5. Adiel Sakit

Nada masih menangis saat motor yang dikendarai Kevand berhenti di parkiran rumah sakit, perasaan perempuan itu sebenarnya campur aduk, entah sedih, entah takut, dan lebih mendominasi takut, ia takut Iel marah padanya, ia takut Iel tidak suka melihat dirinya, ia takut Iel melakukan pembalasan karena merasa kesal dengan dirinya yang selalu sembarangan dalam hubungan mereka selama ini.

"Udah dong, Nad. Kita kan belum tau Iel kenapa." Kevand membantu melepas helm Nada karena gadis itu tak kunjung melepaskannya.

"Takut." Nada bicara dengan sangat pelan sambil meremas ujung seragam Kevand.

Kevand mengambil tangan perempuan "Nggak usah takut, Nad."

Iel sudah berada di ruang rawat inap. Nada masih takut-takut untuk masuk ke ruangan sang kekasih. Namun, lagi-lagi Kevand menariknya. Memberikan kekuatan kepada Nada.

Gadis itu membuang napas kasar dan menetralkan detak jantungnya sebelum benar-benar masuk. "Iel..." panggil Nada lirih saat melihat lelaki yang berbaring di atas brankar dengan tangan kiri yang menggunakan gips. Nada tahu kalau Iel tidak tidur meski matanya terpejam.

"Hai," sapa Iel yang membuka matanya perlahan seperti tanpa beban, tanpa ada yang serius terjadi padanya.

"Iel kok sakit nggak bilang?" tanya Nada yang mati-matian menahan tangisnya agar tidak kembali pecah.

Iel yang melihat hal itu hanya tersenyum tipis dan memberi kode agar Nada mendekat. Karena, sebelumnya Nada masih memberi jarak sebab masih merasa bersalah.

"Maaf, ya," lirih Nada setelah berada di dekat bangkar yang saat ini di atasnya ada Iel.

"Kok minta ma'af?" Iel menjawab dengan wajahnya yang bingung.

"Soalnya, aku nggak balas chat sama ngangkat telepon kamu."

Iel sempat tertawa pelan, "Enggak apa-apa Nada, enggak masalah."

Nada membuang napasnya kembali. Rasanya, tidak apa-apa yang Iel katakan malah membuatnya merasa bersalah. Apalagi, mereka ini sepasang kekasih yang harusnya saling memprioritaskan, bukan malah saling mema'afkan seperti ini, Nada suka pertengkaran yang saling berteriak, bukan saling diam speerti ini.

"Pakaian kamu agak basah, Nad." Iel mengalihkan pembicaraan, mencoba untuk mengubah suasana mereka agar tidak terlalu canggung.

Ya, saat diperjalanan, gerimis turun dan Kevand tidak membawa jas hujan. Alhasil, mereka terpaksa menembus gerimis yang menyebabkan seragam mereka agak basah. "Tadi gerimis." jawab Nada pelan. Jujur saja, ini lebih canggung daripada saat mereka melakukan pendekatan dulu, Nada merasa ini benar-benar bukan dirinya, dirinya tidak nyaman dalam keadaan seperti ini.

"Astaga Nad, kenapa dipaksain nerobos hujan, nanti kamu sakit, lho," peringat Iel.

"Iya, sorry deh. Gue nggak bawa mobil soalnya. Mau ngambil dulu, Nadanya keburu panik." Kevand yang menjawab perkataan Iel, karena bagaimana pun menerobos gerimis tadi adalah idenya, Kevand rasanya tidak ingin berlama-lama membuat Nada cemas dengan keadaan Iel.

Lelaki yang kini tengah kesusahan mengatur posisinya menjadi duduk itu bergumam pelan sambil menatap Nada, "Harusnya kamu pulang dulu, makan, ganti baju. Aku nggak apa-apa, kok Nad."

"Enggak apa-apa gimana? Itu tangan kamu." Nada menunjuk tangan kiri Iel. Nada hampir kembali menangis kalau Iel tidak mengusap puncak kepalanya dengan sayang.

"Ma'af ya sudah bikin kamu khawatir, makanya aku enggak ngasih tahu kamu, aku enggak mau kamu khuwatir gini, jadinya ngelakuin hal dengan buru-buru kayak nerobos gerimis."

"Harusnya aku yang minta ma'af sama kamu." Nada berucap sambil menatap mata Kevand dengan tatapan memohon.

Kevand yang berdiri di belakang Nada merasa canggung berada di antara mereka berdua. Ia berdeham pelan sebelum memilih menunggu di luar. Siapa tahu, Nada dan Iel ingin mengatakan sesuatu, dan membutuhkan privasi.

"Iel, maaf. Aku harus--"

"Kamu harus nemenin Kevand yang patah hati. Aku paham kok, Nad. Kamu nggak perlu jelasin apa-apa," sambung Iel langsung.

Nada bicara Iel sangat berbeda dari sebelumnya dan Nada sangat merasakan hal itu, kalau sebelumnya terdengar ramah dan cenderung membuat Nada merasa bersalah, kini suaranya terdengar datar dan menakutkan. Ya, setidaknya perubahan itu bisa Nada rasakan. "Iel..."

Lagi, Iel kembali berucap, "Kevand kan sahabat kamu. Kamu memang harus nemenin dia, kan. Dia butuh banget pertolongan kamu, butuh kamu di sampingnya."

Lagi-lagi, Iel mengeluarkan sindirannya. Membuat Nada yang semula menunduk, kini mengangkat kepalanya. Ia bisa melihat senyum sinis di bibir sang kekasih, yang jelas mmebuat dirinya sedikit tidak suka dan merasakan aneh dengan hal itu.

"Kalau kamu nggak bisa nemuin aku, nggak usah dipaksa, Nad. Aku kuat, kok. Enggak harus ditemenin atau disokong orang lain," lanjut Iel lagi.

Perkataan Iel kali ini Nada rasa cukup menohok. Ia merasa sedikit tersinggung. Entah karena Iel menyinggung dirinya yang terkesan lebih memprioritaskan Kevand atau karena kekasihnya itu menyinggung Kevand seakan-akan sahabatnya itu sangat lemah dan harus selalu Nada temani – sama dengan apa yang terjadi selama ini.

"Iel ..., Enggak gitu." Nada masih menahan diri untuk tidak menaikkan nada bicaranya karena kondisi Iel yang memang tidak baik-baik saja. Selain itu, ia juga merasa bersalah karena mengabaikan pesan dan panggilan kekasihnya. Meskipun, perasaan bersalah itu kini mulai luntur sedikit demi sedikit, terlebih dengan ucapan yang baru saja dilontarkan oleh Iel.

"Sudah malam, Nad." ucap Iel. "Kamu pulang saja. Sebentar lagi mama datang, kok. Pakaian kamu juga agak basah. Nanti kalau dibiarkan bisa demam," perkataan selanjutnya kembali lembut. Nada tak melihat kilatan emosi di mata Iel seperti sebelumnya, apa mungkin Iel hanya emosi sementara, setelah mengeluarkan emosinya tadi laki-laki itu mungkin merasakan lebih baik?

Entah, Nada merasa kalau Iel memiliki kepribadian yang cepat sekali berubah. Saat ada Kevand, lelaki itu menunjukkan sisi lembutnya, saat Kevand tak ada di sana, Iel tampak begitu menggebu seakan memiliki dendam, dan kini, lelaki itu berubah kembali seakan tak terjadi apa-apa.

"Iel ...," Nada mencba menolah dengan pelan, jujur ia masih ingin berada di sini.

Kevand mengeleng, rasanya ia tahu apa yang ingin dikatakan oleh Nada, "pulang, Nad. Besok kalau kamu mau ke sini, boleh."

Nada akhirnya mengangguk kaku. Meskipun, rasanya permasalahan dirinya dan Iel belum selesai. Tetapi, ia takut kalau alih-alih menyelesaikan masalah, malah menambah masalah. "Oke. Aku pulang setelah mama kamu datang," putus Nada.

"Enggak usah," tolak Iel dengan cepat, rasanya Iel tidak ingin dibantah kali ini, ia merasa sudah cukup dengan apa yang terjadi hari ini antara dirinya dan Nada.

"Aku maksa!" Nada menegaskan, perempuan itu memang tidak ingin kalah, apalagi rasanya masih ada yang tidak beres antara mereka.

"Baik." Iel tersenyum manis, memilih untuk mengakhiri perdebatan antara mereka.

Harus Nada akui, kalau Iel benar-benar tampan meski wajahnya agak pucat, Nada yang merasa kalau jantungnya tidak baik-baik saja itu memilih untuk kembali melempar tanya. "Kamu belum cerita kenapa bisa jatuh."

Iel kemudian menceritakan kejadian malam itu, di mana lampu di rumahnya tiba-tiba padam saat dirinya menuruni tangga, lalu pijakannya tidak akurat dan tubuhnya tidak seimbang yang pada akhirnya membuat dirinya bisa berada di sini. "Karena mama papa di luar kota, aku baru dilihat bibi subuh," sambung Iel lagi.

"Astaga!" Nada tentu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Berapa jam Iel harus tergeletak tak sadarkan diri di lantai. Tangannya patah karena ia menahan tubuhnya sendiri yang ternyata tetap tak bisa. Mendengar cerita Iel, kekesalan yang Nada rasakan sebelumnya menguap sudah. Saat obrolan mereka berlangsung, ponsel Iel berbunyi. Mau tidak mau, mereka menghentikan obrolan dan Iel memilih untuk menjawab panggilan itu.

"Sebentar, ya," ucap Iel sebelum benar-benar menerima pangilan itu.

Nada mengangguk pelan.

"Nad, kamu pulang aja. Mama udah di parkiran," ucap Iel setelah menutup panggilannya.

"Aku tunggu sampai mama kamu ke sini."

Kevand kembali menolak, "Enggak usah. Kemaleman juga. Kamu pulang aja, kesian juga Kevand sudah lama nungguin kita ngobrol."

Nada ingin membantah, tetapi, Kevand memanggilnya dari luar membuat tanpa sadar Iel berhasil untuk menyuruh kekasihnya itu pulang.

"Nad, mama telepon," ujar Kevand mengingatkan.

"Ya sudah. Aku pulang ya, Iel. Besok sepulang sekolah, aku ke sini lagi," kata Nada.

"Hmm... Bilang Kevand hati-hati. Jangan ngebut."

"Siap! Iel juga cepat sembuh, ya."

Iel mengusap puncak kepala Nada sambil tersenyum manis. Setelah itu, Nada meninggalkan ruangan Iel meski berat hati, karena sebenarnya perempuan itu masih ingin di sana, ya setidaknya sampai ibunya Iel datang.

"Kok mama nggak telepon gue, sih?" tanya Nada.

"Ponsel lo mati kalo lo lupa," balas Kevand malas.

Nada terkekeh, rasanya begitu senang karena menganggu laki-laki itu, "Ayo balik! Takut keburu malam," pancing Nada lagi.

"Ini udah malem," jawab Kevand dengan malas, nyatanya benar, Kevand benar-benar masuk ke dalam permainan yang dilakukan oleh Nada.

Sepertinya, ketidakberuntungan harus kembali dialami kedua remaja ini. Karena, belum juga mereka sampai di parkiran, hujan turun dengan derasnya. "Ya Tuhan. Kenapa harus hujan, sih?" gerutu Nada sambil menatap ujung sepatunya. Kalau hanya gerimis, mungkin bisa ia terobos. Tetapi, hujan kali ini cukup deras. Berbahaya juga berkendara di bawah hujan seperti ini.

"Mau balik lagi ke ruangan Iel?" tanya Kevand akhirnya, karena menyadari wajah yang sangat tak enak terlihat dari mimik wajah Nada.

"Takut dia mau istirahat." jawab Nada apa adanya.

Tetapi, mereka tak punya pilihan lain. Lorong dekat parkiran cukup menyeramkan kalau mereka berlama-lama di sana. Akhirnya, Nada menyerah dan mengiyakan perkataan Kevand.

"Gue udah kabarin mama kalo kita kejebak hujan," ingat Kevand lagi.

Sesampainya di depan ruangan Iel, Nada tiba-tiba ragu untuk masuk. Ia takut kalau Iel sudah tidur. Tetapi, sayup-sayup suara obrolan yang terdengar di dalam ruangan membuat Nada akhirnya memanggil Iel.

"Iel? Kamu belum tidur?" tanya Nada saat membuka pintu kamar rawat Iel itu.

"Nada?" balas Iel bertanya.

"Iya. Aku nggak bisa pulang. Soalnya hujan," jadinya balik ke sini lagi, soalnya serem di sana.

Iel mengangguk paham, "masuk aja."

Nada dan Kevand memasuki ruangan Iel yang ternyata sepi, tak ada siapapun di sana. Padahal, sebelumnya Nada benar-benar mendengar suara obrolan dari dalam ruangan Iel, teramat jelas padahal terdengar dai telinganya.

"Kalian duduk dulu aja." ucap Iel yang mencoba bangun dari posisi rebahannya.

Kevand langsung mengiyakan perkataan Iel. Lain halnya dengan Nada yang malah mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan seperti mencari sesuatu. "Mama kamu mana, Iel?"

"Mama? Oh. Tadi pulang dulu. Ada yang ketinggalan," jawab Iel.

Nada mengangguk. Tetapi, rasa penasarannya tak berhenti sampai di sana. Nada melihat sebuah syal di samping Iel. Ia rasa, saat dirinya di sana, tidak melihat benda itu. "Ini punya mama Iel?" tanya Nada memegang syal itu.

Iel hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Nad, kalau lo ngajak Iel ngobrol mulu, dia nggak istirahat istirahat, dong." Kevand memperingatkan Nada yang terlalu banyak bertanya.

Dengan wajah kesal, Nada akhirnya menghampiri Kevand dan duduk di samping sahabatnya. Ia dan Iel masih sesekali mengobrol. Meskipun, tak jarang Iel membuka ponselnya. Nada pikir, Iel tak menjawab panggilannya karena memang sulit membuka ponsel. Tetapi, kali ini ia melihat Iel bermain ponsel membuat rasa penasarannya kembali naik.

"Napa lo?" bisik Kevand yang menyadari bagaimana mimic wajah Nada itu.

"Iel bisa main ponsel. Tapi, dia enggak balas chat gue. Enggak ngangkat telepon gue juga."

Kevand mengangguk paham dengan rasa penasaran sahabatnya itu, "Itu dia baru bisa kali."

"Masa? Apa dia balas dendam, ya?" tanya Nada dengan nada suara yang penuh dengan curiga

"Enggak boleh nuduh. Apalagi sama pacar sendiri." Kevand mengingatkan, Nada itu memang selalu cirugian kepada orang, bahkan Kevand sama sekali tidak menyangka kalau Nada sampai mencurigai kekasihnya, karena menurrut Kevand harusnya Nada percaya saja kepada Iel, apalagi Iel keadaannya yang seperti ini, rasanya tidak mungkin laki-laki itu bertingkah aneh-aneh.

Kevand dengan segala pemikiran positifnya memang cocok berteman dengan Nada yang tak jarang berpikir berlebihan.

Nada kembali bersikukuh, "ya tapi kan--"

"Sssttt gak boleh gitu!" potong Kevand cepat untuk menepis segala pikiran buruk di kepala sahabatnya itu.

Iel bahkan masih sibuk dengan ponsel di tangan kanannya saat Nada dan Kevand pulang karena hujan sudah mulai reda. "Hati-hati. Jalanan licin." ucap Iel sebelum keduanya keluar, setelah Nada dan Kevand keluar, Iel membuang napasnya lega. "Huh! Hampir saja!" runtuknya dengan nada khuwatir.

***

Terima kasih sudah membaca sampai sini :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top