Vol. 07 -- A Thing
Sebagai seorang anak kelas Bahasa, Domi mencoba menjadi berguna di waktu yang benar-benar dibutuhkan ini. Informasi, menjadi sebuah hal penting saat semuanya tidak mengetahui arah dan kondisi sebenarnya. Di dalam ruangan yang tiba-tiba dingin tersebut, ketiga remaja bingung berkumpul dalam keheningan.
Yugo dan Valentino masih mencoba menunggu penjelasan dari Domi yang kini sedang mengingat-ingat sesuatu. Domi seakan-akan sedang menyusun kalimat dan merangkum agar semuanya terkesan sederhana. Meski sebenarnya pada saat itu tidak ada yang bisa diujarkan secara biasa saja. Semuanya berjalan aneh.
"Mereka ngomongin aturan sama sistem," bisik Domi setelah beberapa menit terdiam dalam tutup matanya. "Gue gak tau persis detailnya apa, tapi gue yakin sama beberapa hal yang mereka omongin."
"Apa itu?" Yugo menggeser sedikit posisi duduknya untuk lebih dekat dengan Domi.
"Bukan berarti mereka menyelesaikan seluruh perlombaan, tetapi bagaimana mereka bisa bertahan sampai bisa mengalahkan semuanya." Domi mengatakan kalimat tersebut dengan tempo yang pelan, dia memastikan kalau tidak ada yang salah dalam kalimat ambigu tersebut.
"Hah? Apa gimana?" Yugo pun tersentak dengan perkataan itu.
"Bentar, kayak ada yang aneh." Valentino menimpali, "Coba, coba, omongin lagi." Lelaki itu memiringkan kepalanya sebanyak empat puluh lima derajat.
Domi mengulang kalimat tadi dengan tempo yang masih sama.
"Kalo itu pake arti secara harafiah, berarti kita gabisa menang bareng-bareng, kita harus jadi one last standing. Tapi, gue yakin bukan itu maksudnya." Valentino bergumam sambil mencerna serangkaian kata yang aneh itu.
"Ada yang salah ga sama artinya, Dom?" Yugo memastikan.
"Gue juga gak yakin, Yug. Gue gak fasih ngomong Jepang." Sambil menggelengkan kepala, Domi mengangkat kedua telapak tangan tertanda tidak tahu.
Ujaran yang Domi ungkapkan membuat Yugo dan Valentino merasa tambah bingung, alih-alih membantu, perkataan tersebut malah memperkeruh suasana dengan rasa canggung. Domi sebenarnya merasa bersalah telah mengaku kalau dia mengerti beberapa hal, tetapi dia tidak bisa berbohong dan menyimpan semua kebingungannya itu sendirian. Benar, Domi berbagi kesulitan pada Yugo dan Valentino.
Karena situasi saat itu berubah canggung, ketiganya pun memutuskan untuk tidur di lantai antara ranjang satu dan dua paling dekat dengan pintu keluar. Yang mana, ranjang tersebut adalah ranjang pasien tempat Yugo dan Domi diobati oleh Valentino tadi. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mereka tertidur. Rasa lelah, segera mengantarkan ketiga remaja tersebut lelap di bawah alam sadarnya.
Ting!
[Notification! Play 'Hari Merdeka by Husein Mutahar']
[Alert! Tujuh belas Agustus tahun empat lima, itulah hari kemerdekaan kita.
Hari merdeka, nusa dan bangsa.
Hari lahirnya bangsa Indonesia, Mer-de-ka ...,]
Bergema di seluruh seisi langit, lagu 'Hari Merdeka' kembali dikumandangkan. Tidak hanya satu putaran, tetapi tiga putaran sudah terlalui. Seolah-olah menjadi alarm untuk membangunkan siapa pun dari tidur.
Valentino adalah orang pertama yang bangun ketika lagu tersebut diputar pada putaran pertama. Kepalanya seperti mau pecah, terasa pusing, dan matanya berkunang-kunang. Si lelaki penderita darah rendah itu merasa seluruh badannya remuk, sehingga satu peregangan adalah hal terbaik yang bisa dia lakukan.
Hari beranjak pagi secara tiba-tiba. Tidak, bukan tiba-tiba, tetapi memang merekanya saja yang kelelahan. Valentino mencoba membangunkan Yugo dan Domi. Pada putaran kedua lagu 'Hari Merdeka' itu, hanya Domi yang berhasil bangun, sedangkan satu laginya masih tertidur pulas dengan mulut menganga. Dengkuran Yugo seakan-akan mengatakan kalau lelaki itu sedang menjelajahi mimpi indah di dunia fantasi.
Satu aksi yang ampuh untuk membangunkan Yugo, akhirnya dilancarkan oleh Valentino. Dia menyiram Yugo dengan sebotol air yang berisikan air suling. Air tersebut biasa digunakan oleh perawat UKS untuk mengkalibrasi atau netralisasi alat kesehatan bukan sekali pakai di ruangan tersebut. Ya, berhasil, Yugo pun bangun. Pasalnya, Air suling tersebut tidak akan berpengaruh apa pun jika terkena kulit, selayaknya air biasa.
"Bangsat, berisik banget sih, anjir!" Kata-kata kasar tidak luput keluar dari lelaki sanguinis tersebut.
"Bangun, ini lagu udah diputer tiga kali puteran." Valentino menarik tangan Yugo dengan paksa, agar sahabatnya tersebut bisa terduduk.
Domi tidak memerhatikan kondisi kedua temannya, dia sedari tadi sudah terbangun dan berjalan menuju jendela. Melihat kondisi di luar yang ternyata sudah ramai orang. Padahal, hari sebelumnya seolah-olah hanya mereka bertiga yang tersisa hidup.
"Go, Val, sini buruan!" panggil Domi dengan nada antusias tetapi bermakna negatif.
Yugo dan Valentino pun segera menghampiri Domi. Yugo yang tadinya masih uring-uringan pun mendadak segar karena apa yang dia lihat di luar. Mata Yugo terbelalak ketika dia melihat berpuluh-puluh mungkin beratus-ratus orang ada di hadapannya. Lapangan upacara yang sempat kembali ke kondisi semula, kini sudah berubah lagi menjadi lapangan luas entah berapa hektar.
"Ayo keluar!" ajak Yugo dengan semangat membara.
"Bentar, jangan buru-buru," sanggah Valentino. Domi hanya mengangguk tertanda setuju pada lelaki keturunan Indo-Belanda ini. "Kita gak tau bakal ada apa abis ini."
"Ah, lu pikiran negatif doang. Liat, noh!" Yugo benar-benar menunjuk ke seberang lapangan yang sangat jauh.
Saat Valentino dan Domi memfokuskan tatapan mata, keduanya langsung bertukar pandangan. Sama-sama tersenyum dengan lebar dan tanpa basa-basi menyetujui ajakan Yugo semula.
Yugo membuka pintu UKS. Dia melangkah secara santai dengan Valentino dan Domi mengikuti di belakang. Melewati orang-orang yang terlihat semi asing semi familiar, mereka hanya fokus pada destinasi tujuan yang secara tidak langsung sudah ditetapkan atas kesepakatan bersama.
Pagi itu terasa cukup sejuk, berbeda dengan hari-hari biasa di SMANTUBA yang sangat panas. Mengingat meski SMANTUBA adalah sekolah favorit, letaknya di dekat laut menjadikan sekolah ini memiliki hari-hari yang panas. Namun, jika digambarkan, pada saat ini SMANTUBA mengalami pelebaran beratus kali lipat dari ukuran luas biasanya.
Pemikiran terkait kejanggalan tersebut tidak masuk ke rongga otak ketiga anak yang masih berjalan menyelinap di antara kerumunan orang itu.
Sampai akhirnya mereka sampai di area yang dimaksud. Di sana terdapat tenda-tenda berjajar dengan kondisi yang rapi, dan pada setiap tenda mengeluarkan aroma yang khas. Tenda tersebut adalah kedai-kedai bazar yang menyajikan berbagai jenis makanan. Tipe makanan beragam, mulai dari makanan lokal, makanan Jepang, bahkan makanan dari Eropa pun ada. Inilah tempat yang membuat mereka seolah-olah terhipnotis.
"Lu ada uang berapa?" tanya Yugo sambil merogoh-rogoh saku celana abu-abunya.
"Ini bukannya gratis? Noh," ucap Domi sambil menunjuk ke arah plang yang terpampang di setiap kedai di sana.
Suasana sangat ramai seperti sedang ada acara bazar yang biasa diselenggarakan di kota-kota besar. Namun, orang-orang di sana hanya berbincang dengan kelompok-kelompok kecil yang mereka buat saja. Layaknya Yugo yang hanya berbicara dengan Valentino dan Domi.
Melihat kalau ini adalah serbagratis, Yugo—si anak tiga persen lemak—hampir lupa kalau dia harus menghitung jumlah kalori yang masuk ke tubuhnya. "Ah anjir, gue lupa kalo harus jaga pola makan."
"Mampus, makanya jangan sok sokan diet, deh." Dari belakang, Valentino tertawa melihat keluhan sahabatnya sendiri. "Gapapa lah, sekali-kali lu makan enak. Tuh, ada sushi, ada nasi padang, ada sate, beuhh rugi lu kalo gak makan. Gratis, uy!" goda Valentino sambil menepuk pundak Yugo perlahan.
"Gak lah, rusak nanti badan gue, Val." Benteng pertahanan Yugo masih tebal ternyata, godaan Valentino tidak berhasil mengenai dirinya. "Lu sama Domi lah buruan mau makan apa?"
"Hmm, apa ya? Dom, lu mau apa?" tanya Valentino.
"E-engga deh, Val, gue gak laper juga." Domi menjawab pertanyaan Valentino dengan gugup.
"Lah, kenapa lu?" Yugo menghentikan langkah dan menoleh ke arah Domi.
Lelaki 170 sentimeter tersebut menggeleng, "Enggak, ah, lu aja Val."
"Yaudah, gue juga enggak, deh." Valentino pun dengan enteng berujar ketidakinginannya untuk makan.
"LAH TERUS KENAPA KITA KE SINI?" Yugo pun naik pitam, emosinya tiba-tiba memuncak. Namun, mimik muka Yugo seperti anak kecil yang kecewa karena tidak mendapatkan apa yang dia inginkan di toko mainan.
Valentino dan Domi justru tertawa melihat kelakuan Yugo. "Kita kan cuma ngikutin lu doang." Valentino menimpali sambil terkekeh.
Bekas darah di hidung dan robekan ujung bibir Yugo, serta kaki melepuh Domi seolah-olah terabaikan. Rasa sakit dan rasa pegal yang mereka rasakan seakan-akan hilang. Hal ini sempat menyita perhatian Valentino, ketika dia melihat Domi berjalan normal lagi. Namun, saat Valentino bertanya pada Domi, lelaki itu menjawab alakadarnya seperti 'ya, udah mendingan'.
Ketika remaja tidak jelas itu pun akhirnya hanya mengambil tiga botol air mineral dan duduk di salah satu bangku taman di ujung lapangan. Perjalanan dari ujung ke tengah ke ujung lapang lagi benar-benar memakan waktu sebenarnya, tetapi tidak ada rasa letih yang mereka rasakan, padahal jaraknya itu cukup jauh. Hanya ketika mereka sampai di bangku taman dan duduk, rasa tersebut baru terasa.
"Dom, lu kenapa sih?" Meski Valentino sebenarnya tidak mengenal dekat Domi di kehidupan nyata, dia tetap merasa ada yang berbeda pada temannya itu.
"Gapapa, Val, gue aman aja kok." Jawaban Domi selalu singkat. Suasana hati Domi yang semula riang di tengah lapang tadi tiba-tiba hilang. "Kalian nyadar gak sih? Orang-orang di depan kita ini, atau bahkan kita mungkin bakalan mati nanti."
Yugo dan Valentino yang semula sedang meneguk air minumnya pun langsung terdiam.
"Gue tiba-tiba kepikir, gimana perasaan orang-orang yang kemarin kita kalahin di lomba balap kelereng? Mereka mati gitu aja, tanpa kita tau gimana kerja kerasnya mereka buat menangin lomba itu," lanjut Domi.
Yugo menghela napas panjang, dia duduk di tengah dan Domi ada di samping kirinya. "Dom, lu harus tau, manusia itu gak bisa dapetin apa pun, tanpa ngelakuin pengorbanan. Liat? Kita mau dapetin kehidupan kita, ya kita harus korbanin sesuatu, kebetulan kemarin itu orang-orang yang sekarang udah meninggal yang harus kita korbanin." Yugo merangkul pundak Domi.
"Lu juga, liat noh, kaki lu bisa sampe kayak gini, karena apa? Karena lu mau hidup kan? Kaki lu jadi korban juga," tambahnya.
"Iya, Go, gue tau, gue ngerti. Tapi, lu mikir ga? Kalo misalnya nanti, abis kita menang-menang terus, nih. Alhasil sisa kita bertiga, nah, kalo akhirnya kita harus saling ngalahin gimana?"
Yugo hanya bisa terdiam membisu mendengar perkataan tersebut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top