16. Semoga Nggak Diajak

Kembali ke setelan pabrik, tengah malem lagi cuy update-nya. Okelah baca dengan saksama, okesip.

🧚🏻🧚🏻

Kalau ada nominasi hari terngenes sepanjang perjalanan hidup Zia yang hampir 19 tahun, maka dia tidak ragu-ragu menempatkan hari ini sebagai pemenangnya. Secara sadar confess padahal tau pemilik hatinya nggak punya rasa yang sama, belum lagi ekspresi kaget Edward sekarang.

Tapi Zia harus bersyukur karena raut wajah Edward yang kaget dan geleng-geleng kepala seolah tidak percaya, itu memang yang diharapkan. Edward pasti mengerti dan lebih bisa menjaga jarak kalau tau perlakuan manis yang diberikan adalah hal yang salah. Karena nyatanya Zia nggak berpikiran hal yang sama, untuk menganggap hubungan mereka sekadar kakak-adik. Sakit, tapi mau gimana lagi. Zia sadar diri dan posisi.

"Su ... ka?"

Zia makin mengetatkan pegangan jemari di pinggiran piring mendengar suara Edward yang tercekat. Baru kali ini juga mendapati kulit wajah lelaki itu pucat pasi.

Tapi Zia bukan orang yang suka menolak kenyataan. Jadi walau tau ujungnya gimana, dia tetap teguh pendirian. Kalau Edward butuh dijelaskan lagi, maka akan dia utarakan lebih detail.

"Iya. Bukan cuma suka." Suara Zia gemetar. Dia menatap Edward dengan sisa-sisa keberanian dan rasa malu yang hampir menipis. Berusaha ditepis habis tapi gagal begitu lihat kedua mata Edward yang terpaku, dan gerakan jakun yang seperti kesusahan menelan saliva. Susah juga berkata-kata. Membuat Zia juga terbata. "Tapi ... juga ... sayang, cin ... ta. Bukan cuma adik ke kakak. I-iya, maksudku ... itu."

Jantung Zia seakan merosot setelah mengakhiri aksi terberaninya sepanjang hidup. Ini bukan cinta yang pertama kali dia rasa. Zia remaja pada umumnya yang sering kagum pada cowok-cowok di sekolahnya. Entah itu yang pandai di akademik, pintar dalam olahraga, maupun yang ber-title cowok nakal tapi gentle. Zia pernah dalam masa-masa mengagumi.

Juga dalam hal berpacaran, Zia pernah melaluinya. Satu kali menjalin hubungan. Sisanya hanya saling suka dan nge-date tanpa hubungan yang jelas. Tapi dari semua pengalamannya, tidak ada yang dimulai olehnya sendiri, apalagi jatuh cinta sepihak. Tidak ada. Cinta Zia selalu berbalas sejauh ini.

Cuma dengan Edward Zia tau definisi jatuh cinta sendirian. Kalaupun diteruskan juga percuma. Mereka beda jauh. Bukan cuma umur, tapi pandangan, cara pikir, pokoknya banyak. Zia tau itu nggak mudah.

"Astaga," keluh Edward setelah ketegangan cukup lama. Setelah kesusahan mengatur napasnya sendiri, satu kata itulah yang berhasil melunturkan segala kekagetan yang menyerbu, juga rasa panik yang menyerangnya saat ini.

Zia menyadarinya. Edward terlihat resah. Membasuhkan dua telapak tangan sebelum mengacak rambutnya sendiri dengan gusar. Tatapan Edward memang tidak bisa Zia lihat karena lelaki itu menghadap depan, tapi siapa pun yang perhatiin reaksi Edward sekarang pasti paham kalau suasana hatinya sedang tidak baik.

"Cinta kata kamu?" gumam Edward. Kini menumpukan dua siku tangan ke atas lutut, membuat tubuhnya menunduk namun kepalanya tertoleh pada Zia.

Sakit. Itu yang menggambarkan hati Zia sekarang. Sebelumnya dia pikir lega udah ungkapin, tapi saat Edward menatapnya dengan tajam, lalu berubah jadi senyum miring dan decihan ringan, Zia merasa direndahkan.

"Kamu tau apa sih tentang cinta, Zi?"

Hati Zia bukan hanya sakit, tapi jatuh, diinjak-injak, remuk.

"Anak kecil kayak kamu harusnya belajar aja yang rajin. Bukan malah cinta-cintaan."

Tangan Zia bukan lagi gemetar, tapi kaku. Buku-buku jemarinya memutih, dia merasa kebas dan mati rasa di dua telapak tangannya.

"Coba ... teman-teman kamu yang lain pasti pada sibuk persiapin diri masuk perguruan tinggi." Edward berdecak ringan. Sikapnya lebih santai sekarang, bersandar di sofa dan menaikkan satu kaki ke lutut. Tangannya juga ikut bergerak ke udara untuk menegaskan kalimat-kalimatnya. Meski sebenarnya tidak ada yang tau, dia kalut sendirian. "Jalanmu masih panjang. Selesaikan studi kamu, happy-happy di masa muda, baru berani cinta-cintaan."

Rahang Zia terkatup rapat. Giginya bergemeletuk. Rasa ingin menangis makin membumbung. Ucapan Edward di akhir memang benar, dia masih muda, jalannya masih panjang. Tapi tetap saja nasihat itu tidak bisa menyembuhkan luka yang terlanjur Edward goreskan atas respons pertama begitu Zia bilang cinta.

Dan, seolah-olah perasaan cinta di hati Zia itu sebuah aib dan sesuatu yang bisa ditertawakan. Kalau mau, Zia juga nggak minat cinta sama orang dengan pandangan yang beda jauh. Dia ingin jatuh cinta sewajarnya pada seseorang yang sepemikiran. Yang terpenting, satu perasaan.

"Zi, maksud saya ...." Suara Edward melirih saat sadar keadaan Zia sekarang. Sialan, terlalu kalut dan khawatir dengar ungkapan perasaan Zia, Edward malah tidak bisa mengontrol kata-kata. Dia menggeser duduknya lagi dan tegak di depan Zia. "Maksud saya ... fokus dulu persiapin buat kuliah. Jangan pikirin perasaan kamu yang mungkin cuma sesaat aja," sarannya.

Zia mau membantah tapi lidahnya kelu. Dibilang 'kamu tau apa tentang cinta?' sudah membuat hatinya compang-camping. Klarifikasi apa pun dari Edward nggak akan membuatnya utuh lagi.

"Saya pernah kok ngerasain itu waktu seumuran kamu." Edward memberi senyum. Ingin mengulurkan jemarinya untuk menyeka air mata Zia yang mulai menetes, tapi dia tau itu hanya akan menambah kerepotannya sendiri. Perasaan Zia pasti makin kacau. "Kadang cuma kagum, suka, tapi langsung saya anggap cinta. Terlalu impulsif. Tenang aja, itu nggak akan lama. Mungkin kalau seminggu kita nggak ketemu atau ngobrol, rasa itu udah hilang. Jadi ...."

"Aku tau," cicit Zia. Pura-pura bilang tau padahal aslinya nggak tau gimana cara hilangin perasaan itu. "Aku bilang ini biar Om paham kenapa aku minta ngejauh. Bocah kayak aku emang harusnya nggak usah didengerin."

"Zi ...."

"Tapi Om nggak perlu sampai ngetawain juga kan?"

Giliran Edward yang terdiam. Sumpah, itu di luar kendalinya. Dia nggak berniat mengejek, tapi ... kenyataannya memang yang keluar dari mulutnya adalah tawa ejekan. Dia yang terbiasa mengontrol semua respons dengan baik, kenapa kali ini kebalikannya?

"Kalau bisa milih juga aku nggak mau cinta sama om-om." Suara Zia makin melirih. Piring tergeletak lagi di atas meja karena tangannya terlalu lemas untuk sekadar menggenggam sesuatu. Apalagi genggam hati Edward, susah.

"Saya cuma nggak mau ganggu masa depan kamu. Kamu anak baik-baik. Saya nggak ngelarang kamu jatuh cinta ke saya, cuma ... kalau tujuan kamu buat tambah semangat aja, carilah yang seumuran, Zi. Kalian bisa belajar banyak hal bareng-bareng."

Zia masih bertahan di tempatnya duduk. Dia nggak butuh kata-kata apa pun yang Edward lontarkan, karena tau niat laki-laki itu ingin menutupi kesalahan di awal.

"Iya, Om. Iya." Zia mengangguk kuat-kuat. Ingin menyudahi semua. "Makanya nggak usah protes kalau aku pura-pura nggak kenal. Aku cuma minta itu."

Dengan kasar, Zia mengusap pipinya sendiri. Banjir ya banjirlah sekalian air matanya. Mukanya pasti lagi jelek-jeleknya. Udah lebam, bentol-bentol, banjir air mata, ingusan. Rasanya pengin menenggelamkan diri aja.

"Dengerin saya dulu," tahan Edward saat Zia hampir berdiri.

Tapi Zia nggak mau nengok lagi, jadi dia lanjut melangkah. Soalnya ikan buntal yang tadinya udah jadi pepes ikan karena mengempis, sekarang kembali mengembang dua kali lipat besarnya. Zia malu karena merasa wajahnya bengkak lagi. Tau gini dia nggak usah confess dulu. Nunggu pulih, cantik lagi, dandan tipis-tipis. Walau ujungnya tetap sama; ditolak.

"Kalau kamu belum paham maksud saya, biar saya perjelas dengan cara lain."

Zia memekik saat merasakan bahunya dicengkeram. Tidak begitu kuat, tapi sanggup membuatnya terdiam karena kaget. Belum lagi Edward tiba-tiba sudah berpindah ke hadapannya. Dia bahkan masih diam merasakan dagunya didongakkan. Seberantakan ini keadaan dirinya, Edward malah memaksa tatap mereka bertumbukan?

Zia tidak sanggup lagi pura-pura. Tangisannya meluncur tanpa bisa ditahan, padahal sebelumnya dia cuma terisak. Entahlah, tatapan Edward yang tajam itu seolah menandakan akhir bagi mereka berdua. Terutama Zia sendiri, remuk. Sudah bisa ditebak sebenarnya.

"Saya dan kamu itu ...," geram Edward. Rahangnya terkatup rapat setelahnya, belum melanjutkan. Rasa kesal, marah ke dirinya sendiri, juga kecewa karena Zia berani mengungkap perasaan, campur aduk. Intinya Edward tidak tahu harus bicara apa lagi agar mereka tidak terjebak dalam situasi yang sesulit ini. "Jauh, Zi."

Zia makin tergugu. Dia mengangguk satu kali meski dagunya masih ditahan Edward. Iya, jauh. Jauh banget. Zia sangat sadar. Tapi haruskah Edward terangkan lagi hal yang telah diketahuinya? Buat apa?

"Kita udah lama saling tau, tapi baru berinteraksi beberapa kali. Dan kamu bilang cinta ...." Edward menahan nada suaranya agar tidak meninggi. Kondisi Zia di depannya sudah sangat memprihatinkan. Tapi dia harus menjelaskan secara gamblang. "Apa respons dari saya yang kamu harapin?"

Zia memejamkan mata, menelan tangis juga percuma. Kondisi hatinya sedang sangat buruk. Dia hanya bisa mendengar kalimat-kalimat menohok itu dengan lapang. Karena ucapan Edward ada benarnya. Walau lebih banyak kelirunya.

Terutama bagian ... baru berinteraksi beberapa kali.

Zia tidak menyangka Edward mudah melupakan hari-hari mereka beberapa tahun lalu. Pertama kali Edward tanamkan sebuah kenyamanan bagi Zia yang baru beranjak remaja. Cinta pertama yang mendebarkan dan malu-malu baginya. Tapi Edward malah melupakan.

Katakanlah dulu itu hanya cinta monyet dalam prosesnya bertumbuh. Zia juga sadar. Makanya nggak berharap lebih apalagi cari tau keberadaan Edward setelahnya. Tapi begitu lihat Edward lagi beberapa hari lalu, kebersamaan mereka yang singkat, wajar kan perasaan itu mulai membumbung?

Apalagi Zia sudah bukan lagi remaja baru puber seperti dulu. Dia telah menginjak fase remaja akhir bahkan menuju dewasa awal. Nggak sepantasnya Edward menertawakan perasaan Zia cuma karena dianggap tetap anak kecil yang nggak perlu digubris!

"Kamu pikir saya akan senang, bilang I love you too, ucapin hal manis dan janji-janji bullshit tentang happily ever after padahal perasaan itu cuma bertahan satu dua hari? Itu yang kamu harapin dari saya? Nope. Silakan cari itu di cowok seumuran kamu yang masih mau seleksi sana-sini."

"Om Ed—"

"Kita beda, kita jauh—"

"Om Edward," lirih Zia pada akhirnya.

Edward berhenti. Napasnya memburu. Menahan emosi tidak gampang. Sedari tadi menekan kuat-kuat tiap katanya, tapi terpaksa berhenti karena Zia memanggilnya dengan nama utuh. Edward.

Napas Edward seperti tercekat. Kata-katanya terhenti di tenggorokan. Tatapnya terpaku pada keseluruhan wajah Zia yang seperti kelelahan. Dan, meski dalam hati Edward bisa merasakan seberapa sakit akibat alergi yang kini dirasa Zia, tapi dia tetap harus melanjutkan. Ini demi kebaikan hidup Zia juga.

"Kamu belum kenal dunia laki-laki secara luas, Zi," tekan Edward dalam tiap katanya. "Kamu masih—"

"Aku masih kecil, bocah ingusan, nggak bisa apa-apa, ngerepotin, nggak boleh suka sama orang, bolehnya cuma jadi bahan ketawaan orang dewasa. Semua yang jelek-jelek ada di aku."

Edward menyugar rambutnya dengan gelisah. Tawa kecilnya menguar, disertai satu sudut bibir yang terangkat. Sungguh, dia bingung dengan situasi ini. "Ya, dan susah dibilangin," tambahnya sebagai respons kalimat panjang Zia tadi. "Saya cuma nasihatin biar kamu rajin belajar dan nggak usah mikirin cinta-cintaan. Semua ada waktunya. Tapi kalau pengin ngerasain itu, kamu harus lebih sering bareng temen-temen cowok kamu yang seumuran. Cari yang setara dan nggak beda jauh. Tapi tanggung konsekuensinya begitu kamu tau gimana dunia laki-laki secara luas. Saya bilangin ini karena anggap kamu adik saya sendiri."

Zia capek. Dia cuma ngangguk dalam tundukan. Wajahnya terasa pegal dan kepalanya pusing karena terlalu lama menahan tangis walaupun akhirnya pecah juga.

Sedangkan Edward ... cuma bisa berkacak pinggang, napasnya terembus berantakan. Dia mendongak untuk menetralkan emosinya sendiri. "Fokus, Zi. Fokus buat pendidikan kamu. Kasian sama Papa, Mama, Ogi, kalau kamu gagal cuma karena dihancurin laki-laki. Jangan sampai. Lihat aja sekarang, kamu yang jadi korban terus kalau sama saya, orang yang katanya kamu suka ini. Itu bisa ganggu semangat kamu buat kuliah. Saya nggak mau jadi alasan pendidikan kamu tertunda. Beberapa hari sama kamu, saya juga nggak pernah tau kamu bahas gimana sekolah dan rencana pendidikan, padahal harusnya di sela-sela gini kamu lagi giat-giatnya persiapkan semua."

Zia ngangguk lagi. "Paham," gumamnya tanpa minat mau menanggapi.

Tapi jawaban itu justru terdengar tidak memuaskan di telinga Edward. Tidak, harusnya Zia membalasnya dengan kalimat panjang lebar juga. Atau minimal penyanggahan. Zia yang dia kenal tidak singkat padat jelas begini. "Kamu nggak dengerin saya?"

"Denger."

"Zi, astaga." Edward menebak kalau Zia menutup telinga atas semua nasihatnya. "Mau kamu sebenarnya apa?"

"Dari kemarin aku bilang kita nggak usah saling ngobrol lagi dan Om udah setuju." Zia kembali mengangkat wajahnya. Apa lagi yang kurang jelas?

"Cara kamu abaikan saya tadi berlebihan, Zi." Edward menjawab balik. "Saya dan keluarga kamu udah kenal lama. Kamu tau hubungan saya, Ogi, Papa, dan Mama kamu gimana. Sebelum ini emang kita jarang ngobrol karena jarang ketemu. Tapi nanti keliatan aneh banget kalau sikap kamu kayak tadi di depan keluargamu tiap ada saya. Apa kamu nggak berpikir sampai situ?"

"Terus aku harus gimana, Om?!" pekik Zia.

"Saya anggap kamu keluarga, adik saya sendiri. Jadi kamu tau harus apa."

"Aku nggak lagi cari abang. Aku udah bilang berkali-kali. Aku juga nggak pernah anggap Om abangku. Jadi terserah sikap Om gimana."

"Fine." Edward mengangguk. Rahangnya mengeras. Kalau Zia susah dibilangin, ya sudah. Jalan terbaik memang nggak usah saling sapa. "Saya akan anggap kita kenal tapi nggak saling ngobrol, kayak sebelum ini. Perkara kamu mau abaikan saya kayak tadi, itu urusan kamu sendiri. Asalkan jangan limpahin apa-apa ke saya kalau ada yang curiga sama sikap kamu."

Edward cukupkan perdebatan itu. Cuma menambah keruwetan harinya. Apalagi ini ... astaga, dia mengangkat pergelangan tangan kiri. Menyadari kalau meeting sebentar lagi akan dimulai. Dia harus pergi.

Dan karena janji sudah terucap kalau dia akan berhenti menyapa, maka Edward melenggang pergi begitu saja. Tanpa pamit atau apa, bahkan menatap Zia pun ... enggak sama sekali!

***

"Iya, Ma. Ini lagi nyuapin Zia."

"Loh, Zia kenapa sampai disuapin? Sakit, Nak?"

Mampus. Ogi keceplosan. Udah bersyukur takdir masih menyelamatkannya karena orang tuanya mampir Surabaya buat nengok saudara lebih dulu sebelum balik Jakarta, malah Ogi bocorkan rahasia.

"Nggak kok, Ma." Kali ini Zia yang nyambung. Dia ambil air mineral untuk diteguk. "Lagi pengin disuapin sama Bang Ogi aja."

"Oh, Mama kira kenapa. Aman kan, Gi?"

"Aman, Ma. Cuma seminggu doang mah gampang." Ogi sok iya aja padahal ketar-ketir ketauan.

"Mama sampai lupa mau bilang ini."

"Bilang apa?" Ogi menyudahi suapan untuk Zia. Sebenarnya bukan Zia yang minta. Dia emang lagi pengin nyuapin aja. Soalnya ngerasa bersalah kemarin-kemarin biarin Zia makan sendiri padahal lagi sakit. Sekarang udah mendingan. Dua hari sejak alergi parah-parahnya, sekarang wajah Zia nggak bengkak. Merah-merahnya juga cuma sisa dikit di bagian dahi. Nggak begitu kentara karena Zia menutupinya dengan poni.

"Mama ketemu Tante Valencia di resto hotel tadi pagi. Kebetulan banget."

"Loh, iya. Kok bisa pas gitu ya, Ma?"

"Makanya itu Mama ngobrol banyak. Tante Valen juga undang keluarga kita makan bersama lagi."

Ogi tertawa.

Sedangkan Zia? Dia kaget. Kalau nggak salah ingat, Tante Valencia itu mamanya Edward kan? Yang orang Belanda itu? Iya, Zia ingat banget. Astaga, matilah dia.

"Gimana menurut kamu, Gi? Papa sama Mama udah iyain."

"Nggak masalah kalo aku, Ma."

Nggak masalah apaan? Zia menatap Ogi dengan tajam. Walaupun yang ditatap sama sekali tidak sadar kalau Zia panik.

"Harus dong, Gi. Keluarga mereka itu baik banget ke kita dari dulu. Jadi kamu bisa ikut kan besok malam?"

"Bisa. Lagian malem. Weekend juga. Aku free."

Zia memejamkan mata, mengucapkan doa tulus dari hatinya yang tersakiti: semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak, semoga nggak diajak.

Satu menit kemudian ....

"Kalau Zia sih jelas bisa. Wajib ikut. Oke, Zi?"

🧚🏻🧚🏻

Kabur aja Zi ke rumahku👍

Btw 'Semoga nggak diajak'-nya ada berapa?

❤️NOTES❤️
Hei, buat kamu yang udah lama minta fast access atau akses lebih cepet cerita Om Edi-Zia, setelah kupertimbangin akhirnya aku kabulin. Soalnya request sampe rela rogoh kocek demi pasangan ini jadi aku terharu, sebegitu nungguin dan antusiasnya. Jadi kusempetin mulai besok unggah spesial lebih cepet di tengah kerjaq lembur banting quda ini luvv demi yang paling sayang Om Ed-BabyZi. Yang lain ... jangan ke mana-mana yaa, tetep di wattpad karena jadwal update nggak akan berubah kadang seminggu sekali kadang dua kali. Tapi kalo ada yang mau akses lebih cepat 3 harian/lebih dari update biasa, boleh ke KK juga ikut aliran fast access. Tenang aja semua tetep sama, tuntas sampai ending, beda di waktu update aja. Makasih ya, nggak nyangka ternyata ada yang antusias banget sama cerita ini. Jadi makin cintak🫶🏻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top