Vol. 05 -- Game No. 9 Ends
"Domi, lu lama banget, anjir, buruan!"
Jarak antara Yugo dan Domi tidak lebih dari sepuluh meter, tetapi karena pergerakan Domi yang berliku-liku menjadikan sedikit lambat. Yugo yang sudah sangat berantusias pun ingin rasanya untuk berlari menghampiri teman satu timnya tersebut. Wajah Yugo berbinar, seolah-olah dia melupakan bahaya yang sudah menunggu di hadapannya.
Yugo melambaikan tangannya dengan satu pilihan sendok yang cukup mengejutkan. Dia mulai menjepitkan batang sendok tersebut di bibir saat Domi sudah benar-benar sampai dengan mimik muka yang kaget. Mata Domi yang memelotot berbalas dengan seringai di bibir Yugo.
Tanpa pikir panjang, Domi langsung mengoper kelereng tersebut kepada Yugo. "Lu gila atau gimana? Gimana bisa lu milih sendok sup, Yugo!"
Sedikit senyuman kembali tersungging tipis di bibir Yugo.
Ting!
[Congratulation! The yellow team successfully passed the second track]
Suara wanita dari langit kembali terdengar, dengan sontak Domi menoleh ke arah atas. Merasa tidak memiliki banyak waktu, Domi pun segera menjelaskan segala hal yang dia ingat atas perkataan dan pesan dari Valentino. Namun, entah Yugo mendengar atau tidak, lelaki itu terlihat tidak menghiraukan semua perkataan teman timnya.
Yugo sibuk menoleh ke sana ke mari, seolah-olah ada yang sedang dia amati atau dia cari. Tidak lama kemudian, setelah Domi selesai mengutarakan seluruh amanahnya, Yugo langsung mengacungkan jari jempolnya. Mulutnya yang monyong akibat penuh dengan batang sendok sup, membuat Yugo terlihat sedikit kesulitan untuk menahannya. Bahkan, beberapa kali sendok tersebut hampir terbalik karena mulut Yugo tidak bisa diam.
Setelah Yugo bersiap, dia mulai melangkahkan kakinya ke arah depan. Tanpa menoleh ke arah belakang, di mana tubuh Domi sudah tergeletak tidak berdaya di belakang, hal yang persis sama dengan kondisi Valentino sebelumnya.
Gue ambil sendok sup otomatis pasti ada air-airnya juga, nih. Valentino licin, Domi air panas dingin, gue? Hmm.
Langkah demi langkah, Yugo berpikir dengan saksama. Detik hingga menit pun berlalu, Yugo tidak mendapati satu halangan pun yang menghadangnya. Lelaki itu justru berjalan dengan biasa di atas kaki tanpa alas. Yugo berjalan di sebuah tanah aspal berwarna hitam dengan garis tengah berwarna kuning.
Benar saja, lama Yugo berjalan masih tidak ada hambatan yang muncul di hadapan lelaki berambut dikuncir bagian depan tersebut. Setelah beberapa saat meyakinkan diri, Yugo pun mulai berjalan cepat. Kali ini dia benar-benar mendapati masalah kepercayaan, pemikirannya benar-benar kalut karena takut tiba-tiba ada hantu yang muncul di depan muka.
Hampir tiga puluh menit lamanya Yugo berjalan, dia baru menyadari sesuatu. Bagaimana bisa dia sudah jalan sejauh itu, tetapi tidak kunjung sampai di penghujung lintasan? Hal tersebut semakin mengkhawatirkan ketika air liur Yugo mulai menetes dari ujung bibirnya. Dia gigitan di batang sendok sup tersebut mulai terasa melelahkan.
Anjirlah, gue dikerjain ini, sialan!
Dalam hati Yugo merasa geram. Langkah kaki yang tadinya hanya sebatas berjalan santai, kini mulai lebih dipercepat temponya. Yugo mulai berkeringat, ketika terik matahari tiba-tiba terasa di ruangan yang seharusnya tertutup sinar surya tersebut.
Estimasi yang sudah Yugo perkirakan adalah dia akan sampai di ujung dalam kurun waktu tiga puluh menit, tetapi ternyata dia salah. Sudah sekiranya sejam remaja tersebut berjalan cepat, tetap masih belum sampai juga. Seolah-olah jalan tidak ada ujungnya, Yugo merasa kepalanya sudah terbakar matahari secara berlebihan. Keringat bercucuran tak terelakkan.
Apa gue harus lari, ya? Tapi ini kelereng sialan bisa jatoh. Gimana dong?
Sambil terus berjalan melawan rasa sakit yang mulai melanda lelaki atletis tersebut, Yugo berpikir keras. Otak secuilnya seakan-akan dibuat bekerja rodi secara mendadak. Keputusan yang dia ambil bisa saja menjadi bumerang untuk diri sendiri. Parahnya, Yugo masih belum bisa memutuskan apa pun.
Tiba-tiba Yugo mendengar satu bunyi keras dari langit antah berantah. Bunyi itu bernada sama dengan suara dentangan lonceng jam yang terus berulang ketika memasuki jam dua belas. Yugo langsung terdiam, dia memerhatikan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sedangkan, panas sinar matahari terus menerus menyambar kepalanya.
Saat keheningan kembali melanda setelah dentangan terakhir terdengar, tanpa pikir panjang, Yugo langsung berlari dengan tetap menjaga agar kelereng di atas sendok sup tersebut tidak jatuh. Sejujurnya, titel atlet lomba lari yang Yugo miliki sama sekali tidak membantu, karena dia tetap saja harus menyeimbangkan benda bulat goyang-goyang tersebut. Namun, setidaknya teknik berlari yang benar bisa lelaki tiga persen lemak tersebut lakukan.
Belum sampai sepuluh menit Yugo berlari, dia sudah melihat satu garis di tanah dengan tiang setinggi satu meter yang terdapat bendera segitiga berwarna kuning di tengah. Itu adalah tanda garis finish. Yugo pun memperlambat larinya. Namun, belum sampai dua detik Yugo melakukan hal tersebut, suara dentangan lonceng jam mulai kembali terdengar.
Pandangan Yugo terbelalak, saat dirinya melihat garis dan bendera kuning tersebut mulai perlahan menjauh dari dirinya seiring dengan suara dentangan itu. Akhirnya, Yugo pun tahu kalau ternyata selama ini alasan dia tidak sampai-sampai ke garis penghujung adalah karena garisnya terus menjauh dari dirinya.
Tolol! Pantesan gue kagak nyampe-nyampe!
Tidak jadi memperlambat, Yugo malah menambah kecepatan larinya. Sampai akhirnya jarak antara dirinya dan garis finish tinggal satu meter. Dengan perasaan yang sangat senang, Yugo tidak sadar malah melompat untuk mencapai garis tersebut. Dia lupa kalau dirinya sedang mengikuti lomba balap kelereng, yang mana kelereng dalam sendok tidak diperbolehkan jatuh sampai garis finish.
Seiring dengan melompatnya Yugo, menjauhnya garis, dan jatuhnya kelereng, menjadi momen yang benar-benar bodoh yang dilakukan oleh dirinya. Lelaki itu tidak bisa menahan diri untuk melawan nafsunya agar tidak terburu-buru dan terbakar emosi. Namun, tetap saja, Yugo bukanlah Valentino, jadi hal-hal yang seperti ini sangat bisa terjadi.
Ambruk, Yugo pun terjatuh.
***
Valentino membuka mata. Kepalanya terasa pusing saat hidung mancungnya mencium aroma amis yang tak terelakkan. Fokus pandangan Valentino belum sepenuhnya tertata sebelum akhirnya lelaki tersebut mendengar teriakan yang cukup keras. Valentino langsung bangkit dan mencari keberadaan dari sumber suara tersebut, dia mengucek-ngucek matanya berharap bisa segera mengetahui situasi.
Hal tersebut lagi-lagi keputusan yang salah, tetapi mau tidak mau harus dihadapi oleh Valentino. Dia berdiri dengan mulut menganga. Valentino berada di sebuah lapang dengan suasana yang sama seperti sebelumnya. Namun, hal yang membuat dirinya sangat syok dan menyesal telah membuka mata adalah ...,
"YUGO!" teriaknya Valentino. Dia langsung berlari ke arah lelaki yang ternyata tadi berteriak. "Yugo! Lu gapapa?" Valentino mengguncang-guncang tubuh Yugo yang telungkup menghadap tanah.
Tidak ada respons dari temannya tersebut, tetapi darah mulai mengalir ke arah samping dari bagian wajahnya. Darah tersebut merembas ke tanah. Melihat hal tersebut, Valentino segera membalikkan tubuh Yugo. Betapa terkejutnya dia ketika melihat sahabatnya itu sudah berlumuran darah di muka.
Hidung Yugo patah karena menghantam tanah keras yang ada di hadapannya. Darah deras tersebut keluar dari lubang hidung Yugo. Matanya terpejam, memar terpampang nyata di sekitar kening dan tulang pipi. Yang terparah adalah Valentino tidak mendengar deru napas dari sahabatnya tersebut.
"YUGO! HEY! MARSHA!"
Ting!
[Congratulation! The yellow team managed to complete the entire track,
the race has finished]
[Status! Valentino, Domi, and Yugo managed to survive]
[Alert! Game no. 9 ends!]
Setelah suara wanita dari langit tersebut berkumandang, terdengar banyak sekali suara tembakan yang memenuhi ruangan lapangan luas tersebut. Valentino memelotot, selain dia mendapati Yugo di sana, ternyata kini player yang lain sudah kembali terlihat. Lelaki itu benar-benar terkejut saat dengan tiba-tiba seluruh peserta yang ada di sana—selain ketiga nama tadi—terbunuh dengan tembakan yang muncul dari antah berantah satu per satu.
Suasana riuh menjadikan semua orang panik dan berlarian. Namun, hal tersebut tidak bisa dihindari, pintu tempat mereka semua masuk tertutup rapat.
Kenapa situasi ini menjadi seperti di film?
Dalam hati Valentino mulai bertanya-tanya. Dia memeluk melindungi Yugo yang masih pingsan dari keriuhan suasana di ruangan. Hal-hal janggal mulai menghantui diri Valentino. Dia pun memejamkan matanya, hingga suasana kembali tenang setelah tembakan terakhir terdengar.
"Yug, Yugo, lu harus bangun. Ini ada yang aneh," bisik Valentino pada sahabat yang masih ada didekapannya. "Oh! Domi mana?"
Lelaki itu baru menyadari kalau ada satu orang lagi yang menghilang dari pandangannya. Domi, pemain lintasan kedua di tim kuning sejak tadi tidak terlihat batang hidungnya. Valentino pun melepaskan dekapannya pada Yugo, dia berdiri dan mengedar. Ruangan tersebut masih terlihat sangat luas, tetapi sepertinya tidak seluas tiga kilometer juga.
"DOMI! DI MANA LU?!"
Tidak ingin membuang waktu, Valentino berteriak saja memanggil-manggil nama temannya tersebut. Dalam beberapa panggilan, akhirnya Valentino mendengar satu sahutan dari arah yang jauh. Dia melihat tangan yang melambai-lambai dari kejauhan, tetapi tidak terlihat tubuhnya di mana.
Seolah-olah Valentino adalah orang paling sehat di sana, dia pun langsung menggendong Yugo yang masih berlumuran darah. Tidak terlalu berat, karena Yugo tidak memiliki lemak yang banyak, jadi Valentino aman-aman saja menggendongnya. Lelaki keturunan Indo-Belanda tersebut berjalan perlahan melintasi mayat-mayat berserakan menuju posisi Domi.
Cukup jauh, akhirnya Valentino sampai di tempat Domi berada. Lelaki itu ternyata tertubruk oleh sekiranya lima mayat yang menindih tubuhnya. Domi masih sadar, tetapi dia memiliki luka yang sangat besar. Benar, efek dari lintasan kedua dengan air panas dan dingin tersebut menjadikan kaki Domi melepuh parah.
"Lu gapapa?" tanya Valentino, padahal dia sudah tahu kalau temannya itu tidak baik-baik saja.
"Bisa sembuh gak sih ini?" Domi justru kembali bertanya pada Valentino. Dia sambil berusaha keluar dari tumpukan mayat berdarah itu. "Ah, anjirlah, kenapa mereka pada mati gini sih!"
Valentino menurunkan tubuh Yugo secara mendadak. Dia mengedarkan pandangannya dan mulai menyadari hal yang paling mengerikan dari semua yang sudah ketiganya lewati.
"Domi, lu nyadar gak?" tanyanya kemudian.
"Hmm?" Domi yang masih sibuk dengan urusannya sendiri pun hanya menjawab singkat.
"Seginibanyaknya mayat, dan mungkin ada yang kita kenal juga, tapi kita gak ada rasa sedihatau bersalah sedikit pun."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top