13. Gatel
Semoga narasi awal-awal ini gak di-skip ya biar kalian tau perasaan Edward yang sesungguhnya akan Gwen dan gak timbul pertanyaan "udah mupon belom si?" Xixi
Selamat membaca❤️
🧚🏻🧚🏻
"Itu alasan lo lebih sering clubbing akhir-akhir ini?" tanya Edward pada perempuan yang menatap kosong ke arah depan.
Tidak mendapat jawaban, Edward akhirnya mengulurkan tangan kirinya untuk merengkuh bahu Gyna. Mengusap dengan lembut untuk mengurangi keresahan perempuan itu. Beberapa saat dia menyadari Gyna menjatuhkan kepala di pundaknya. Tanpa pikir panjang Edward merapatkan pelukan. Dia memejamkan mata, ikut meresapi rasa hilang dan sepi yang baru Gyna ungkapkan.
"Gwen udah bahagia di sana, Gyn," ucap Edward. Dia menyentuhkan sebelah pipinya ke puncak kepala Gyna, saat sadar tubuh di pelukannya sedikit gemetar.
"Iya ... gue cuma ... nggak tau kenapa ... lebih sering keinget aja," balas Gyna, ucapannya terbata di antara deru napasnya yang masih dia coba tenangkan.
Edward sangat mengerti perasaan itu. Dari kecil, Gwen dan Gyna itu sepaket. Bagai pinang dibelah dua. Selain sangat mirip, mereka juga kerap ke mana-mana bersama. Gwen dengan sifatnya yang sangat mengayomi, dan Gyna yang pendiam, kurang bisa menyatu dengan dunia luar. Dua-duanya saling membutuhkan, saling melengkapi, separuh jiwanya Gyna adalah Gwen. Juga sebaliknya. Edward yang jadi saksi bagaimana interaksi kakak beradik itu.
"Wajar kalo tiba-tiba keinget. Tapi cuma kita yang bisa kontrol perasaan kita sendiri, mau sedihnya berlarut-larut tiap ingat, atau sebaliknya."
"Nggak mungkin kan gue malah ketawa-tawa kalo keinget kakak gue?" tawa Gyna terdengar parau, bercampur dengan air mata yang mencoba ditahan sekuat tenaga.
Edward mengeratkan pelukan. Di saat seperti ini, mereka memang harus saling menguatkan. Dia pernah melewati tahapan kehilangan seseorang. Penolakan, penyangkalan, marah atas takdir, ingin mempertaruhkan apa pun agar Gwen bisa kembali, sampai akhirnya bisa menerima.
Jadi sangat mengerti bagaimana susahnya Gyna meng-handle perasaannya sendiri. Gyna tidak punya siapa pun untuk menguatkan. Semua merasa kehilangan dalam waktu yang lama. Kedua orang tua, saudara, sama saja. Jadi Gyna pasti tertekan, selalu menguatkan orang tua di saat hatinya hancur.
Sedangkan Edward?
Dia mengakui masih punya orang-orang yang menguatkan karena rasa sedihnya tidak melebihi apa yang Edward terima. Keluarganya, sahabatnya, semua masih bisa Edward andalkan di saat paling terpuruk.
Memang nggak mudah Edward lalui, tapi buktinya dia bisa. Ke mana pun dia ingin, ada orang-orang yang siap menerima keluhnya. Papa dan Mama, adiknya, bahkan Ogi. Edward selalu mengingat orang-orang yang ada di saat dia putus asa. Mereka tidak ada yang protes akan hidup Edward yang berantakan tanpa tau arah. Mereka hanya membuka lengan lebar-lebar jika Edward butuh dikuatkan.
Itu alasan kenapa Edward menjadikan Ogi dalam prioritas hidupnya juga. Cuma sohibnya itu satu-satunya yang nggak lari waktu dia mirip orang gila.
"Lo bisa dateng ke gue kapan aja kalo butuh cerita, Gyn." Hanya itu yang bisa Edward lakukan. Dia mencoba mengerti posisi Gyna sekarang. Lukanya pasti lebih lama sembuh ketimbang Edward sendiri.
"Thanks." Gyna menjauhkan tubuh dari Edward, mengusap dengan kasar pipinya yang basah karena air mata. "Apa lo udah lupain kakak gue, Ed?"
Edward menunduk, menatap intens pada Gyna yang sedang menunggu jawabannya. Apa kalimat yang tepat untuk pertanyaan itu? Dibilang lupa, tidak mungkin. Tapi kalau terus mengingat sampai sedih berlarut, itu sudah tidak terjadi dalam kurun waktu bertahun-tahun.
Tapi Edward tidak mungkin menjawab dengan kalimat seolah kehadiran Gwen tidak pernah berarti di hidupnya. Keadaan Gyna sedang berantakan. Akan sangat menyakiti hati kalau dia bilang perasaannya yang sebenarnya. Bahwa dia sudah berhasil menerima kenyataan, bahkan bangkit dari rasa kehilangan.
"Gue nggak mudah lupa sama orang yang pernah ada di hidup gue, Gyn." Itu jawaban yang Edward beri. Kejujuran yang tak begitu menyakitkan bagi Gyna.
Seperti yang Edward duga, Gyna mengangguk dan terlihat lega.
"Besok lagi kalau sedih nggak usah clubbing," saran Edward. Dia mengusap puncak kepala Gyna. "Lo bisa dateng ke gue. Sampai kapan pun lo tetep gue anggap adik gue sendiri, Gyn."
Gyna mengangguk lagi. Dia tersenyum dengan mata yang memerah.
"Gue tebak kerjaan kantor lagi banyak ya?" Edward berusaha mengalihkan Gyna dari rasa sedih. Dia paham kalau sumber stres Gyna bukan murni karena kehilangan dan keinget. Sudah pasti faktor lain juga membuat perempuan itu merasa capek. Berakhir dengan nangis sesenggukan seperti tadi.
"Mungkin gue aja yang lagi jenuh." Gyna bersandar di kursi, dengan helaan napas yang mencoba ditenangkan.
"Butuh liburan. Lo ambil cuti aja. Ajak daddy sama mommy juga. Mereka cuma punya lo, Gyn."
"Akan gue pikirin. Kalo lo mau join juga gue nggak masalah, Ed."
Edward tersenyum. Nggak bisa janji. Nggak mau memberi hal yang belum pasti. Pasti Gyna mengerti kalau jam kerja Edward tidak sama seperti karyawan lain. Dia harus stand by hampir dua empat jam. Ada masalah dikit, semua lapor ke Edward. Dia harus super siaga.
"Lo pasti belum makan." Edward mengalihkan pembicaraan. Dia menegakkan tubuh dan menarik satu piring berisi nasi goreng. Sengaja dia pesankan Gyna itu. Paham kebiasaan Gyna yang sering melewatkan sarapan, bahkan makanan berat di tengah hari. "Gue suapin."
Gyna menatap ngeri begitu mendengar kalimat terakhir Edward. Dia berdecih. "Apa sih, Ed. Geli banget pake suapin segala."
Edward tertawa. "Daripada lo nggak mau makan." Disendoknya makanan dan diarahkan ke mulut Gyna.
"Ck. Nggak usahlah. Gue bisa makan sendiri," tolak Gyna.
"Yang ada malah lo nggak jadi makan," tebak Edward. "Nggak usah malu-malu. Ini makanan udah gue angkat. Aaaaa dulu."
Gyna menggigit bibir bawahnya dengan geli. Meski menolak di awal, tapi akhirnya buka mulut juga.
"Nah, gitu dong." Edward paham apa yang harus dilakukan. Dia ingat dulu waktu diterjang rasa sedih yang nggak berkesudahan, orang-orang di sekitarnya memaksanya makan dengan cara seperti ini.
Edward lupa siapa yang nyuapin kayak gini, tapi ada pokoknya. Ternyata enak disuapin begitu waktu lagi sedih.
"Ed."
Edward menyendok lagi makanan dan mengarahkan ke Gyna. "Apa?"
"Lo ... dulu sering kayak gini sama kakak gue?"
Pertanyaan apa lagi ini? Astaga. Mau jawab nggak pernah, nanti apa tanggapan Gyna? Perempuan itu kan lagi fase butuh validasi kalau sang kakak tidak mudah dilupakan. Gyna sedang mengingatkan orang di sekitarnya kalau Gwen pernah begitu berarti di hidup semua orang. Edward sangat paham. Karena dia juga mengakui itu. Gwen pernah sangat berarti di hidupnya.
"Sering, Ed?"
Edward menggeleng pelan. "Kakak lo mana pernah mau disuapin, Gyn," kekehnya. "Lo pasti ngerti segimana independent dia. Bebas dari kendali luar apalagi otoritas orang lain. Mandirinya bikin gue takjub. Sampe disuapin aja nggak mau, mungkin takut itu bikin dia kehilangan girl power."
"Semandirinya dia, dia beneran cinta sama lo." Gyna memberi penekanan pada kalimatnya. Meyakinkan kalau kakaknya bersikap begitu bukan karena nggak cinta.
"Gue tau." Edward tersenyum. Meski Gwen tidak sering mengatakan dan menunjukkan segimana besar rasa cinta untuknya, tapi Edward bisa merasakan. "Dengan dia yang mau berhenti kerja dan nerima lamaran gue, gue percaya dia beneran cinta. Nggak mudah bagi orang semandiri dia ngelepas karier cuma demi gue."
Gyna menatap kedua mata Edward yang kelihatan mengenang. "Lo masih sering keinget?"
Edward mengedikkan bahu. "Life must go on. Hidup terlalu singkat, Gyn. Gue nggak bisa berlarut-larut. Ada banyak hal baik yang nunggu di depan. Ayo, kita lakuin apa yang bikin kita happy. Gue berharap banget lo bisa nemuin kebahagiaan yang udah Tuhan siapin buat ganti kesedihan lo dan keluarga."
Gyna menatap depan dengan pandangan kosong. Hal baik yang disiapkan untuk mengganti kesedihan yang dia rasakan bertahun-tahun? Cuma ada satu yang Gyna harapkan di dunia ini.
"Sayangnya kebahagiaan yang gue pengen juga mustahil, Ed." Gyna menunduk, mengatur napasnya yang berat, sebelum memberi senyum ke Edward.
"Nggak ada yang nggak mungkin." Edward memberi nasihat yang klise. Tapi dia memang percaya satu kalimat itu.
"Lo udah nemuin kebahagiaan lo?" Gyna bertanya balik.
Edward mengangguk. "Fokus ke diri gue, karier, keluarga. Itu bikin gue happy."
"Kalo seseorang yang spesial?"
Edward terkekeh. "Sayangnya belum. Gagal terus masalah percintaan. Mungkin udah takdirnya buat kasih waktu biar gue fokus meng-improve value gue."
"Lo suka merendah. Apa yang mau ditingkatin lagi dari lo? Udah perfect gitu."
Edward menatap keseluruhan wajah Gyna. Menimbang perkataan perempuan itu. Tentang ... perfect. Tidak satu dua orang yang bilang hal yang sama. Tapi kenapa tidak ada yang mengerti bahwa Edward nggak sesempurna yang terlihat? Dia penuh kekurangan. Hatinya nggak utuh. Raganya remuk. Kotor.
Edward selalu mencoba jadi orang yang lebih baik lagi. Orang bilang, itu akan menyeretnya dalam sesuatu yang baik juga. Tapi dalam usahanya itu, terkadang dia tidak percaya diri. Apa yang diharapkan dari dirinya lagi? Egois kalau dia mengharapkan hal-hal baik, terutama seorang wanita yang baik-baik, untuknya yang penuh kekurangan ini.
Itulah kenapa pujian orang justru memberatkan hati Edward. Dia merasa nggak layak dapat itu.
"Gue lanjutin makan dulu deh." Suara Gyna terdengar.
Edward tidak menolak. Dia mendapati Gyna sudah menyuapkan makanan dengan pelan. Sedikit-sedikit. Tetap saja, tidak dihabiskan.
"Udah?" tanya Edward dengan suara lirih. Hatinya masih belum nyaman dengan hal yang baru Gyna katakan. Padahal terserah orang mau berucap apa, juga memuji siapa. Tapi reaksi Edward justru begini. Apa dia punya semacam ketakutan sama ekspketasi orang? Entahlah, Edward hanya tidak nyaman.
"Udah. Maaf ya, nggak abis. Tapi beneran enak kok ini. Cuma gue aja yang nggak kuat makan banyak."
Edward mengangguk. Dia memaksakan senyum. "Nggak apa-apa. Yang penting udah keisi perutnya."
"Gue suka banget sama nasi gorengnya. Kayak beda aja gitu."
"Adik gue emang perfeksionis orangnya. Seleranya tinggi banget. Waktu banyak yang daftar stand di foodcourt ini aja seleksinya ngalahin Master Chef."
Gyna tertawa pelan. "Nggak heran makanan di sini pasti setara bintang lima."
Edward menarik piring itu dari hadapan Gyna. "Beneran udahan ini makannya? Masih banyak banget, Gyn."
"Udah." Gyna mengusap-usap perut. "Gue beneran nggak kuat ngabisin."
"Okelah." Edward giliran menarik laptop dan membukanya. Tadi Albert ngabarin kalau meeting diundur setengah jam. Makanya dia masih santai.
"Gue balik dulu ya, Ed. Udah hampir abis break-nya."
"Mau gue anter sampe lobby?" Edward menawarkan diri.
"Nggak perlu. Lo ada meeting katanya."
Edward menyusul berdiri. Dia merentangkan satu tangan untuk memeluk Gyna dan menepuk punggungnya pelan. "Drive safe. Lagi macet-macetnya di jalan."
Gyna tersenyum dan membalas pelukan Edward. "Thanks."
***
"Coba jelasin gimana gejala awalnya, bisa-bisanya baper sama orang yang bukan siapa-siapa lo, Zia."
Zia melempar boneka ke arah April yang menodongnya dengan pertanyaan menohok. Benar juga sih, sakit hati pada orang yang bukan siapa-siapanya tuh lebih sakit. Mau ngelarang deket-deket sama cewek lain tapi sadar diri dia bukan pacar. Cuma mengagumi apa berhak cemburu?
Harusnya enggak. Tapi Zia sedih. Sakit bukan karena cemburunya aja, lebih ke perasaan kecewa kenapa mereka bukan siapa-siapa. Jadinya Zia bingung harus apa. Cuma menjauh satu-satunya jalan ninja yang dia ambil.
"Sakit banget tau, Pril," keluh Zia. Jangan ditanya udah berapa liter air matanya membasahi bantal April yang gambarnya emoji 💩.
"Gue bingung harus nenangin lo pake kalimat apa." April juga habis usaha.
"Nggak usah nenangin. Tampar aja pake kalimat lo itu yang nyakitin. Biar gue sadar!"
"Udah dari tadi berkali-kali. Lo aja yang nggak sadar-sadar."
"PRIL!" teriak Zia dengan tangisnya lagi. Kenyataan emang pahit. Dan Zia harus nerima itu.
"Hp lo bunyi terus deh perasaan." April sadar dari tadi ponsel Zia di atas kasur, nyala. Sengaja Zia pasang mode silent, tapi tetap aja April tau ada panggilan masuk. "Bang Ogi hubungin lo terus, Zi. Kasian."
"Biarin." Zia masih meringkuk. Menarik selimut sampai menutup sebagian mukanya.
"Kasian loh. Apalagi lo kan lagi dititipin ke dia. Jadi abang lo ngerasa bertanggung jawab banget. Lagi ketar-ketir pasti di sana."
Zia mengusap lehernya yang sedikit gatal. Dari tadi kayaknya kulit lehernya gatal terus. "Tolong ambilin deh, Pril."
"Ya, Tuan Putri." April mengulurkan ponsel dengan menunduk mirip maid yang menghadap permaisuri.
"Alay," decih Zia. Tanpa beranjak, dia telepon balik Ogi. "Selimut lo belum dicuci apa gimana sih, Pril? Kok bikin badan gue gatel!"
"ENAK AJA. Lo yang belom mandi kali." April balas fitnah itu.
Zia menyingkirkan selimut dan duduk. Meringis perih karena lehernya kebanyakan digaruk. Mungkin agak lecet sekarang.
"Nggak usah digaruk terus, astaga. Merah banget itu." April ikut panik. Dia mendekat dan menyadari leher temannya emang memerah. Bekas jarinya terlihat jelas di kulit putih itu. "Ngaku aja lo abis dicupang si Om-Om itu ya?!"
"Nggak mungkin. Apaan sih lo!"
"Atau kena ulet?" tebak April. Bisa jadi, soalnya merahnya parah banget. Bentol-bentol malah sekarang.
"Nggak mungkin juga. Gue nggak abis dari taman safari, April!"
"Semalem lo di apartemen doang nggak ke mana-mana?"
"Iyalah!"
"Oh, berarti ulet yang lain." April menggigit bibir bawahnya.
"Apa?" Zia bingung.
"Ulat berbulu. Hihihi."
Saat tau maksud April, Zia langsung melotot. Dia melempar bantal ke arah temannya itu.
"Zia ...."
Suara dari ponsel membuat keduanya mendadak diam. Baru sadar kalau dari tadi Zia lagi menghubungi kakaknya. Zia segera mengusap wajahnya yang sudah sembap banget. Takutnya Ogi minta video call. Bisa tau kalau Zia habis menangis parah pasti.
"Lagi sama April?"
"Iya, Bang." Zia memberi tanda ke April agar ngoceh. Nurut, April segera bersenandung.
"Pantesan semalam Abang cek kamu nggak pulang ke apartemen. Lain kali hubungi Abang kalau keluar apartemen, Zi. Apalagi Abang hubungi kamu dari tadi pagi nggak dijawab."
Zia tau Ogi menahan kuat-kuat rasa kesal itu. Hal yang membuat Zia merasa bersalah. Ogi emang nggak pernah tega marah-marah ke dia dari dulu.
"Maafin aku ya, Bang."
"Nggak apa-apa. Yang penting kamu baik-baik aja. Udah bisa dihubungin. Abis ini izin kalo mau ke mana-mana ya, Baby Zi."
Panggilan itu juga sangat Zia hafal. Ogi sedang menunjukkan status kakak dan adik di sini. Untuk menyadarkan kalau Zia sangat bersalah karena mengabaikan titah sang kakak.
"Iya, Abang. Maafin aku." Zia meringis lagi karena rasa gatal di lehernya berubah jadi panas.
"Jangan bandel. Atau Abang bisa langsung pulang sekarang."
"Ih, gatel banget," keluh Zia tanpa sadar.
"Apa? Siapa yang gatel maksud kamu, Zi?"
Zia membelalak. "Oh, bukan. Maksudku ... ini leherku lagi gatel, Bang. Kena semut mungkin."
Terdengar decakan Ogi. "Ya udah, Abang tutup dulu. Si Edward malah nelepon mulu. Kenapa lagi dia. Udah ya, Zi."
Zia belum sanggup merespons sampai panggilan itu diakhiri. Dengar nama Edward aja hatinya nyeri. Dan lagi, Edward menghubungi Ogi. Tapi nggak nyariin Zia. Ya, tapi sebenarnya nggak ada kewajiban apa pun. Cuma ... masa iya nggak nyariin?
"Si Edi Edi itu nggak hubungi lo?" April bertanya hal yang dari tadi dipikirkan Zia.
"Nggak. Nggak harus juga." Zia menyimpan lagi ponselnya. Meluruh ke bantal dan menutup lagi wajahnya dengan selimut. Kenapa dia harus kecewa? Edward cuma basa-basi waktu bilang kalau ada apa-apa hubungi saya.
"Tapi harusnya dia nyariin lo sih, Zi." April memberi pandangan menurutnya. "Bukannya tadi lo bilang kalau dia nyuruh lo tidur di apartemen lagi sampai keadaan lo membaik? Kenapa nggak nyariin? Ini hampir malem loh."
"Artinya dia cuma basa-basi, Pril. Tentang tanggung jawab, kalau ada apa-apa hubungi saya, apa pun itu yang dia bilang bullshit doang. Cuma biar dia keliatan bertanggung jawab aja."
"Tapi lo berharap dia nyariin lo?"
"Nggak." Zia udah nggak mau berharap. Walaupun sempat kecewa karena kata Ogi Edward spam call terus, sedangkan ke Zia enggak. Kalau niat beneran tanggung jawab dan mastiin dia sampai sembuh dari hangover kan harusnya terus diawasi. Bukan dibiarin dan lunch sama wanita lain. Apalagi ... bohong bilang ke kantor ada meeting dan mendesak. Huh, itu yang bikin Zia sakit banget. Diboongin.
"Padahal gampang loh tinggal tanya lo lagi di mana? Udah mendingak belom." April membuka suara, menyuarakan pikiran-pikiran Zia dari tadi. Seperti bisa membaca apa keinginan Zia.
"Sebenernya dia nggak harus nanggung jawab atas gue," kata Zia. "Soalnya yang ngajak clubbing duluan gue juga."
"Masalahnya adalah ... dia yang bilang sendiri kalo mau mastiin lo sampe sembuh dari efek mabuk, Zi. Nggak gentle banget misal dia ingkar dari janjinya sendiri. Lo kan nggak pernah minta dia tanggung jawab, dia sendiri yang mau." April nggak terima temannya dikhianati janji begini. "Oke, kita coba lupain tentang perasaan lo ke dia. Kita fokus ke apa yang dia bilang aja. Simpel, harusnya dia nyariin lo kalo emang serius sama ucapannya."
"Gue udah bilang, Pril. Dia cuma basa-basi. Nggak gue ambil serius." Zia menekan telapak tangan ke dadanya. Sakit juga ternyata. Kayaknya menjauh emang langkah yang tepat. "Pemikiran orang dewasa kayak dia jauh banget sama apa yang kita pikirin. Emang nggak cocok aja."
April jadi kasihan sama Zia. Cinta nggak berbalas pasti sakit banget.
"Gue mau numpang tidur. Siapa tau bangun-bangun udah di Disneyland." Zia memejamkan mata. Walau sebenarnya, susah sekali untuknya terbang ke alam mimpi.
Didukung sama leher yang gatalnya udah merambat ke pipi. Kayaknya dia alergi Edward. Habis disentuh punggungnya semalam, langsung gatal-gatal. Emang udah paling tepat menghindar aja.
***
Berbekal CCTV yang Edward dapat dari Albert, dia tau kalau Zia bukan hanya pergi. Tapi mungkin kabur. Gerak-gerik cewek itu saat keluar dari lift foodcourt lalu balik lagi, menandakan sedang terburu-buru. Entah karena apa, Edward tidak tahu.
Meeting yang selesai menjelang malam membuat Edward kehilangan jejak. Dia pikir Zia akan kembali sebentar lagi. Tapi ternyata tidak. Edward masih menyelesaikan pekerjaannya sembari menunggu, berharap Zia kembali tanpa diminta. Sialnya lagi, Edward tidak membawa ponselnya yang menyimpan nomor Zia. Memang seringnya dia tinggal di kantor. Karena yang terpenting ponsel pribadinya selalu dia bawa.
Edward juga sudah mencari cara untuk mendapatkan nomor Zia dari Ogi, tapi dia tidak menemukan alasan yang tepat. Makanya dia menunggu sembari menyelesaikan pekerjaan. Sekarang kesabarannya sudah habis. Zia keterlaluan kalau kabur-kaburan begini.
Alhasil Edward nekat mengendarai mobil ke kantor demi mengambil ponselnya. Emosinya makin meningkat saat menyadari kalau Zia memang tidak mengabari sama sekali. Dia coba tekan kemarahan demi menghubungi Zia agar tau keadaan cewek itu. Sedang di mana, gimana keadaannya, banyak hal yang mau Edward tanyakan di tengah kekhawatirannya yang meluap-luap. Siapa yang tidak khawatir? Zia masih tanggung jawabnya. Zia masih di bawah pengaruh alkohol. Siapa bisa jamin cewek itu nggak nekat melakukan sesuatu tanpa sadar?
Pikiran Edward sudah bercabang ke mana-mana, tentang apa yang terjadi pada Zia seharian ini. Apakah ada sesuatu membahayakan yang menimpa, dan berakhir dengan Zia melaporkan kelakuannya pada Ogi? Entah, banyak kekhawatiran di benak Edward sekarang.
"Saya bilang, masuk dulu ke mobil, Zia," kata Edward dengan penekanan. Hasil dari kericuhan seharian ini, Edward akhirnya menyusul Zia ke rumah April. Perlu pemaksaan beberapa kali sampai Zia memberi tahu sedang di mana sekarang.
Zia menunduk dan menuruti titah Edward. Ini ada di pelataran rumah April. Kurang etis juga dilihat.
"Apa susahnya ngabarin?" Edward to the point. Dia mencengkeram setir cukup kuat. Tatapnya terarah pada kegelapan di depan sana.
"Maaf."
"Saya nggak butuh maaf. Apa susahnya ngabarin, Zia?" geram Edward, kali ini menatap Zia yang terlihat ketakutan.
"A-aku ...." Zia menggeleng. Tidak tau alasan apa yang tepat. "Aku kira Om nggak nyariin. Om juga ... nggak hubungin aku. Aku nggak tau."
Edward tersenyum miring. Astaga, lihatlah. Zia malah melempar salah padanya. Siapa yang pergi, dan siapa yang harus nyariin di sini?
"Jangan kayak bocah begitu, Zia. Kamu yang pergi harusnya kamu yang izin."
Zia sakit hati bukan karena dimarahin. Bukan sama sekali. Dia cuma nggak terima dibilang bocah. Seakan semua kelakuannya serba salah. Iya, umurnya memang masih 18. Tapi apa pantas Edward selalu menggunakan kata bocah di tiap kesalahannya? Itu sama aja Edward merendahkan pola pikirnya.
"Kalau mau main kabur-kaburan, jangan sama saya. Saya nggak ada waktu buat nanggepin hal kekanakan kayak gitu." Edward memutar kunci mobil. "Sekarang terserah kamu mau nginap di sini atau ikut pulang."
Tanpa sadar Zia meneteskan air mata meski berusaha ditahan sekuat tenaga. Untunglah hoodie yang dia pakai mendukung untuk menutupi segala kerapuhan. Sengaja dia pakai karena alerginya kayaknya makin parah. Dia malu berhadapan sama Edward dengan muka hampir lebam dan leher yang merah-merah. Tapi nyatanya, Edward tidak peduli. Bahkan tidak menyadari. Untuk apa dia susah-susah menutupi kekurangan agar terlihat sempurna di mata lelaki itu? Nggak guna!
"Sekarang nangis," decak Edward. Pusing bagaimana cara menyampaikan keresahannya yang tepat. Membuat Zia sadar kalau tingkahnya itu bikin Edward kalang kabut seharian. "Apa sih yang ada di pikiran kamu sampe kamu tiba-tiba kabur? Nggak mood? Itu alasannya?"
Zia menggeleng. Tidak berani menatap Edward yang kelihatan menahan marah.
"Saya udah bilang kalau kamu masih tanggung jawab saya. Harusnya kamu bisa bekerja sama. Saya cukup sibuk, Zi. Nggak bisa seratus persen mantau kamu. Saya bukan lagi anak belasan tahun yang banyak waktu luang. Jangan bikin saya makin kerepotan karena kamu kabur-kaburan begini." Edward menyugar rambutnya dengan resah. Semua emosinya menumpuk jadi satu, tapi dia nggak boleh marah dan meledak-ledak.
"Aku ... turun ... aja," isak Zia. Dia tidak bisa menahan lagi untuk mendengar kalimat-kalimat Edward.
"Ya, turun aja." Edward mengibaskan tangan, mempersilakan Zia untuk pergi. "Saya anggap tanggung jawab saya sampai di sini aja. Saya nggak perlu kalang kabut mastiin keadaan kamu gimana. Terserah kamu mau apa. Lanjutin hidup kamu. Turun, Zi."
Zia menelan tangisnya kuat-kuat. Dia harus mengatakan ini sebelum turun. Tidak peduli wajahnya yang sudah sembap parah, dia menatap Edward dengan berani. "Om harusnya nggak perlu dateng kalo cuma buat marah-marah tanpa tanya kenapa aku milih kabur!"
Bantingan pintu cukup keras membuat Edward menoleh. Dadanya bergemuruh kuat mendengar ucapan Zia barusan, juga langkah cewek itu yang menjauh dengan buru-buru.
"Bangsat!" umpat Edward sembari memukul setir.
Amarahnya jelas belum reda. Dia pernah melewati masa muda seperti Zia, dengan rasa benar dan ego yang diagungkan. Lebih memilih menghindar ketimbang menghadapi kenyataan. Tapi ... Edward bukan lagi ada di masa itu. Makanya semua tingkah Zia baginya sangat kekanakan.
Edward sadar harusnya tidak menyalahkan Zia. Apa yang Zia lakukan memang sesuai naluri seorang cewek yang merasa tidak diperhatikan—Edward cukup bisa menebak, mengingat seberapa dimanjanya Zia dalam keluarga. Cewek itu ingin ditanya di mana, kapan pulang, lagi apa. Cuma karena Edward memberi perhatian sedikit karena rasa tanggung jawab, nggak seharusnya Zia menuntut sebanyak ini kan?
Dan cuma karena Edward sering melontarkan bahwa dia anggap Zia adik, nggak seharusnya Zia meminta perhatiannya sebanyak yang Ogi kasih kan?
Edward menjalankan mobil dengan kecepatan yang cukup tinggi. Musik keras menggema seisi mobil. Panas di dadanya, pusing di kepalanya, perlu diredam dengan cara seperti itu.
Namun tiba-tiba suara musik terhenti. Berganti dering tanda ada panggilan masuk. Edward segera melirik layar dan lihat nama Ogi di sana. Ditekannya tombol untuk menerima panggilan.
"Edward bangsat! Gue akan bunuh lo kalo lo beneran ajak adik gue clubbing!!!"
🧚🏻🧚🏻
Entah siapa yang salah💩
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top