Vol. 06 -- Soldiers in Uniform
Tertatih-tatih, Valentino yang menggendong Yugo dan Domi yang kakinya melepuh berjalan ke arah pintu keluar ruangan. Ketiganya melewati setiap tubuh yang tergeletak tak berdaya di seisi ruangan, terutama di daerah pintu. Orang-orang yang baru saja kalah dari permainan nomor sembilan; lomba balap kelereng.
Valentino melihat ke sana ke mari, bulu kuduknya berdiri. Dia tidak bisa menyangka kalau hidupnya akan ada di fase seperti ini. Benar, lelaki itu bahkan belum berumur delapan belas tahun. Sesekali Valentino mengamati dengan tujuan ingin tahu bahwa barangkali ada seseorang yang dia kenal. Namun, hal itu percuma, Valentino tidak melihat satu orang pun yang dia kenal atau bahkan pernah lihat di SMANTUBA.
"Dom, lu aman aja ini kaki?" tanya Valentino saat duduk matanya tertuju pada kulit kaki Domi yang mengelupas.
Lelaki rambut dengan gaya tentara itu membalas dengan anggukan di awal. "Tapi kayaknya ini bakal infeksi, deh."
"Kita harus cari obat." Valentino membuka pintu ruangan dengan tangan kanannya. "Ini si Yugo kenapa bisa pingsan gini juga coba."
Sejauh ini, baik antara Valentino atau pun Domi, tidak ada yang tahu dengan alasan kenapa Yugo bisa pingsan dan berdarah-darah. Namun, dari keduanya merasa tidak perlu terlalu khawatir selama mereka masih bisa merasakan napas dari Yugo.
Pintu ruangan dibuka, udara dari luar menyerbak masuk seolah-olah menyambut ketiganya dengan satu hal yang disebut dengan ketenangan. Udara menjadi sejuk saat mereka melangkahkan kaki ke luar ruangan. Di mana Valentino melihat ke arah langit yang ternyata sudah mulai gelap juga. Angin bertiup dengan kencang seakan-akan menusuk hingga ke tulang.
Valentino dan Domi tidak berhenti berjalan. Mereka berniat menuju UKS untuk mendapatkan setidaknya pertolongan pertama. Baru beberapa menit mereka keluar ruangan, satu hal yang juga baru disadari adalah kondisi lingkungan sekitar. Keduanya masih tidak mendapati satu orang pun di sana. Seolah-olah memang di SMANTUBA tersebut hanya tersisa mereka bertiga.
"Kok sepi, ya?" Domi bertanya dengan volume suara yang diperkecil.
Valentino mengangguk sedikit. "Ada yang aneh. Gak mungkin cuma kita doang yang selamat."
Keduanya terus berjalan sampai di tempat di mana UKS seharusnya berada. Ruangan yang kini ada di hadapan Valentino dan Domi ini terlihat gelap gulita, terlihat dari luar kalau ruangan tersebut tidak ada siapa-siapa.
"Tunggu, sebelum kita masuk ke lomba balap kelereng tadi, lu sempet liat kan kalo di lapangan ini ada tiang segede gaban?" tanya Valentino seraya menghentikan langkah.
Pasalnya, posisi UKS itu bersebelahan dengan lapangan upacara yang semula Valentino dan Yugo kira terdapat permainan panjat pinang. Namun, kini kondisinya hanya lapangan upacara berukuran sepuluh kali sepuluh meter saja, dengan tiang bendera ada di bagian tengah sisi utara lapangan. Hal tersebut menjadi kejanggalan yang terus bertambah.
Domi melanjutkan langkahnya dan mencoba membuka kenop pintu ruang UKS. Pintu tersebut tidak terkunci, sehingga lelaki dengan luka bakar di kakinya tersebut bisa langsung masuk. Valentino sambil masih menggendong Yugo, mengikuti Domi dari belakang.
Ruang Usaha Kesehatan Sekolah di SMANTUBA terbilang cukup lengkap dan luas. Luas yang mampu menampung lima ranjang kesehatan saling berhadapan itu, memiliki satu ruangan kecil sebagai ruang pemeriksaan. Terdapat lemari-lemari berisikan peralatan kedokteran dasar di pojok ruangan dan kotak P3K yang terpasang di samping pintu masuk.
Valentino membaringkan Yugo di ranjang yang paling dekat dengan pintu keluar. Begitu juga Domi, lelaki yang sesaat sebelumnya tidak mengeluh itu pun kini tidak kuat dan merasa sangat kesakitan. Domi segera duduk di ranjang samping Yugo. Sedangkan, Valentino sendiri yang paling sehat saatnya mengurus kedua teman dan sahabatnya.
"Dom, lu jangan tidur dulu, biar gue obatin," ujar Valentino.
"Boro-boro bisa tidur, lu tau? Gue malah berharap bisa pingsan kayak si Yugo ini." Domi mencoba mengangkat kakinya satu per satu ke atas ranjang, agar dia bisa meluruskan kakinya.
"Paham, paham. Udah lu diem dulu." Valentino pun berjalan mendekati Domi, dia membawa peralatan seperti obat merah dan alkohol untuk membersihkan luka di kaki Domi. "Kok bisa sampe segininya loh, Dom, Dom."
"Lu tau segimana panasnya kuah ramen dan segimana dinginnya es batu?" Domi meringis kesakitan, tetapi masih bisa dia tahan saat Valentino mulai melakukan aksinya.
"Anjir, panas banget, dong?"
"Iyalah! Gila aja, gue tahan lama-lama kagak panas, kan. Nah, tapi ya ternyata di kaki gue itu luka sampe melepuh gini, kaki gue mati rasa tadi tuh."
Valentino dan Domi berbagi cerita atas seluruh hal yang keduanya alami saat bermain perlombaan pertama tadi. Sampai akhirnya satu suara hampir membuat kedua remaja itu terkejut. Suara tersebut, tidak lain dan tidak bukan, berasal dari Yugo yang terbatuk dan menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
Namun, alih-alih keluhan yang keluar pertama kali dari mulut Yugo, justru gelak tawa terdengar seolah-olah terdapat sesuatu lucu menggelitik perut kotak-kotaknya. Valentino dan Domi sontak terheran-heran dengan perbuatan temannya itu. Benar-benar di luar nalar.
"Perasaan tadi yang luka idung sama mulut, deh, kok kayaknya otaknya ikutan korsleting," bisik Domi pada Valentino yang ternganga melihat kelakuan Yugo.
"Heh! Ngapa ketawa lu?" Valentino melangkah mendekati Yugo. Lelaki itu terkekeh tanpa suara, tetapi lama-lama terlihat menjengkelkan, sampai akhirnya Valentino pun menekan bagian luka Yugo.
"A-a-argh! Anjir, sakit tolol!" Yugo menepis tangan Valentino dengan kasar.
"Ya, lu kenapa ketawa gitu, kesurupan lu?" tanya Valentino lagi, dia merasa muak melihat Yugo yang seolah-olah mempermainkan dirinya.
"Makasih, ya, udah gendong gue dari dalem ruangan sampe ke sini. Gue nyenyak banget tidur." Perkataan selanjutnya yang keluar dari mulut Yugo benar-benar membuat Valentino naik pitam. Ternyata selama ini Yugo tidak pingsan, dia hanya berpura-pura agar bisa mendapat tumpangan gendong dari sahabatnya.
Namun, alih-alih marah, Valentino justru meneteskan air mata. Pertama kali Yugo melihat Valentino menangis di hadapannya. Sedetik kemudian, Valentino memeluk Yugo dengan erat sambil menangis sesenggukan. Yugo merasa kaget ketika mendengar sahabatnya benar-benar berurai air mata.
"Lu tau gue segimana khawatirnya? Gue takut lu mati, Yugo! Gue takut lu kenapa-kenapa tolol!" Suara Valentino terbata-bata diiringi dengan tangisannya. "Lu sahabat gue satu-satunya, gimana nanti gue bilang ke emak bapak lu kalo lu mati!"
"Heh, heh, Val. Lu tau sendiri gue kuatnya kayak gimana, kan?" Yugo mencoba melepaskan pelukan Valentino, dia menahan tubuh sahabatnya dengan kedua tangan. "Gue gak bakal mati semudah itu. Enak aja, seorang Yugo gampang dikalahin."
Dari seberang ranjang pasien, Domi hanya melihat dengan penuh perhatian pada kedua temannya. Domi tahu seberapa dekat Yugo dan Valentino sebagai sahabat. Bahkan, jika ada istilah yang membenarkan perkataan 'kalau saya mati masuk jurang, maka engkau ikut juga', itu bisa menggambarkan kondisi Yugo dan Valentino dengan sebenar-benarnya.
"Lu jangan mati, Yugo!"
"Engga, anjir, gue gak mati! Udah ah, ngapain lu nangis gitu. Malu diliat Domi, noh." Yugo mencoba menghibur sahabatnya ini. Bahkan, Yugo tidak mampu mengejek Valentino lebih jauh, karena sejujurnya di dalam hati Yugo dia pun merasa terharu dengan tingkah laku Valentino.
"Gak, kok. Gue gak liat apa-apa," ujar Domi sambil tersenyum kecil.
Di tengah sesi mengharu biru tersebut, satu hal yang kemudian membuat momen tersebut seketika selesai. Seluruh lampu SMANTUBA padam, termasuk lampu remang-remang di ruangan UKS. Yugo, Valentino, dan Domi langsung terdiam. Ketiganya menunggu satu aba-aba yang mungkin mereka bisa lakukan.
"Ssst!" Yugo mengeluarkan satu desisan untuk mengisyaratkan kedua temannya diam. "Denger itu?" bisiknya.
Belum habis lima detik setelah Yugo mengatakan demikian, suara hentakan kaki bersepatu seperti orang-orang yang sedang berbaris mulai terdengar dengan jelas. Yugo mencoba turun dari ranjang pasiennya, dia mengendap-endap ke arah jendela luar untuk melihat situasi. Sedangkan, Valentino dan Domi mematung melihat apa yang dilakukan oleh Yugo.
Seperti petir yang menyambar tepat di atas kepala mereka, segerombol orang berseragam tentara berjalan dengan tegas, berbaris, seolah-olah sedang melakukan patroli malam. Dari sekian banyak para tentara tersebut, terdapat satu orang yang mencolok perhatian Yugo. Dia mengintip dari jendela, tetapi tidak lama kemudian satu dari segerombol tentara tersebut menoleh dengan cepat.
Sial.
Yugo langsung berjongkok dan menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. Tidak berhenti sampai di situ, Yugo dengan jelas bisa merasakan kalau salah seorang yang menoleh ke arah dirinya tadi kini berada di depan pintu ruang UKS. Jantung Yugo berdebar sangat cepat, dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Bahkan, Valentino dan Domi sudah bersembunyi di kolong ranjang pasien juga sambil berusaha tidak membuat suara.
"Kono heya ni mada nemutte inai hito ga iru yōna ki ga suru." Suara tersebut terdengar sangat jelas, keluar dari mulut seorang wanita yang cukup tegas. Wanita tersebut berseru dalam bahasa Jepang yang berarti 'aku merasa ada seseorang di ruangan ini yang belum tidur'.
"Zehi chekku shite mite kudasai!" Suara lainnya terdengar memerintah untuk memeriksa ruangan.
Yugo sadar bahwa tidak mungkin kalau kedua orang yang berbincang di luar adalah orang Indonesia. Pasalnya, logat dan cara bicara mereka dalam bahasa Jepang sangat terdengar fasih. Namun, daripada memikirkan hal itu, ketiga remaja yang ada di ruang UKS tersebut seolah-olah paham dengan apa yang hendak terjadi selanjutnya. Mereka pun berpura-pura tertidur.
Pintu ruangan UKS terbuka dengan keras, bagaimana pun jika ada orang yang benar-benar tertidur sepertinya akan terbangun juga kalau mendengar suara tersebut. Langkah-langkah sepatu Pakaian Dinas Lapangan (PDL) terdengar memasuki ruangan. Yugo, Valentino, dan Domi dengan pasti tidak ingin tahu apa yang sedang terjadi di sana.
Anjir, bisa gak sih ini ngeceknya gak usah kedeketan?!
Yugo mengutuk dalam hati, saat dirinya merasakan ada hembusan napas yang menderu dan bayang-bayang seseorang yang berjongkok tepat di hadapan wajahnya.
Cukup lama tentara-tentara tersebut ada di dalam ruangan. Berbincang dalam bahasa Jepang yang tidak dimengerti oleh Yugo, sampai akhirnya salah satu mengatakan 'aman' dan mereka pun pergi meninggalkan ruangan UKS dengan pintu yang kembali ditutup.
Setelah beberapa tentara itu pergi, ketiganya tetap tidak bergerak untuk waktu yang cukup lama. Mereka lagi-lagi mengalami masalah kepercayaan. Berjaga-jaga kalau tentara tersebut masih ada di sekitaran ruang UKS. Meski mereka masih belum tahu konsekuensi apa yang akan mereka dapati apabila kedapatan masih belum tidur pada jam di mana mereka memeriksa.
"Yugo, Yugo," panggil Valentino dengan bisikan yang lumayan keras.
Yugo membuka mata secara perlahan. Saat dia tahu kalau situasi sudah aman, dengan cara merangkak laki-laki itu mendekat ke arah Valentino dan Domi.
"Mereka tadi ngomong apa, sih? Ada yang ngerti?" tanya Yugo seraya ikut berbisik.
Hening untuk beberapa saat, sampai Domi mengangkat pembicaraan. "Gue ada ngerti beberapa, sih."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top