stuck with you

Gara-gara Beni sialan aku harus merelakan satu hari liburku yang berharga untuk keluar rumah. Katanya mau mengajakku nonton bareng, lalu mendadak bilang tidak bisa gara-gara buang-buang air. Padahal aku yakin gara-gara cewek incarannya batal datang. Parahnya lagi aku sudah ada di parkiran mall. Yah, seenggaknya aku tidak jadi nyamuk di antara mereka.

Sekitar satu jam berlalu aku mengitari mall. Kini, aku berdiri di bioskop yang terletak di lantai paling atas, berencana menonton film yang awalnya kami ingin tonton bersama Beni dan ceweknya. Namun, kupikir saat ini lebih baik aku buru-buru pulang ke rumah dan kembali membungkus diri dengan selimut.

Maka dari itu aku berjalan ke lift yang kosong melompong. Kututup pintu lift, lalu kupencet tombol LG. Rupanya di lantai dua ada seorang perempuan yang masuk lift dan langsung memencet tombol tutup pintu. Ia juga hendak pergi ke lantai LG.

Tunggu, aku sepertinya familier dengannya. Gadis itu tampak seumuran denganku. Tubuhnya tak terlalu tinggi dan rambutnya pendek. Aku mencoba menggali memoriku tetapi sulit mengenali orang yang cuma kelihatan belakangnya.

Merasa diperhatikan, cewek itu menoleh dan menatapku sinis. "Mau liat-liat sampe kapan?"

"Nggak, kayak pernah liat," ucapku berusaha santai.

Ia hanya mendengkus.

Berdasarkan wajah yang ia tunjukkan sekelebat itu aku teringat sesuatu. Dia anak kelas sebelah.

"Kelas IPA 7 ya?" tanyaku tak gentar.

Dia kembali menengok, lalu memandangku lekat-lekat. Setelah itu bola matanya melebar. Alih-alih menjawab ia bertanya balik, "Lo anak IPA 6 ya?"

"Iya."

"Lo yang ngalahin gue pas lomba balap karung ya?"

"Iya."

Meski kalah, dia hebat juga. Di saat kelas lain memasang anak lelaki sebagai orang terakhir, cewek ini justru maju dan berhasil meraih juara dua.

Perjalanan elevator ini terasa lebih lama dari biasanya, lalu setelah kulihat rupanya elevator ini telah berhenti di LG. Namun, pintunya tidak otomatis terbuka.

"Dih, kok nggak kebuka?" Dia yang berkomentar duluan.

Ia beberapa kali memencet tombol buka pintu tapi tidak berhasil. Aku pun maju untuk memencet tombol bergambar bel. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Tak ada jawaban. Cewek agresif itu maju dan ikut memencet-mencet tombol darurat.

Setelah beberapa lama terdengar suara. Itu adalah teknisi. Ia menanyakan beberapa hal pada kami, lalu berkata akan segera ke sini.

Lima menit kemudian belum ada tanda-tanda kedatangan teknisi. Sialnya, udara di dalam lift mulai panas dan keringat bercucuran di sekujur tubuhku.

"Aduh anjir panas banget!" keluhnya yang kini tengah mengipasi wajah dengan tangan.

"Anjir udah berapa lama ini?" Ia melihat ponselnya yang menunjukkan bahwa kami sudah terjebak di sini lima belas menit.

"Gue coba minta tolong orang," usulku.

Rupanya baterai ponselku tinggal tiga persen. Aduh.

"Batre gue abis."

Kudengar dia bergumam. "Nggak guna amat."

Ia terlihat mencari-cari orang di kontaknya, lalu malah menyodoriku ponselnya. "Nih, telepon siapa aja."

Sedikit sekali kontaknya. Nggak punya teman ya?

Aku pun menelepon Beni karena dia yang menyeretku ke situasi ini.

Beberapa saat kemudian Beni menjawab. "Ini siapa?"

"Evan."

"Gue kejebak di lift," ucapku langsung.

"Hah?!"

"Di mall?"

"Iya lah."

"Udah minta tolong?"

"Udah, tapi lama."

"Gue ke sana deh." Kututup telepon.

Lima menit kemudian masih belum ada orang yang datang. Beni juga belum menghubungi lagi. Padahal rumahnya dekat sini.

Peluh kami mulai menetes ke lantai elevator. Di titik ini, aku sudah melepas kemejaku sehingga menyisakan kaus dan duduk bersila di lantai.

"Ini kalo gue tendang pintunya kebuka nggak ya?" ucapnya yang sudah kehilangan kesabaran.

"Jangan lah!"

"Duduk aja dulu," saranku.

"Aduh gila lama banget!" Ia menghempaskan kepalan tangan ke dinding lift.

Aku bangkit memencet segala tombol. Ketika kupencet tombol naik ke GF lift seketika bergerak. Kami sama-sama terperanjat. Di lantai GF pintu lift terbuka. Wow.

Cewek yang menyimpan dendam padaku itu berjalan keluar lebih dulu. Kami turun naik eskalator. Di LG aku bertemu beberapa teknisi, memberikan beberapa keterangan, lalu pulang. Sesampainya di rumah Beni meneleponku dan bertanya dengan panik. Kujawab bahwa aku sudah di rumah kemudian ia meluncurkan beberapa umpatan. Baiklah, kalau begininaku akan kembali mengurung diri selama beberapa hari ke depan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top