tersenyum merasa menang karena ada yang menghentikan cecaran kakaknya.
"Gue cuma khawatir, Key. Nggak biasanya dia nangis jejeritan." Akhirnya Ogi menyerah dan memilih percaya kalau Zia memang tidak diapa-apakan Edward.
"Masuk dulu, Zi," kata Key setelah membaluti tubuh Zia dengan kain. Soalnya pakaian Zia sudah sangat berantakan. Apalagi make up di wajah. Malah masih harus menghadapi pertanyaan Ogi yang tiada ujung.
"Aku mandi dulu. Nanti kalo ke sini lagi tapi Bang Ogi nanya-nanya kayak tadi, aku pulang aja ke rumah naik taksi," ancam Zia sambil melenggang pergi.
Di antara keributan itu, ada Edward yang fokusnya terpecah sejak kehadiran seorang wanita di sana. Pertengkaran Ogi dan Zia memang bisa dia prediksi. Makanya dia pilih diam daripada makin memperibet keadaan.
Tapi begitu sesosok muncul dengan piyama dan rambut dicepol dengan sebuah kain di tangannya untuk menutupi tubuh Zia, sejak itulah Edward berhenti menyesap birnya. Gila, pantesan Ogi sekeras itu melarangnya jemput si sepupu. Cantiknya bukan main.
Apalagi waktu melerai pertengkaran kakak beradik tadi, lembut dan halus perilaku itu mengingatkan Edward akan seseorang. Sisi kedewasaan dari seorang wanita adalah hal utama yang Edward cari selama ini. Belum dia dapati di banyak wanita selain mantan calon istrinya.
Tapi di pandangan pertama, Edward yakin kalau Key punya itu. Punya sesuatu menarik selain paras. Hal yang Edward buru karena dirinya merasa sangat perlu.
"Thanks, Key." Suara Ogi memecah lamunan Edward.
Kali ini tangan Edward meraih botol air putih dan meneguknya. Tatapnya memandangi Key yang masih mengusap punggung Ogi buat menenangkan. Edward belum berpaling, betah-betah memandangi cara Key memberi ketenangan. Bukan hanya ke Ogi, entahlah kenapa Edward juga merasa damai.
Di detik kesekian, tatap Edward sepertinya berbalas. Wanita itu balas memandangnya tepat di kedua mata, dengan lengkungan bibir seolah menyapanya. Edward tertegun tapi hanya sebentar. Dia membalas senyum lembut itu dengan anggukan singkat pertanda perkenalan.
"BANG OGI KOK MINUM LAGI?!"
Gelegar suara yang memecah kedamaian di sana, membuat Edward mengurut pelipisnya. Makin pusing menghadapi kericuhan adik Ogi. Kacau. Dia bisa mati muda kalau di sini lama-lama. Zia udah ganti dengan piyama dan kini berjalan ke arah mereka.
"Eh, anu ... Zi. Abang cuma—"
"CUMA APA?!" potong Zia sambil melotot. Dia berjalan cepat ke meja, tepat berhadapan dengan Edward. Buat memastikan kalau minuman di meja itu memang alkohol. "Udah dibilang Abang jangan minum lagi," kata Zia seperti sedih. Nada suaranya memelan, kecewa menatap kakaknya yang kini sudah menghampirinya.
"Dikit aja. Tadi cuma dikit." Ogi memberi pembelaan biar adiknya nggak terlalu marah.
"Abang mau mati cepet emangnya? Kok minum terus sih?"
"Zi, Abang beneran cuma minum dikit."
"BOONG!"
Edward meringis. Ni anak suka banget teriak-teriak rusuh begini emangnya? Bikin pusing. Tidak tahan untuk diam, Edward ikut menanggapi. "Iya, Abang kamu tadi cuma minum dikit. Saya saksinya. Udah, jangan teriak-teriak. Udah malem."
Zia melirik ke Edward, cuma sebentar, sebelum fokus ke kakaknya lagi. "Diajakin sama si Om itu ya?"
Sampai pada kata 'Om', suasana mendadak hening. Lima detik setelahnya, tawa Ogi menguar. Dia malah memeluk adiknya dengan gemas. "Bener. Panggil dia Om."
"Saya seumuran sama Abang kamu." Edward ikut berdiri dan menunjukkan kalau tidak terima dipanggil Om. Keponakannya aja panggil dia uncle, masa Zia panggil Om? Ya walaupun artinya sama sih. Tetap aja Edward tidak terima.
"Terima kenyataan aja kenapa, Ed," ejek Ogi, merasa punya bahan balas dendam yang setimpal. Salah siapa Edward cuma diam waktu ditanya kenapa Zia tiba-tiba nangis di mobil.
"Om." Suara Zia melirih, beneran nurut sama Ogi suruh panggil Edward dengan kata itu. Dia berbalik dan menatap Edward serius. "Jangan ajakin Abangku minum kayak gini ya. Kasian nanti kalo dia mati, aku nggak punya Abang."
Edward melotot. "Saya nggak ngajakin, saya cuma tanya agenda kongkonya apa. Kami sepakat minum itu, ya udah. Salahin juga itu Abang kamu." Sialan, baru kali ini Edward dinasihati bocah. Walaupun isi nasihatnya memang baik, tapi kan bukan cuma dia yang salah. Ogi juga.
"Kalau Bang Ogi yang ajak, Om tolak aja minum begituan. Minum yang sehat kek, susu formula, air kelapa murni kemasan, susu fermentasi berbakteri baik, minuman isotonik lain, kan banyak di supermarket."
Edward dan Ogi berpandangan, menahan tawa. Kongko minum susu?
Merasa ditertawakan, Zia tidak terima. Dia cari pembelaan lain. Matanya mengelilingi sekitar dan coba cari keberadaan kakak sepupunya tapi nihil. Mungkin udah masuk kamar. Jadi dia kesal sendiri.
"Jangan kesel gitu, Zi. Iya, Abang udah ngurangin kok. Liat tuh, berkurangnya dikit," tunjuk Ogi ke sebuah botol transparan yang belum berkurang banyak isinya.
"Terserah. Aku mau tidur!"
Edward dan Ogi menatap kepergian Zia yang masuk ke kamar.
"Ck, nggak pusing punya adek umurnya jauh gitu, Gi?" Edward kembali duduk.
"Dulu gue nggak terima waktu tau nyokap hamil lagi padahal gue udah gede. Kayak ngemong anak sendiri. Tapi ... waktu liat dia lahir, ternyata gue sayang banget sama dia." Ogi terkekeh mengingat masa-masa remajanya yang disibukkan menjaga bayi. "Nggak lah, nggak pusing. Emang rusuh gitu anaknya. Tapi baik, nurut, pinter, cantik."
Edward mengedikkan bahu. Tidak masalah dengan pendapat Ogi. Lagian yang rawat dan jaga Zia kan Ogi, ngapain juga dia tanya ya?
"Ngomong-ngomong, sepupu lo—"
"Nggak usah mulai peperangan, Ed," geram Ogi dengan pandangan serius.
Edward tertawa lihat tatapan menghunus Ogi padanya. "Kalo gue jadi lo, udah gue nikahin tuh sepupu sendiri."
Ogi berdecak. "Lo nggak beneran suka dia kan?"
"Kalo iya kenapa?"
"Mata lo emang nggak bisa dijaga, Ed. Astaga," keluh Ogi.
"Gue kagum aja," jujur Edward. Dari dulu, tentang apa pun itu, memang dia pasti cerita ke Ogi.
"Semua yang cantik, lo kagumin. Nggak heran. Sekalian aja itu adek gue lo embat juga."
"Nggak adek lo juga." Edward tidak terima. "Gue bukan pedofil."
"Pedofil tuh kalo Zia masih under 13. Ini udah mau 19, Ed. Kalo lo liat pake kacamata normal, gue yakin lo beneran embat adek gue."
"Lo kira gue selama ini pake kacamata nggak normal? Enak aja. Prinsip gue masih sama, Gi. Nggak macarin bocah. Lo tenang aja. Adek lo nggak jadi sasaran. Tapi kalo sepupu lo itu, mungkin bisa gue pertimbangin."
"Gue yang nggak ikhlas lahir batin. Dari lahir sampai tiga tahun lalu dia pindah ke Surabaya, gue sama dia terus. Jadi kalo lo mau coba-coba sama dia, langkahin gue dulu."
Edward mengembuskan napas lumayan keras. Dia bersandar di sofa dan menatap ke atas. "Lo tau sebenernya gue nggak pernah niat coba-coba sama wanita, Gi."
"Nggak perlu sok serius, gue nggak akan luluh restuin lo sama si Key."
Edward mendengus. "Maksud gue, gue nggak seberengsek itu. Siapa pun yang gue pacarin, udah pasti niat gue serius."
"Awalnya aja bilang serius, tapi gue yang jadi saksi kalo hubungan lo yang dilandai serius itu belum ada yang jadi," decak Ogi.
Edward tertawa meski Ogi sebenarnya menyindir. "Di mana lagi gue nemuin yang kayak dia ya, Gi?"
Ogi melihat frustrasi dalam tawa Edward. Dia tahu dan paham, lupa bukan hal yang mudah. Apalagi hubungan Edward pernah sampai pada tahap sudah hampir menikah. Tetapi kecelakaan pesawat merenggut calon mempelai wanita dalam penerbangan terakhir sebelum berhenti dari pekerjaan sebagai pramugari.
"Lo terpaku banget sama tipe ya, Ed?" tanya Ogi pelan-pelan, berusaha memberi saran terbaik. Ya meski dia sendiri belum punya pasangan. Tapi ini konteksnya berbeda.
"Semua harus sama dan setipe, Gi. Bakal susah jalannya kalo beda," kata Edward berusaha realistis. "Hubungan gue yang paling lama dan nyaman banget, itu cuma sama Gwen. Gue kayak ... pulang ke rumah. Dia nggak pernah nuntut banyak dari gue. Lo tau segimana dewasanya dia. Gue sibuk sama apa juga dia nggak permasalahin itu."
"Jadi, berdasarkan itu lo nyari pacar?"
Edward mengangguk jujur. "Sebelumnya gue nggak banyak syarat buat pendamping. Tapi sejak sama Gwen, semua jadi beda. Gue nggak bilang belum lupain dia. Udah lama banget dan gue rasa hidup harus berjalan. It's okay dia pergi, gue harus lanjutin hidup dengan bahagia. Tapi gue cari tau sikap apa yang bikin gue nyaman banget sama dia, bikin susah buat lupain. Ternyata pengertian dia dan kedewasaannya. Wajar kan kalo gue nyari berdasarkan hal yang bikin gue nyaman?"
Ogi mengerti kali ini. Meski akan menyanggah dengan banyak hal, tapi dia tahan. Bukan saatnya. "Iya, lo bener. Lagian nikah bukan cuma buat sehari. Lo emang harus cari yang bikin lo nyaman."
Edward tersenyum dengar itu. "Kayaknya gue balik duluan, Gi."
"Loh, kok tiba-tiba? Nggak sampe subuh kayak biasanya?" Ogi jadi merasa tidak enak hati. "Sepupu sama adek gue di kamar kok. Nggak bakal keganggu, Ed. Santai aja."
Edward mengibaskan tangan. "Bukan itu. Gue nggak boleh telat nanti sarapan di rumah Gyna."
Ogi berdecih dengar Edward yang mau makan di rumah Gyna. "Kalo yang ini mau dikemanain nih," sindirnya. "Nggak sesuai sama tipe lo lagi?"
Selalu tutup mulut kalau soal Gyna. Itu yang Edward lakukan. Dia malah meraih tas kerjanya di sofa dan berdiri.
"Btw, Gi. Nitip salam buat sepupu lo."
"JANGAN HARAP!"
Edward tertawa.
***
"Gyn," bisik Edward setelah acara makan selesai. Dia menepuk paha Gyna agar wanita itu memberinya atensi.
"Apa?" Gyna balas berbisik.
"Gue harus ke kantor." Sedikit, Edward beri tepukan ringan di punggung tangan Gyna. Tau kalau wanita itu pasti tidak suka dengan acara dadakannya ini.
"Mom, Dad, aku ke atas dulu bentar sama Edward." Tanpa disangka, Gyna justru berpamitan ke orang tuanya.
Edward mengikuti Gyna yang berdiri lebih dulu. Dia beri senyum ke orang tua Gyna di depannya—yang sudah seperti orang tuanya sendiri—sebelum menyusul langkah wanita itu ke tangga.
Mereka berjalan depan belakang. Edward sengaja memberi jarak beberapa langkah di belakang Gyna. Helaan napasnya terdengar keras dan berat. Sangat tahu bahwa mereka dalam posisi sulit.
"Ini Minggu," kata Gyna dengan suara datar. Tanpa penekanan, bahkan tanpa ekspresi.
Edward belum bersuara. Lantai teratas yang mereka pijak sekarang adalah sebuah rooftop. Dia berjalan pelan, mendekati Gyna yang membelakanginya dengan menyandarkan kedua lengan di pembatas.
"Maafin gue." Edward tidak bisa mengatakan apa pun selain maaf. Waktunya memang susah. Pagi tadi sebelum ke rumah Gyna, dia dapat kabar kalau ada salah satu klien penting ingin bertemu dengannya. Memang bukan dalam jam kerja, tapi di dunia bisnis, pertemuan nonformal adalah bagian dari etika.
"Main golf?" tembak Gyna, sangat paham kebiasaan di weekend seorang CEO seperti Edward.
"Iya."
"Nggak bisa nunggu agak siangan? Ibaratnya, makanan lo aja belum turun," decak Gyna.
Edward menyentuh bahu Gyna agar berbalik menghadapnya. Menatap lekat kedua mata bening itu dengan sorot halus. "Gue minta maaf banget. Ini di luar kemauan gue."
Wajah Gyna terlihat lesu. Dia menepis tangan Edward di bahunya. "Gue nggak masalah, Ed. Tapi—"
"Nanti gue yang izin sama daddy," kata Edward segera. Dia tahu, hubungan mereka berdua saat ini sudah seperti keluarga. Terlampau dekat, sampai-sampai kalau Edward tiba-tiba masuk ke rumah itu pun tidak jadi masalah.
Kedekatan yang terjalin bukan tanpa sengaja. Hingga Edward sudah tidak bisa melepaskan apa yang ada dalam keluarga itu, termasuk Gyna juga. Semua sudah melekat di hidupnya.
"Dengan lo izin pergi gitu aja padahal lo yang bikin janji sarapan di sini, menurut lo mommy sama daddy nggak kecewa?"
"Daddy pasti paham." Edward berusaha menenangkan Gyna. Sangat mengerti kalau Gyna hanya tidak mau membuat orang tuanya kecewa. "Daddy pemegang perusahaan juga, Gyn. Jadi pasti paham."
"Lo—"
"Sssttt." Edward tidak mau Gyna mendebat lagi. Jadi dia raih tubuh wanita itu dan dipeluk. Satu tangannya menepuk pelan punggung Gyna.
"Nanti malem lo nginep di sini?"
Edward menggeleng. "Nggak bisa."
"Kalo daddy yang nawarin, lo bisa?"
Edward melepas pelukan. Ia memandangi wajah Gyna dengan teliti. Rautnya sangat-sangat mirip dengan sang kakak. Sebenarnya tiap lihat Gyna, pikiran Edward melanglang buana ke mana-mana. Ada sakit, rindu, sedih.
Tapi Edward tidak boleh egois dengan memutus persaudaraan dengan keluarga Gyna serta merta. Karena di sini, tidak hanya dirinya yang sakit. Gyna dan kedua orang tuanya pasti merasakan yang lebih lagi.
"Gue nggak bisa janji, Gyn." Dalam beberapa hal, Edward memang harus melepas pelan-pelan kebiasaan yang sejak dulu dilakukan.
Bukan hanya agar hati Edward merasa lega, juga agar Gyna dan keluarganya tidak melulu teringat dengan kejadian bertahun lalu.
"Kenapa, Ed?"
Edward menggeleng. Dia berbalik dan berniat turun sebelum ucapan Gyna menghentikan langkahnya.
"Gue ngerti alasan lo kenapa nggak nerima gue. Oke, gue paham. Tapi kenapa sikap lo berubah banget ke nyokap bokap gue? Nggak seharusnya mereka diabaikan kayak gini."
"Gue nggak pernah abaikan mereka." Edward bergumam tanpa menoleh.
"Nggak usah egois deh, Ed. Lo kira cuma lo yang sakit? Semuanya juga!"
Teriakan Gyna berhasil membuat Edward kembali berbalik. Rahangnya gemetar, menahan segala luapan yang membuat dadanya ingin meledak. Kenapa hanya dia yang disalahkan di sini?
"Gue nggak berubah, Gyn. Gue cuma lanjutin hidup."
🧚🏻🧚🏻
Aku dukung Gyna. Kalian juga?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top