Vol. 01 -- Cardboard Girl

Sebuah kata penuh semangat seperti perjuangan, tidak dapat diceritakan sebagai hal yang menarik, sebelum manusia benar-benar melewatinya dengan penuh penerimaan dan rasa syukur. Kehidupan 'bebas' yang dirasakan oleh generasi muda jaman sekarang menjadi sebuah hadiah yang diberikan oleh para pendahulu perjuangan. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan saat ini adalah mempertahankan.

Yugo Ardiansyah, menjadi sibuk dengan hal-hal yang berbau lem akhir-akhir ini. Tugasnya untuk memasang dekorasi di setiap bagian sekolah membuatnya muak lama-lama. Sifat remaja yang masih sering berubah-ubah ini sebenarnya tidak bisa dipaksakan untuk melakukan pekerjaan yang monoton. Tempramen buruknya menjadi salah satu penghambat Yugo untuk melakukan pekerjaan secara kondusif.

Lelaki dengan rambut hitam dengan gaya french crop yang bagian depannya dikuncir seperti tokoh kartun Rusia itu melemparkan wadah lem dari tangannya. Dia segera duduk di kursi panjang depan kelas dengan helaan napas panjang.

"Heh, Marsha and The Bear! Kerja!" teriak seorang lelaki lain yang jaraknya sekitar sepuluh meter dari dirinya.

"Sopan kah ngomong gitu ke gue?" Karena merasa tampilannya diejek, Yugo pun mengalihkan pandangan pada sosok lelaki tadi dengan tangan mengepal.

Alih-alih bertengkar, keduanya malah berlarian ke sana ke mari. Menabrak beberapa orang yang sedang mengerjakan tugas membersihkan kelas. Sambil tertawa terbahak-bahak, kedua remaja dengan sikap kekanak-kanakan itu pun terus melakukan aktivitas kucing tikus.

SMA Negeri Tujuh Belas Agustus, memiliki tradisi wajib yang selalu diadakan setiap tahunnya. Sesuai dengan nama sekolah, ibarat nama adalah doa, sekolah dengan julukan singkatan SMANTUBA itu selalu mengadakan acara meriah setiap menjelang hari kemerdekaan Republik Indonesia. Biasanya, sejak Juli, sekolah ini sudah sibuk melakukan persiapan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia. OSIS menjadi penyelenggara umum, dibantu oleh ekstrakurikuler yang lain untuk memeriahkan acara, dan partisipasi dari seluruh siswa dan guru.

Tidak pernah ada kata bosan apabila berbicara mengenai persiapan agustusan. Bahkan, acara ini biasanya dibuat lebih meriah dari acara pekan kreativitas siswa dan bulan bahasa. Selain untuk merayakan ulang tahun negara, pada tanggal tujuh belas agustus juga SMANTUBA berulang tahun. Jadi, hal inilah salah satunya yang melatar belakangi.

"Udah, udah, gue nyerah. Capek, anjir, dikejar atlet lari rasanya dikejar rentenir." Lelaki yang semula mengejek Yugo dengan sebutan Marsha and The Bear itu pun akhirnya berhenti dengan terengah-engah. Keringatnya bercucuran dari bagian kiri pelipis matanya.

Tanpa basa-basi, Yugo menarik rambut cokelat lelaki tersebut. "Berani sekali lagi panggil gue dengan sebutan itu, rambut keturunan Belanda lu gue botakin, ya!"

"Iya, iya, ampun, Mars ... Eh, Yugo ganteng," ujar lelaki itu dengan kepala yang masih mendongak ke atas karena ditarik oleh Yugo. "Lepasin lah, tolol, kesakitan gue ini."

Menyadari kalau dia masih menjambak, Yugo pun langsung melepaskannya. "Gara-gara lu gue jadi keringetan, Val." Dia segera duduk di sembarang tempat dan membuka dua kancing teratas seragam putihnya. Keduanya berlarian sampai ke toilet di ujung sekolah yang sepi, entah apa yang mereka pikirkan pada saat itu.

"Val, Val, Val. Nama gue Valentino, gak usah setengah-setengah manggil gitu," protes lelaki tadi seraya mengikuti apa yang Yugo lakukan.

"Kepanjangan anjir, Va-len-ti-no. Noh, empat suku kata nama lu itu." Bersebelahan dengan Valentino, membuat Yugo redup seharusnya. Pasalnya, warna kulit Yugo yang sawo matang bersanding dengan warna kulit putih orang Eropa dari Valentino. Namun, ternyata tidak, kulit Yugo sehat dengan tubuh yang atletis menjadikan remaja itu lebih percaya diri di samping siapa pun.

Yugo dan Valentino adalah kedua sahabat yang sudah dipertemukan sejak hari pertama lahir. Keduanya lahir di hari yang sama, rumah sakit sama, tetapi orang tua berbeda. Bahkan, wajah kedua remaja tampan itu sekilas terlihat mirip, hanya berbeda warna kulit dan beberapa bagian saja. Hal ini lebih menjadi ejekan dari teman-teman di sekolah. Meski keduanya dari latar belakang yang berbeda, jelas tidak menjadikan mereka renggang.

Yugo adalah siswa berprestasi di bidang non-akademik di sekolahnya, dia adalah atlet lomba lari tingkat nasional. Keatletisannya ini membuat Yugo menjadi siswa terkenal di sekolah, banyak sekali yang suka pada Yugo. Bentuk muka yang tajam, tetapi tingkah yang kekanak-kanakkan membuat Yugo dipandang sebagai lelaki yang menggemaskan. Sejujurnya Yugo tidak menyukai perspektif tersebut.

Sedangkan, Valentino adalah orang kutu buku yang lebih suka mengandalkan otaknya untuk bekerja dibandingkan dengan fisiknya. Valentino selalu mendapatkan juara umum di sekolah. Namun, tubuh Valentino sebenarnya tidak kalah bagus dari Yugo. Hal ini jelas karena Yugo yang terus memaksa Valentino untuk berolahraga.

Keduanya akur, tetapi kekerasan dalam satu sama lain sudah tidak bisa dihindari setiap harinya. Tidak heran ketika si sanguinis bergabung dengan si koleris. Rumah yang bersebelahan membuat keduanya lebih dekat. Tidak jarang Yugo menginap di rumah Valentino, begitu juga sebaliknya.

"Lu ada niatan buat makan ga?" tanya Valentino pada sahabat di sampingnya. Dia mengetahui kalau Yugo jarang sekali makan, bahkan hitungan kalori yang masuk ke tubuhnya musti dihitung agar tidak berlebihan. "Yugo si anak tiga persen lemak, woy!"

Fakta kalau kadar lemak dalam tubuh Yugo hanya sebesar tiga persen sempat membuat gempar sekolah. Pasalnya tubuh Yugo yang kering, hanya tersisa daging tipis dan otot saja. Persentase tersebut tidak normal berdasarkan The American Council on Exercise yang menyatakan bahwa ideal lemak dalam tubuh pria adalah sebesar 18 sampai dengan 25 persen, sedangkan wanita sebesar 25 sampai 31 persen. Sedangkan, Yugo?

Tersadar dari lamunan, Yugo langsung mengalihkan pandangannya pada Valentino. "Hah? Engga, gue ga makan. Tadi gue udah makan roti pas pagi." Sesuai dugaan Valentino kalau sahabatnya ini tidak akan mau diajak makan. "Eh, Val. Gimana ya dulu pas jaman penjajahan?"

Pertanyaan spontan yang keluar dari mulut Yugo membuat Valentino sedikit kebingungan. "Ya, gak tau, gue belum lahir. Emak bapak gue juga belum lahir," jelasnya.

"Kira-kira sekolah kita ini dulunya tempat apa, ya?"

"Kenapa, sih, tiba-tiba nanya begituan? Jiwa-jiwa nasionalisme banget, kah?"

"Gapapa, gue tiba-tiba kepikiran aja." Yugo mengangkat kedua bahunya secara bersamaan selama satu detik. "Dah, lupain. Ayo lanjut dekor."

Merasa rasa lelahnya sudah hilang, Yugo dan Valentino pun bergegas pergi dari depan ruang toilet tersebut. Namun, baru saja mereka melangkah beberapa langkah, terdengar satu desisan dari dalam toilet. Desisan tersebut terdengar tidak seperti ujaran binatang melata seperti ular. Melainkan seperti seseorang yang sedang berbisik-bisik kecil.

"Lu denger itu?" Langkah kaki Yugo terhenti.

Seiring dengan langkah kaki yang dihentikan, Valentino mencoba untuk memerhatikan suara yang dimaksud oleh Yugo. "Hah? Apa?"

"Suara itu."

"Gue gak denger apa-apa, Go." Valentino turut serta menyipitkan matanya untuk mendengarkan dengan saksama. Namun, hasilnya nihil, lelaki berambut cokelat terang itu masih tidak mendapatkan apa pun.

Alih-alih mengabaikannya, Yugo membalikkan badan. Tubuhnya diselimuti dengan rasa penasaran yang tinggi. Yugo perlahan berjalan menuju sumber suara yang masih diasumsikan berasal dari dalam toilet. Tidak ada protes dari Valentino, lelaki itu pun ikut berjalan di belakang Yugo.

Saat keduanya dekat dengan pintu masuk toilet, mereka berhenti sejenak sebelum terperanjat dengan sautan seseorang lainnya yang ternyata sedang bersembunyi di dekat tumpukan kardus di luar toilet. "Sst, Yugo, Valentino," bisiknya.

Sontak kedua remaja lelaki tersebut menoleh dengan jantung yang berdebar kencang. Satu hal yang mereka tidak bisa sangka adalah sesosok gadis berjongkok dengan satu jari di depan mulut menandakan untuk jangan berisik. Gadis tersebut berambut panjang yang diikat satu layaknya ekor kuda. Gadis itu terlihat sedang bersembunyi dari sesuatu.

"Jangan masuk," bisik gadis tersebut lagi.

"Sarah?" Bukan Yugo, tetapi Valentino yang mengenali gadis tersebut. Keduanya segera mendekat ke arah tumpukan kardus bekas tersebut. "Kenapa lu bisa di sini?"

"Siapa itu?" Yugo berbisik pada Valentino yang tatapannya masih tertuju pada gadis bernama Sarah itu.

"Inget kejadian sumur waktu kita kelas sepuluh? Ada murid yang meninggal di sana. Nah, itu kan Sarah." Namun, karena sudah terlanjur mendekat, keduanya terlambat menyadari kalau orang yang kini sedang berjongkok di hadapan mereka besar kemungkinan bukan manusia.

"Lah, kenapa jadi ada hantu siang-siang, anjir?" Bukannya takut, Yugo malah kebingungan dengan situasi yang sedang di hadapinya. Dia adalah tipe orang yang cepat lupa dengan kejadian yang menurutnya tidak terlalu penting, berbeda dengan Valentino yang selalu mengingat detail kecil di setiap kejadian.

Kejadian yang diceritakan singkat oleh Valentino sebenarnya hanya rumor belaka, sejauh ini memang belum ada bukti kalau gadis bernama Sarah itu meninggal gara-gara terperosok ke dalam sumur. Dari mana Valentino mengetahui wajah sosok Sarah itu adalah merujuk pada foto yang sempat beredar dan turun temurun dari cerita alumni SMANTUBA.

Sekali lagi, Yugo dan Valentino menoleh ke arah gadis yang tetap berjongkok dan terdiam. "Sarah?" Valentino mengulangi pertanyaan sebelumnya.

Gadis tersebut mengangguk perlahan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top