10. U Ready?

Siapa yang udah baca extra part terakhir Albert-Salsa cuuung?

🧚🏻🧚🏻

"Aku pengen coba clubbing. Temenin."

"Nggak." Itu adalah jawaban refleks yang Edward beri. Tanpa mikir banyak juga dia tahu harus jawab apa.

"Kenapa nggak boleh, Om?"

Edward tidak habis pikir sama anak satu ini. Dia menatap frustrasi pada kedua bola mata yang menunggu jawabannya dengan sorot penasaran. "Alasan apa yang bikin kamu pengen clubbing?"

Zia terdiam sebentar. Tangannya tertaut di pangkuan dengan gelisah. "Aku penasaran aja."

"Penasaran tuh harusnya ke sesuatu yang masuk akal," decak Edward. Tangannya sudah mencengkeram setir. Sial, kalau kayak gini namanya senjata makan tuan. Dia tidak tahu kalau Zia mensyaratkan hal ini.

"Temen-temenku banyak yang udah pada ke sana."

"Itu nggak baik, Zi." Suara Edward sedikit ditekan, memberi kesan bahwa apa yang dia bilang ini serius. "Menurut kamu, apa Ogi bakal bolehin? Enggak kan?"

Zia menggeleng lemah. Dia menunduk, mengabsen jari jemarinya yang jumlahnya sepuluh. Dua jempolnya saling menepuk buat meredakan resah.

"Tempat kayak gitu nggak cocok buat anak belasan tahun," kata Edward lebih pelan. Cara bicaranya harus lebih lembut soalnya takut bikin Zia nangis. "Sebenarnya nggak cocok juga untuk saya, abang kamu, atau yang berumur sekalipun. Mereka bilang itu tempat melepas penat dan stres. Tapi cuma sementara. Setelahnya malah bikin rugi diri sendiri. Nggak ada baik-baiknya."

Ragu-ragu Zia menoleh ke Edward yang menatap depan. Terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Kamu tau hal itu nggak baik kan?" Kali ini Edward kembali menatap Zia, yang segera mengalihkan pandangan. Hm, mungkin takut dimarahin.

Padahal bukan. Zia mendadak gugup lagi. Takut ketahuan abis curi-curi pandang si ganteng dari samping.

"Kamu bisa minta yang lain dari saya. Oke, Zi?" Edward mendekat, merendahkan kepala demi mendapat balas tatap dari cewek itu. Saat kepala Zia mengangguk, dia tersenyum. Ditepuknya pelan puncak kepala Zia. "Kamu udah saya anggap adik sendiri. Nggak mungkin lah saya bawa kamu ke tempat nggak baik kayak gitu."

"Iya, Om." Ya udah lah kalau nggak dikabulkan. Zia juga nggak akan maksa.

Jawaban itu tidak lantas membuat Edward lega. Entahlah, seperti ada yang mengganjal di hatinya meski dengar sendiri kalau Zia sudah mengiyakan. Mungkin karena rasa khawatirnya pada bocah ini. Penasaran, kata Zia tadi. Sedangkan Edward tahu kalau penasaran artinya suatu saat nanti pasti harus dituntaskan.

"Kamu tau clubbing itu nggak baik, Zi?" Edward memastikan sekali lagi. Padahal yang sebelumnya udah dijawab.

"Iya, nggak baik." Zia mengakui. "Aku tau kok, Om. Tadi refleks aja kepikiran itu. Soalnya penasaran dari dulu."

"Kalo udah tau nggak baik, harusnya nggak perlu penasaran."

Ya, namanya juga penasaran, batin Zia. Dia sering dengar temannya clubbing. Katanya nggak bahaya kok. Sama para pacar dan teman. Pokoknya orang terpercaya, jangan orang asing. Di sana nggak diwajibkan minum alkohol apalagi sampai mabuk. Greentea dan soft drink bisa jadi opsi.

Temannya nggak ada yang sampai teler. Orang paginya waktu masuk sekolah aja segar bugar. Entah itu beda tempat clubbing atau gimana. Zia kurang paham. Katanya sih sejenis pub atau bar gitu. Cuma joget-joget, hampir mirip seperti karaokean. Zia dengarnya cuma itu dari cerita temannya.

Jadi, sebagai remaja yang tumbuh dan berkembang, Zia kadang-kadang penasaran juga. Ingin mencoba tapi nggak berani. Bilang ke Ogi bisa dimarahin satu abad. Bilang orang tuanya bisa-bisa dikurung di rumah dan disuruh home schooling atau private schooling biar nggak aneh-aneh.

Mumpung ada kesempatan ditawarin Edward. Zia memanfaatkan itu. Walaupun ujungnya ditolak juga. Dia sebenarnya sudah memendam penasarannya. Tapi karena kemarin ngintip dari pintu ke arah dalam yang walau gelap tapi kelihatan gemerlap banget, Zia jadi ingin tahu. Di dalamnya seperti apa? Sampai-sampai laki-laki yang disukainya ini rela mabuk-mabukan.

Iya, Zia cuma ingin tahu dunianya Edward aja. Itu inti dari semua omong kosongnya tadi.

"Kita pulang sekarang ya?" Lagi-lagi suara Edward terdengar hati-hati. Harus beneran hati-hati kalau ngobrol sama Zia. Kepleset dikit, bisa nangis.

"Iya, Om." Zia mengangguk.

Baru juga menyalakan mobil, Edward teringat sesuatu. Dia urung menginjak gas. "Kamu nggak ada keinginan mau beli apa, Zi? Makanan atau apa? Kita bisa ke supermarket dulu."

"Enggak, Om. Lagi nggak pengen apa-apa," balas Zia. Dalam hatinya tertawa senang. Edward kira dia akan minta belanja ke supermarket, terus itu dihitung sebagai kompensasi atas janji mereka pengganti clubbing kan? Dikiranya Zia bodoh atau gimana? Padahal baginya, niat Edward ketebak banget. Takut info bocor ke Ogi. Pecah persahabatan keduanya.

"Atau ... baju deh. Mau?" Edward menego lagi.

Zia makin ketawa dalam hati. Pengen sih nyeplos bilang mau hp baru, motor, mobil, atau rumah sekalian. Tapi itu konyol. Yang ada malah bakal ketahuan semua orang kalau Zia dikasih tutup mulut. Lagian, Edward nggak mungkin nawarin hal seperti it—

"Atau unit apartemen?" Edward tepat memotong monolog Zia dalam hati.

Jelas sukses membuat cewek itu melongo. Kaget. Dia tadi melakukan denial kalau Edward akan menawarkan itu, kenapa jadi bentuk manifesting begini?

"Mau?" Edward seperti mendapat angin segar. Ekspresi Zia kayaknya menandakan iya.

"Terus aku harus bayar sewanya sendiri gitu?" Suara Zia meninggi. Ide Edward di luar nalar.

"Itu unit akan saya beli atas nama kamu. Bukan sewa. Saya bisa urus semua. Gimana?"

Makin lebar pelototan Zia. Dikira beli unit terus ditempatin, udah selesai? Kan tetap banyak biaya abcdef sampai z segala macam. Dia yang belum berpenghasilan mana mungkin bisa mengurusnya.

"Om," cicit Zia. Nggak sanggup berkata-kata lagi. Dia nggak pernah mengira akan ditawari unit apartemen di usianya yang masih 18. Abangnya aja masih sewa apartemen. "Aku nggak mau, nanti ketauan," gelengnya.

Edward menjatuhkan punggung ke sandaran. Secercah harapan tadi redup seketika. Iya juga. Kalau dalam bentuk barang yang besar dan bernilai, bisa ketahuan.

"Lagian kenapa ngotot banget ngasih kompensasi segala? Udahlah, Om. Aku juga nggak akan bilang Bang Ogi kok. Santai aja."

Omongan bocah kayak Zia emang bisa dipercaya? Ingin rasanya Edward menanyakan itu, tapi jelas akan membuat Zia ngambek nanti.

"Ya udah kalo Om nggak percaya. Gini aja deh." Zia berusaha memberi ide. Dia memberanikan diri memutar tubuh menghadap lelaki di sampingnya. Edward keliatan bingung juga, beneran takut kayaknya kalau dia bocorkan informasi ke Ogi. "Nanti tengah malam biasanya aku sering laper mendadak. Om bisa kan pesenin aku makanan?"

"Kenapa harus tengah malam, Zi? Saya—"

"Malem deh kalau gitu." Ih, kenapa jadi Edward yang nawar? Harusnya kan Zia boleh minta apa pun tanpa syarat.

Edward terdiam beberapa saat. Ketukan jemarinya di setir menjadi tanda kalau dia lagi berpikir. Kalau tengah malam, dia tidak yakin bisa stay buat nungguin kapan orderin Zia makan. Tapi kalau malam, masih bisalah. Jadi dia mengangguk.

"Deal, Om?"

"Ya." Edward memberi anggukan lebih yakin. "Jadi fix, dengan saya nurutin mau kamu ini, artinya kita udah membuat kesepakatan dan janji. Nggak boleh ada yang melanggar, oke?"

"Oke." Zia menyetujui. Repot banget ya bikin kesepakatan sama om-om. Ribet. Nggak gampang percaya modal omongan. "Nggak sekalian pake meterai sepuluh ribu, Om?"

Edward mulai melajukan mobil. "Nggak perlu. Saya percaya kamu."

Zia tahu ini sejenis disogok alias disuap. Untung saja Edward tidak menawarinya uang. Bisa dia bantah habis-habisan nanti. Berasa disuap beneran.

"Ogi belum balik jam segini?"

Zia memasang seatbelt. Dia menggeleng. "Biasanya belum."

"Di apartemen ada siapa?"

"Kak Key aja." Dari sudut matanya, Zia mengamati Edward yang tidak berubah ekspresi sedikit pun. Masih terlihat tenang saat kecepatan mobil mulai bertambah karena sudah keluar area parkiran. "Om," panggilnya ragu.

Edward menoleh sekilas, meski tidak menjawab.

"Kak Key mau balik ke Surabaya besok."

"Terus?"

"Om ... nggak mau lanjut pedekate, gitu?" tanya Zia. Padahal itu seperti menyiramkan hatinya yang terluka dengan air jeruk. Periiih. Agak berlebihan sih, tapi Zia memang hara-harap cemas dengan jawaban Edward.

"Siapa yang mau pedekate?"

Nah, kenapa malah tanya balik begini? Zia jadi bingung sama cara penyampaian orang dewasa. Jelas-jelas dia dengar Edward ngincar Key, apalagi saat itu terang-terangan bilang ke Zia minta nomor Key. Sekarang pura-pura lupa siapa yang mau pedekatein siapa?

"Kamu emang belum nyampe ke obrolan orang dewasa, Zi," kekeh Edward saat mendapati keterdiaman Zia. "Hal begitu kok dianggap serius."

"Jadi Om Edi nggak serius?" Tanpa sadar nada bicara Zia lebih antusias. Untung aja tepat saat itu Edward menyalakan musik yang cukup keras.

"Bercandaan aja itu." Edward mengecilkan volume musik. Tau kalau Zia menatap ke layar dashboard sambil mengernyit, dia langsung paham. "Mau ganti playlist?" tawarnya.

"Lagu favoritnya Om Edi yang keras-keras gitu ya?" Zia bertanya sambil menahan tangannya untuk tidak menutup kuping. Itu genre apa sih? Kenapa nggak masuk sama sekali di telinganya. Yang ada, kepalanya jadi pening.

Edward terkekeh. "Biar nambah semangat aja pake lagu itu. Nggak apa-apa kalau mau kamu ganti."

Ini pertama kali dalam hidup, Edward membiarkan seseorang merecoki playlist di mobil. Sebelum ini, keluarganya tau apa yang setia menemani perjalanan Edward kalau menyetir. Mereka sangat menghargai dan tidak akan protes, mentok hanya minta dikecilkan volume aja karena nggak semua satu selera.

Tapi demi tuan putri cantik dari istana yang sayangnya berwujud bocil Zia, Edward rela. Biarkan cewek itu melakukan apa yang disukai, yang bikin senang.

"Emang nggak apa-apa, Om?" Zia memastikan. Ini kan mobilnya Edward. Yang nyetir juga Edward. Jadi Zia harusnya nggak ada hak buat gonta-ganti seenaknya.

"Nggak apa-apa."

"Matiin aja deh, Om, kalo bisa. Aku agak pusing dengernya."

"Ganti ke playlist kamu aja. Saya gampang ngantuk kalo mobil sepi."

Zia menggerutu dalam hati. Emang Zia kurang asyik diajak ngobrol? Padahal kalau Edward mau, Zia bisa jadi teman bicara yang dibutuhkan sepanjang perjalanan. Nonstop sampai berbusa juga diladenin selama itu buat Edward.

Astaga, Zia perlu berhati-hati untuk mengontrol hati mulai saat ini. Dibiarkan lepas sedikit malah terjun bebas. Bisa bahaya, nanti kalau beneran bertekuk lutut ke Edward, dia juga yang repot.

Jadi daripada berdebat, Zia nurut. Dia mengganti lagu dan seketika musik pop mendayu di dalam mobil. Mengamati ekspresi Edward dari samping, dia mencebik. "Om ngetawain pilihan laguku ya?"

Edward mengernyit, menatap Zia. Lalu terkekeh. "Bukan gitu, Zi. Justru saya udah bisa nebak apa yang mau kamu putar. Anak zaman sekarang kan memang sukanya lagu-lagu begitu."

"Emang Om Edi anak zaman kapan?"

Edward berdecak. Diingatkan perbandingan umur yang jauh, membuatnya bete mendadak. "Yang pasti saya udah bisa berpikir normal waktu kamu masih turun naikkan ingus. Terus nangis waktu Ogi lap ingus kamu."

"Kok dibahas mulu yang itu, Om!" teriak Zia tidak terima.

Edward mencibir. "Saya harus bahas apa? Kostum botol kecap?"

Zia loading. Beneran, dia nggak paham maksud kostum botol kecap yang Edward maksud. "Botol kecap apa?" tanyanya.

Edward tertawa lihat raut polos Zia yang kebingungan. Sengaja dia menyentil pelan dahi Zia dengan jari telunjuknya. "Nggak usah diinget. Cukup saya dan keluarga saya aja yang inget."

Bukan Zia namanya kalau nggak bisa mengorek informasi. Dari cara Edward menatapnya, udah pasti itu hal memalukan di masa lalu Zia. Tapi serius, dia nggak ingat sama sekali. Nanti akan dia cari tau sendiri.

"Nanti saya ikut masuk ke apartemen Ogi ya," kata Edward di tengah perjalanan, setelah mereka saling berdiam diri.

"Ngapain? Mau ketemu Kak Key?"

Edward giliran mengernyit. Kok bahasnya Key terus? "Anterin kamu lah. Nanti kalau kamu nekat kayang lagi, nggak ada yang bisa nangkep badan kamu yang kecil itu. Bisa retak tulang-tulangnya kalau nyentuh lantai."

"Aku nggak kecil." Zia jelas protes.

"Bagi saya kamu tetap anak kecil, Dek Zia."

Daripada emosi, Zia memilih diam dan mengalihkan pandangan ke samping. Biarin Edward dengan kekehannya sendiri. Kata orang, laki-laki lihat fisik. Maksudnya ... dari fisik pun kelihatan kalau Zia bukan lagi anak kecil. Dia 18, hampir 19 malah. Kenapa Edward nggak bisa memandangnya sebagai lawan jenis pada umumnya? Kenapa harus melihatnya sebagai adik?

"Aku bisa loh, Om, kalau jadi cupid. Siapa tau Om Edi mau pedekate sama Kak Key," saran Zia. Dia hanya bisa itu. Sebagai remaja yang belum terlalu jauh memikirkan sebuah hubungan, dia pikir membiarkan Edward bersama Key adalah keputusan yang tepat. Perasaan Zia bisa luntur pelan-pelan, apalagi kalau bersanding dengan sepupunya. Rasa tidak enak hati juga bisa jadi alasan kuat untuk move on.

"Itu obrolan bercandaan aja, Zia." Edward malah jadi panik, takut Zia beneran comblangin sama Key. Soalnya dia juga belum ada niat sampai sana. Apalagi sama Key. Di awal memang kagum, melihat bagaimana dewasanya Key di pandangan pertama. Tapi ... ya, itu hanya rasa kagum biasa. Seperti angin segar setelah lama tidak menemukan kedewasaan semacam itu.

Percakapan antara keduanya kembali terhenti. Tidak lama kemudian, mobil terparkir di basement apartemen.

"Ingat ya, nanti malam harus bilang ke saya kalau mau makanan apa." Edward menagih janji. Biar clear semua urusan dengan Zia setelah ini.

"Iya, Om."

"Dan jangan clubbing."

Zia melepas seatbelt dengan santai. "Itu di luar kesepakatanku sama Om loh. Jadi harusnya Om Edi nggak perlu janjiku buat nggak clubbing."

Edward membelalak. Apa maksudnya? Dia menyusul Zia yang sudah lebih dulu turun. Melangkah tepat di sampingnya. "Saya cuma nasihatin kamu, Zi."

"Makasih nasihatnya, Om." Zia tersenyum kecil.

"Kamu ... nggak beneran niat clubbing kan?"

"Nggak tau. Belum tau juga." Zia memang menjawab jujur. Dalam hati sebenarnya tidak ada keinginan, tapi kalau ada kesempatan untuk masuk satu centi aja ke dalam club, dia mau. Penasaran. Tapi nggak pengen sampai dalam-dalamnya. Cuma mampir pintu aja. Mengamati kenapa orang-orang suka ke sana. Padahal nggak ada faedahnya. Dia tau. Tapi boleh nggak sih sama bapak-bapak penjaganya kalo cuma masuk semenit di balik pintu?

"Kamu pasti paham, Ogi bisa marah kalau kamu nekat clubbing." Edward memilih kalimat lain. Lebih halus, lebih lembut, biar sampai di otak bocah itu. "Kalau saya punya adik perempuan juga nggak akan saya izinin ke sana. Kamu adiknya Ogi, saya anggap adik saya juga. Semoga kamu ngerti kenapa saya bilang ini ya, Zi."

Zia mengangguk. Di lift, dia mendongak menatap Edward dari samping. "Makasih nasihatnya, Om," ulangnya. Sama seperti tadi.

Jawaban yang justru makin membuat Edward resah. Kenapa cewek itu nggak jawab dengan 'iya, aku nggak akan pernah clubbing'. Atau kalimat yang bisa membuat khawatirnya mereda?

Edward tau persis, insiden penjemputannya di club itu juga jadi alasan kuat Zia ngebet clubbing. Penasaran, khas anak remaja. Makanya dia merasa bersalah kalau Zia beneran ke sana.

"Om ikut masuk atau sampe pintu aja?" tanya Zia begitu mereka sampai di pintu.

"Sampai sini aj—" Kalimat Edward tidak selesai. Karena setelah Zia membuka pintu, ada beberapa hal yang membuat mereka berpandangan. "Ogi udah balik?"

Zia mengerjap. Biasanya jam segini belum. Tapi kok itu ada tas di lantai, kunci mobil juga berserak nggak karuan, lalu jas di atas meja. Yang jelas punya Ogi.

Keduanya tersentak bersamaan, takut terjadi apa-apa sama Ogi. Baik Edward maupun Zia sama-sama melangkah cepat ke arah pintu kamar yang tidak tertutup rapat. Biasanya kamar itu ditempati Ogi, tapi berhubung Key menginap, jadi wanita itu yang di sana. Ogi tidur di ruang tengah karena kamar satunya dipakai Zia.

Langkah mereka terhenti bersamaan, ketika mendengar percakapan dari dalam sana.

"Lo ngapain tiba-tiba balik, Gi?"

"Bilang ke gue kalo Edward nggak ke sini tadi. Nggak kan?"

"Enggak, astaga. Gue dari tadi sendirian. Lo kenapa sih?"

"Masih tanya kenapa? Gue takut lo kepincut sama dia lah!"

"Nggak akan. Nggak ada yang bikin gue kepincut dari dulu kecuali lo, Gi. Ck. Aneh banget sih lo!"

Edward dan Zia saling melempar tatapan.

"Mereka ... pacaran?" Edward sampai nggak bisa berkata-kata. Sumpah, dia tahu perjalanan cinta sahabatnya. Terakhir pacaran waktu awal kuliah, setelah itu jomlo lama banget. Tapi sama sekali tidak menyangka ada hubungan istimewa dengan sepupu sendiri.

"Aku nggak tau, Om." Zia juga kaget. Dia memang udah nggak satu atap dengan sang kakak beberapa tahun terakhir. Tapi ... masa sepintar ini Ogi dan Key menyembunyikan dari keluarga besar?

"I hope so. Tapi gue nggak bisa berhenti khawatirin itu, Key. Maafin gue."

"Apa lo?! Nggak usah deket-deket. Abis nuduh nggak jelas gitu minta jatah? Semalem udah, kemarin kemarin malamnya juga udah. Enak aja!"

"Kan besok kita LDR lagi, Key."

"Bukan urusan gue. Awas lo, nggak usah grepein gue, Ogi!"

Selanjutnya, Edward refleks menutup dua telinga Zia dengan telapak tangannya. Gila, nggak cukup dengan kejutan sepupu zone, Ogi dan Key ternyata hobi begituan juga. Pantesan Ogi nggak keliatan ngebet pengin asah pusaka padahal umur udah 30.

Dulu Edward mikir kalau itu mungkin karena Ogi suka jajan di luar buat menuntaskan hasrat. Ternyata malah lari ke sepupu sendiri.

"Om, sakit," keluh Zia saat merasakan telinganya ditekan terlalu kuat. Dia menepuk pelan lengan Edward agar terlepas. Lalu dia berbalik.

Eskpresi Edward membuat hati Zia menciut. Yah, Edward kelihatan patah hati ya? Kasihan juga. Walaupun hati mungilnya lebih perlu dikasihani.

"Om nggak apa-apa?" Zia mendongak, berbisik saat menanyakannya.

Edward yang baru tersadar, akhirnya menunduk dan membalas tatapan Zia. Dia menggeleng. "Kaget dikit aja," kekehnya.

Kagetnya karena ... sialan, Ogi nggak cerita apa pun selama ini?!

"Sabar ya, Om. Kadang cinta emang nggak harus memiliki kok." Zia berlagak menenangkan. Baginya, Edward pasti kecewa karena yang mau digebet malah ternyata pacar dari sahabatnya sendiri. Ribet.

Edward tidak mengindahkan itu. Dia mengusap punggung Zia agar mengikutinya duduk di sofa. Kayaknya di dalam kamar tidak jadi ada pertempuran. Justru aksi bujuk membujuk yang membuat Edward sedikit geli. Ini Ogi, yang dia tahu gaya pacarannya kalem banget. Ternyata ... nafsuan juga. Parah.

Dan ... hal yang membuat Edward cukup kaget juga. Suara Key saat bicara dengan Ogi juga beda. Terkesan agak manja gitu. Padahal dia pikir di awal, wanita seperti Key tidak akan mengubah kepribadian hanya karena lelaki.

Hm, contohnya ... Gwen. Iya, Edward ingat Gwen tidak pernah menunjukkan sedikit pun sisi manja. Edward pernah menanyakan itu, tapi keteguhan Gwen yang bilang bahwa seperti itulah adanya cara orang dewasa bersikap, otomatis dia berpikir hal yang sama.

Orang dewasa nggak akan manja-manjaan begitu.

"Zi, saya pulang duluan."

***

Sepanjang malam, sepanjang hari, sampai sore ini, Edward masih mendapat teguran dari sang papa. Fokusnya ke meeting sangat berantakan. Entah kenapa dia kepikiran Zia yang ingin clubbing.

Edward pernah melewati masa muda. Seumuran Zia. Di mana rasa penasaran masih menggebu jika tidak dituntaskan. Apa Zia beneran akan clubbing? Sama siapa? First time clubbing tidak bisa dengan sembarang orang. Kalau diapa-apain gimana?

"Arg!" Edward mengacak rambutnya dengan frustrasi.

Gara-gara semalem pesenin makanan untuk Zia, fokusnya jadi terpecah. Dia kepikiran lagi ucapan Zia tentang penasaran.

"Apa gue kabulin aja maunya?" Edward bermonolog. Ini masih bagian dari tanggung jawabnya. Ingat, semua berawal dari mabuknya yang berakibat fatal. Membuat Zia melihat sisi lain di dunia malam. "Biar beres penasarannya dan nggak bakal mau lagi. Iya, kayaknya gue ajak aja ke sana."

Cepat, Edward meraih ponsel di saku. Setelah ingat sesuatu, dia berdecak. Salah ponsel. Ini ponsel pribadi. Tangannya meraih benda pipih di laci meja dan mengirimi Zia pesan.

Edward
Zi, ayo saya temenin clubbing.

Adeknya Ogi
?

***

Zia sudah bersiap di depan cermin. Meringis sendiri lihat pantulan itu. Gila, ini terlalu berani. Tapi dia percaya sama Edward. Lelaki itu sangat baik dan pasti akan melindunginya. Lagi pula, ini namanya Edward yang ngajak. Bukan Zia lagi.

"Om Edi pasti sakit hati banget tau kenyataan siang tadi. Makanya stres terus mau clubbing," gumam Zia saat melihat pesan yang lelaki itu kirimkan.

Omong-omong, keduanya masih pura-pura tidak tahu tentang hubungan Ogi dan Key.

Sebuah pesan masuk di ponsel membuat fokus Zia teralih.

Om Edi HAHAHA
Usahain warna gelap. Black ok.

Zia
Yaaa, udah terlanjur warna ijo om.

Om Edi HAHAHA
Ijo apa?

Zia membalas sambil membenarkan tali di bahunya.

Zia
Sange

Om Edi HAHAHA
Zi? U serious?

"Apa sih om-om it—HAH?" pekik Zia saat sadar apa yang dia kirimkan tadi. Cepat-cepat dia balas lagi.

Zia
Om, maksudku sage
Hijau sange
*sane
*sanhe
*sange
S A G E

"SIAALAAAANNN!" Zia berteriak, mumpung tidak ada orang di apartemen. Dia ganti pesan suara aja daripada salah paham. "Om, ijo sage."

Om Edi HAHAHA
Ganti black. Bisa? Jgn yang terang
Tapi kalo dark green masih oke

ZIA
Iya om. Aku ganti hitam aja

Om Edi HAHAHA
Send me ur pic. Asap.
Saya bentar lg otw

Oh, jadi Zia harus nge-PAP maksudnya? Kenapa jadi deg-degan begini. Ini bukan yang pertama kali baginya. Tapi kalo ke Edward takut dibilang alay gayanya, atau segala macam. Karena dia nggak satu pandangan sama Edward kadang-kadang.

Tapi ... Zia nekat mengirim foto pantulan dirinya di cermin. Tidak terlihat jelas sebenarnya. Sengaja. Biar Edward hanya lihat warna bajunya aja.

Om Edi HAHAHA
Bagus, Dek Zia.

Kaaan? Mau se-effort apa pun Zia, ujungnya dibilang dek juga. Makanya Zia malas-malasan disuruh nge-PAP.

Om Edi HAHAHA
U ready?

Kalau boleh jujur, enggak. Tapi demi nemenin Edward yang patah hati, mau nggak mau di-ready-in aja.

🧚🏻😩

Belum clubbing gesss

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top